Jumat, 26 September 2014

Yth. Prabowo Subianto, pahlawan kami (????????)

http://www.theteknologi.com/wp-content/uploads/2014/07/Mudik-Lebaran.gif

Liputan6.com, Jakarta - Calon Presiden Prabowo Subianto menyatakan penolakan hasil rekapitulasi suara yang saat ini tengah dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pengamat Ekonomi asal Universitas Gadjah Mada, Toni Prasetyantono mengaku menyesali terkait apa yang dilakukan salah satu pasangan calon presiden tersebut.

"Sangat menyedihkan. Mestinya dia tidak melakukannya untuk kepentingan bangsanya yang lebih besar," kata Toni kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (22/7/2014).

Menurut dia, apa yang terjadi saat ini akan mengganggu laju penguatan pasar saham dan rupiah yang beberapa hari sebelumnya menunjukkan rally.

Namun begitu, Toni mengaku optimis dua pasar keuangan Indonesia itu akan tetap tertahan di batas penguatan masing-masing meski berada di batas bawah.

"Pasar akan terganggu, rally yang terjadi pada rupiah dan IHSG akan tertahan, namun saya duga rupiah masih di sekitar 11.500-11.600 dan IHSG tetap di atas 5100, hanya saja tidak bisa optimal mengalami rally," paparnya.

Seperti diketahui, Pada pukul 14.24 WIB, IHSG melemah 69,09 poin atau 1,35 persen ke level 5.056. Indeks saham LQ45 tergelincir 1,69 persen ke level 866,40. IHSG ini terus tertekan mencapai 1,5 persen atau 77,87 poin ke level 5.049,24 pada pukul 14.27 WIB. Seluruh indeks saham acuan utama melemah pada hari ini.

Pada hari ini, IHSG sempat berada di level tertinggi 5.140,87 pada pukul 10.48 WIB. Menjelang penutupan sesi pertama perdagangan saham hari ini, indeks saham terus melemah hingga ke kisaran 5.103. Setelah calon presiden nomor urut satu Prabowo Subianto menyatakan sikapnya terhadap pemilihan presiden 2014, IHSG makin tertekan mulai pukul 14.24 WIB.

Ada sebanyak 243 saham melemah sehingga menekan indeks saham. Sementara itu, 59 saham menguat dan 68 saham diam di tempat.Seluruh sektor saham juga melemah pada hari ini. Sektor saham konstruksi memimpin penurunan paling tajam sebesar 2,64 persen. Lalu diikuti sektor saham infrastruktur melemah 2,51 persen dan sektor saham industri dasar merosot 1,87 persen.

Sementara itu, berdasarkan data RTI, nilai tukar rupiah juga melemah ke level Rp 11.602 per dolar Amerika Serikat. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) sempat berada di kisaran Rp 11.531 per dolar Amerika Serikat (AS). (Yas/Nrm)
(Nurmayanti)
- See more at: http://bisnis.liputan6.com/read/2081740/pengamat-sebut-menyedihkan-prabowo-tolak-hasil-pilpres#sthash.gDpGVsiC.dpuf
Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengaku, dirinya mendapat laporan bahwa media asing langsung menyerang Koalisi Merah Putih (KMP), usai Rancangan Undang-undang Pilkada (RUU Pilkada) melalui DPRD disahkan dini hari tadi.

"Tujuan kita mulia. Saya diberi laporan tadi malam begitu kita menang voting, langsung pers asing menyerang kita," kata Prabowo dalam acara pembekalan anggota DPR terpilih untuk Koalisi Merah Putih, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2014).

Mantan Komandan Jenderal Kopassus (Danjensus) itu pun menyebut media asing tidak seharusnya mencampuri urusan Indonesia. "Pers asing, ada urusan apa dia urus kita? Emangnya dia kasihan sama kita? Kalau rakyat kita miskin, dia kasihan? Ratusan juta rakyat miskin apa dia kasihan?" tanya Prabowo berapi-api.

"Dia memang ingin Indonesia jadi sapi perahan nggak boleh mati. Karena harus diperah, harus dipelihara. Kalau perlu gemuk kasih rumput, tapi hidungnya dicucut, itu yang mereka kehendaki dari dulu sampai sekarang," sambung dia.

DPR resmi mengesahkan RUU Pilkada tak langsung atau melalui DPRD pada Jumat dini hari. Sebanyak 226 anggota DPR yang notabene tergabung dalam Koalisi Merah Putih setuju Pilkada tak langsung.

Sementara135 anggota DPR dari parpol pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) setuju Pilkada langsung. Fraksi Partai Demokrat yang masuk dalam Koalisi Merah Putih memilih walk out atau meninggalkan rapat paripurna, namun ada 6 anggota Fraksi Demokrat yang tetap tinggal di ruang rapat paripurna. (Mut)
Credit: Rochmanuddin


[JAKARTA suara pembaruan] Pengamat psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk mengatakan, rencana Tim Advokasi Prabowo-Hatta untuk memperkarakan hasil pilpres 2014 setelah penetapan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk ketidakpahaman atas hukum.

Menurut dia, MK adalah lembaga konstitusi tertinggi yang keputusannya final dan mengikat.

"Sudahlah, kita move on. Secara konstitusi sudah selesai. Hasil ini final dan mengikat. Secara rasional pengacara yang masih mengupayakan yang lain berarti tak mengerti hukum. Berarti tak ada peluang lagi untuk membatalkan hasil pemilihan," katanya usai Halalbihalal dan Diskusi Persepi di Oria Hotel, Jakarta Pusat, Jumat (22/8).

Rasionalitas Prabowo
Anggota Dewan Etik Persepi ini juga mempertanyakan rasionalitas dari calon presiden nomor urut satu Prabowo Subianto.
Sebagai pengamat psikologi politik, perilaku Prabowo yang tidak mau menerima kebenaran setelah penetapan MK merupakan indikasi dari persepsi yang delusional.

"Kalau Prabowo tidak menerima kebenaran, ini ada penyakit psikologis. Itu yang disebut delusi. Orang tidak bisa menerima realitas yang sebenarnya. Dia tidak percaya MK berlaku benar. Dia hanya percaya realitas palsu yang disodorkan orang di sekelilingnya yang tidak mengerti hukum," bebernya.

Hamdi melanjutkan, semua orang yang mengerti hukum di negeri ini paham, tidak ada lagi upaya hukum setelah penetapan MK. Hamdi menilai, Prabowo tidak pernah mau melihat ke luar dari realitas yang dibangun orang di sekelilingnya.

"Ada persoalan serius di Prabowo. Dia lebih senang mendengar komentar yang menyenanginya. Prabowo hidup di realitas dalam kepalanya sendiri," pungkasnya. [HIZ/L-8]


TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden Prabowo Subianto memilih tak hadir saat Koalisi Merah Putih menggelar konferensi pers menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilihan presiden, Kamis, 21 Agustus 2014. (Baca juga: Ahok Akui Terjepit Antara Jokowi dan Prabowo)

Seperti dilaporkan majalah Tempo edisi pekan ini, Prabowo memilih pergi meninggalkan para elite politik pengusungnya lantaran tak terima mereka membuat pidato yang isinya antara lain menerima bila MK menolak gugatan sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK. (Baca Laporan Utama Majalah Tempo, Rencana Baru Koalisi Sang Jenderal)

Ketika draf pidato itu dibaca Prabowo, ia langsung tak sreg. "Kalian berkhianat? Dapat apa dari Jokowi?" katanya dengan suara tinggi di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, seperti ditirukan peserta pertemuan. (Baca selengkapnya: Prabowo: Kalian Berkhianat? Dapat Apa dari Jokowi?)

Hatta kemudian mencoba menyanggah Prabowo. "Mau sampai kapan begini terus?" ujar Hatta. Dia mengatakan putusan Mahkamah bersifat "final dan mengikat". Bila gugatan mereka ditolak, Jokowi tetap akan dilantik sebagai presiden. Namun, Prabowo tetap tak menerima. (Baca selengkapnya: Hatta ke Prabowo: Mau Sampai Kapan Begini Terus)
 


Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menilai dengan berakhirnya keputusan Mahkamah Konsitusi, Jumat (21/8/2014), maka proses hukum pemilu telah berakhir dengan sukses.
"Saya berpendapat Pilpres 2014 ini sukses. Sukses bagi kita semua, baik partai pengusung calon maupun rakyat sebagai pemilih. Be possitive!" katanya dalam siaran pers, (22/8/2014).
Jimly berharap Prabowo-Hatta segera memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla.
Dia mengatakan keputusan MK yang menolak seluruh gugatan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atas dugaan pelanggaran terstuktur dan massif yang dilakukan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla tersebut memang disikapi secara beragam, namun yang pasti keputusan itu sudah final dan mengikat.
"Dengan keluarnya putusan MK, kemarin, ini berarti semua proses hukum terkait Pilpres sudah berakhir. Tidak dapat diganggu gugat," tuturnya.
Menurut Jimly, Pilpres 2014 menjadi pengalaman paling berharga bagi Indonesia.
Untuk pertama kalinya, ada dua pasangan calon yang bertarung dan kemungkinan besar tidak akan terulang pada Pemilu 2019.
Pasalnya, Pemilu 2019 digelar secara serentak, sehingga masing-masing partai politik akan mengajukan calonnya sendiri.
"Jadi, munculnya dua pasangan calon ini bisa jadi yang pertama dan terakhir di negeri ini. Dan saya sangat bersyukur, semua diakhiri dengan baik," tuturnya.
Karena proses sudah selesai, Jimly berharap pasangan Prabowo-Hatta segera memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla.
Baginya, ucapan selamat itu sesuatu yang serius dan  menunjukkan kenegarawanan seseorang.
"Kita sudah punya presiden baru yang bakal dilantik 20 Oktober nanti. Kita harus ucapkan selamat. Dua bulan yang ada ini kita manfaatkan untuk healing process, untuk rekonsiliasi," ujar Jimly.
Editor : Saeno

KOMPAS.com — "Becik ketitik, ala ketara...," tertulis dalam akun Twitter calon presiden Prabowo Subianto pada hari putusan Mahkamah Konstitusi akan dibacakan, Kamis (21/8/2014). Terjemahan bebasnya kira-kira adalah "kebaikan akan terlihat dan keburukan bakal ketahuan".

Namun, pepatah ini tampaknya tak menahan laju kubu pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa untuk mempersoalkan hasil Pemilu Presiden 2014. Gelagatnya, langkah kubu Prabowo-Hatta tak akan segera berkesudahan sekalipun Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh gugatan mereka terkait sengketa hasil Pemilu Presiden 2014.

"Langkah hukum lain yang masih berjalan sekarang akan tetap kami kawal, demikian pula langkah politik," ujar Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Tantowi Yahya, Kamis malam, dalam konferensi pers setelah pembacaan putusan MK.

Pertanyaan yang muncul, masihkah ada gunanya langkah hukum dan politik yang ditempuh kubu Prabowo-Hatta ini? Masihkah ada proses hukum yang bisa mengubah hasil pemilu setelah putusan MK? Apakah rakyat masih butuh semua hiruk pikuk hukum dan politik tersebut?

Terlebih lagi, bila tujuan Prabowo-Hatta mengikuti perhelatan demokrasi ini bukan semata kekuasaan dan bentuk bakti bagi negeri, apakah pepatah becik ketitik ala ketara harus berupa kemenangan dalam salah satu cara untuk berbakti kepada negeri? (Baca juga: Prabowo: Saya dan Pak Hatta Maju Tidak untuk Tujuan Aneh-aneh)

Upaya hukum dan politik

Setidaknya, saat ini proses hukum dan politik yang tengah berjalan, sudah diajukan, maupun baru disuarakan oleh kubu Prabowo Hatta adalah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pembentukan panitia khusus kecurangan Pemilu Presiden 2014 di DPR.


Daily Mail Ilustrasi


"Kalau menurut saya, PTUN tidak bisa memutus untuk menerima gugatan itu karena seluruh tahapan pilpres sudah berjalan dan selesai," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso saat dihubungi, Kamis malam. Terlebih lagi, imbuh dia, gugatan tersebut diajukan ketika tahapan yang dipersoalkan sudah selesai.

Gugatan di PTUN dari kubu Prabowo-Hatta menyoal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden. Menurut Topo, hukum pemilu merupakan fast track dalam ilmu hukum, yang memiliki batasan waktu dan tahapan.

Meskipun hukum pemilu juga menyediakan beragam jalur untuk mempersoalkan kandidat, tahapan, administrasi, hingga etika penyelenggara, papar Topo, tidak setiap jalur tersebut otomatis berdampak pada jalur lainnya, apalagi dicampuradukkan.

Sebagai contoh, Topo mengatakan putusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memecat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari beberapa kabupaten kota dan menjatuhkan sanksi peringatan bagi jajaran KPU, Kamis pagi, tidak otomatis berkorelasi dengan sengketa terkait hasil pemilu.

Misalnya, papar Topo, dalil yang dipakai dalam sengketa pilpres adalah perhitungan tidak tepat karena KPU melakukan ini dan itu yang melanggar etik. Menurut dia, dalil ini harus didukung dengan cara pembuktian yang memperlihatkan pelanggaran tersebut memang memengaruhi hasil atau tidak. "Tidak otomatis sanksi pelanggaran etik berkorelasi dengan sengketa hasil pemilu," ujar Topo.

Jalur PTUN

Setali tiga uang, kata Topo, jalur PTUN pun tak bisa dipakai dalam hukum pemilu ketika tahapan yang dipersoalkan sudah jauh terlewati. "Bila tidak begitu, hukum pemilu rusak, selalu terganggu gugatan yang melewati waktu (tahapan)," ujar dia.

Topo mengatakan, dalam hukum pemilu, setiap persoalan punya tahapan. "Bisa protes atau gugat keputusan KPU (soal tahapan). Tapi, kalau saat tahapan berjalan tak ada protes atau gugatan, tahapan itu dianggap sudah benar," ujar dia menyinggung pengajuan gugatan tentang pencalonan yang baru diajukan saat semua tahapan sudah selesai.

Dalam ranah pemilu, lanjut Topo, sengketa hasil pemilu adalah kewenangan penuh MK sebagaimana kewenangannya menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Ketika MK sudah mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat terkait hasil pemilu, jalur hukum lain dalam rezim hukum pemilu seharusnya tak bisa menerima lagi gugatan terkait pemilu.

Satu-satunya proses hukum yang bisa menghentikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, menurut Topo adalah pidana biasa. "Bukan lagi di rezim hukum pemilu," ujar dia. Pidana biasa yang sudah berkekuatan hukum tetap, ujar dia, bisa memengaruhi hasil pemilu, tetapi dalam konteks di luar rezim pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, kubu Prabowo-Hatta memang punya hak untuk mengajukan gugatan lewat PTUN bila merasa dirugikan oleh keputusan KPU. "Masalahnya, penggunaan hak ini sangat terlambat karena pemilu sudah selesai dan perselisihan hasil pilpres sudah diputus MK," kata dia, lewat pembicaraan telepon, Kamis malam.

Arif mengatakan, setiap tahapan pemilu bisa dipersoalkan, tetapi tidak boleh dilakukan ketika tahapan yang dipermasalahkan itu sudah selesai. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif ini menyinggung pula bahwa ada kedaluwarsa untuk penanganan perkara di PTUN sekalipun.

"Secara normatif, mempersoalkan pencalonan Jokowi akan kedaluwarsa pada 29 Agustus 2014. Namun, secara substantif, tahap pencalonan sudah kedaluwarsa setelah melewati tahapan pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, apalagi sudah putusan sengketa hasil di MK yang bersifat final dan mengikat," papar Arif.

Publik sudah lelah

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Djito, mengatakan, upaya hukum dan politik yang masih akan digeber kubu Prabowo-Hatta tak lagi bermanfaat. "Upaya perlawanan hukum dan politik Prabowo sudah kehilangan makna, bahkan tak punya arti," ujar dia.

Menurut Arie, rakyat sudah akan melupakan pemilu presiden setelah putusan sengketa hasil di MK. "Rakyat jelas sudah makin dewasa bersikap. (Bila proses hukum dan politik dipaksakan), rakyat justru makin tak simpatik kepada Prabowo-Hatta," ujar dia.

Secara umum, imbuh Arie, pemilu presiden sudah usai. "Jika perlawanan dilanjutkan, rakyat akan mencibir," kata dia. "Apalagi ketika  Jokowi-JK (calon presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla) sudah mulai bekerja, maka lambat laun (upaya) Prabowo-Hatta akan kehilangan makna."

Terkait upaya politik, Arif Wibowo mengajak kubu Prabowo-Hatta untuk ibaratnya mengukur baju sendiri. "Masa jabatan (periode 2009-2014) kita sudah mau habis. Hiruk pikuk politik akan jadi bumerang, tidak mendidik, serta tak memberi manfaat lebih banyak bagi bangsa dan negara," ujar dia.

Ya sudahlah...


KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Ilustrasi bendera merah putih
Dalam pernyataan yang ditandatangani semua pejabat teras partai pengusung Prabowo-Hatta, kecuali Partai Demokrat, disebutkan soal niat koalisi ini memburu keadilan substantif. Dibacakan Tantowi, koalisi berpendapat putusan MK tidak mencerminkan keadilan substantif.

Keadilan substantif, kata Tantowi, adalah sebuah esensi yang selama ini menjadi dasar pertimbangan putusan MK. Dinyatakan pula bahwa keadilan substantif merupakan hakikat penting dalam demokrasi.

"Kejadian ini menunjukkan masih banyak perjuangan kita untuk memperbaiki sistem pemilu mendatang," ujar Tantowi. "Kami akan terus berjuang bersama rakyat dan barisan Koalisi Merah Putih untuk memajukan kepentingan bangsa dan negara."

Tak dipungkiri, ada 62,576.444 suara yang menitipkan kepercayaan kepada pasangan Prabowo-Hatta, selain 70.997.833 suara bagi Jokowi-JK. Namun, apakah Indonesia tak bisa diibaratkan satu kelas yang baru saja seusai menggelar pemilihan ketua kelas, yang siapa pun ketua kelasnya harus berbagi jadwal piket untuk kebaikan kelas milik bersama ini?

Terlebih lagi, pada bagian akhir pernyataan bersama Koalisi Merah Putih pun tertera, "Kecintaan kami pada negeri ini membuat kami terus mengawal dan berkontribusi pada bangsa walau ada di luar pemerintahan. Kami tidak ingin bangsa ini dikendalikan segelintir orang."

Posisi yang akan diambil menurut pernyataan itu pun sudah jelas. "(Lewat) perwakilan rakyat di parlemen (kami) akan terus mengawasi pemerintah sebagai kekuatan penyeimbang, (yang) dengan cara itu check and balances berjalan dengan baik."

Sayup-sayup terngiang lirik lagu lawas Elpamas yang juga pernah dinyanyikan Iwan Fals. "Pak Tua, sudahlah... Engkau sudah terlihat lelah... Kami mampu untuk bekerja...." Suara Bondan Prakoso pun sayup-sayup meningkahinya, "Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah... Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah...."

(ANN


detik Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengimbau pihak Prabowo-Hatta bersikap legowo atas putusan MK yang menolak seluruh gugatan mereka atas hasil pilpres 2014.

"Ya legowolah, legowolah. Nggak boleh anarkis," imbau Said kepada kubu Prabowo-Hatta. Hal ini disampaikan Said usai peluncuran buku dari Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar di Hotel Sultan, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (19/8).

Said secara pribadi meruapakan pendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam kontestasi Pilpres 2014. Namun dia mengaku menerima apapun putusan MK.

"Kita menerima pilihan rakyat walaupun ada catatan kecurangan di sana-sini," kata Said.
 Dahlan Iskan berharap Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa legowo menerima hasil rekapitulasi suara pilpres 2014.

"Kalau selisihnya di atas 2 persen, tidak perlu diragukan. Jadi secara hisab dan rukiyat sudah jelas Jokowi yang menang sehingga menurut saya demi Indonesia dan rakyat semua, sebaiknya diterima," kata Dahlan Iskan usai menyaksikan konser 7 Hari Menuju Kemenangan di Salihara, pada 20 Juli lalu.

"Rakyat sangat merindukan pemimpin, negarawan yang sangat legowo, yang mengatakan selamat pada pemenang. Saya mengakui Pak Jokowi lebih unggul kali ini," sambungnya.

Dahlan berharap pihak yang kalah akan memberikan ucapan selamat kepada pasangan yang menang. "Yang kalah harus segera mengakui," ujarnya. "Demi rakyat Indonesia," sambung dia.
 Setelah proses pilpres 2014 berjalan, Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta diminta tidak bertindak di luar batas.

"Saya mewakili umat Islam, dalam Ramadan ini saya berharap agar seluruh rakyat Indonesia bisa melakukan imsak, yakni mengendalikan diri. Yang tidak melakukan hal-hal di luar batas," kata Din Syamsuddin.

Din mengatakan hal ini dalam acara pernyataan sikap bersama Pimpinan dan Tokoh Organisasi Agama di PP Muhammadiyah terkait Pengumuman Hasil Pilpres 9 Juli 2014, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, 23 Juli lalu.

Ia meminta seluruh elemen masyarakat saling membantu mengembalikan kerukunan antar masyarakat yang diakuinya sempat terpecah saat proses Pilkada kemarin. Ia berharap Prabowo-Hatta yang dinyatakan kalah dari Jokowi-JK memperlihatkan sikap negarawanan dan legowo.

"Kami menyampaikan semua pihak untuk menerima hasil dengan legowo dan kesatria," imbuhnya.

Mantan ketua umum Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi berharap hasil penetapan pemenang Pilpres bisa diterima kedua pasangan yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemenang Pilpres tak boleh jumawa, yang kalah harus berlapang dada.

"Kita boleh membela partai dengan segala kepentingannya , tapi tidak boleh mengorbankan Indonesia. Partai untuk Indonesia bukan Indonesia untuk partai," kata Hasyim dalam keterangan tertulisnya, pada 22 Juli lalu.

Hasyim menceritakan perjalanan politiknya ketika mengikuti Pilpres 2014. Saat itu Hasyim yang menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

"Ketika saya kalah Pilpres 2004, saya hadir pada pelantikan SBY-JK sebagai presiden dan wapres secara gentle. Karena saya berpendapat bahwa demokrasi untuk Indonesia bukan mengorbankan Indonesia untuk demokrasi," tutur Hasyim.
(sip/nvc)TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Politisi Gerindra Nurcahaya Tandang belakangan bikin heboh. Orasinya saat menyebut Prabowo adalah titisan Allah SWT dalam acara halal bi halal di Rumah Polonia diunggah ke YouTube, dan mendapat reaksi beragam.
Pakar Studi Islam Universitas Indonesia Cholil Nafis menilai pernyataan Nurcahaya yang gagal duduk di Senayan tersebut salah kaprah. Karena dalam ajaran Islam sama sekali tidak dibenarkan adanya pengkultusan kepada seseorang.
"Itu namanya tidak mengerti agama. Visi politiknya salah. Dalam Islam tidak boleh mengkultuskan seseorang. Dan tidak ada titisan Allah. Yang ada waliyullah (wali Allah, red)," ujar Cholil kepada Tribunnews.com di Jakarta, Rabu (6/8/2014).
Video berjudul "Pidato Nurcahaya Tandang pada Halal Bihalal Prabowo Hatta di Rumah Polonia," Nurcahaya membuka orasinya dengan ucapan Assalamu'alaikum, Syalom dan Om Swastiastu. Kemudian ia mengungkapkan tuntutan MK agar memenangkan Prabowo-Hatta.
Di tengah pidatonya, perempuan ini bercerita alasan harus mendukung Prabowo. Dia menyebut mendukung Prabowo sebagai jihad. "... Bukan cuma jihad nasionalisme, kita tidak hanya mendukung bapak Prabowo tetapi hanya visi besar Pak Prabowo sebagai titisan Allah SWT..." ujarnya berapi-api.
Dia juga menyebut bukan hanya mengusung Prabowo, tetapi juga kejujuran, kebenaran, Pancasila dan UUD 1945. Di sela-sela orasi, pendukung lain bersorak "betul" "betul". Video memutar pidato Nurcahaya hingga berakhir selama 6 menit 41 detik.  
Cholil menambahkan, pernyataan Nurcahaya tersebut terlontar karena faktor terjebak pada militansi komunal yang berlebihan dan tidak mengerti esensi dan misi berpolitik. "Ini bukan karena slip of the tongue. Dia berlebihan menyanjung kelompok atau tokohnya," terang Cholil.
Sampai berita ini diturunkan, Tribunnews.com masih menunggu klarifikasi Nurcahaya atas maksud ucapannya yang disampaikan dalam orasi halal bi halal bersama Prabowo-Hatta di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, beberapa waktu lalu.
Merdeka.com - Meski saat ini dirinya mendukung Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia, tapi Dewi Perssik menilai masa Presiden Soeharto berkuasa lebih baik dari siapapun yang berkuasa sesudahnya. Karena di masa itu harga barang-barang pokok masih murah.
"Lebih enak Zaman Pak Harto. Dulu beli permen murah. Kalau sekarang, Dewi Perssik manggung harus kepala jadi kaki," ujar Depe saat ditemui di studio AD, kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat (8/8).
Meski demikian, dukungannya kepada Prabowo tidak berubah. Ia tetap memberikan support penuh atas tuntutan pasangan Prabowo - Hatta terkait kontroversi hasil Pilpres 2014 kemarin. Depe juga yakin bahwa Mahkamah Konstitusi bisa memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
"Buat saya, MK akan bisa memberikan kebijaksanaan dan tidak ada unsur tekanan dari mana pun. Karena kalau buat saya, ikut pertandingan harus ada perjuangan," lanjutnya.
Untuk membuktikan dukungannya, Depe selalu berkampanye lewat sosial media. Dan tak jarang ia juga terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya.
Tempat yang ia datangi pun kebanyakan kelas menengah atau ke bawah. Karena di sanalah banyak suara yang tidak terekspose oleh sosial media.
Kini, kisruh pilpres 2014 masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Siapa yang akan ditetapkan sebagai Presiden RI? Kita tunggu saja hasilnya nanti.
(kpl/tov/phi)
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva memberi kesempatan bagi calon presiden Prabowo Subianto untuk menyampaikan sambutan terkait permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden yang diajukan. Lantaran sambutan Prabowo cukup panjang, Hamdan sempat menyela sambutan itu agar dipersingkat.

"Pak Prabowo, bisa dipersingkat!" ujar Hamdan dalam sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2014).

Dalam sambutannya, Prabowo merasa tersakiti dengan adanya dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli lalu. Ia menjelaskan, hal itu dilakukan Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara.

Prabowo mengklaim punya bukti kuat soal kecurangan itu. Selain itu, kubunya siap membuktikannya di persidangan. "Kalau ada waktu kita bisa hadirkan puluhan ribu saksi. Saya sampaikan ke mereka untuk sampaikan testimoni tertulis dan video," ujarnya.

Prabowo  melanjutkan 'orasinya' itu dengan menegaskan mengutuk keras tindakan kecurangan pilpres. Karena pidato Prabowo tak kunjung kelar, akhirnya Ketua MK menyela pembacaan sambutan itu. Setelah itu Prabowo mempersingkat sambutannya.

Setelah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu menutup sambutannya, sidang pun dilanjutkan kembali dengan mendengarkan nasihat dari Hakim MK. Sampai berita ini ditulis sidang masih berlangsung.
(Lal)


detik Jakarta - Prabowo Subianto menuding Pilpres 2014 lebih buruk dari pelaksanaan pemilu di Korea Utara. Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud Md, punya pandangan berbeda dengan Prabowo.

Mahfud menyampaikan pandangannya soal pernyataan Prabowo itu melalui akun twitternya @mohmahfudmd yang dikutip detikcom, Kamis (7/8/2014). Sejumlah pengguna twitter bertanya kepadanya. Salah satu penanya adalah @arsyad_amran, yang bertanya soal ada tidaknya kemiripan pemilu di Korut dan Indonesia.

Menurut Mahfud, tak ada kemiripan antara Pemilu di Indonesia dengan yang diselenggarakan di Korut.

"Tak ada, di Korut pemilu jahat, di Indonesia dasarnya demokrasi," kata Mahfud menjawab pertanyaan.

Mahfud menilai Pemilu di Korea Utara antidemokrasi. Pemilu digelar hanya untuk menangkap rakyat yang anti pemerintah.

"Pemilu di Korut calon Presidennya tunggal, rakyat harus memilih. Yang tak milih dianggap anti Presiden. Jadi pemilu di Korut justru antidemokrasi," tuturnya.

Dalam sidang perdana gugatan Pilpres di MK, Prabowo Subianto protes terhadap hasil perolehan nol suara di ratusan TPS. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menilai pelaksanaan Pilpres di Indonesia lebih buruk dari Korea Utara.

"Bahkan di Korea Utara pun tidak terjadi, mereka bikin 97,8 persen. Di kita, ada yang 100 persen, ini luar biasa. Ini hanya terjadi di negara totaliter, fasis dan komunis," kata Prabowo di ruang sidang MK, di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2014).

detik Jakarta - Nurcahaya Tandang meminta maaf atas ucapannya yang menyebut Prabowo Subianto titisan Allah. Politisi Gerindra itu mengaku keseleo lidah karena seharusnya dia menyebut kata 'titipan' bukan 'titisan'.

"Saya minta maaf kepada publik yang salah paham dengan kata-kata saya. Yang benar itu titipan, bukan titisan," ujar Nurcahaya dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (7/8/2014).

Nurcahaya berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang mengoreksi ucapannya yang tersiar luas di Youtube. Perempuan yang mengaku sebagai dosen intelijen strategis di BIN ini menganggap koreksi itu sebagai bentuk kepedulian.

Perempuan asal Makassar yang tinggal di Jakarta ini menilai wajar ucapannya dihujat banyak orang. Dia menduga pihak-pihak tersebut sebagai orang yang tidak senang dengan Prabowo.

"Yang tidak senang pada Pak Prabowo menyerang saya. Saya kan pendukung dan jurkam Pak Prabowo," kata perempuan yang bersuamikan purnawirawan mayor jenderal ini.

Nurcahaya mengaku kaget dengan orasinya yang mendadak tenar di media sosial. Saudaranya di luar negeri bahkan memberi tahu dirinya.

"Saya nggak tahu. Tahu-tahu sudah ramai seperti itu. Anak saya bilang, itu ramai di seluruh Indonesia. Saudara saya di luar negeri lihat semua. Tapi nggak apa-apa, itu wajar," ucap calon doktor dari UGM ini.

Nurcahaya mendadak tenar karena ucapannya yang menyebut Prabowo sebagai titisan Allah di video yang diunggah di Youtube. Saat itu dia tengah berorasi di Rumah Polonia - markas pemenangan Prabowo-Hatta -- saat halalbihalal. Nurcahaya menggebu-gebu berorasi, termasuk dengan menyebut, "Ini jihad fisabilillah, bukan cuma jihad nasionalisme. Kami mendukung visi besar Prabowo sebagai titisan Allah SWT."

Nurcahya pada Pileg 2014 tercatat sebagai caleg Daerah Pemilihan Banten III. Dia lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, 6 April 1964. Dia menempuh pendidikan sarjana di dua universitas berbeda, yakni Ilmu HI Fisip Unhas dan Ilmu Hukum FH UMI Makassar. Pendidikan master dan doktoralnya ditempuh di Ilmu Politik di UGM.


 Jakarta (ANTARA News) - A senior minister has urged Prabowo Subianto to accept the decision of the General Elections Commission (KPU) to name the Joko Widodo-Jusuf Kalla pair as the winner of the presidential election held on July 9.

"It will be good if he will accept it while hoping for the better in the future," Coordinating Minister for Peoples Welfare Agung Laksono stated at the Presidential Palace compound here on Wednesday.

He made the statement in response to Prabowo Subiantos remarks on Tuesday afternoon that he had rejected the implementation of the presidential election and withdrawn from the election process.

Prabowos statement came just as the KPU was finishing the recapitulation of vote tallies nationally.

Despite the statement, the KPU continued with the recapitulation process that led to its decision to name the Joko Widodo-Jusuf Kalla pair as the winner of the election.

Agung Laksono, who is also the vice general chairman of the Golkar Party, suggested that the Prabowo camp should fight its case in the Constitutional Court for its settlement in line with the rules.

Golkar Party is one of the political parties that has supported Prabowo Subiantos bid for presidency.

When announcing his statement on Tuesday afternoon, Prabowo was also flanked by Golkar Partys General Chairman Aburizal "Ical" Bakrie and Secretary General Idrus Marham.

Agung Laksono congratulated the Joko Widodo-Jusuf Kalla pair for their victory and hoped that they will lead a better government.

He stated that the result of the presidential election was a victory of the people with regard to the development of democracy in the country, and in view of that, he hoped that all sides will accept the result.

Agung confessed that he had not yet personally congratulated the winning pair. Jusuf Kalla, who is a former vice president, is also a Golkar Party figure.

Reporting by Muhammad Arief Iskandar


RMOL. Ketua Umum Pimpinan Besar Nadhlatul Said Aqil Siradj menyayangkan sikap calon presiden Prabowo Subianto yang menarik diri dari proses rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menolak hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

"Saya tidak tahu kenapa Pak Prabowo menarik diri. Itu memang haknya, tapi saya sayangkan. Sikap itu kita sayangkan karena nanti akan dicatat dalam sejarah," kata Kiai Said saat konfrensi pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (23/7)

Kiai Said pun menegaskan bahwa proses Pilpres sudah usai. Artinya dirinya juga sudah tak mau lagi larut dalam hal dukung mendukung. Sebagaimana diketahui, Kiai Said menyatakan secara eksplisit mendukung Prabowo Subianto sebagai presiden.

"Kalau sudah selesai semua normal lagi. Beda pilihan memang biasa, tapi sekarang kembali fokus kawal kemajuan bangsa dan negara. Di Muktamar NU juga biasa itu ada dua sampai tiga calon. Ada beda sikap dan pilihan, selesai itu normal lagi," demikian Kiai Said.[wid]


TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, calon presiden Prabowo Subianto mengalami delusional. Cara berpikir Prabowo, kata dia, dalam kondisi tidak berdasar atau tidak rasional. “Dia mengalami delusi,” kata Hamdi kepada Tempo, Selasa, 22 Juli 2014. (Baca: Ketua MPR: Pidato Prabowo Memalukan Demokrasi)

Hamdi mengatakan, kondisi itu terjadi karena sikap Prabowo yang selama ini selalu merasa dicurangi secara masif dan tersistematis. Prabowo memiliki kecurigaan berlebih terhadap jalannya proses pemilihan presiden. Padahal, kecurangan yang dilihat oleh masyarakat tidak seperti itu. “Dia paranoid,” ujar Hamdi.

Hamdi menilai, kecurangan yang terjadi di lapangan bisa saja dilakukan kedua kubu. Prabowo tidak bisa melihat kondisi tersebut. Dengan pribadi yang demikian plus ditambah masukan dari orang-orang di sekitarnya, akan membuat keputusan Prabowo tidak tepat. “Seolah-olah bangsa ini berkonspirasi mencurangi dirinya,” kata Hamdi. (Lihat juga: Ditolak Prabowo, Pilpres Tetap Dianggap Sah)

Prabowo mengatakan dirinya beserta partai dan tim pendukung menarik diri dari proses rekapitulasi perhitungan suara pemilihan presiden yang telah diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum. Prabowo menilai selama prroses pemilihan, sejak dari pencoblosan hingga pemungutan suara, terdapat indikasi kecurangan yang telah dilakukan.

Ia mempertanyakan sikap KPU yang tidak melaksanakan rekomendasi yang diberikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum. “Bagaimana bisa yang memiliki hak pilih ada 300 orang, tapi yang memilih ada 800 orang,” kata dia. Pihaknya siap menerima segala kemungkinan terjadi dalam pilpres ini, asalkan tidak ada kecurangan di dalamnya. (Simk pula: Jokowi-Kalla Sah Jadi Presiden/Wakil Presiden)  

SAID HELABY
TEMPO.CO, Jakarta - Pada penetapan hasil rekapitulasi pemilu presiden oleh Komisi Pemilihan Umum hari ini, Selasa, 22 Juli 2014, calon presiden dari poros koalisi PDI Perjuangan, Joko Widodo, berada di Waduk Pluit, Jakarta Utara. Jokowi tiba di Waduk Pluit pada pukul 14.55 WIB.

Jokowi kemudian langsung menuju tepi waduk dan terlihat merenung. Jokowi berbincang singkat dengan Anies Baswedan dan kemudian menerima sebuah telepon. Ia lalu jongkok, menghadap danau dan melamun. Setelah beberapa menit, Jokowi bangkit. Jokowi langsung ditahan oleh puluhan wartawan cetak maupun elektronik yang sudah menunggunya. (Baca juga: JK: Kami Sayangkan Sikap Prabowo)

Menanggapi Prabowo Subianto yang menolak hasil rekapitulasi pemilu, Jokowi mengatakan bahwa capres nomor urut satu itu merupakan seorang negarawan. "Saya yakin Prabowo adalah negarawan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya," katanya di Waduk Pluit, Selasa, 22 Juli 2014. (Baca juga: JK: Kami Sayangkan Sikap Prabowo)

Mengenai seluruh proses yang terjadi di KPU, Jokowi menegaskan akan tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat. Setelah memberikan tanggapan, Jokowi, ditemani Anies Baswedan langsung duduk di sebuah kursi di taman Waduk Pluit. Keduanya tampak berbincang di hadapan puluhan pewarta. (Baca juga: Isi Pidato Prabowo Tolak Pelaksanaan Pilpres)

Tidak ada satu politikus partai pun yang hadir di Waduk Pluit, hanya tampak Anies Baswedan dan Anggit Nugroho.

ANANDA TERESIA


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --Calon Wakil Presiden (Cawapres) pasangan nomor urut 2, Jusuf Kalla (JK), menyayangkan sikap calon presiden (capres), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang memilih untuk mengundurkan diri dari proses Pemilihan Presiden (pilpres) 2014.
Kepada wartawan di kediamannya, di Jalan Brawijaya nomor 6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2014), JK mengatakan pengunduran diri Prabowo - Hatta tidak akan mempengaruhi proses pemilihan presiden yang sudah berlangsung. Pasalnya pencoblosan sudah selesai dilakukan pada 9 Juli lalu,
"Kita tentunya menghargai sikap beliau. Hal ini adalah hak beliau," katanya.
Menurut JK, sikap yang diambil Prabowo - Hatta itu, tidak akan mempengaruhi legitimasi pasangan Joko Widodo (Jokowi) - JK, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan nomor urut 2 itu sebagai pemenang.
"Ini tidak mempengaruhi apa-apa, dari kami, tetap saja kita akan lurus." Ujarnya.
Namun demikian JK mengaku juga mengapresiasi, pernyataan Prabowo yang menegaskan pihaknya tidak akan menggunakan kekerasan, dan menghimbau pendukungnya untuk tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
"Beliau bilang tidak akan menggunakan kekerasan, dan memerintahkan orang-orangnya untuk tidak menggunaan kekerasan, kita sangat hargai," tegasnya.
Solopos.com, JAKARTA — Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga putra mantan Ketua Umum PAN Amien Rais, Hanafi Rais, mengucapkan selamat kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang unggul dalam penghitungan data C1 dan real count beberapa pihak. Calon anggota legislatif terpilih ini pun menyampaikan lima pesan terkait Pilpres 2014 ini.
Pertama, sebagai generasi muda Indonesia, dia mengingatkan bahwa tujuan utama berdemokrasi adalah menghargai pilihan rakyat. Pilpres 2014 sebagai bentuk pesta demokrasi harus tetap menjadi pestanya rakyat Indonesia.
“Oleh karena itu, proses Pilpres 2014 tidak boleh membawa rakyat Indonesia menjadi saling membenci dan terpecah belah, yang justru akan menyengsarakan rakyat Indonesia,” kata Hanafi melalui keterangan tertulisnya kepada Detik, Minggu (20/7/2014).
Kedua, Hanafi Rais mengingatkan bahwa setelah Pilpres 2014 ini, masih banyak tugas berat yang harus dikerjakan untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai persoalan dan ancaman bangsa.
Ketiga, sebagai generasi muda Islam Indonesia, Hanafi Rais mengajak semua pihak pada Ramadan ini agar meninggalkan segala nafsu kebencian, dan amarah. Dua nafsu itu menurut dia bisa menimbulkan dampak negatif dalam proses berdemokrasi. “Ukhuwah Islamiyah demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia harus kembali ditegakkan di dalam bulan suci ini,” kata Hanafi.
Keempat, sebagai generasi muda Partai Amanat Nasional (PAN), dia mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Pasangan nomor urut satu itu dinilai telah menjaga secara aktif proses demokratisasi Indonesia melalui Pilpres 2014.
“Kami berterima kasih pula kepada Komisi Pemilihan Umum [KPU] yang telah bekerja keras untuk menjaga dan mengawal proses pemilihan umum yang jujur, bersih dan transparan,” papar Hanafi.
Terakhir, sebagai generasi muda PAN, dia mengajak kepada semua calon pemimpin bangsa, baik yang di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif, untuk selalu menjaga kebersamaan.
“Kita harus tetap menjaga semangat reformasi untuk menyelamatkan Indonesia dari kemiskinan, dari kebodohan, dari ketertinggalan, dari dominasi asing, dari segala bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, serta dari potensi konflik dan intoleransi,” kata pria kelahiran Chicago, 9 Oktober 1979 itu.
 BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menilai pelaksanaan Pilpres 2014 di

Jawa Barat sejauh ini berjalan kondusif. Belum ada kendala berarti yang menghambat jalannya pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

“Kami sudah koordinasi, Jawa Barat kondusif. Kita bersyukur Jawa Barat sebagai provinsi terbesar Alhamdulillah kondusivitasnya berjalan baik, masyarakatnya disiplin, bisa diatur, dan tidak emosional,” ujar Aher di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/7/2014).

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pelaksanaan pesta demokrasi di Jawa Barat berlangsung kondusif, baik pilwalkot, pilbup, pilgub, hingga pileg.

“Sudah banyak bukti, pesta demokrasi yang lalu kan tidak ada persoalan berarti," ungkapnya.

Ia pun mengimbau agar semua pihak terus menjaga kondusivitas yang sudah berjalan baik ini. Hal yang terpenting, lanjut dia, jangan sampai ada kekerasangan yang bisa merugikan sejumlah pihak.

“Ini pesta demokrasi lima tahunan, jangan sampai memporakporandakan persatuan dan kesatuan,” tegasnya.

Hal yang terpenting, kata Aher, siapa pun yang menang harus didukung. “Silakan masyarakat berpendapat. Hasilnya sebagai bangsa, kita terima siapa pun (yang terpilih),” tandasnya.
(ton)
TRIBUNMANADO.CO.ID, YOGYAKARTA - Kicauan Butet Kartaredjasa melalui akun miliknya @masbutet laris diretwwet oleh followernya setelah mengeluarkan ocehan soal Prabowo kemarin petang. Hingga Minggu (20/7/2014) pukul 14.10 Wita tweet Butet diretweet 359 kali.

Liputan6.com, Jakarta - Tiga hari menjelang pengumuman hasil penghitungan resmi pemilu presiden 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), beredar pesan singkat di kalangan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN). Isinya, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN Amien Rais disebut mengakui keunggulan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

"Teman2 yg ku sayangi. Dari Bukber di Rmh Menhut, Pak Amien Rais meneruskan laporan dari Timses PH, bahwa kita kalah diatas 4 %. Semoga. Allah memberikan kekuatan dan keichlasan kdp kita. Aamin YRA.Wass." Demikian bunyi pesan singkat yang beredar melalui SMS, Whatsapp, dan BBM.

Saat dikonfirmasi, staf khusus Ketua Umum PAN, Yasin Kara, membenarkan substansi pesan tersebut. Dia mengaku hadir dalam acara buka puasa bersama di rumah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Sabtu 19 Juli 2014 malam, di Jakarta.

"Pak Amien tidak menyebut angka (selisih perolehan suara), tapi dia mengatakan Tuhan belum memilih apa yang kita pilih," kata Yasin, saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (20/7/2014).

Menurut Yasin, acara buka puasa bersama itu dihadiri sekitar 500 kader PAN, dari jajaran elite hingga kader biasa. Namun minus cawapres Hatta Rajasa.

"Sebenarnya itu penerimaan seorang Muslim yang baik. Itu sikap legowo yang ditunjukkan Pak Amien. Sebagai manusia memang tetap ada kecewa," ujar Yasin.

Menurut Yasin, sikap Amien tersebut didasarkan pada sebagian besar hasil real count yang ada. "Memang bahwa sampai sekian persen suara yang masuk, Jokowi ungguli Prabowo. Kalaupun ada pemilihan ulang, seperti yang terjadi di DKI, angkanya tidak signifikan," ucap mantan calon legislatif PAN itu.

Dalam buka puasa kader PAN itu, Amien juga dikabarkan meminta seluruh kader PAN cooling down. "Saya sependapat dengan Pak Amien, lebih bagus cooling down demi kepentingan bangsa. Sikap untuk menerima kekalahan ini, sudah diteruskan ke pimpinan PAN di daerah," kata Yasin.
Ketika dikonfirmasi hal ini, putra Amien, Hanafi Rais, mengatakan belum ada pernyataan menerima kekalahan dari ayahnya. Tapi dia mengakui, ada permintaan agar kader PAN bersikap cooling down.

"Kalau cooling down itu pernyataan normatif," ujar dia ketika dihubungi Liputan6.com, Minggu (20/7/2014).
Hanafi sendiri mengaku tidak sepenuhnya mengikuti acara buka puasa kader PAN tersebut. "Saya tidak begitu tahu yang terjadi di pusat, tapi tentu yang berhak memberi pendapat soal itu adalah kandidatnya sendiri," kata Hanafi. (Yus)

(Sunariyah)
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2080575/h-3-pengumuman-kpu-amien-rais-akui-kekalahan-prabowo-hatta#sthash.XDulCk8q.dpuf
Tribunnews.com, Jakarta -  Pengamat Politik Kunto Adi Wibowo mengatakan jika pengumuman hasil Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar-benar ditunda seperti permintaan salah satu pasangan capres, maka hal itu akan mengekskalasi teror di tengah masyarakat yang dapat memicu konflik horisontal.
Menurut dia walau dimungkinkan Undang-undang, penundaan sebaiknya dipikirkan lebih matang melihat akibatnya di tengah masyarakat.
"Penundaan ini akan lebih mengeskalasi teror dan ancaman, serta  akan memicu konflik horisontal," ujarnya, Minggu (20/7/2014).
Kunto mengatakan rakyat sudah kebanjiran informasi politik dari pilpres, yang bila hasilnya ditunda maka partisipasi politik rakyat yang telah tumbuh akan sontak layu.
Penundaan hasil pilpres, katanya, akan menyebabkan rakyat makin muak dengan perilaku elit politik yang lebih mengawal kemenangannya sendiri dari pada mengawal proses demokratisasi yang berlangsung via pilpres.
"Apalagi jika skenario tuntutan ke MK dari pihak yang kalah benar-benar dilakukan dan memakan proses panjang. Maka bisa dibayangkan tingkat ketidakpedulian yang dilhasilkan dari proses politik yang dianggap masyarakat sangat berorientasi kepentingan elit ini," ujarnya.
Menurut Kunto, permintaan timses Prabowo-Hatta untuk menunda Pengumuman Rekapitulasi Nasional pada tanggal 22 Juli 2014 akan dimaknai beragam oleh rakyat Indonesia.
Namun tetap saja rakyat akan mempertanyakan apakah benar, mereka beserta pendukung dan relawannya benar-benar menemukan kecurangan yang masif dan sistematis sehingga perlu untuk mengulang rekapitulasi suara di beberapa daerah bahkan pemungutan suara ulang (PSU).
Kata kecurangan yang dalam beberapa hari ini sering disuarakan oleh kubu salah satu capres, dinilai Kunto, menandakan mereka akan membawa hasil Pilpres ke MK dan akan makin berlarut-larut.
"Selain itu istilah kecurangan justru semakin jarang disuarakan oleh timses dan relawan pasangan lawan politiknya sejak tiga hari terakhir ini" katanya.(bum)

 

 

detik Jakarta - Kubu Prabowo-Hatta meminta rekapitulasi nasional 22 Juli diundur karena menduga ada banyak indikasi kecurangan. Semua pihak pun diminta untuk memberikan kepercayaan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena permintaan itu disebut tidak realistis.

"Kalau ada usulan atau ide tentang diundurnya rekapitulasi menurut saya tidak realistis kecuali ada masalah besar. KPU kan bilang baik-baik saja," ujar pengamat politik Ari Sujito kepada detikcom, Sabtu (19/7/2014).

Dosen ilmu Sosiologi di UGM ini pun menilai agar semua pihak mengikuti prosedur yang sesudah ditentukan. Bagi KPU sendiri berarti memenuhi jadwal secara optimal.

"Persis yang Pemilu sebelumnya, waktu pileg. Verifikasi, penghitungan kan sebulan sempat diragukan tapi ternyata bisa. Ternyata KPU bisa kan, apalagi sekarang Pilpres," tambah Ari.

Menurut Ari poinnya saat ini adalah masing-masing pihak mendukung KPU. Selain itu semua pihak diminta jangan mengada-ada dan justru memberi support kepada KPU jika ada kesulitan.

"Bangun trust Kepada KPU, jangan mengada-ada. Jangan belum apa-apa malah disuruh mundur, itu justru akan memperlambat. Beri kesempatan KPU untuk bekerja seoptimal mungkin. Kalau ada hambatan ya disupport," tutur Direktur IRE (Institute for Research and Empowering) itu.

Ari menyebut akan ada implikasi yang cukup signifikan jika rekapitulasi nasional diundur. Semua tahapan justru akan mundur.

"Justru mundur semua nanti. Belum nanti kalau ada sengketa Pilpres. Selama KPU masih bilang Ok saja ya artinya Ok, jangan suruh mundur atau malah bikin warning. Beri trust kepada KPU," kata Ari.

Selain itu menurut ketua Ormas Pergerakan Indonesia ini, implikasinya nanti akan ada image buruk dari masyarakat kepada KPU. Masyarakat akan menilai KPU tidak bekerja dengan baik. Untuk itu Ari meminta agar semua pihak menghormati keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

"Siapapun yang menang di mata hukum dan politik hormati saja seluruh keputusannya. Kalau ada sengketa bisa melalui MK, kalau tidak ada sengketa mari rekonsiliasi, yang kemarin bermusuhan ya benahi. Energinya untuk memperbaiki bangsa bersama-sama," tutup Ari.
 

 

Ernest Prakasa

Merdeka.com - Komedian ini juga membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Prabowo Subianto . Berikut ini isi suratnya yang ditulis di laman tumblr.com.

Yth. Bapak Prabowo Subianto .

Setelah pemungutan suara dilakukan, beberapa lembaga survey kredibel merilis quick count yang menyatakan bahwa anda kalah.

Saya lantas cemas, apakah Bapak bisa menerima kekalahan ini? Apakah Bapak siap untuk mengakui bahwa setelah segala upaya yang Bapak lakukan, Pak Jokowi tetap unggul?

Saya takut Bapak melakukan segala daya upaya untuk membalikkan hasil ini. Meski itu harus berujung pertumpahan darah.

Saya waswas pesta demokrasi ini berubah menjadi perang antar saudara sebangsa.

Jadi, harap saya hanya satu, Yth. Pak Prabowo.

Saya berharap, semoga saya salah.

Hormat Saya,

Ernest Prakasa

Merdeka.com - Penulis cerpen ini juga ikut menulis surat terbuka untuk Prabowo di tumblr. Berikut isinya:

Pak Prabowo Yang Terhormat,

Saya yakin anda tahu, kehormatan seseorang tidak dipandang dari sekadar kemenangan, tapi kejujuran.

Saya juga yakin anda punya kejujuran itu.

Sebab meskipun kejujuran bisa diabaikan, Ia tak bisu.

Hormat saya,

Djenar Maesa Ayu

Arswendo Atmowiloto

Merdeka.com - Penulis dan sastrawan ini juga menulis surat terbuka untuk Prabowo Subianto . Berikut ini isi surat Arswendo yang ditulis di dalam tumblr.

Disertai salam buat Bapak Prabowo-Hatta yang baik,

Saya, Arswendo, dan sebenarnya kurang percaya bahwa surat seperti ini bisa mengubah sikap. Apa lagi dalam soal di mana kepresidenan dipertaruhkan. Jadi saya lebih percaya kalau ada perubahan, itu semata karena Bapak Prabowo-Hatta menghendaki secara pribadi, bukan semata karena surat yang bahkan kesempatan dibaca dan direnung sangat kecil. Tak apa kalau tak terbaca, biarlah surat ini menjadi doa. Dan karena itu saya berpengharapan.

Perubahan yang saya maksudkan adalah lebih memihak kepada rakyat dengan tidak membuat bingung, cemas, memihak dengan menghormati apa yang rakyat inginkan, meneruskan apa yang mereka pilih. Bahkan kalau Bapak memiliki kemampuan, kekuatan, kuasa untuk mengecoh tidak perlu dilakukan. Bukan karena apa, melainkan sekarang ini kesempatan emas membahagiakan dan mendaulatkan rakyat.

Salam dan terima kasih,

Arswendo Atmowiloto

Riri Riza

Merdeka.com - Sutradara terkemuka Indonesia, Riri Riza juga menulis surat yang sama. Dia menulis panjang lebar di laman tumblr. Berikut ini isinya:

Untuk Bapak Prabowo,

Saya belum pernah bicara dengan Bapak, mungkin karena itu bagi saya tidak terlalu mudah menulis surat ini. Karenanya saya ingin mulai dengan cerita saja: Saya sudah menyaksikan sendiri sebagian kecil keindahan Indonesia, dan bertemu dengan mereka yang adalah bagian penting darinya. Anak-anak Indonesia. Mereka berlarian di pesisir Aceh, berjalan pulang sekolah di kaki gunung di Flores, Bermain bola perbatasan Timor, berlarian di pinggiran kebun kelapa sawit di Lebak atau Jambi.

Mereka adalah orang-orang yang jarang terdengar, Mereka tidak datang dari keluarga terpandang atau kaya raya. Kebanyakan dari mereka orang biasa, orang sederhana.

Di tahun pemilihan presiden ini muncul dua calon yang harus diakui adalah putra terbaik yang lolos dalam sistem seleksi politik kita. Calon pertama adalah Pak Prabowo sendiri, anak ekonom terpandang,? mantan petinggi militer, pengusaha, pendiri partai politik. Calon kedua adalah contoh kebanyakan orang Indonesia yang banyak saya temui dalam perjalanan saya itu, Bapak Joko Widodo. Jokowi orang biasa, tidak terlalu punya citra umum pemimpin di Indonesia, ia kurus dan berpenampilan sederhana serta datang dari keluarga biasa di Solo. Namun, ia melesat sebagai pengusaha, walikota dan gubernur yang dicintai rakyatnya.

Pak Prabowo, walau saya adalah pendukung Jokowi, saya cukup tersentuh oleh sikap bapak? dalam beberapa bagian debat capres di televisi nasional. Bapak menunjukkan sikap terbuka, hangat memeluk Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla, bahkan mengungkapkan akan? bersedia menerima apapun hasil dari pemilihan presiden. Prabowo dan Jokowi adalah putra terbaik, wajar saja bersikap tetap saling hormat dalam sebuah kontes pimpinan nasional.? Kita telah melewati masa kampanye dan pemilihan yang berjalan baik dan relatif damai.

Nah, pada pengumuman resmi 22 Juli 2014 nanti, hanya dua kemungkinan yang bisa terjadi bagi kedua calon: kalah atau menang. Tentu bapak menyadari ini saat memutuskan untuk maju sebagai calon presiden.

Saya tutup surat ini dengan mengirimkan kepada bapak sebuah lagu yang tentu Bapak kenal: Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki. Lagu yang mengingatkan keindahan Indonesia, yang akan lebih banyak Bapak nikmati sambil berbakti pada bangsa dengan berbagai kelebihan yang yang bapak miliki, jika rakyat ternyata memilih Bapak Joko Widodo sebagai presiden RI.

Demi masa depan, demi anak-anak Indonesia.

Demikian Pak Prabowo.

Salam,

Riri Riza
JAKARTA, KOMPAS.com — Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta belajar sportivitas dari ajang Piala Dunia 2014. Meski ajang yang dimenangi oleh Jerman itu berlangsung keras dan sengit, tetapi semua tim tetap bisa bermain secara sportif.
"Boleh main keras, tapi tunduk pada keputusan wasit. Begitu pula dalam pilpres ini, kontestan pilpres boleh bersaing keras, tapi nanti harus bisa menerima apa pun yang diputuskan oleh wasit, yaitu Komisi Pemilihan Umum," kata peneliti senior Indonesian Public Institute Karyono Wibowo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (18/7/2014).
Dia mengharapkan kedua capres pada penetapan presiden terpilih 22 Juli mendatang bisa mengedepankan sikap negarawan, khususnya bagi pasangan yang kalah. Menurut dia, saat ini ada calon presiden yang sudah mengatakan untuk siap kalah dan menerima keputusan rakyat.
Dia berharap pernyataan itu tidak sekadar ucapan di mulut saja. "Jangan lip service saja, tapi perilakunya tidak seperti itu. Pilpres 2014 sedang menunggu detik-detik akhir, kenegarawanan para capres salah satunya bisa diukur dari kesiapan menerima kekalahan," ujarnya.
Selain belajar dari sepak bola, menurut Karyono, kedua pasang capres juga bisa belajar dari bagaimana tradisi politik yang diterapkan founding fathers seperti Soekarno, Hatta, atau Sutan Syahrir saat pasca-kemerdekaan dulu. Meski ada perbedaan ideologi, menurut dia, mereka tetap saling menghormati satu sama lain.
WARTA KOTA, PALMERAH— Peneliti sekaligus pengamat masalah sosial dan politik asal Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat, Made Tony Supriatma, mengaku melihat ada gejala yang tidak beres pada kubu calon presiden (capres) nomor urut 1 Prabowo Subianto.
Alumnus Fisip UGM dan Cornell University yang tinggal di Clifton, New Jersey AS ini menjelaskan, gejala itu terlihat setelah Stasisun TVOne milik Ketua Umum Partai Golkar yang selama kanmpanye Pilpres menjadi corong bagi kubu Prabowo sudah mulai menyiarkan hasil hitung cepat peroleh suara selain versi mereka.
"Sebelumnya Jubir Golkar Tantowi Yahya sudah berhitung dengan kemungkinan Golkar mengalihkan dukungan ke Jokowi. Rasanya, kubu Prabowo retak," tulis Made yang diunggah di akun facebooknya, Jumat (11/7/2014) .
Persoalannya, sambung Made Tony, berapa lama lagikah Prabowo bisa menjaga kesatuan koalisi yang dia bangun. "Apa 'leverage' yang dia miliki?," ujarnya bertanya. "Perlu diingat ini koalisi dengan spektrum ideologi yang sangat warna-warni. Kepentingan di dalamnya juga beraneka warna," tambahnya.
Menurut Made, orang-orang dari berbagai parpol yang berada di koalisi yang dibangun Prabowo bukanlah politisi yang bodoh. Mereka tahu bahwa koalisi ini sudah kalah dan sekarang sedang sibuk mencari konsesi ke pihak Jokowi.
"Ini terutama berlaku untuk partai-partai sekuler nasionalis model Golkar dan Demokrat. Golkar adalah partai yang tidak bisa hidup tanpa kekuasaan. Dia adalah cacing pita politik Indonesia. Sehingga, Golkar paling mudah untuk keluar dari koalisi," ujarnya.
Sementara itu, sambungnya, orang-orang dari Partai Demokrat masuk ke kubu Prabowo secara setengah hati, setelah Megawati yang menurut Made berpolitik dengan mengandalkan dendam, menolak semua proposal koalisi SBY, Presiden RI yang kini menjadi ketua umum partai tersebut.
"Yang paling menderita adalah partai-partai Islam seperti PPP dan PKS. Mendukung Prabowo habis-habisan nggak akan ada gunanya. Kita tunggu apa langkah mereka berikutnya," katanya.
Sebelumnya akademisi yang banyak melakukan penlitian tentang militer ini mengemukakan hasil pengamatannya atas pemberitaan media milik Aburizal Bakrie (VIVAnews) menyusul pengumuman hasil Pilpres versi 'real count' yang dikumpulkan oleh internal tim kampanye kubu Prabowo-Hatta.
"Kebetulan, hari ini, dua ilmuwan politik yang mempelajari Indonesia mengeluarkan sebuah tulisan yang isinya mengingatkan 'game plan' dari kubu Prabowo itu. Tulisan ini sangat penting. Karena tidak saja dikerjakan oleh dua orang akademisi yang profesional tetapi juga karena ketepatan bidikan dan analisisnya," ujar Made Tony.
Made menjelaskan, artikel yang berjudul 'Prabowo's game plan' itu antara lain menyebutkan usaha yang mungkin akan dilakukan oleh kubu Prabowo untuk memenangi pemilihan ini. "Sangat jelas disebutkan dalam artikel ini bahwa Rob Allyn, konsultan politik AS yang disewa Prabowo, sangat ahli dalam membentuk dan mengeksekusi 'game plan' ini," tutur Made lagi.
Usaha pertama ialah "muddy the statistical waters' atau kacaukan statistik dengan mekakai pollsters yang tidak kredibel. Ini menurutnya jelas sudah dilakukan sejak hari pertama setelah pemilihan.
"Quick counts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan kemudian dikampanyekan lewat TV yang dikuasai Bakrie dan Hari Tanoe -- para sekutu Prabowo," tulisnya
Usaha kedua, 'steal the results." Curi hasil pilpres ini. Pengacauan hasil quick counts ini tujuannya adalah untuk memunculkan kebingungan di kalangan para pemilih. Ini juga akan memberikan mereka waktu untuk menggoreng hasil pemilihan versi mereka.
"Persis itulah yang hendak mereka lakukan pada saat ini. Mereka akan mengumumkan real count versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan hasil resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di masyarakat. Dengan kata lain, tujuan mereka mengumumkan hasil real count versi mereka adalah mendelegitimasi hasil yang akan diumumkan oleh KPU!" tegas Made.

 

 

Prabowo’s game plan

Prabowo Subianto claims ‘victory’ at his campaign headquarters in Jakarta on Wednesday evening. (Photo: Reuters)

Let’s be clear about one thing: Joko Widodo (Jokowi) has won Indonesia’s 9 July presidential election. If the formal vote counting and tabulation process concludes without massive fraud, he will be sworn in as the country’s new president on 20 October of this year.
The reason we can be sure of this despite the absence of an official announcement by the Election Commission (KPU) is the availability of quick counts carried out by Indonesia’s credible survey institutions. Quick counts occur when a survey institute places field workers in a sample of polling booths and, when the formal counting of the ballots at the polling booth is complete, those workers convey the results (usually by telephone) to a central collation centre. If the sample polling booths are properly selected and sufficiently great in number and the count is administered correctly, well-organised quick counts can predict the final outcome of the formal count within a very narrow margin of error.
On voting day, within hours of the polls closing, eight of these institutions released their results showing that Jokowi had won the election by a solid margin:
Screen Shot 2014-07-10 at 17.57.40
Critically, most of these organisations are widely respected for their integrity, professionalism, and technical skills in survey methodology—a reputation they earned by producing highly accurate quick counts since 2004, when direct local and presidential elections were introduced. Even RRI (Radio of the Indonesian Republic), the country’s state broadcaster—a relative newcomer to the business of quick counts—had drawn praise for its performance in the 2014 legislative elections; indeed, its quick count came closest to the actual result. The fact that all of Indonesia’s credible survey institutions coincided in finding a Jokowi victory, and by a broadly similar margin, means it is all but a statistical impossibility that Jokowi will not emerge victorious in a properly conducted formal KPU count.
On the basis of these quick counts, Jokowi yesterday claimed victory in the election (though he used typically casual language in doing so) and he called on his followers to closely monitor the formal counting of ballots in the next two weeks. However, at the same time, four organisations produced quick counts of their own that showed a Prabowo Subianto victory, albeit by narrower margins.
Screen Shot 2014-07-10 at 18.07.46
On the basis of this smaller number of quick counts, Prabowo Subianto has also claimed victory. Consequently, Indonesia is now set for a period of significant political confusion, uncertainty, and even instability, in the weeks leading to the formal announcement of the results by the KPU on 22 July.
How can this confusion have arisen? We wish to be very clear that this is not a matter of a range of equally credible quick counts showing a wide range of potentially legitimate results. Rather, the confusion is part of Prabowo Subianto’s strategy to steal the election, a strategy that evidently has been long in the making. Reportedly, one of Prabowo’s chief campaign strategists, Rob Allyn, has been known not only for his expertise in negative campaigning but also for producing surveys which create the impression that an electorally weak candidate is competitive, and using the subsequent confusion among the electorate to manoeuvre this candidate into a more favourable position. Allyn has been known for this strategy in Mexican elections. It seems Indonesia is fertile ground for the same method.
Step 1. Muddy the statistical waters.
Over the last decade or so, as well as an array of highly professional survey institutes, it is widely recognized that many organisations have arisen that are willing to tailor their survey results to favour their clients, and even to falsify surveys altogether. They typically do so when producing voter surveys, in the belief that some Indonesian voters are more likely to back a winner and that falsely high survey result will thus boost a sponsor’s chance of being elected.
Though we have no direct evidence that the organisations producing the quick counts favouring Prabowo were paid to falsify their results, their track records give us every reason to be highly suspicious—indeed to be certain—that manipulation of some sort has taken place. For example, one of the organisations mentioned above, LSN (Lembaga Survei Nasional; National Survey Institute) has a consistent record of producing survey findings that show results for Prabowo and his Gerindra party that are much higher than the findings of established pollsters. As early as 2009, LSN predicted in the parliamentary elections then that Gerindra would get 15.6 percent of the votes—it eventually ended up with 4.5 percent. In the 2014 parliamentary elections, LSN issued a very early quick count even before polls had closed—stating that Gerindra would come first with 26.1 percent, obviously hoping that last-minute voters would bandwagon. At the end, Gerindra finished third with 11.8 percent. Two days before the presidential elections, LSN issued a poll that showed Prabowo leading by 9 percentage points—although other, credible pollsters had Jokowi leading by between 2 to 4 percent.
Puskaptis, another pollster whose quick count saw Prabowo ahead on the evening of 9 July, has a similarly questionable history. In 2013, the head of Puskatis, Husin Yazid, had to be rescued from an angry crowd protesting against his manipulation of a quick count in the gubernatorial elections in South Sumatra. JSI (Jaringan Suara Indonesia; Indonesia Vote Network), for its part, has almost no track record, except for falsely predicting Governor Fauzi Bowo’s victory against Jokowi in Jakarta in 2012, and for claiming in the same year that 64 percent of Indonesians thought that Prabowo was the most suitable candidate for the Indonesian presidency. Finally, IRC (Indonesian Research Center) is reportedly owned by Hary Tanoesoedibjo, a media tycoon aligned with Prabowo. In June 2014, IRC predicted that Prabowo would win the presidency against Jokowi with 48 to 43 percent—using a thus far unheard-of methodology: it combined the polling numbers of all presidential candidates into an index and redistributed them based on whether they now supported Prabowo or Jokowi. It is hard to think of a less professional approach to opinion polling.
It is unsurprising, then, that these organisations came to the quick count results that they published on 9 July. And it is equally telling that all these organisations released their findings on tvOne—the television channel owned by Prabowo ally Aburizal Bakrie which has produced blatantly pro-Prabowo coverage throughout the election. In the lead-up to the presidential elections, tvOne had signed an exclusive contract with Poltracking, a new but relatively reputable institution. On the morning of voting day, however, Poltracking was told by tvOne that other institutions would join the quick count coverage of the pro-Prabowo station. Knowing about the questionable reputation of these institutions, Poltracking resigned from the contract with tvOne at 10am on 9 July. It later announced a quick count result that, like other credible survey institutions, saw Jokowi as the winner. The others, as explained above, followed tvOne’s very obvious preference and published the quick counts that falsely declared Prabowo to have won.
Step 2. Steal the results.
Why produce fake quick results? Votes have already been cast, so the intention cannot be to influence voter behavior. The purpose is clear: to buy time and sow public confusion about the election result, while preparing other methods to produce a victory in the formal count.
There are two ways through which Prabowo could potentially win at this stage. The first would be to wait for the formal announcement of the result and then challenge it in the Constitutional Court. The margin of Jokowi’s victory, however, means that even if the Prabowo camp can find examples of maladministration in the count here and there—it will almost certainly be able to do this because Indonesian elections are far from flawless in their execution—it will not be able to overturn the result through a formal challenge. Jokowi’s current advantage is an estimated 6.5 million votes; thus, Prabowo would have to swing around 3.3 million votes to draw even with Jokowi or gain a slight lead. No Constitutional Court decision, whether on cases at the local or national level, has ever shifted this amount of votes from one candidate to another. In rare cases, the Court agreed to move a few hundred or few thousand votes—but nothing of this magnitude. Similarly, the Court has ordered re-votes in some cases, but mostly in individual voting stations or districts.
This leaves one other option: manipulation of the formal counting and vote tabulation process. We know from other Indonesian elections—most recently the April legislative election—that vote ‘trading’ in the counting process is widespread. Candidates can and do bribe election officials at every level—from the individual polling booths up through the various levels of village, subdistrict, district and then provincial level commissions that collate the results—to shift votes from one party or candidate to another, to enter votes ‘on behalf’ of voters that did not turn up at the booth, or engage in other forms of manipulation. In the April legislative elections, fraud was massive but likely had little effect on the overall share of the votes attained by different parties because candidates from all parties engaged in such practices in highly fragmented and uncoordinated patterns.
It will be unprecedented in Indonesia’s democratic experience for a candidate to try to steal the presidential result. But it is highly likely that Prabowo’s camp will make the attempt. Particularly vulnerable are areas (such as the island of Madura) where Prabowo supporters dominate local power structures and where Jokowi or his PDI-P had few scrutineers at the polling booths to record the results as they were counted (exit polls on voting day showed that Prabowo had observers at 88 percent of all voting stations, against Jokowi’s 83 percent). It’s also especially likely that such manipulation will occur in areas where governors are district heads are Prabowo supporters, and where they will be able to exert pressure on local officials to intervene in the count.
Where to now?
During the election campaign, Prabowo Subianto posed as a democrat. In fact, he protested regularly against being portrayed as a “dictator”—even in his last Facebook message to supporters before the election, he complained about the non-democratic image given to him by unspecified forces. Now, however, he delivers the final piece of evidence that he truly is a would-be autocrat who has no respect for the will of the people and would stop at nothing to win power, even if he has to lie and cheat his way to the presidency.
We think that it is likely that Prabowo will fail in his efforts. The scale of Jokowi’s victory is such that too many votes would need to be shifted to Prabowo’s side of the ledger in order to steal the result. However, we cannot be fully confident about this prediction: what we know about Prabowo’s ruthlessness, past experiences of widespread fraud in vote counting, the weakness of the PDI-P’s monitoring apparatus, the strength of the Prabowo’s political networks in the regions, and the vast material resources they have at their disposal all suggest that the Prabowo camp will be able to make a concerted effort to overturn the result. Doing so, however, will not be easy. The scale of the manipulation required means it will be relatively easy to detect, and it will invite massive resistance from Jokowi’s supporters. A major escalation of political conflict is possible.
Indonesian democracy is not out of danger. In a series of previous posts (here, here and here) we have warned that Indonesia’s post-Suharto democratic system would be endangered should Prabowo be elected president. He now looks prepared to destroy it in order to gain the post.
……………
Edward Aspinall & Marcus Mietzner conduct research on Indonesian politics at the Department of Political and Social Change at the Australian National University’s College of Asia & the Pacific. They have been in Indonesia observing the 2014 legislative and presidential elections.


JAKARTA, KOMPAS.com — Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha menyarankan agar Ketua Umum Hatta Rajasa yang maju sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto untuk tidak ngotot atas kemenangannya.

Toha berharap, baik Hatta maupun Prabowo, bersikap gentle, seperti negarawan, sehingga tak menimbulkan potensi perpecahan bangsa Indonesia. Toha secara terbuka menyampaikan seruan ini dalam surat terbuka yang ditulisnya di Kompasiana. (Baca: Kirim Surat Terbuka, Pendiri PAN Kecewa Hatta Rajasa Percaya Survei "Abal-abal")

"Saya sarankan, mereka melihat kenyataan saja. Saya yakin di dalam hati kecil, mereka sudah tahu mereka kalah. Sudahlah akui saja, jadi gentlement, jadi negarawan, kan delapan lembaga survei ini melakukan quick count tidak pernah salah," ujar Toha saat dihubungi Kompas.com, Minggu (13/7/2014).

Menurut Toha, hasil hitung cepat dilakukan di hampir pemilu-pemilu dunia. Hasil hitung cepat itu, lanjut Toha, dilakukan untuk mengontrol jangan sampai terjadi kecurangan. Oleh karena itu, Toha mengaku menyesalkan sikap Hatta yang justru lebih percaya pada lembaga survei yang disebutnya "abal-abal".

"Jadi, maksud saya, ngotot untuk apa? Jangan kemudian nanti menimbulkan kesan, kalau ada-apa. Bersikaplah negarawan. Menunggu hasil KPU boleh, tapi terimalah hasil quick count lembaga yang profesional. Tenangkanlah pendukung di bawah," ujarnya.

Toha menganggap sikap Hatta sangat berpengaruh kepada partai. Apabila Hatta dengan jiwa besar menerima kekalahan, Toha mengaku PAN akan dianggap partai yang berakal sehat.

"Tapi, kalau partai ikut-ikutan ngotot suatu hal tidak benar, hanya untuk mencari kemenangan dengan segala cara, PAN bisa saja ditinggal kader-kadernya," kata dia.

Seperti diketahui, pasca-pemungutan suara 9 Juli ini, sejumlah lembaga survei mengadakan hitung cepat. Namun, hasil hitung cepat ini ternyata berbeda-beda. Setidaknya ada 7 lembaga survei yang memprediksi Jokowi-JK menang, di antaranya Cyrus Network-CSIS, Lingkaran Survei Indonesia, Litbang Kompas, Populi Center, dan Indikator Politik.

Sementara itu, empat lembaga survei memprediksi Prabowo-Hatta menang, yakni Jaringan Survei Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nusantara (LSN), IRC, dan Puskaptis.

Dengan hasil itu, masing-masing kubu pun mengklaim kemenangan. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sudah mendeklarasikan kemenangan bagi kubu Jokowi-JK.

Di sisi lain, Prabowo sujud syukur dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang sudah memilihnya sebagai presiden Indonesia selanjutnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengumpulkan setiap kandidat capres dan cawapres di kediamannya pada Kamis malam lalu agar kedua kubu dari pasangan itu bisa menahan diri.

SBY pun sudah menginstruksikan jajaran TNI untuk siaga dalam level tertinggi dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik horizontal. 

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh, seniman, dan produser film membuat surat terbuka kepada calon presiden Prabowo Subianto. Tentu ini bukan balasan dari surat yang pernah dibuat Prabowo sebelumnya kepada para guru, nelayan, dan sejumlah tokoh di Tanah Air. (Baca: Kivlan: Apa Salahnya Prabowo Surati Guru?)

Kumpulan surat terbuka untuk Prabowo Subianto di jejaring sosial Tumblr itu berjudul "Surat untuk Pak Bowo". Sejumlah tokoh yang menulis surat di situ antara lain penulis Djenar Maesa Ayu, Erikar Lebang (pelaku pola makan sehat food combining), komikus Anto Motulz, produser film Mira Lesmana dan Joko Anwar, dan aktris Happy Salma.

Dalam suratnya, Joko Anwar, misalnya, mengatakan, lantaran bekerja sebagai sutradara, dia terbiasa memperhatikan dan menilai orang dalam berakting. "Saya memiliki insting yang kuat, kapan seseorang berpura-pura, kapan seseorang berlaku tulus," begitu tulisan Joko yang dikutip pada Ahad, 13 Juli 2014.

Joko mengatakan dirinya mengikuti kampanye tahun ini dengan sangat saksama. Kesimpulannya, "Bapak (Prabowo) tulus ketika Bapak mengatakan, Bapak ingin berbuat sesuatu bagi bangsa. Saya yakin Bapak tulus ketika Bapak mengatakan Bapak ingin mengubah nasib kami." Namun, Joko menambahkan, bangsa Indonesia lebih membutuhkan seorang pahlawan ketimbang presiden.

"Presiden belum tentu membawa kebaikan kepada rakyat. Tapi menjadi seorang pahlawan, pasti berarti bahwa orang itu telah berjasa atas hidup rakyat," ujar dia. Menurut Joko, inilah saat yang tepat bagi Prabowo untuk menjadi pahlawan, meski bukan berarti harus menjadi presiden. "Bapak telah dicintai dan dipilih 48 persen rakyat Indonesia, relakanlah presiden dipegang oleh yang dipilih 52 persen lainnya," kata Joko. "Jadilah pahlawan kami."

Adapun Happy Salma hanya menulis sebuah surat singkat buat Prabowo. Mengutip surat tersebut, Happy menyatakan tak meragukan kecintaan dan sumbangsih Prabowo bagi Tanah Air. "Dan karena kecintaanmu juga-lah, saya yakin seorang pemimpin harus lahir dari sebuah proses yang jujur dan adil," demikian tulisan dia.

RINI KUSTIANI