Senin, 26 Desember 2011

karya GEREJA, sekali-sekali BWAT orang MISKIN lah

Pendidikan Hanya "Menyentuh" Mereka yang Mampu... Inggried DW, Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 27 Desember 2011 | 09:41 WIB ... mungkin peran GEREJA juga bisa membantu KEHIDUPAN orang miskin dengan melakukan pemberdayaan orang miskin dengan mendirikan SEKOLAH MURAH bukan murahan ... mungkin peran GEREJA juga bisa TIDAK MELULU MENJADI BAGIAN KEHIDUPAN ORANG KAYA ... mungkin peran GEREJA JUGA bisa meningkatkan daya hidup orang miskin dan daya keberadaan orang miskin lewat pendidikan MURAH berkualitas SETARA SEKOLAH FAVORIT ... mungkin GEREJA bisa mulai dengan yang paling sederhana dulu, yaitu melalui pendidikan anak usia dini, karena AMAT VITAL peran GEREJA membantu proses belajar BERHITUNG, membaca dan menulis SEDERHANA para orang miskin JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Soedijarto mengatakan, pendidikan di Indonesia saat ini masih berada pada level pendidikan semesta. Pada level ini, menurutnya, pendidikan hanya untuk golongan mampu. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang bermutu, adil, dan bebas biaya. Menurutnya, semua siswa berbagai latar belakang berhak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun yang dibiayai pemerintah, seperti diamanatkan UUD 1945. Kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan disana sini? Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan, karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen "Tetapi, kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan disana-sini. Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan, karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen," kata Soedijarto, Senin (26/12/2011), di Jakarta. Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ ini menjelaskan, untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun, pemerintah seharusnya mengacu pada negara-negara maju seperti Amerika dan Jerman. Di negara tersebut, anak usia sekolah mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Jika ada anak usia sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada jam belajar, maka anak tersebut akan "ditangkap" dan dipanggil orangtuanya. "Tapi wajib belajar di Indonesia ini lain. Masih banyak anak usia sekolah yang putus atau tidak melanjutkan dan bebas berkeliaran di jalan. Itulah mengapa saya sebut pendidikan kita adalah pendidikan semesta," ungkapnya. Mengapa bisa terjadi? Soedijarto berpendapat, semua yang terjadi dipicu karena pemerintah tidak mampu menghitung berapa dana pendidikan yang diperlukan, khususnya untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun. Ia menuding, selama ini pemerintah hanya sebatas melaksanakan UU untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pendidikan tanpa menghitung berapa yang diperlukan. Dari alokasi 20 persen itu, kata dia, lebih dari setengahnya habis untuk menggaji guru. Hal tersebut berimbas pada kurangnya dana pendidikan yang dimiliki pemerintah, sehingga pendidikan menjadi tidak gratis, dan masyarakat ekonomi lemah tidak sanggup memenuhinya. "Pemerintah jangan hanya menganggarkan 20 persen tanpa menghitung keperluan untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun," ungkapnya. Tekan angka putus sekolah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, saat diwawancara Kompas.com, pekan lalu, mengungkapkan, kementerian memang menjadikan persoalan wajib belajar 9 tahun sebagai hal yang substantif dan harus diselesaikan. Menurutnya, ada pergeseran paradigma bahwa di akhir abad 20, pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kekayaan alam akan bergeser ke pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu pendidikan. "Akhirnya, disitulah mengapa urusan wajar 9 tahun harus dituntaskan," kata Nuh. Ke depannya, dengan peningkatan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), ia mengatakan, tak boleh ada anak tidak mengenyam pendidikan. "Intinya semua harus sekolah. Oleh karena itu, kita juga persiapkan wajar 12 tahun yang dirintis tahun 2012. Untuk itu kita siapkan semuanya, baik gurunya, sarana, dan prasarana," ujarnya. Pada tahun 2012 mendatang, ada kenaikan unit cost, yaitu bagi siswa SD dari Rp 380 robu menjadi Rp 510 ribu. Sementara, bagi siswa SMP, dari Rp 580 ribu menjadi Rp 710 ribu. Kemdikbud juga akan merintis dana BOS bagi siswa SMA pada tahun 2012 mendatang.

GO Yasmin, go smoothly

Jemaat GKI Yasmin Tak Bisa Rayakan Natal di Gereja Oleh: Dian Prima Jabar - Minggu, 25 Desember 2011 | 18:15 WIB INILAH.COM, Bogor - Dibawah pengawalan dan penjagaan petugas, jemaat GKI Yasmin menggelar perayaan natal di rumah salah seorang jemaat di Perumahan Yasmin Kota Bogor, Minggu (25/12/2011). Awalnya, jemaat GKI Yasmin bersikukuh akan menggelar perayaan natal di lokasi bangunan gereja yang tengah menjadi kontroversi. Namun petugas kepolisian beserta Satpol PP Kota Bogor, melakukan pendekatan persuasif dan meminta para jemaat tidak memaksakan merayakan natal di lokasi bangunan gereja. Blokade petugas kepolisian yang memblokir pintu masuk bangunan gereja tidak bisa ditembus oleh jemaat. Akhirnya mereka pun melakuan perayaan natal di rumah salah seorang jemaat yang tidak jauh dari lokasi bangunan gereja. Sebelumnya, Pemkot Bogor memberikan alternatif dengan menyediakan Gedung Harmony Yasmin untuk digunakan jemaat GKI. Namun hal ini ditolak oleh jemaat GKI Yasmin. Humas GKI Yasmin Bona Sigalingging mengatakan, jemaat tak mau menggunakan Gedung Harmoni, tempat alternatif yang disediakan Pemkot Bogor, karena bukan tempat ibadah. "Jadi kami tetap tidak akan menggunakan gedung Harmoni," katanya. Perayaan Natal GKI Yasmin yang dipimpin Pdt Esakatri Parahita, ini berlangsung khidmat. Tampak hadir diantara jemaat, putri Gus Dur, Innayah Wahid yang duduk berdampingan dengan adik Gus Dur, Lily Wahid. Keduanya tampak khusyuk mengikuti perayaan natal bersama jemaat GKI. Lily Wahid, sempat berbicara dihadapan jemaat GKI Yasmin, bahwa orang Indonesia adalah orang yang beriman. Dimana akan selalu menjaga kerukunan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. "Tidak ada satupun tekanan yang mampu menggoyahkan iman orang Indonesia. Seberapa berat pun tekanan yang datang, ibadah harus tetap dilakukan," tutur Lily. Lily pun berkomentar, kerukunan beragama menjadi satu pelajaran inti di setiap agama. Dia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW hidup berdampingan dengan rukun dengan kaum nasrani dan yahudi di Madinah.[ang]

Senin, 19 Desember 2011

yang buka dan tutup PINTU

Kristenisasi Jelang Natal Resahkan Umat Budha JAKARTA (voa-islam.com) – Tak hanya umat Islam yang keberatan dengan gerakan pemurtadan yang dilakukan oleh para misionaris Kristen secara membabi-buta kepada kaum Muslimin. Ternyata orang Budha juga resah dengan agresivitas kristenisasi. Pengalaman menjadi target kristenisasi itu dialami oleh Budi (38) bukan nama sebenarnya. Saat berbelanja ke Mal Citraland Grogol, Jakarta Barat, sekelompok orang mendekatinya dan membagikan brosur propaganda natal. Tak hanya Budi, para pengunjung yang lewat, tak peduli apapun agamanya, semua diberikan brosur ajakan untuk mengikuti KKR Akbar (Kebaktian Kebangunan Rohani) Pendeta Stephen Tong yang dilaksanakan pada 8-11 Desember 2011 di Stadion Utama GBK. “Di lorong depan Citraland di situ dua orang laki-laki membagi, dikasihkan ke saya seperti begini (sambil menunjukkan brosur tersebut). Lalu saya bilang, oh gereja ya? Maaf saya bukan orang Kristen, terus saya kembalikan lagi,” tutur Budi dengan logat Jawa kepada voa-islam.com, Ahad (11/12/2011). Dengan enteng, kedua penginjil itu menjawab, “Oh nggak apa-apa pak.” Jawaban itu memicu emosi Budi dan memprotes keras. “Ini kan acara Kebaktian kristiani, dan saya ini bukan orang Kristen! Anda nggak etis berlaku seperti ini, saya sudah bilang saya bukan Kristen anda tetap memberikan saya seperti ini!” Mendengar protes Budi, kedua penginjil itu bukannya minta maaf, malah membela diri dengan kalimat yang menyinggung. “Berbuat seperti ini itu bebas aja pak. Bebas bukan cuma undangannya kepada siapa saja, tapi berbuat seperti itu pun bebas,” ujar Budi menirukan. Tak maju berpolemik panjang, Budi pun meminta Satpam mall untuk mengusir kedua penginjil yang membabi-buta menyebarkan propaganda natal Kristen itu. “Akhirnya saya minta satpam di sekitar situ untuk mengusir dua orang laki-laki yang membagikan brosur itu,” ujar Budi. Budi menceritakan, bahwa dirinya sangat kesal dengan ulah para misionaris Kristen yang tak kenal etika dalam penyebaran agama kepada orang lain yang sudah beragama. Pasalnya, pengalaman jadi target kristenisasi sudah berulang kali dialaminya. Sebelumnya, pria yang sehari-hari bekerja di sebuah percetakan buku itu, pernah memprotes aksi kristenisasi di sebuah tempat dan berakhir dengan pengeroyokan oleh orang-orang Kristen berlogat Batak. Budi meminta aparat agar menindak tegas orang-orang Kristen yang melakukan kristenisasi seperti itu. “Menurut saya orang seperti ini ya harus ada jodohnya, yaitu ditindak tegas,” tuturnya kesal. Misi kristenisasi itu, jelas Budi sangat bertentangan dengan ajaran Budha. Dalam agama Budha, aksi sosial seperti pembagian sembako yang sering dilakukan di wihara, sama sekali tidak ada unsur penyebaran agama Budha. Karenanya, dalam acara pembagian sembako di wihara-wihara Budha dilakukan secara terang-terangan dan bisa dipantau oleh siapapun. “Ajaran Budha tidak seperti itu, saya juga pernah ikut, itu benar-benar dibagikan, sudah. Satu kali pun kita tidak pernah mengajak mereka berdoa, jadi kita murni kemanusiaan, boleh dicek,” jelasnya. Menanggapi kasus kristenisasi kepada umat Budha itu, Ustadz Abu Al -Izz, menegaskan bahwa dirinya tidak heran jika bukan hanya umat Islam yang resah dengan maraknya kristenisasi, tapi juga umat lain seperti mereka yang beragama Budha. “Realitas ini menunjukkan bahwa gerakan kristenisasi itu telah membabi buta terhadap setiap yang berbeda dengan keyakinan mereka. Sehingga yang terancam dengan masalah ini bukan hanya umat Islam tapi juga umat-umat yang lain,” tuturnya Ketua Umum Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) itu kepada voa-islam.com, Senin pagi (12/12/2011). Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini menilai, dengan banyaknya kasus kristenisasi di lapangan, membuktikan bahwa para misionaris Kristen tidak menghargai pluralitas. “Umat Kristen ini tidak menghargai pluralitas, bahkan telah mencederainya. Sementara ketika mereka punya misi mereka minta kita untuk menghargai toleransi. Semua itu maknanya hanya sebuah kedok, sebuah tipuan karena mereka ingin melakukan pemberangusan terhadap perbedaan-perbedaan keyakinan yang ada itu,” tutupnya. [ahmed widad]

Minggu, 18 Desember 2011

kebahagiaan itu TIDAK SEMU

Jane-Alter Berakhir Bahagia Andi Saputra - detikNews Senin, 19/12/2011 10:52 WIB Jakarta - Masih ingat kasus pernikahan Jane dan Alter? Baru saja Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi yang ditempuh jaksa dalam kasus pemalsuan surat dan keterangan palsu dengan terdakwa Alterina Hofan. Dengan penolakan kasus ini, maka kisah cinta Alterina Hofan-Jane Deviyanti Hadipoespito berakhir bahagia. "Menolak kasasi jaksa," demikian bunyi putusan MA yang dilansir situs resmi MA, Senin, (19/12/2011) Putusan ini di putus oleh ketua majelis hakim agung Mansur Kartayasa dan hakim agung anggota Sri Murwahyuni, dan R. Imam Harjadi. Putusan bernomor 704 K/PID/2011 di putus dalam sidang majelis pada 31 Mei 2011. "Kasus ini terkait pasal keterangan palsu," terang Mansur. Seperti diketahui, Alterina telah menikah dengan seorang perempuan bernama Jane Devianti di Amerika Serikat pada 9 September 2008. Sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Jane, dia mengaku bahagia hidup dengan Alterina. Lagipula, perubahan status kelamin Alterina menjadi laki-laki telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jayapura berdasarkan penetapan No 12/Pdt.P/2010/PN.JPR. tanggal 29 Maret 2010. Namun pihak keluarga jane tidak terima dan melaporkan kasus tersebut ke polisi. Namun oleh PN Jaksel, Alterina divonis lepas dari segala tuntutan. Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Sudarwin menyatakan meskipun perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi apa yang dilakukan Alterina bukan tindak pidana. (asp/anw)

Senin, 12 Desember 2011

STOP ramalan KIAMAT

William Miller is perhaps the most famous false prophet in history. In the 1840s he began to preach about the world's end, saying Jesus Christ would return for the long-awaited Second Coming and that Earth would be engulfed in fire sometime between March 21, 1843, and March 21, 1844. He circulated his message in public gatherings and by using the technologies of the day — posters, printed newsletters and charts. Moved by those messages, as many as 100,000 "Millerites" sold their belongings between 1840 and 1844 and took to the mountains to wait for the end. When that end didn't come, Miller changed the date to Oct. 22. When Oct. 23 rolled around, his loyal followers explained it away yet again and went on to form the Seventh-day Adventist movement. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072697,00.html #ixzz1gK4ZqW75 Harold Camping's prediction that the world will end Saturday, May 21, 2011, is not his first such prediction. In 1992, the evangelist published a book called 1994?, which proclaimed that sometime in mid-September 1994, Christ would return and the world would end. Camping based his calculations on numbers and dates found in the Bible and, at the time, said that he was "99.9% certain" that his math was correct. But the world did not end in 1994. Nor did it end on March 31, 1995 — another date Camping provided when September 1994 passed without incident. "I'm like the boy who cried wolf again and again and the wolf didn't come," Camping told the San Francisco Chronicle in 1995. "This doesn't bother me in the slightest." Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072703,00.html #ixzz1gK4gMDRb The year 2012 means many things to many people, few of which bring good news. A New Age belief cites 2012 as the year humans will undergo a physical and spiritual transformation, while some people predict that sometime that year, Earth will collide with a black hole or a planet named Nibiru. But perhaps the most popular belief is attributed (falsely, many scholars argue) to the Mesoamerican Long Count calendar from the ancient Mayan civilization. Interpretations suggest that the fourth world, in which we live now, will end on Dec. 21, 2012. This belief inspired the disaster movie 2012 starring John Cusack, in which a tsunami tosses the aircraft carrier U.S.S. John F. Kennedy onto Washington, crushing the White House and killing the President (played by Danny Glover). Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072704,00.html #ixzz1gK4lnx9Q Just before sunset on Feb. 28, 1963, residents of northwestern Arizona watched what the Arizona Republic called a "strikingly beautiful and mysterious cloud" glide across the desert. That same day, Pentecostal pastor William Branham — who founded the post–World War II faith-healing movement — climbed Sunset Mountain and claimed he met with seven angels who revealed to him the meaning of the seven seals from the Book of Revelation. Days later, Branham returned to his congregation at the Branham Tabernacle in Jeffersonville, Ind. He preached seven sermons in seven nights, explaining the meaning of the seals and the seven visions he had received, leading him to predict that Jesus would return to Earth in 1977. He did not live to see the day. In December 1965, as Branham was driving with his family in Texas, a drunk driver smashed into his car. Branham died six days later, on Christmas Eve. View the full list for "Top 10 End-of-the-World Prophecies" Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072684,00.html #ixzz1gK4rpvwc In the tumultuous years that followed the Protestant Reformation, myriad radical sects emerged, preaching an apocalyptic, millenarianist creed that perturbed even theological dissidents like Martin Luther. The Anabaptists derived their name from the Latin for "one who baptizes over again" and rejected most forms of political organization and social hierarchy in favor of an idealized theocratic commonwealth. In the 1530s, riding on a crest of peasant revolts, a clutch of Anabaptists assumed control of the German town of Munster and hailed it as a New Jerusalem awaiting the return of Christ. But the situation in Munster was far from the ideal Christian commonwealth. Jan Bockelson, a tailor from the Dutch city of Leiden, declared himself the "Messiah of the last days," took multiple wives, issued coins that prophesied the coming apocalypse and in general made life hell for everyone in the city (except for a few fellow proselytizers who lived lavishly — and, according to some accounts, in a great state of debauch). The Anabaptists' hold over Munster ended in a bloody siege in 1535. Bockelson's genitals reportedly were nailed to the city's gates. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072746,00.html #ixzz1gK4xEBd5 If you follow Hal Lindsey, you've probably changed the "end of the world" date in your calendar several times. His Late Great Planet Earth, which was the best-selling nonfiction book of the 1970s, predicted that the world would end sometime before Dec. 31, 1988. He cited a host of world events — nuclear war, the communist threat and the restoration of Israel — as reasons the end times were upon mankind. His later books, though less specific, suggested that believers not plan on being on Earth past the 1980s — then the 1990s and, of course, the 2000s. But Lindsey did more than just wrongly predict the end of days; he popularized a genre of prophecy books. Adding stock to Lindsey's original claim, Edgar Whisenant published a book in 1988 called 88 Reasons Why the Rapture Will Be in 1988, which sold some 4.5 million copies. Whisenant once famously said, "Only if the Bible is in error am I wrong." When 1989 rolled around, a discredited Whisenant published another book, saying the Rapture would occur that year instead. It did not sell as well, nor did later titles that predicted the world would end in 1993 and again in 1994. The genre's most popular tales are in the Left Behind series, written by Tim LaHaye and Jerry Jenkins, which, though they do not predict an end date, provide a vivid fictional account of how Earth's final days could go. The 16 novels have sold more than 63 million copies worldwide. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072696,00.html #ixzz1gK540diM It was the day that was supposed to finally prove what Luddites and other tech haters had been saying for so long: computers — not sin or religious prophecy come true — will bring us down. For months before the stroke of midnight on Jan. 1, 2000, analysts speculated that entire computer networks would crash, causing widespread dysfunction for a global population that had become irreversibly dependent on computers to hold, disseminate and analyze its most vital pieces of information. The problem was that many computers had been programmed to record dates using only the last two digits of every year, meaning that the year 2000 would register as the year 1900, totally screwing with the collective computerized mind. But it just wasn't so. Aside from a few scattered power failures in various countries, problems in data-transmission systems at some of Japan's nuclear plants (which did not affect their safety) and a temporary interruption in receipt of data from the U.S.'s network of intelligence satellites, the new year arrived with nothing more than the expected hangover. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072599,00.html #ixzz1gK5A4sP3 David Koresh led his Branch Davidian sect, an unsanctioned offshoot of the Seventh-day Adventist Church, to its doom in a compound near Waco, Texas, in 1993. How did he do that? He convinced his followers that he was Christ and that they should hole up at what was called the Mount Carmel Center to prepare for the end of the world. Their ideas were based on the beliefs of an earlier Adventist splinter group. When authorities learned that the Branch Davidians were allegedly holding a trove of weapons on the site and that there were possibly instances of abuse of women and children, the Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives executed a search on the compound in February 1993. The Davidians fought back; four agents were killed as well as six members of the sect. Koresh persuaded his followers to remain at Mount Carmel and refuse to surrender. For 50 days, a tense standoff ensued. On April 19, the FBI stormed the compound, a fire erupted (the source of which is still debated), and dozens of Davidians, including Koresh, died in the building. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072680,00.html #ixzz1gK5FlHdQ The onset of World War I freaked a lot of people out. But it was especially trippy for the Zion's Watch Tower Tract Society, a group that's now called Jehovah's Witnesses. The society's founder, Charles Taze Russell, had previously predicted Christ's invisible return in 1874, followed by anticipation of his Second Coming in 1914. When WW I broke out that year, Russell interpreted it as a sign of armageddon and the upcoming end of days or, as he called it, the end of "Gentile times." History proved otherwise. Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072682,00.html #ixzz1gK5L8pSS In the Christian tradition, the number 666 is described as the "mark of the beast" in the Bible's Book of Revelation. So it was no surprise that Europeans worried as the year 1666 approached. It didn't help that the year before, a plague had wiped out about 100,000 people, a fifth of London's population, leading many to predict the end of times. Then on Sept. 2, 1666, a fire broke out in a bakery on London's Pudding Lane. The fire spread and over three days burned more than 13,000 buildings and destroyed tens of thousands of homes. But in the end, fewer than 10 people perished in the blaze, which, while catastrophic, was not the end of the world Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072707,00.html #ixzz1gK5WvPvR

Rabu, 07 Desember 2011

cerdaS, gauL ... $14L

Jumat, 09/12/2011 16:02 WIB Tewas Ditusuk, Christopher Terus Genggam BlackBerry Pemberian Sang Ayah Rivki - detikNews Jakarta - BlackBerry tipe Onyx terus digenggam Christopher Melky Tanujaya meski dihujani tikaman dari Abdul Jalil (24). Peraih juara Olimpiade Matematika 2009 tingkat SMP ini mempertahankan HP pemberian ayahandanya, Sephanus Hans Tanujaya, hingga akhir hayatnya. Kapolres Jakarta Utara, Kombes Pol Andap Budhi, menceritakan kejadian itu berawal saat Christopher turun dari Halte TransJakarta Penjaringan, Jakarta Utara pada Senin 5 Desember 2011 pukul 18.45 WIB. Ia ingin mengunjungi rumah kakeknya yang tinggal di Pluit Barat III nomor 2. Christopher berjalan kaki sambil memainkan handphone BlackBerry tipe Onyx warna putih. Bersamaan dengan itu, kata Andap, pelaku Abdul Jalil alias Adul alias Ayup membuntuti Christopher kurang lebih sekitar 200 meter di Jalan Pluit Selatan I, persis di depan SDN 01 Pluit. Situasi saat itu sepi dan jalanan gelap. Abdul menepuk pundak Christopher dan meminta handphone Christopher. Namun, Christopher menolak dan berusaha keras menolak karena handphone tersebut dari ayahnya. "Karena handphone tidak diberikan oleh Christopher, Abdul Jalil lalu mengeluarkan pisau dapur yang diselipkan di pinggang bagian kanan. Pisau langsung ditusukkan ke leher Christopher, lalu ke pinggang kanan, serta ke pundak kiri," kata Andap di Mapolres Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, Jumat (9/12/2011). "Namun perbuatan merampas handphone tidak terlaksana karena tangan korban memegang erat BlackBerry tersebut. Berdasarkan pengakuan, pelaku cemas korban berteriak," ujar Andap. Menurut dia, Abdul Jalil lalu lari menuju rumahnya dan Christopher dibawa ke RS Atma Jaya oleh saksi mata, Setyohadi (31). Christopher akhirnya meninggal dunia. Abdul Jalil kini ditahan di Polres Jakarta Utara. "Pelaku sebelumnya sudah niat mau merampok tetapi secara random. Selasa, pelaku tidak keluar rumah," kata Andap. Ia mengatakan Abdul Jalil mencoba menghilangkan barang bukti dengan merendam bajunya yang ada noda darah. "Sehabis itu, pelaku yang tadinya berambut ikal menggunting rambutnya menjadi lebih pendek," kata dia. Abdul Jalil ditangkap di rumahnya Jalan Bakti RT 007 RW 007 nomor 23, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Kamis 8 Desember 2011 pukul 19.00 WIB. "Saat penangkapan pelaku tidak melakukan perlawanan," kata Andap. (aan/vit) Selain Cerdas, Ternyata Melky Juga Gaul Fabian Januarius Kuwado | Tri Wahono | Rabu, 7 Desember 2011 | 22:44 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Selain dikenal sebagai anak yang cerdas dan berprestasi, Christopher Melky Tanujaya, korban penusukan di daerah Pluit, Jakarta Utara dikenal para sahabat sebagai sosok yang pandai bergaul. Perilakunya yang supel menjadi kenangan tersendiri bagi para sahabatnya. "Dia baik banget, dia hebat di segala hal, pelajaran bagus, olahraga bagus, baik pula, Dia udah excellent pinternya, tapi dia masih bisa gaul, malah suka jahil," ujar Reynard (17), sahabat asrama Melky di Singapura. Indra (16) seorang teman asrama Melky lainnya menceritakan contoh kejahilan Melky pada saat ulang tahun salah seorang temannya di Puri Indah, sesaat sebelum peristiwa penusukan terjadi. "Pas makan di Hanamasa, dia ambil tiga hati sapi, terus dimakan, dia bilang belom matang, akhirnya sisa hatinya dibiarin aja gitu sampe gosong," kenangnya. Kenangan lain bersama Melky diungkapkan Indra pada saat bersama-sama di asrama St. Joseph, Singapura. "Udah gitu pas mandi di asrama, kan atasnya kebuka, dia suka siram pake air gitu," lanjutnya sambil tertawa. Indra menambahkan bahwa dirinya kerap dibantu oleh Melky dalam hal pelajaran. "Kalau kita tanya-tanya dia mau bantu, walau kita masih enggak ngerti juga, dia terus ajarin kita sampai ngerti," tambahnya. Meski hingga saat ini para sahabat masih tak percaya dengan kepergian Melky, mereka mengaku pasrah dan ikhlas dengan kejadian mengejutkan tersebut. "Ya masih nggak percaya, soalnya siang masih sama-sama malemnya udah begini, tapi ya mau gimana lagi serahin aja sama polisi karena pelakunya enggak bisa balikin dia lagi. Dia sudah seneng di sana, sudah ada tempat terbaik di sisi Tuhan," tutup Indra. Christopher Melky Tanujaya adalah pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa di St. Joseph, Singapura karena berprestasi. Ia ditusuk orang tak dikenal saat berjalan ke rumah neneknya di daerah Pluit Barat, Jakarta Utara. Melky mendapat luka tiga tusukan di leher dan satu di pundak. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di RS Atmajaya, Jakarta Utara.

Minggu, 30 Oktober 2011

emang TIDAK SESAT, tapi KENAPA?

Jemaat Gereja Yasmin: Kami Bukan Aliran Sesat "Saya menyampaikan kepada Bapak Presiden SBY, tolong kami. Kami juga warga negara." Minggu, 30 Oktober 2011, 23:35 WIB Elin Yunita Kristanti, Dwifantya Aquina VIVAnews - Para jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, hanya bisa mengiba dan menangisi peristiwa pengusiran yang dialami mereka saat beribadah, Minggu 30 Oktober. Mereka meminta perhatian dan ketegasan dari Presiden Susilo Bambang Yudhono untuk segera mengambil sikap atas konflik beragama yang telah lama membelit mereka. "Sungguh suatu hal yang menyakitkan di mana kami bertujuan ingin beribadah tapi kami dihalangi, di negara Pancasila yang warga negaranya punya hak sama, kami diperlakukan, diusir seperti binatang," ujar salah satu perwakilan jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, Dori, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Minggu, 30 Oktober 2011. Sambil terus terisak, Dori mengungkapkan keinginannya untuk bisa bebas beribadah seperti umat beragama lainnya di Indonesia seperti dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945. "Sebagai warga negara dan umat beragama, tolong suara kami didengar. Berikan kami waktu beribadah, kami bukan aliran sesat kami melakukan di jalur hukum yang benar," tuturnya terbata-bata. Dia meminta Presiden SBY untuk menegakkan hukum, dan memohon kebijaksanaan untuk tidak melakukan diskriminasi kepada para jemaat GKI Taman Yasmin. "Saya menyampaikan kepada Bapak Presiden SBY, tolong kami. Kami juga warga negara seperti lainnya, berhak untuk hidup di negara kami sendiri, hidup di rumah kami. Tolong perlakukan kami seperti rakyat yang lain, dengarlah jeritan hati kami," kata dia. "Ini hanya contoh kecil dari rakyat lain yang diperlakukan tidak adil. Kasih Tuhan menyertai kepemimpinan bapak SBY, Gubernur Jabar dan Walikota Bogor," imbuhnya. Sebelumnya, Minggu tadi, pengusiran jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, kembali terjadi untuk kesekian kalinya. Hal ini terjadi usai sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Forum Komunikasi Muslim Indonesia (FORKAMI) berusaha menghentikan kegiatan ibadah para jemaat GKI Taman Yasmi dengan cara intoleran. Sejumlah Satuan Polisi Pamong Praja kota Bogor berjaga di depan GKI Taman Yasmin, menghalangi para jemaat untuk tidak beribadah di sana. Sementara, para jemaat bersikeras melakukan ibadah dengan berdoa di trotoar. Kericuhan nyaris terjadi dalam insiden itu. • VIVAnews

Kamis, 27 Oktober 2011

Isteri-isterinya ITU

Kamis, 27/10/2011 14:00 WIB Istri Pertama & Kedua Kiwil Tak Pernah Akur Herianto Batubara - detikhot Jakarta Istri kedua Kiwil Meggy Wulandari selalu kesal dengan sikap istri pertama sang suami, Rohimah. Bahkan, Meggy mengaku tak pernah akur dengan Rohimah selama delapan tahun. "Aku sama mbak Rohimah tidak akan pernah bisa akur. Kalau nanti terlalu dekat disalahgunakan," ujar Meggy saat ditemui di Cibubur belum lama ini. Meggy pun mengungkapkan kalau dirinya selalu menghindar dari Rohimah. Ia pun tak tertarik untuk menjalin komunikasi dengannya. "Selama ini ya kita masing-masing saja, seperti punya dua keluarga," jelasnya. Namun, saat ini, Meggy tak mau terlalu memikirkan hal itu. Ia hanya berharap Rohimah bisa menjaga Kiwil dengan baik. "Semoga mbak Rohimah bisa menjaga mas Kiwil dengan sebaik-baiknya supaya tidak ada Magi-Magi yang lain," tandasnya. (hkm/hkm)

Kamis, 08 September 2011

GOD ONLY KNOWs

Hanya Tuhan yang Bisa Menilai Keimanan Seseorang Ilham Khoiri | Robert Adhi Ksp | Jumat, 9 September 2011 | 07:10 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat menolak campur tangan negara dan institusi lain di luar agama dalam soal keyakinan karena itu merupakan urusan privat. Hanya Tuhan yang dianggap sebagai satu-satunya yang berwewenang meminta pertanggungjawaban dari keimanan seseorang. Demikian salah satu kesimpulan survei opini publik ”Keberagaman Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah” oleh Setara Institute yang disampaikan di Jakarta, Kamis (8/9). Acara itu dihadiri Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, Wakil Ketua Setara Bonar Tigor Naipospos, dan peneliti Ismail Hasani. Survei melibatkan 3.000 responden dengan teknik random/acak. Penelitian tersebar di 47 kabupaten/ kota di 10 provinsi pada 10-15 Juli 2010. Hasil survei itu menunjukkan, masyarakat menempatkan keimanan seseorang dalam beragama sepenuhnya bersifat privat. Dengan begitu, tidak seorang atau kelompok mana pun yang dapat meminta pertanggungjawaban keimanan seseorang. Sikap ini didukung oleh mayoritas (72,6 persen) responden. Mereka menolak upaya sekelompok orang yang meminta pertanggungjawaban atas keimanan seseorang. Hanya sebagian kecil (12,8 persen) yang mendukung upaya itu. Mayoritas (89,8 persen) responden juga berpandangan bahwa hanya Tuhan sebagai satu-satunya pihak yang memiliki hak mutlak dan eksklusif untuk meminta pertanggungjawaban atas keimanan seseorang. Hanya sedikit (4,2 persen) responden yang memperbolehkan pihak selain Tuhan yang meminta pertanggungjawaban keimanan itu. Selain itu, sebagian besar (39 persen) responden beranggapan, semua agama menjamin keselamatan bagi pemeluknya. Sekitar 29 persen responden berpendirian, hanya agama yang dianut yang dapat memberikan jaminan keselamatan. Menurut Bonar Tigor Naipospos, hasil survei bagian ini menggambarkan bahwa secara umum masyarakat masih mendukung kebebasan beragama dan antikekerasan dalam penyebaran agama. Masyarakat juga menolak campur tangan negara dan institusi di luar agama dalam soal keyakinan. ”Jadi, sebenarnya masih ada toleransi antarumat beragama di tingkat masyarakat bawah di Indonesia. Ini merupakan modal sosial yang baik untuk terus dikembangkan ke depan,” katanya.

Rabu, 07 September 2011

Cybertheology, Jesus says

What would Jesus hack? Cybertheology: Just how much does Christian doctrine have in common with the open-source software movement? Sep 3rd 2011 | from the print edition the economist “THE kingdom of heaven belongs to such as these,” Jesus said of little children. But computer hackers might give the kids some competition, according to Antonio Spadaro, an Italian Jesuit priest. In an article published earlier this year in La Civiltà Cattolica, a fortnightly magazine backed by the Vatican, entitled “Hacker ethics and Christian vision”, he did not merely praise hackers, but held up their approach to life as in some ways divine. Mr Spadaro argued that hacking is a form of participation in God’s work of creation. (He uses the word hacking in its traditional, noble sense within computing circles, to refer to building or tinkering with code, rather than breaking into websites. Such nefarious activities are instead known as “malicious hacking” or “cracking”.) Mr Spadaro says he became interested in the subject when he noticed that hackers and students of hacker culture used “the language of theological value” when writing about creativity and coding, so he decided to examine the idea more deeply. The hacker ethic forged on America’s west coast in the 1970s and 1980s was playful, open to sharing, and ready to challenge models of proprietary control, competition and even private property. Hackers were the origin of the “open source” movement which creates and distributes software that is free in two senses: it costs nothing and its underlying code can be modified by anyone to fit their needs. “In a world devoted to the logic of profit,” wrote Mr Spadaro, hackers and Christians have “much to give each other” as they promote a more positive vision of work, sharing and creativity. He is not the only person to see an affinity between the open-source hacker ethos and Christianity. Catholic open-source advocates have founded a group called Elèutheros to encourage the church to endorse such software. Its manifesto refers to “strong ideal affinities between Christianity, the philosophy of free software, and the adoption of open formats and protocols”. Marco Fioretti, co-founder of the group, says open-source software teaches the “practical dimension of community and service to others that is already in the church message”. There are also legal motivations. Commercial software such as Microsoft Word is widely pirated in many parts of the world, by Catholics as well as others. Mr Fioretti advocates the use of open-source software instead, because he doesn’t want people “to violate a law without any real reason, just to open a church document”. Although the Vatican has yet to encourage the faithful to live like hackers, it has praised the internet as “truly blessed” for its ability to connect people and share information. The pope has even joined Twitter. But praise has always been tempered by warnings. As early as 2002, for instance, the Vatican’s “Church and Internet” document cautioned that “there are no sacraments on the internet” and worried about the solipsistic appeal of technology. Moreover, hackers in particular have problematic traits from the perspective of the Catholic church, such as a distrust of authorities and scepticism toward received wisdom. And the idea of tweaking source materials to fit one’s needs doesn’t mesh well with the Catholic emphasis on authority and tradition. Cathedrals and bazaars Mr Spadaro recognises these tensions but finds them manageable. Not everyone agrees. Eric Raymond, author of a classic essay on open-source software, “The Cathedral and the Bazaar”, finds it hard to believe that some Christians want to canonise the hacker mindset. After being quoted in Mr Spadaro’s paper, Mr Raymond took to his own website to note that he had deliberately equated cathedrals with proprietary, closed-source software directed from above, by contrast with the more chaotic bazaar of equals which produces open-source code. “Cathedrals—vertical, centralising religious edifices imbued with a tradition of authoritarianism and ‘revealed truth’—are the polar opposite of the healthy, sceptical, anti-authoritarian nous at the heart of the hacker culture,” Mr Raymond declared. As for Mr Spadaro’s ideas, they possessed a “special, almost unique looniness”. But Mr Spadaro is merely the latest to link coding with Christian attitudes towards creativity and sharing. Don Parris, a North Carolina pastor, wrote an article in Linux Journal in 2004 in which he argued that “proprietary software limits my ability to help my neighbour, one of the cornerstones of the Christian faith.” Larry Wall, the creator of Perl, an open-source programming language, said in an interview a decade ago that God expects humans to create—and to help others do so. Mr Wall said he saw his popular language as just such a prod to creation, saying, “In my little way, I’m sneakily helping people understand a bit more about the sort of people God likes.” More recently Kevin Kelly, co-founder of Wired magazine and author of “What Technology Wants”, published last year, has argued that creation can go further in code. Whereas a novelist can craft a new world, coders can build worlds complete with artificial agents that exist and evolve outside the creator’s mind. Mr Kelly takes literally the words of his friend Stewart Brand, whose “Whole Earth Catalog” quipped, “We are as gods and might as well get good at it.” Mr Kelly, a Christian, says the ability to create artificial life will come with great parental responsibility and suggests that artificial worlds will need to be imbued with moral value. “This causes a kind of revival of religion,” he says, “because religion has been thinking about this issue.” From the outside, hacking computer code has largely been viewed as a technical discipline, not as a theologically rich vision of how to live. But some see a divine aspect to programming—at least when looking with the eye of faith. from the print edition | Technology Quarterly

Rabu, 24 Agustus 2011

korban perkosaan ITU KORBAN KEKUASAAN

August 24, 2011
After Strauss-Kahn, Fear of Rape Victim Silence
By CARA BUCKLEY

She seemed to be the perfect witness. She came forward right away, disclosing detail after damning detail of a sexual attack that, backed by forensic evidence, seemed airtight. She stuck to her story. But then her case fell apart after prosecutors questioned her credibility. The charges against the man she accused, Dominique Strauss-Kahn, were dropped.

Now, rape victims, women’s rights advocates, detectives and prosecutors are sifting through the wreckage of the case of the accuser, Nafissatou Diallo, trying to determine what it will mean for rape cases — already among the most delicate in the criminal justice system — in the days and months to come.

Advocates for domestic violence victims said women who are raped would almost certainly be more fearful of stepping forward, knowing that everything in their past may be exposed; indeed, reporting of rapes usually drops in the aftermath of high-profile sexual assault cases. This reluctance, experts said, will be heightened for new immigrants, who are already fearful of authority, often fleeing a sexually violent past.

“This is going to twist and turn things around,” said Susan Xenarios, head of the Crime Victims Treatment Center at St. Luke’s-Roosevelt Hospital Center.

Other advocates said the dismissal relayed a chilling message that rich and powerful men were more likely to get away with sexual assaults. Still others said the facts of the Strauss-Kahn case were unique unto themselves.

Experts said rape crisis centers usually see a drop in reported cases in the aftermath of high-profile sexual assault cases, especially those in which the prosecution failed, like the case against Duke University lacrosse players; the recent acquittal, on the most serious charges, of two New York police officers who visited a drunk woman repeatedly in her apartment; and the William Kennedy Smith case in the 1990s.

More rapes go unreported than not: according to the Rape, Abuse and Incest National Network, 6 in 10 sexual assaults are not reported, and just 6 percent of rapists serve jail time.

Michael J. Palladino, president of the Detectives’ Endowment Association, said the publicity of this case would unquestionably be a deterrent for some women. “I’m sure some will hesitate,” he said. “They’re really dragged through the mud, and they’re victimized a second time.”

That thought was echoed by Richard Emery, a longtime civil rights lawyer, who said: “The victim is terribly, terribly tortured, at every level. First by the crime itself. And secondly by the system. There’s no escaping.”

Lynn Hecht Schafran, senior vice president of Legal Momentum, a nonprofit legal advocacy organization for women and girls, said the Diallo case did have its uncommon aspects. The Manhattan district attorney’s office, she noted, went to “unique lengths” to explain its reasoning in dropping the case. The unusual background, including prosecutors’ contention that Ms. Diallo repeatedly lied about her past, should not be a deterrent to other women, she said.

“Victims do not have to be pristine to be believed in court,” Ms. Schafran said.

None of the women’s advocates interviewed expressed doubt in Ms. Diallo’s claim that she was assaulted. And they said her initial account of a gang rape in her home country — which she later admitted was false, contributing to the undoing of her case — could be explained by her anguished state and troubled past, several advocates said.

Dorchen A. Leidholdt, director of the center for battered women’s legal services at the Sanctuary for Families, a nonprofit group that works with victims of domestic violence, noted that a vast majority of Guinean immigrant women had suffered from female genital mutilation and were often forced into an early marriage.

“Erratic responses are something that we see over and over again,” Ms. Leidholdt said. “Her behavior was consistent with a trauma victim.”

Women from tightly knit West African communities in New York were especially focused on the dismissal, saying it lent credence to entrenched beliefs that governed behaviors and attitudes among Muslim immigrants here: that in the event of a sexual attack, a woman is still to blame.

“In Africa, if something happens to you, you have to shut your mouth,” said a 35-year-old former saleswoman from West Africa, who left a job as a home attendant after a charge in her care made sexual advances, and who did want her name published for fear of community retribution. “But when you come here from Africa, you think that there’s protection for women’s rights.”

Still, several women said they were inspired by Ms. Diallo.

A 23-year-old graduate student who is from Guinea and lives in the Bronx said Ms. Diallo’s allegations emboldened her to lodge a complaint against a professor who had made sexual advances and offered her a higher grade if she complied. The woman, who requested anonymity for fear of community stigmatization, was raped by a family member years ago, she said, yet until recently never told a soul. She said the dismissal in the Diallo case suggested to her that people in power would always be protected.

“I feel more vulnerable,” she said.

As for Ms. Diallo, the young graduate student said the former hotel worker had already been ostracized among New York’s Guineans for being an “unlucky woman.”

“This situation,” the young woman said, “is going to make things worse.”

Kamis, 18 Agustus 2011

PEREMPUAN ASIA: lebih bebas

Asia's lonely hearts
Women are rejecting marriage in Asia. The social implications are serious
the economist
Aug 20th 2011 | from the print edition

TWENTY years ago a debate erupted about whether there were specific “Asian values”. Most attention focused on dubious claims by autocrats that democracy was not among them. But a more intriguing, if less noticed, argument was that traditional family values were stronger in Asia than in America and Europe, and that this partly accounted for Asia’s economic success. In the words of Lee Kuan Yew, former prime minister of Singapore and a keen advocate of Asian values, the Chinese family encouraged “scholarship and hard work and thrift and deferment of present enjoyment for future gain”.

On the face of it his claim appears persuasive still. In most of Asia, marriage is widespread and illegitimacy almost unknown. In contrast, half of marriages in some Western countries end in divorce, and half of all children are born outside wedlock. The recent riots across Britain, whose origins many believe lie in an absence of either parental guidance or filial respect, seem to underline a profound difference between East and West.

Yet marriage is changing fast in East, South-East and South Asia, even though each region has different traditions. The changes are different from those that took place in the West in the second half of the 20th century. Divorce, though rising in some countries, remains comparatively rare. What’s happening in Asia is a flight from marriage (see article).

Marriage rates are falling partly because people are postponing getting hitched. Marriage ages have risen all over the world, but the increase is particularly marked in Asia. People there now marry even later than they do in the West. The mean age of marriage in the richest places—Japan, Taiwan, South Korea and Hong Kong—has risen sharply in the past few decades, to reach 29-30 for women and 31-33 for men.

A lot of Asians are not marrying later. They are not marrying at all. Almost a third of Japanese women in their early 30s are unmarried; probably half of those will always be. Over one-fifth of Taiwanese women in their late 30s are single; most will never marry. In some places, rates of non-marriage are especially striking: in Bangkok, 20% of 40-44-year old women are not married; in Tokyo, 21%; among university graduates of that age in Singapore, 27%. So far, the trend has not affected Asia’s two giants, China and India. But it is likely to, as the economic factors that have driven it elsewhere in Asia sweep through those two countries as well; and its consequences will be exacerbated by the sex-selective abortion practised for a generation there. By 2050, there will be 60m more men of marriageable age than women in China and India.

The joy of staying single

Women are retreating from marriage as they go into the workplace. That’s partly because, for a woman, being both employed and married is tough in Asia. Women there are the primary caregivers for husbands, children and, often, for ageing parents; and even when in full-time employment, they are expected to continue to play this role. This is true elsewhere in the world, but the burden that Asian women carry is particularly heavy. Japanese women, who typically work 40 hours a week in the office, then do, on average, another 30 hours of housework. Their husbands, on average, do three hours. And Asian women who give up work to look after children find it hard to return when the offspring are grown. Not surprisingly, Asian women have an unusually pessimistic view of marriage. According to a survey carried out this year, many fewer Japanese women felt positive about their marriage than did Japanese men, or American women or men.

At the same time as employment makes marriage tougher for women, it offers them an alternative. More women are financially independent, so more of them can pursue a single life that may appeal more than the drudgery of a traditional marriage. More education has also contributed to the decline of marriage, because Asian women with the most education have always been the most reluctant to wed—and there are now many more highly educated women.

No marriage, no babies

The flight from marriage in Asia is thus the result of the greater freedom that women enjoy these days, which is to be celebrated. But it is also creating social problems. Compared with the West, Asian countries have invested less in pensions and other forms of social protection, on the assumption that the family will look after ageing or ill relatives. That can no longer be taken for granted. The decline of marriage is also contributing to the collapse in the birth rate. Fertility in East Asia has fallen from 5.3 children per woman in the late 1960s to 1.6 now. In countries with the lowest marriage rates, the fertility rate is nearer 1.0. That is beginning to cause huge demographic problems, as populations age with startling speed. And there are other, less obvious issues. Marriage socialises men: it is associated with lower levels of testosterone and less criminal behaviour. Less marriage might mean more crime.

Can marriage be revived in Asia? Maybe, if expectations of those roles of both sexes change; but shifting traditional attitudes is hard. Governments cannot legislate away popular prejudices. They can, though, encourage change. Relaxing divorce laws might, paradoxically, boost marriage. Women who now steer clear of wedlock might be more willing to tie the knot if they know it can be untied—not just because they can get out of the marriage if it doesn’t work, but also because their freedom to leave might keep their husbands on their toes. Family law should give divorced women a more generous share of the couple’s assets. Governments should also legislate to get employers to offer both maternal and paternal leave, and provide or subsidise child care. If taking on such expenses helped promote family life, it might reduce the burden on the state of looking after the old.

Asian governments have long taken the view that the superiority of their family life was one of their big advantages over the West. That confidence is no longer warranted. They need to wake up to the huge social changes happening in their countries and think about how to cope with the consequences.

Selasa, 09 Agustus 2011

CA(k)pres (1)

KAHMI & PA GMNI Usung Mahfud-Soekarwo Capres 2014?
Nurul Arifin - Okezone
Rabu, 10 Agustus 2011 03:06 wib


SURABAYA - Pertemuan sejumlah Pengurus Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA-GMNI) dengan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di rumah dinas Ketua MPR, Taufik Kiemas di Jalan Widya Chandra IV Jakarta, Senin 8 Agustus lalu, dikabarkan membahas pengusungan dua orang untuk tampil sebagai pemimpin bangsa.

Dua nama yang digadang-gadang bakal ikut meramaikan bursa Capres-Cawapres adalah Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (KAHMI) dan Soekarwo, Gubernur Jawa Timur (PA-GMNI).

Soekarwo, yang juga Ketua PA-GMNI ketika dikonfirmasi membenarkan pertemuan tersebut. Menurutnya, pertemuan atas inisiatif dari KAHMI di kediaman Taufiq Kiemas yang juga anggota Dewan Kehormatan PA-GMNI.

"Sebenarnya undangannya hanya 400 orang, tapi yang hadir sampai 800 orang. Sebab, tokoh-tokoh Cipayung yang sekarang tersebar di berbagai partai politik dan lembaga negara juga ikut hadir," kata Soekarwo kepada wartawan di sela-sela acara buka puasa bersama dengan sejumlah partai politik Jawa Timur di Kantor DPW PKS Jatim, Jalan Gayung Sari, Surabaya, Selasa (9/8/2011).

Pria yang akrab disapa Pak Dhe ini berkilah, pertemuan hanyalah silaturrahim yang dikemas dalam bentuk buka puasa bersama. Namun tidak menutup kemungkinan dari pertemuan itu tercetus ide-ide segar untuk memikirkan nasib bangsa ini ke depan. Sebab, beberapa tokoh yang hadir dipertemuan itu adalah dari berbagai bidang dan profesi.

Ia menyebut beberapa tokoh yang hadir dalam acara tersebut adalah Akbar Tanjung anggota Dewan Pembina Partai Golkar, Siswono Yudhohusodo mantan menteri pertanian, Taufik Kiemas Ketua MPR RI, Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Viva Yoga Mauladi Wakil Ketua FPAN DPR RI dan Ja'far Hafsah Ketua FPD DPR RI.

Disinggung apakah tokoh-tokoh Cipayung juga memikirkan nasib bangsa ke depan? Dengan lugas Soekarwo menjelaskan bahwa tokoh-tokoh Cipayung memang telah mengerucut dalam masalah suksesi kepemimpinan bangsa.

Intinya, mereka ingin bangsa Indonesia ke depan harus lebih baik. Karena itu harus dipimpin oleh orang-orang yang kredibel dan capabel. "Kalau itu iya, bahkan telah mengerucut bangsa ini harus dipimpin oleh kader terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia," ungkapnya.

Ketika disinggung apakah dirinya siap jika digandengkan dengan Mahfud MD dalam Pilpres 2014 mendatang. Pria berkumis ini hanya tertawa dan mengatakan siapa yang akan ditunjuk mewakili kelompok Cipayung itu belum dibahas sebab itu terlalu dini.

"Yang jelas, sekarang ini sudah tidak ada lagi politik aliran sehingga rakyat dalam menentukan pemimpinnya juga tidak harus lagi dilihat dari aliran apa, tetapi apakah dia pantas dan benar-benar mampu menerima amanat rakyat," kilah Soekarwo yang juga Ketua DPD Jatim Partai Demokrat.
(ful)

Sabtu, 06 Agustus 2011

ketiban duren jadi keren

Jumat, 05/08/2011 18:18 WIB
Dawud Bantah Darsem Ingkari Janji-janjinya
Ken Yunita - detikNews


Jakarta - Darsem dituding telah mengingkari janji-janjinya yang diungkapkan sebelum menerima dana sumbangan Rp 1,2 miliar. Namun hal itu dibantah oleh ayah Darsem, Dawud. Menurutnya, Darsem telah menepati semua janji-janjinya.

"Anak saya kan sudah memberi sumbangan ke mana-mana. Ke orang jompo, ke anak yatim sama bangun masjid. Kita sudah bagi-bagi itu," kata Dawud saat berbincang dengan detikcom, Jumat (5/8/2011).

Dawud juga mengklaim, Darsem juga telah berbagi dengan keluarga Ruyati, TKI yang dipancung di Arab Saudi. Namun mengenai jumlahnya yang hanya Rp 20 juta, Dawud enggan berkomentar banyak lagi.

"Kalau itu terserah anak saya, kan itu hak anak saya," kata Dawud.

Dawud bercerita, saat ini Darsem masih sibuk menerima wawancara para wartawan di rumah. Ke depan, Darsem ingin membuka usaha dengan uang yang diperolehnya dari sumbangan pemirsa televisi TVOne itu.

"Kita mau bikin rumah, beli sawah dan mau bikin warung di kampung saja. Belum tahu juga mau usaha apa untuk hidup ke depan," kata Dawud.

Sebelumnya pengacara Darsem, Elyasa Budianto bercerita soal sikap Darsem yang berubah setelah kaya mendadak. Elysa juga bercerita mengenai sikap tetangga Darsem yang tidak suka dengan gaya hidup ibu satu anak itu.

Setelah menerima uang Rp 1,2 miliar, penampilan Darsem menjadi penuh dengan bling-bling. Seluruh tubuh Darsem penuh dengan perhiasan emas sehingga perempuan itu mendapat julukan 'Toko Emas Berjalan'.


(ken/fay)

Kamis, 28 Juli 2011

realisme, realistis, real PRESIDENT

Jumat, 29/07/2011 08:26 WIB
Puan Maharani: Presiden 2014 Cuma dari 3 Partai
Laurencius Simanjuntak - detikNews




Manado - Ketua DPP Bidang Politik PDI Perjuangan Puan Maharani meyakini presiden selanjutnya akan berasal kader atau diusung oleh 3 partai nasional, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, atau Partai Demokrat. Kepemimpinan nasional harus dipegang oleh orang-orang yang sikap politiknya tidak berlandaskan agama.

"Jadi kan sebenarnya pilihannya hanya 3, PDI Perjuangan, Golkar dan Demokrat. Golkar sudah jelas (capresnya), PDI Perjuangan belum, Demokrat belum jelas. Pasti bola ini akan muncul pada 2013," kata Puan dalam sesi wawancara khusus di sela-sela Rakornas III PDI Perjuangan, Hotel Sedona, Kamis (28/7) kemarin.

Berikut wawancara lengkap dengan Puan soal pencapresan 2014:

Ketua umum Megawati bilang pada saatnya akan membuka akses kepada kader untuk mencapreskan diri. Artinya?

Kita kan sekarang belum bicara masalah pilpres. Sekarang kita masih fokus dalam konsolidasi partai, bagaimana konsolidasi partai ini bisa menghasilkan sesuatu yang nyata jelas kepada rakyat. Kami berharap dengan instrumen kami yang ada hari ini, kepala daerah, legislatif dari tingkat pusat sampai daerah, bisa mengkontribusikan daerahnya masing-masing agar bisa mengahasilkan sesuatu yang nyata bagi rakyat. Kalau masalah presiden belum ada pembicaraan bahwa pilpres nanti siapa yang akan maju atau bagaimana dan apa, akan tergantung hasil pileg yang akan datang nanti.

Apakah pernyaataan ketua umum itu bisa ditafsirkan beliau tidak mau mencapreskan diri lagi?

Kongres III memang tidak langsung mengamatkan ketua umum otomatis menjadi calon dalam pilpres, tetapi kita memberikan semua wewenang itu kepada ketua umum, apakah ketua umum mau maju atau memberikan kesempatan dari internal untuk maju, ya itu semua kembali kepada ketua umum. Kita tidak bisa mengajukan lebih dini. Kalau dulu kan baru dua tahun aja kita sudah bilang capres kita ketum, kalau sekarang enggak. Kita pada proses internal, ketua umum-lah yang menentukan apa beliau akan maju atau memberi kesempatan pada kadernya untuk maju.

Kongres III diputuskan berbeda soal pencapresan yaitu ketum tidak otomatis capres. Apa itu karena pertimbangan kesehatan ketua umum yang saat ini berumur 64 tahun?

Kalau secara fisik ibu ketum sehat walafiat alhamdulillahirobbil alamin. Dengan kerja kepartaian saat ini kami akui ibu cukup mampu untuk melakukan kerja-kerja politik dan mobilisasi kepartaian, dalam artian tidak ada masalah sama sekali dengan kesehatan. Buktinya setiap acara konsolidasi beliau tetap hadir. Tapi kita juga harus realistis dengan dinamika yang ada nantinya. Apakah 2014 iya PDI Perjuangan akan menjadi pemenang pemilu? Apakah tidak, ini tidak bisa kita perkirakan hari ini. Survei boleh saja Demokrat nomor 1, kemudian PDI Perjuangan 2 dan Golkar 3. Namanya survei kan berkembang tiap bulan. Yang penting kesiapan secara internal untuk bisa mengusung satu calon yang secara realitsis berguna bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Jadi pertimbangannya apa?

Kita realistis melihat pada 2004 dan 2009 tidak maksimal seperti yang kami inginkan. Jadi nggak bisa juga kita maksa untuk bisa mengikuti pola yang dulu, padahal jelas-jelas dulu hasilnya tidak maksimal. Jadi itu adalah keinginan teman-teman secara sepakat dalam hasil keputusan kongres. Itu hasil evaluasi dan analisa: kenapa 2004 dan 2009 kita nggak menang. Mungkin ada sesuatu yang harus diperbaharui dan kita juga tidak bisa seolah-olah pasti menang. Kita tidak boleh seolah-olah menang padahal tidak bekerja dahulu. Karena itu hal inilah yang harus dicapai. Kerja nyata yang jelas dan diakui masyarakat bahwa PDI Perjuangan memang tidak main-main untuk memperbaiki dirinya.

Jadi PDI Perjuangan akan lebih realistis soal capres?

Apapun harus realitstis pada kondisi hari ini dan ke depan, nggak bisa juga memaksakan kondisi-kondisi yang ada, melihat dinamika waktu lalu.

Bagaimana kalau survei terhadap Megawati masih tinggi jelang Pilpres?

Justru itu realistis aja, kalau memang 2014 nanti kemudian setelah disurvei dan fakta di lapangan menginginkan bahwa Ibu Mega tidak ada yang menandingi, ya apapun kita harus sepakat. Kalau ketum akan maju, kita harus mendukung keputusan yang akan diambil dalam rapat pimpinan partai. Jadi ini artinya buka ketum mencalonkan diri, tapi atas keputusan partai yang mencalonkan ketum kami berdasar fakta-fakta di lapangan bahwa beliaulah yang mempunyai survey baik atau berpotensi untuk menang.

Apakah artinya jelang Pilpres PDI Perjuangan akan ada mekanisme soal pencapresan, seperti konvensi?

Kita tidak ada konvensi dan tidak pernah terpikir akan ada konvensi. Sesuai dengan amanat kongres, kewenang sudah diberikan sepenuhnya kepada ketum. Nanti siapa pun yang akan dipilih ataupun dipersiapkan adalah keputusan ketum yang harus disetujui semua struktural, karena kita sudah menyetujui bahwa dalam Kongres III wewenang itu ada pada ketum.

Bagaimana kalau orang yang ditunjuk elektablitasnya ternyata rendah?

Ya kita kan juga harus realistis, ketum pasti punya pertimbangan-pertimbangan memilih orang tersebut, dalam artian tentu saja kita banyak mekanisme. Kita survei juga beberapa nama. Kita juga lihat kultur PDI Perjuangan, nggak bisa juga seseorang yang pinter, berkontribusi, dan loyal kepada partai ini, otomatis akan menjadi calon yang memang dicalonkan, kalau memang struktur partai tidak menerima dia. Karena memang kulturnya beda. Kita kan memang punya kultur yang beda dengan partai-partai lain.

Apa kira-kira Megawati tertarik dengan kader di luar partai?

Saya rasa nggak mungkin, karena kita tidak memperjualbelikan partai ini keluar. Dalam artian, buat apa kita mengusung sesorang yang bukan kader partai tapi kemudian di tengah jalan saat kekuasaan itu isnya allah didapat, justru tidak memperjuangkan partai ini.

Itu pengalaman Pilkada ya?

Iya, yaiyalah. Karena tidak ada satu undang-undang yang mengikat ini. Kita juga sebagai partai nggak punya kekuatan untuk menurunkan presiden atau wapres yang kita usung (jika tidak memperjuangankan partai-red). Apakah kita akan dibiarkan, memperjualbelikan partai ini? Lalu siapa yang bertanggung jawab? Ya nggak bisa lah. Saya juga nggak setuju, kenapa harus dari orang luar? Meski tidak yang terbaik, tapi lebih baik tidak dari orang luarlah.

Jadi kapan kira-kira waktu jawaban Megawati soal kewenangan capres itu?

Kan ada kalau di partai lain kemungkinan dinamikannya semua ketua umum yang akan maju. Golkar kan sudah jelas Aburizal. Aburizal kan juga tidak akan memberikan kursinya kepada orang lain dong. Demokrat belum jelas, tetapi semua keputusan ada di SBY kan. Siapa yang berani? Apakah Anas berani bilang saya akan menjadi capres? Saya rasa nggak akan mungkin. Kalau kemudian PKS, PKS jelas strukur partai ya bergilir aja, abis dia pasti si ini. Apakah negara ini siap menerima presiden dari PKS? Ya nggak tahu juga kan, sepertinya nggak. Kita masih pluralisme lah, dalam artian siapa pun yang menjadi tangkup kepemimpinan nasional itu bukan orang yang berlandaskan agama. Agar bisa merangkul semuanya. PPP bisa aja maju, tapi kan nggak mungkin jadi RI-1, mungkin R-2. Kemarin-kemarin ada wapres Pak Hamzah Haz dari PPP, tapi kan nggak RI-1. Jadi kan sebenarnya pilihannya hanya 3, PDI Perjuangan, Golkar dan Demokrat. Golkar sudah jelas, PDI Perjuangan belum, Demokrat belum belum jelas. Pasti bola ini akan muncul pada 2013.


(lrn/anw)
Calon Presiden PDIP Tertutup Bagi Orang Luar
Kamis, 28 Juli 2011 | 17:54 WIB


TEMPO Interaktif, Manado - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak akan memberikan kesempatan kepada orang di luar partainya untuk diusung sebagai calon presiden 2014. "PDI P sama sekali tidak mau menjual partai mereka untuk mendapatkan kekuasaan," kata Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik Puan Maharani, Kamis sore, 28 Juli 2011.


Menurut Puan, tidak pernah terpikirkan oleh semua kader bahwa calon presiden dari PDIP akan diambil dari orang di luar partai. Apalagi kita tidak punya kekuatan. "Kami khawatir, calon yang kami usung dan terpilih itu mulai membelot dari tujuan utama partai. Makanya kami sama sekali menutup kemungkinan ada orang luar partai yang akan diusung,” ujar Puan.


Saat ini PDI Perjuangan belum menentukan siapa yang akan menjadi calon presiden karena sesuai dengan keputusan Kongres III lalu di Bali, posisi ketua umum tidak secara serta merta menjadi calon presiden.


Keputusan utama siapa yang akan menjadi calon presiden, lanjut Puan, masih berada di tangan ketua umum seperti mandat yang dihasilkan pada saat kongres di Bali tersebut.
“Jadi siapa saja yang akan ditunjuk oleh Ketua Umum entah orang yang telah disiapkan atau Ketua sendiri itu tergantung padanya (Megawati),” ujar Puan.


Puan sendiri mengatakan, siapa yang akan menjadi calon presiden dari PDIP akan berdasar pada hasil survey dan permintaan dari masyarakat sendiri. “Terlalu naïf ketika PDI Perjuangan mengusung calon yang sama sekali tidak diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu mekanisme penentuan calon nantinya tetap akan melihat dari keinginan masyarakat sendiri,” kata Puan.“Kalaupun ibu Megawati mau maju kembali dan didukung oleh hasil survey serta permintaan masyarakat, maka DPP akan siap mendukung penuh.”


Jadi, keputusan Megawati Soekarno Putri untuk tidak lagi maju sebagai calon Presiden pada Pemilihan Umum 2014 mendatang saat sesi konferensi pers pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional III di Manado, Rabu 27 Juli kemarin, menurut Puan, bukan keputusan final dari Megawati. "Penentuan calon presiden PDI Perjuangan nanti masih tergantung pada keputusan Ketua Umum Megawati sendiri," kata Puan.


ISA ANSHAR JUSUF

Minggu, 24 Juli 2011

mentawai TIDAK DILUPAKAN

3 Menteri Kunjungi Korban Tsunami Mentawai Hari Ini
Rus Akbar - Okezone
Senin, 25 Juli 2011 07:44 wib


PADANG – Tiga Menteri KIB II dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif akan mengunjungi Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), pagi ini.

Kunjungan tersebut untuk meninjau keadaan terkini korban dan kondisi Mentawai pasca-tsunami 25 Oktober 2010 lalu.

Menteri yang dijadwalkan tiba di Padang pagi ini adalah Menteri Koordinator Kesejahtraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Mereka dijadwalkan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sekira pukul 08.00 WIB.

"Rombongan menteri akan didampingi Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim ke Mentawai menggunakan pesawat Susi Air dari BIM. Dalam kunjungan itu, rombongan menteri akan meninjau satu atau dua lokasi Hunian Sementara pengungsi Tsunami Mentawai di Pagai Utara dan Pagai Selatan,” ujar staf Humas Pemprov Sumbar, Zardi Syahrir, kepada okezone, Senin (25/7/2011).

Sekadar diketahui, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencanan Daerah (BPBD) Sumbar terdapat 2.072 kepala keluarga (KK) yang saat ini bermukim di Huntara.

Tahun ini, rencananya pemerintah akan mengucurkan bantuan tahap I senilai Rp400 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan Hunian Tetap (Huntap) bagi korban tsunami Mentawai. (put)

Selasa, 19 Juli 2011

keyakinan itu TIDAK BISA MEYAKINKAN (2)

Gereja Disegel, Jemaat GKI Yasmin Ngadu ke DPR
Ferdinan - Okezone
Selasa, 19 Juli 2011 16:02 wib


JAKARTA - Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor mengadu ke Komisi Hukum DPR. Jemaat mengeluhkan penyegelan rumah ibadah mereka oleh Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat.

Juru bicara yang juga kuasa hukum GKI Yasmin, Jayadi Damanik, menyebut Wali Kota Bogor Diani Budiarto telah melawan putusan Mahkamah Agung Nomor 127/PK/TUN/2009 yang telah mencabut pembekuan IMB GKI Yasmin.

"Masalah pokok, pembangkangan yang dipertontonkan pemerintah kota bogor yakni Wali Kota Bogor. Beliau tidak melaksanakan keputusan hukum tetap dalam perkara sengketa izin pendirian gereja Yasmin," kata Jayadi di ruang Komisi Hukum Gedung DPR, Jakarta, Selasa (19/7/2011).

Pembangkangan Wali Kota Bogor ini membuat umat kristiani tidak lagi terjamin haknua untuk menjalankan ibadah. "Kami ingin polisi menjamin hak kami menjalani ibadah setiap hari Minggu. Sejak 11 April 2010 dengan sangat terpaksa jemaat menjalani ibadah di pinggir jalan," sesal Jayadi.

Sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mendesak pimpinan komisi memanggil Wali Kota Bogor untuk menjelaskan perijinan ibadah GKI Yasmin.

"Kita minta pimpinan memanggil Wali Kota karena jelas ada pembakangan. Kebebasan beribadah merupakan hak semua warga negara," kata Ahmad Basarah, politikus PDI Perjuangan.

(teb)

Senin, 18 Juli 2011

media, kejahatan, dan kematian (MEDIA, CRIME and DEATH)

Selasa, 19/07/2011 09:11 WIB
Whistleblower Skandal Penyadapan Telepon di Inggris Meninggal
Nurul Hidayati - detikNews



London - Terkuaknya skandal penyadapan telepon oleh tabloid terlaris Inggris, News of the World (NOTW) tak lepas dari peran si peniup peluit (whistleblower), Sean Hoare. Mantan jurnalis NOTW itu ditemukan meninggal di rumahnya hari Senin (18/7).

AFP edisi Selasa (19/7/2011) melaporkan, polisi menyatakan tak ada yang mencurigakan atas kematian Hoare.

Dalam interview dengan koran The New York Times dan BBC tahun lalu, Hoare menduga mantan editor NOTW, Andy Coulson, yang kemudian menjadi kepala pers Perdana Menteri David Cameron, mengetahui tentang praktik peretasan kotak suara (voicemail) ponsel.

Menurut Polisi Hertfordshire, Hoare yang berusia 47 tahun, ditemukan meninggal di rumahnya di Watford, utara London.

"Pada pukul 10.40 pagi polisi dipanggil ke Langley Road, Watford, terkait kekhawatiran pada keselamatan seorang pria yang tinggal di sebuah alamat di jalan itu," demikian statemen polisi.

"Setelah polisi dan ambulans tiba di TKP, jenazah seorang pria ditemukan. Pria itu dinyatakan meninggal di tempat kejadian sesaat setelah itu," imbuhnya.

Polisi tidak menjelaskan penyebab kematian Hoare. "Tetapi tidak dianggap mencurigakan," tegasnya. Penyelidikan atas insiden itu masih berlangsung. Koran Guardian menulis Hoare memiliki masalah minuman keras dan narkoba.

Semasa hidupnya, Hoare mengklaim Andy Coulson tahu kegiatan stafnya dalam meretas voicemail untuk mendapatkan berita eksklusif. "Setiap orang melakukan itu," ujarnya pada Guardian. "Setiap orang terbawa dengan kuasa yang mereka miliki. Tidak ada yang menangkap kami," ujarnya.

Hoare telah dimintai keterangan oleh Polisi Metropolitan London (Scotland Yard) namun polisi menyebut Hoare menolak memberikan bukti.

Tabloid News of the World yang bertiras 2,8 juta dan telah berusia 168 tahun ditutup oleh pemiliknya, taipan Rupert Murdoch, karena tekanan pada mereka semakin gencar. Mingguan itu dianggap tidak etis dan melanggar hukum karena melakukan penyadapan dan penyuapan pada polisi untuk mendapatkan berita eksklusif. Kasus ini juga menyeret orang-orang di sekitar PM Cameron, bahkan Cameron sendiri, karena dinilai dekat dengan lingkaran News of The World.

(nrl/nrl)

Selasa, 05 Juli 2011

kotbah BERHIKMAH doktoral

Teliti Khotbah Jumat, Pria Ini Raih Gelar Doktor
Selasa, 05 Juli 2011 | 16:25 WIB


TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kundaru Saddhono, meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada gara-gara meneliti khotbah salat Jumat.

"Lingkungan sosial masjid mempengaruhi penggunaan bahasa, kosakata, dan diksi dalam tuturan khotbah Jumat," kata Saddhono dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Selasa, 5 Juli 2011. Faktor sosial inilah, kata Saddhono, yang menjadikan corak khotbah Jumat di lingkungan masjid berbeda-beda.

Saddhono melakukan penelitian di masjid-masjid Surakarta. Secara umum, isi tuturan yang ada dalam khotbah tidak lain merupakan ajaran khatib (penutur) kepada jemaahnya untuk menjadi orang yang bertakwa.

Tapi, yang menarik, bahasa pangantar khotbah Jumat biasa disampaikan dalam berbagai bahasa. Di Surakarta, misalnya, ada tiga bahasa pengantar, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Bahkan, ketiga bahasa ini sering disampaikan secara bersamaan.

Tapi, topik dalam khotbah tetap menyampaikan firman Allah, sabda Nabi, kisah nabi, kisah sahabat nabi, kisah sejarah, dan kisah masa kini. "“Penutur punya kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri, tetapi tepat pada aturan yang berlaku,” katanya.

Bertindak selaku promotor dalam ujian ini adalah Profesor I Dewa Putu Wijana dan Profesor Soepomo Poedjosoedarmo.
Teliti Khotbah Jumat, Dosen UNS Raih Gelar Doktor
Penulis : Agus Utantoro
Selasa, 05 Juli 2011 21:42 WIB


YOGYAKARTA--MICOM: Khotbah Jumat, merupakan bagian penting dalam ritual Islam. Khutbah selalu dilakukan khatib menjelang salat Jumat di masjid-masjid.

Secara umum isi khotbah adalah ajakan khatib kepada jamaah untuk meningkatkan kualitas takwa dan kualitas iman seseorang. Khotbah itu sendiri bisa dilakukan dengan berbagai bahasa.

Di Surakarta, khotbah sering dilakukan dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Bahkan, sering pula dilakukan bersamaan.

Menurut Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kundaru Saddhono, SS, MHum, bahasa Jawa disampaikan di daerah perdesaaan dan sebagian kecil di daerah perkotaan. Bahasa Indonesia digunakan di daerah perkotaan.

"Di perkotaan, jamaah salat Jumat berasal dari berbagai latar belakang, baik pendidikan, budaya profesi, dan sebagianya," kata Kundaru dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Selasa (5/7).

Bertindak selaku promotor Prof Dr I Dewa Putu Wijana, SU, MA, dan Kopromotor Prof Dr Soepomo Poedjosoedarmo.

Dia menambahkan, bahasa Arab disampaikan dalam khotbah di masjid-masjid tertentu, misalnya, di Masjid Lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII). (OL-11)
Teliti Khotbah Jumat, Dosen UNS Raih Doktor di UGM
Selasa, 05 Juli 2011 16:46:00

YOGYA (KRjogja.com) - Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum., berhasil meraih gelar doktor dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Selasa (5/7). Memaparkan penelitian mengenai Khotbah Jumat, Kundaru berhasil mempertahankan penelitiannya didepan promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., dan Ko-promotor Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo.

Dalam paparannya disampaikan, Khotbah jumat (KJ) sebagai salah satu ritual dalam agama Islam, secara umum memiliki isi tuturan ajaran khatib kepada jemaahnya untuk menjadi orang yang bertakwa. Tidak jarang, bahasa pangantar KJ disampaikan dalam berbagai bahasa. Di Surakarta, misalnya, KJ disampaikan dalam tiga bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Arab dan bahkan sering disampaikan secara bersamaan.

"Bahasa Jawa disampaikan di daerah pedesaaan dan sebagian kecil di daerah perkotaan. Sementara bahasa Indonesia digunakan di daerah perkotaan. Di perkotaan sendiri, jamaah salat jumat berasal dari berbagai latar belakang, baik pendidikan, budaya profesi, dan sebagianya,” paparnya.

Dia menambahkan, bahasa arab disampaikan dalam KJ di masjid-masjid tertentu, misalnya di masjid lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII). Namun demikian, setelah salat jumat selesai ada penjelasan mengenai isi khotbah dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.

"Meski dalam bahasa yang berbeda, topik dalam KJ tetap menyampaikan pengutipan yang terdiri firman Allah, sabda Nabi, kisah dialog, perkataan seseorang. Terdapat juga penceritaan yang terdiri dari kisah nabi, kisah sahabat nabi, kisah sejarah dan kisah masa kini," katanya.

Diakui Saddhono, pemilihan topik lebih didominasi berdasarkan lingkungan sosial masjid, terdiri lingkungan keluarga, lingkungan keagamaan, lingkungan pendidikan, lingkungan jaringan dan lingkungan sosial. Menurutnya, di dalam setiap lingkungan sosial masjid mempengaruhi penggunaan bahasa, kosakata, dan diksi dalam tuturan Khotbah Jumat.

“Faktor sosial inilah yang menjadikan corak Khotbah Jumat antara masjid di lima lingkungan masjid tersebut berbeda. Selain itu, faktor penutur, mitra tutur, tindak tutur berpengaruh pada pemakaian bahasa dan kosakatanya. Kendati KJ mempunyai aturan yang jelas. Namun dalam tuturannya dipengaruhi oleh faktor penutur. Penutur atau khotib mempunyai kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri tetapi tepa pada aturan yang berlaku,” imbuhnya. (Ran)
LITIGASI VS NON-LITIGASI

LITIGASI VS NON LIGASI BAB I & II

litigasik-1.jpg

ABSTRAK

Dalam masyarakat bisnis terdapat 2 (dua) pendekatan umum yang sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. pendekatan pertama, yaitu menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi (Paradigma litigasi/PLg). Pendekatan ini murupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. sementara itu, pendekatan kedua, menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi(paradigma non-litigasi atau PnLg). Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapakan hasil penyelesaian sengketa win-win solution. Di Indonesia, yang mempunyai budaya musyawarah, Paradigma Non-Litigasi ternyata tidak berkembang. Fenomena yang terpotrat di masyarakan justru munculnya budaya gugat menggugat yang demikian tinggi, yang menyebabkan munculnya peluhan ribu tumpukan perkara di lembaga peradilan. Derasnya arus perkara yang masuk melalui jalur litigasi menimbulkan kinerja pengadilan tidak bisa optimal, juga menjadikan masyarakat tidak lagi mencari keadilan tapi mencari kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Kondisi kejiwaan masyarakat tersebut menemukan suatu habitat yang cocok di dalam lembaga peradilan Indonesia, di mana sebagian kalangan hakim mudah tergoda untuk melakukan jual beli keadilan. Lembaga peradilan yang seharusnya menjalankan amanah untuk mendistribusikan keadilan bagi masyarakat ternyata menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan ‘permainan kotor’. Sehingga lembaga peradilan tidak semata-mata sebagai tempat mencari keadilan tetapi juga bisa menjadi ajang ‘jual beli’ putusan, hal ini berakibat putusan hakim seringkali sulit untuk diramalkan (unpredictable) dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Bagi masyarakat bisnis, yang segala sesuatu mendasarkan pada efektivitas , efisiensi dan velocity, kondisi tersebut jelas tidak menciptakan situasi kondusif untuk menunjang kegiatan mereka. sedangkan bagi investior asing hal ini akan menyurutkan minat mereka untuk melakukan inverstasi di Indonesia, karena tidak adanya kepastian hukum bila terjadi sengketa. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara melakukan pembangunan paradigma non-litigasi, yang diharapkan mampu menggeser dominasi paradigma litigasi, sehingga masyarakat Indonesia tidah hanya mengandalkan jalur litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126



REFORMASI HUKUM EKONOMI INDONESIA

REFORMASI HUKUM EKONOMI DI INONESIA BAB I & II

reformasiekonpmi-1.jpg

ABSTRAK

Kehadiran buku ini akan membuka cakrawala baru bagi pembaca berkaitan dengan posisi hukum ekonomi di Indonesia. Reformasi hukum ekonomi dalam era globalisasi ekonomi tidak hanya sekedar mengganti, menyesuaikan atau membuat peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi. Reformasi hukum ekonomi adalah perombakan hukum ekonomi secara mendasar yang mempunyai kualitas ‘paradigmatik’. Ada dua hal utama yang menyebabkan berubahnya paradigma yang lama ke yang baru, yaitu disepakatinya GATT_PU oleh Indonesia dan orientasi pembangunan ekonomiyang diarahkan pada ekonomi kerakyatan. Agar reformasi tersebut sesuai dengan arah yang benar maka harus berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, dengan tetap mengindahkan norma-norma internasional yang diakui masyarakat dunia yang beradab. Dalam kondisi yang demikian itulah diperlukan para pemikir hukum ekonomi yang mampu menyelaraskan antara aturan-aturan yang terdapat dalam GATT-PU dengan kepentingan nasional, sehingga secara internasional kita bisa memainkan peranan dan secara nasional kita bisa menjaga kedaulatan negara serta menciptakan keadilan ekonomi bagi masyarakat. Buku ini setidaknya bisa memberikan stimulasi bagi para pemikiran hukum, profesi hukum, mahasiswa hukum, dan masyarakat pecinta keadilan untuk lebih giat berjuang melakukan reformasi sehingga hukum ekonomi mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum pada masyarakat dan investor.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126

NEGARA HUKUM : KEKUASAAN, KONSEP, DAN PARADIGMA MORAL

NEGARA HUKUM : KEKUASAAN, KONSEP, DAN PARADIGMA MORAL BAB I & II

paradigma-moral-1.jpg

ABSTRAK

Merenungkan dan menggagas lebih lanjut mengenai kaitan antara hukum dan kekuasaan ternyata membawa kepada pemahaman dalam suatu medan permasalahan yang tidak sederhana. Kalau secara sepintas hubungan antara keduanya hanya saling memberi, menolak, dan meniadakan, maka dalam pengamatan lebih jauh, hukum dan kekuasaan menampilkan kompleksitas perbaruan yang lebih kaya. Semenjak hukum itu menjadi saluran pengimplementasian putusan-putusan politik dan sejak hukum itu mempunyai aspek birokrasi yang kuat, maka secara diam-diam sebenarnya hukum juga sudah berubah menjadi pusat-pusat kekuasaan dan kekuatan. Hukum tidak lagi hanya menjadi pembatas kekuasaan, akan tetapi juga menjadi ‘bumper’ kekuasaan. Maka, tidak heran ketika kemudian muncul ‘kejahatan yang dilakukan oleh hukum (crime by law)’. Ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan dan di bungkus dengan ‘samak’ hukum, maka ia menentukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Ketika kejahatan menyembunyikan dirinya di balik kekuasaan Negara (State power) dan terbungkus oleh hukum yang dirancang oleh orang-orang yang tak bermoral, maka tapal batas di antara keduanya lebar dan kabur. Tidak lagi ada batas antara penguasa dan penjahat oleh karana kejahatan itu dilakukan oleh penguasa itu sendiri. Di tengah-tangah paradigm Negara hukum yang sudah banyak mengalami distorsi seperti sekarang ini, maka perlu ada alternatif yang mampu menyegarkan dan mereposisi kembali konsep Negara hukum, yaitu paradigma moral.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126



EKSISTENSI DAN PENYELESAIAN SENGKETA HAKI (HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL)

EKSISTENSI DAN PENYELESAIAN SENGKETA HAKI (HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL)

haki.jpg

ABSTRAK

Gelombang sengketa HaKI tinggal menunggu waktu saja, karena sebagian besar porduk-produk yang dipasarkan di Indonesia dari Negara asing, yang dilindungi HaKI, banyak sekali yang dibajak secara masal di Indonesia. Bila pemilik HaKI tersebut melakukan aksi penegakan hukum di Indonesia, bisa dibayangkan besarnya jumlah pihak-pihak yang terkena gugatan atau sanksi pidana dari pemilik resmi. Mekanisme penyelesaian sengketa HaKI sengaja dipilih untuk menjadi objek khusus dalam pembahasan karena beberapa alasan. Pertama, HaKI telah masuk dalam lampiran Final act.GATT-Putaran Uruguay. Hal ini mengandung makna bahwa bidang HaKI tidak lagi menjadi masalah nasional suatu bangsa, tetapi telah menjadi salah satu ‘isu internasional’ yang harus mendapat perhatian serius semua Negara, khususnya memasuki mellenium tiga. Dengan masuknya bidang HaKI dalam GATT-PU menyebabkan cakupan dan permasalahan HaKI dari waktu ke waktu semakin kompleks, yang tidak hanya berkaitan dengan bidang hukum atau ekonomi saja, tetapi telah masuk dalam masalah sosial bahkan telah melibatkan bidang politik. kedua, banyak pelaku bisnis di Indonesia yang masih melakukan pelanggaran di bidang HaKI. oleh karena itu perlu dikembangkan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa tanpa jalur litigasi agar bisa memberikan keadilan pada pihak-pihak yang dirugikan tanpa harus menempuh prosedur yang panjang dan mahal. Ketiga, hakim-hakim di Indonesia banyak yang belum paham tentang HaKI, apalagi bila dikaitkan dengan konstelasi perdagangan internasional. Kondisi ini bisa menambah citra buruk negara Indonesia di dunia internasional, khususnya dalam hal penanganan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Keempat, sebagian besar masyarakat Indonesia belum atau tidak mengetahui adanya hukum di bidang HaKI. Padahal bidang ini akan menjadi salah satu bidang yang penting dan strategi pada abad XXI. Pembajakan dan jual beli bajakan, yang dilindungi HaKI, yang sering dilakukan secara masal oleh masyarakat, dapat menyebabkan negara Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional atau terkena sanksi dari WTO (World Trade Organitation). Pembahasan mekanisme penyelesaian sengketa HaKI mencakup 5 (lima) hal, yaitu : eksistensi HaKI dalam sistem hukum; masuknya HaKI dalam sistem hukum di Indonesia; Penyelesaian sengketa HaKI dalam forum internasional dan nasional; dan penggunaan paradigma non-litigasi untuk penyelesaian sengketa HaKI. penyelesaian-sengketa-hak-kekayaan-intelektual

Selengkapnya hub. Email Penulis/adisulistiyono.staff.uns.ac.id (kunsultasi hukum)

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126





“MENGGUGAT”

DOMINASI POSITIVISME DALAM ILMU HUKUM

Abstrak

Positivisme hukum merupakan aliran yang telah mendomonasi pemikiran hukum di berbagai Negara sejak abad XIX sampai sekarang, dengan tokoh-tokoh seperti hart, john austinm dan hans kelsen. Pahan ini menekankan bahwa hukum menemukan bentuk positif dari instansi berwenang yang harus ditaati dan bersifat otonomi, hukum hanya di pandang dari segi formal, isi hukum (material) bukan bahan ilmu hukum. Penganut paham ini, yang dipelopori proposional hukum (jaksa, hakim, dan pengacara), cenderung mengagung-agungkan hukum positif dan menginginkan dilepaskanya pemikiran metayuridis (bacalah undang-undang dan pakailah logika hukum). Penganut paham ini senantuasa akan bekerja seperti “Robot” dalam memberikan keputusan tanpa mendasarkan pada moral, nilai-nilai kemanusian pada masyarakat, serta cenderung mangabaikan fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan terpuruknya hukum di Indonesia dan menjadi salah satu system hukum yang terburuk di dunia. Usaha untuk “menggugat” dominasi tersebut sebenarnya telah dicoba oleh pengikut aliran hukum realism pragmatis, critical legal studies, dan feminist yurisprudence. Walaupun usaha tersebut sempat menimbulkan kegoncangan eksistensal yang hebat, tetapi tidak berakibat merosotnya dominasi tersebut. Semoga dengan adanya gerakan Hukum Progresif yang “dikomandani” oleh Prof. Satjipto Rahardjo akan mampu mengurangi dominasi positivism.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126

Kamis, 16 Juni 2011

whistleblower backs home

Warga Gadel Ijinkan Siami Pulang
Kamis, 16 Juni 2011 17:58 wib


SURABAYA- Warga Gadel, Surabaya sepakat menerima kembali Siami, pengungkap kecurangan Ujian Nasional (UN), pulang ke rumahnya setelah diusir dari kampung mereka. Warga juga menyambut baik keputusan Mendiknas Muhammad Nuh yang tidak akan melakukan ujian ulang di SD Negeri Gadel II.

Hal tersebut dikatakan Dwi Siswanto, Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Kelurahan (LKMK) usai rapat dengan para tokoh masyarakat dan pemuka agama Desa Gadel Surabaya, Kamis (16/6/2011).

Warga sepakat akan menerima pengungkap kasus contek massal di SD Negeri 2 Gadel kembali ke rumahnya di Desa Gadel Sari Gang Dua Tandes, Surabaya.

Dwi Siswanto mengatakan, warga juga berjanji akan menjamin kemanan dan menganggap kasus sudah selesai. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi warga dan berharap tidak akan terjadi lagi di masa datang.

Sementara itu terkait keputusan Mendiknas yang mengatakan tidak ada contek masal di SD Gadel II langsung disambut baik oleh para orang tua murid.

Seperti diberitakan sebelumnya dugaan contek massal di SD Negeri Gadel II Surabaya ini mencuat setelah Siami orangtua siswa mengungkapkan praktek contek massal saat ujian nasional berlangsung.
(Hari Tambayong/RCTI/ugo)

Selasa, 14 Juni 2011

survei yang diplintir

Dua Lembaga Survei Saling Bantah
Oleh Abdullah Mubarok | Inilah – 10 jam yang lalu
14 Juni 2011


INILAH.COM, Jakarta - Dua lembaga survei ternama di Indonesia, Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia 'satu suara' bahwa Partai Demokrat (PD) mengalami penurunan suara. Tapi mereka beda pendapat soal kemana suara itu lari. Ke Golkar atau ke partai lain?

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dimotori oleh Saiful Mujani menunjukkan Partai Demokrat masih unggul jika Pemilu dilakukan bulan Mei 2011. PD memperoleh persentase tertinggi mencapai 18,9 persen.

Sedangkan, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin oleh Denny JA menyebutkan perolehan suara PD sebesar 15,5%. PD tidak lagi berada di nomor satu. Posisinya digeser oleh Partai Golkar dengan 17,9% suara. Diikuti dengan PDI Perjuangan dengan 14,5 persen suara.

Duo LSI 'sepakat' suara PD menurun. Yang membedakan jumlah prosentase penurunan. LSI Saiful Mujani sekitar dua persen, LSI Denny JA sekitar lima persen.

Namun, yang menjadi perdebatan apakah suara Demokrat yang hilang seluruhnya beralih ke Partai Golkar sebagai klaim LSI Denny JA? Berdasarkan survei LSI Denny JA, angka lima persen penurunan suara Demokrat 'lari' ke Partai Golkar (PG).

Sebab, kedua partai memiliki spektrum yang sama. PDIP, Gerindra, lebih nasionalis dan cenderung sosialis. PPP dan PKS agamis. Sedangkan Golkar, Demokrat berada di tengah.

Apabila Golkar diterpa persoalan maka pemilihnya akan beralih ke Demokrat. “Kalau Golkar turun, Demokrat naik, kalau Demokrat naik, Golkar turun,” imbuhnya.

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi mempertanyakan kesimpulan Denny JA soal penyebab suara Demokrat turun. Menurutnya, mustahil PG mendapatkan 'berkah' dari Demokrat. Seharusnya PDI Perjuangan yang beruntung.

"Tak pernah kita menemukan sentimen negatif ke Partai Demokrat dan SBY, pemilih lari ke Golkar. Agak kurang make sense (masuk akal) kalau ke Golkar karena citra buruk Golkar soal pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin saat dihubungi wartawan (13/6/2011).

Bukan hanya Burhanuddin yang mengkritisi survei LSI Denny JA. Pengamat politik dari Charta Politika Yunartho Wijaya menilai survei Denny JA tidak masuk akal. "Saya tidak percaya bila suara yang hilang larinya ke Golkar dan tidak masuk akal kasus Nazaruddin dapat menghilangkan hasil suara,” katanya.

Guru besar ilmu politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah ikutan. Menurutnya, survei LSI Denny JA politis. “Ya. Bisa saja, karena dulu kan Denny JA termasuk dekat dengan Demokrat terus enggak kebagian posisi. Hasil-hasil surveinya juga sering untungkan Demokrat, tapi sekarang beda. Ya bisa saja dia dendam pada Demokrat,” ungkapnya.

Entah survei mana yang mesti dijadikan pegangan. Yang jelas, partai yang merasa 'diuntungkan' senang dengan survei yang menguntungkan namanya. Ahli survei sibuk bersilang pendapat. [mah]

Politician No, Opposition Parties Yes

RI’s Muslim youth not interested in politics: Survey
Bagus BT Saragih, The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 06/14/2011 7:28 PM


Getting involved in politics apparently is not something that is appealing to young Muslims in Indonesia, a survey shows.

The survey, held in November last year and conducted by the Indonesia Survey Institute (LSI) in cooperation with the German culture center Goethe-Institute and the Friedrich Naumann Foundation for Freedom, concluded that Indonesian Muslim youngsters were optimistic about the country’s democracy system even though most of them refused to become politicians.

Forty-one percent of the 1,496 Muslim respondents, aged between 15 and 25 and taken from all 33 provinces, said that they had little interest in politics, and 29 percent said they did not have any interest at all.

When asked what were their goals and dreams were, none answered “to become a politician”.

“But it does not mean they are indifferent about what is good or bad for democracy. Other parts of the survey showed that they actually had a high degree of trust in democracy and its institutions,” Vera Jasini Putri of the Friedrich Naumann Foundation told a press conference on Tuesday.

She said that the survey had seen 66 percent respondents agree that opposition political parties were needed for a good democracy. “The majority of the respondents, or 89 percent, agrees on the freedom of speech which is an essential prerequisite for a functioning democracy,” Vera said.

LSI director Burhanuddin Muhtadi said the survey should add optimism over the country’s politics which is currently being tarnished by numerous scandals and corruption allegations by lawmakers.

“Most respondents expressed disappointment in the implementation of politics, meaning that they are dissatisfied with culprits from certain political parties, not with the democratic system in general,” he said.

Burhanuddin, however, warned the elites of political parties to seriously address current scandals fairly and openly to prevent the youth’s optimism from declining.

“Because the youth are precious assets of the country,” he said.
Muslim youth OK with female president: Survey
The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 06/14/2011 7:21 PM


A recent survey on the political preferences of Muslim youth found that a majority were fine with a woman as the country’s leader, something that would have ignited controversy if it happened a decade ago.

“As many as 70 percent of the 1,496 respondents from all provinces had no complaints if a woman was appointed as the country’s leader. This is good news as back then most Muslim voters objected to a woman’s leadership,” Burhanuddin Muhtadi of the Indonesian Survey Institution (LSI) said Tuesday.

The survey was conducted in cooperation with the Goethe Institute and the Friedrich Naumann Foundation for Freedom.

Muhtadi said that contrary to increasing optimism, the survey found that 41.4 percent of the respondents stated that they had little interest in politics and the other 28.9 percent even stated that they had no interest in politics at all.

He said only 28.6 percent of the respondents said they still spared some faith in politics, he said.

“When we asked how many want to cast votes in the upcoming general elections, only 16.1 percent said they would vote,” he said.

Minggu, 12 Juni 2011

perempuan CARI KERJA, cowo ...

June 11, 2011
When It Comes to Scandal, Girls Won’t Be Boys
By SHERYL GAY STOLBERG

WASHINGTON — There was a collective rolling of the eyes and a distinct sense of “Here we go again” among the women of the House of Representatives last week when yet another male politician, Representative Anthony D. Weiner, confessed his “terrible mistakes” and declared himself “deeply sorry for the pain” he had caused in sexual escapades so adolescent as to almost seem laughable.

“I’m telling you,” said Representative Candice Miller, a Michigan Republican, “every time one of these sex scandals goes, we just look at each other, like, ‘What is it with these guys? Don’t they think they’re going to get caught?’ ”

Ms. Miller’s question raises an intriguing point: Female politicians rarely get caught up in sex scandals. Women in elective office have not, for instance, blubbered about Argentine soul mates (see: Sanford, Mark); been captured on federal wiretaps arranging to meet high-priced call girls (Spitzer, Eliot); resigned in disgrace after their parents paid $96,000 to a paramour’s spouse (Ensign, John) or, as in the case of Mr. Weiner, blasted lewd self-portraits into cyberspace.

It would be easy to file this under the category of “men behaving badly,” to dismiss it as a testosterone-induced, hard-wired connection between sex and power (powerful men attract women, powerful women repel men). And some might conclude that busy working women don’t have time to cheat. (“While I’m at home changing diapers, I just couldn’t conceive of it,” Senator Kirsten Gillibrand, the New York Democrat, once said.)

But there may be something else at work: Research points to a substantial gender gap in the way women and men approach running for office. Women have different reasons for running, are more reluctant to do so and, because there are so few of them in politics, are acutely aware of the scrutiny they draw — all of which seems to lead to differences in the way they handle their jobs once elected.

“The shorthand of it is that women run for office to do something, and men run for office to be somebody,” said Debbie Walsh, director of the Center for American Women and Politics at Rutgers University. “Women run because there is some public issue that they care about, some change they want to make, some issue that is a priority for them, and men tend to run for office because they see this as a career path.”

Studies show that women are less likely to run for office; it is more difficult to recruit them, even when they have the same professional and educational qualifications as men. Men who run for office tend to look at people already elected “and say, ‘I’m as good as that,’ ” said Jennifer Lawless, director of the Women and Politics Institute at American University here. “Women hold themselves up to this hypothetical standard no candidate has ever achieved.”

And so, despite great inroads made by women, politics is still overwhelmingly a man’s game. Data compiled by Rutgers shows women currently hold 16.6 percent of the 535 seats in Congress and 23.5 percent of the seats in state legislatures. There are 6 female governors; of the 100 big-city mayors, 8 are women.

Once elected, women feel pressure to work harder, said Kathryn Pearson, an expert on Congress at the University of Minnesota. Her studies of the House show women introduce more bills, participate more vigorously in key legislative debates and give more of the one-minute speeches that open each daily session. In 2005 and 2006, women averaged 14.9 one-minute speeches; men averaged 6.5.

“I have no hard evidence that women are less likely to engage in risky or somewhat stupid behavior,” Ms. Pearson said. “But women in Congress are still really in a situation where they have to prove themselves to their male colleagues and constituents. There’s sort of this extra level of seriousness.”

And voters demand it. Celinda Lake, a Democratic strategist, says women politicians are punished more harshly than men for misbehavior. “When voters find out men have ethics and honesty issues, they say, ‘Well, I expected that.’ ‘’ Ms. Lake said. “When they find out it’s a woman, they say, ‘I thought she was better than that.’ ‘’

Of course, it is a big leap to suggest that voter expectations and an “extra level of seriousness” among women in public office translate into an absence of sexual peccadilloes. Helen Fisher, an anthropologist at Rutgers, said her studies on adultery show that, at least under the age of 40, women are equally as likely to engage in it as men. She theorizes that perhaps women are simply more clever about not getting caught.

Female politicians are not immune to scandal in the sex department. Nikki Haley, the South Carolina governor, was accused of adultery last year while running for office; she denied it, and was elected. Helen Chenoweth-Hage, the late Republican congresswoman from Idaho, once confessed to a six-year affair with a married man.

There have even been “crotch shot” allegations; when Barbara Cubin, then a state legislator in Wyoming, ran for the House in 1994, Democrats accused her of “lewd pranks,” including photographing male colleagues’ crotches and distributing penis-shaped cookies. She later said the cookies were a gift from someone else and dismissed the picture charges as scurrilous. Still, all of that seems tame compared to the recent string of spectacular Weiner-like implosions, and here in Washington and around the country last week, there was considerable speculation as to why.

Dee Dee Myers, a former press secretary to President Bill Clinton (who managed to survive his sex scandal) and the author of “Why Women Should Rule the World,” surmises that male politicians feel invincible. It would be impossible, she said, to imagine Nancy Pelosi, the former House speaker, doing anything like what Mr. Weiner did.

“There are certain men that the more visible they get, the more bulletproof they feel,” Ms. Myers said. “You just don’t see women doing that; they don’t get reckless when they’re empowered.”

Whatever the reason, it was perhaps no coincidence that it was a woman — Representative Allyson Y. Schwartz of Pennsylvania – who last week became the first Democrat to call on Mr. Weiner to resign. Ms. Schwartz is the only female member of her state’s Congressional delegation, and she says that her Pennsylvania colleagues joke and talk in a different way when she is in the room.

“Having a woman in that mix changes the dynamic,” she said, “and it’s actually not even subtle. It’s very obvious.”