Kamis, 27 Oktober 2022

Daur Sospolek: 2018-2020, tahun tanda tanya kondisi KEAMANAN kita

1908: Budi Utomo didirikan
1928: Sumpah Pemuda digemakan
1945: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1955: Pemilu Demokratis Pertama
1965: Kejatuhan Rezim Orde Lama
1974: Demo Antiinvestasi Asing
1998: Kejatuhan Rezim Orde Baru
2018: Jaman HOAK$
2019: MEI : Pertarungan antara yang Puas n Tak Puas @ Pilpres (firesea is not the option)
2020: Maret-April : Darurat kesehatan pandemi covid-19
KAPOLRI: tantangan dahsyat


🐙

tirto.id - Fachri Hafiez masih sesekali ke lapangan untuk mencari berita. Media tempatnya bekerja sudah mulai menerapkan kebijakan kerja dari rumah sebagaimana anjuran pemerintah sejak 18 Maret 2020. "Cuma beberapa kali memang harus ke lapangan. Kayak liputan wajib kantor dan persidangan yang enggak menyediakan live streaming," ujarnya kepada Tirto, Sabtu (4/4/2020). Reporter yang biasa menggarap isu pidana khusus ini merasakan khawatir setiap kali harus ke lapangan dalam kondisi pandemik COVID-19. Lantaran ia tak tahu, apakah area liputannya cukup steril dari virus yang sudah menjangkiti 2.092 masyarakat Indonesia (data 5 April 2020). Tempat Fachri bekerja hanya memberi semacam vaksin influenza. Selebihnya ia bergantung pada diri sendiri dengan rutin mengonsumsi suplemen vitamin 3 kali sehari setiap harus meliput keluar rumah. "Yang paling utama masker dan hand sanitizer. Setelah sampai rumah langsung bersih-bersih. Semua baju, jaket, dan celana langsung cuci," ujarnya. Jika Fachri masih harus meliput ke lapangan saat pandemik, ada pula pegawai media lain yang gajinya dibayar telat dan harus tetap bekerja. Setyo A. Saputro, Ketua Serikat Pekerja di jaringan media daring tempatnya bekerja, mengatakan seharusnya para pegawai mendapatkan hak upah pada tanggal 29 setiap bulan. Namun hingga 2 April 2020, para pegawai belum mendapatkan gaji bulan Maret. "Pengumuman pertama dari pihak manajemen yang disampaikan pada 26 Maret 2020. Di situ, dikabarkan bahwa gaji untuk bulan Maret akan dibayarkan antara tanggal 31 Maret atau 1 April karena alasan pandemi COVID-19, sehingga dana dari pihak ketiga terlambat masuk," ujar Setyo. Setyo mendapatkan kabar bahwa perusahaan berjanji mampu membayar gaji pegawai pada 7 April 2020. Kabar itu membikin para pegawai putar otak untuk menghidupi diri dan keluarga di rumah. Namun, kondisi memprihatinkan itu tidak membuat profesionalisme para pegawai surut. Menurut Setyo, pegawai tetap bekerja seperti biasa meski untuk kebutuhan internet saja terpaksa berutang. "Kalau kondisinya begini, bagaimana kami bisa bekerja di rumah dengan tenang?" katanya. "Kami ini ingin kerja, kok malah dikerjain?" "Di tengah pandemi seperti ini, kami butuh uang buat memenuhi kebutuhan pokok atau vitamin. Belum lagi banyak kawan-kawan yang masih punya bayi yang harus dijaga gizi dan kesehatannya," tambah Setyo. Dilindungi, tapi Masalah Belum Selesai Apa yang dialami Fachri maupun Setyo hanya satu dari beberapa kisah wartawan selama pandemi COVID-19. Sebut saja kisah WD, wartawan yang meninggal akibat ditolak rumah sakit rujukan pemerintah dan terlambat dalam penanganan medis. Sebagaimana diberitakan BBC Indonesia, WD ditolak di dua rumah sakit rujukan, yakni RSPAD Gatot Subroto dan RSPI Sulianti Saroso. WD diterima di RSUD Kabupaten Tangerang, tetapi ditelantarkan selama 5 jam. WD kemudian mengembuskan napas terakhir saat ditangani di RS Eka, Tangerang Selatan. Selain itu, beberapa wartawan sempat ditelantarkan dalam penanganan medis akibat berinteraksi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Puluhan wartawan ditelantarkan saat mereka berusaha memeriksakan diri positif atau tidak di beberapa rumah sakit. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan berpendapat insiden kematian jurnalis merupakan "lonceng" bagi pemerintah yang lambat menangani COVID-19. "Saya kira ini salah satu kritik penting terhadap pemerintah yang memang dari awal terkesan meremehkan wabah ini. Ketika wabah mulai ramai di Wuhan, kita terlalu percaya diri dengan mengatakan Indonesia bebas corona," kata Manan. Manan berkata data lengkap hasil pengaduan mengenai masalah wartawan selama pandemi COVID-19 baru direkapitulasi AJI pada Senin hari ini (6/4). Ia berkata ada kabar perusahaan pers lain juga menggantungkan nasib wartawannya serupa seperti media tempat Setyo bekerja. "Selain itu, kami dengar dari Semarang, tapi laporannya belum masuk," katanya. Manan berkata AJI sudah menerbitkan protokol peliputan selama COVID-19. AJI mendorong agar para wartawan untuk work from home. Kemudian, AJI meminta perusahaan pers menyiapkan perlengkapan pelindung diri bagi wartawan seperti hand sanitizer maupun masker. AJI juga mendorong agar perusahaan pers tidak menugaskan wartawan ke daerah berisiko, selain mendorong pemerintah untuk memberikan informasi secara daring. AJI mengkritik keras ketika peliputan tidak menerapkan protokol COVID-19 saat konferensi pers Kemenko Maritim beberapa waktu lalu. Peliputan itu tidak menerapkan social distancing dan membahayakan wartawan. Manan berkata terkadang protokol tidak bisa dipenuhi bagi beberapa jurnalis, terutama jurnalis televisi. Alasannya, "di momen tertentu harus mengirimkan orang karena memang kehadiran secara fisik tidak terhindarkan, [karena itu] kewajiban utama perusahaan pers memastikan dia memiliki perlengkapan sangat baik dan pengetahuan sangat baik untuk meliput secara aman," kata Manan. Manan meminta perusahaan pers memenuhi kewajiban kepada pekerja selama pandemi. Sebab, wartawan menjadi garda terdepan kedua setelah tenaga medis dalam memberitakan COVID-19 maupun memberikan informasi kritis tentang kebijakan pemerintah tentang COVID-19. "Kami berharap hendaknya perusahaan media memenuhi kewajibannya kepada pekerjanya dan harus berusaha menghindari pengurangan kesejahteraan, misalnya mengurangi gaji atau PHK. Itu seharusnya dihindari saat situasi sulit begini," kata Manan. Sementara Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Yadi Hendriana mengatakan jurnalis televisi sudah menerapkan protokol dalam proses peliputan. Mereka menggelar kerja sama untuk pelaksanaan peliputan. "Kami melakukan kerja sama proses gathering dengan semua stasiun televisi dan berjalan dengan baik," kata Yadi. Yadi mencontohkan wartawan yang bertugas di Istana adalah MNC Group; BNPB menjadi tugas TVRI dan CNN; sementara Wisma Atlet untuk Kompas TV dan Emtek Group; Balaikota untuk TV One. Masing-masing TV pool bertugas mengirimkan materi konferensi pers ke seluruh media via SNG dan berlangsung selama dua minggu. Mereka mendorong visual gathering untuk proses konferensi pers. Sementara ini IJTI belum menerima laporan permasalahan untuk wartawan yang positif COVID-19 maupun berstatus PDP. Berdasarkan laporan yang diterima IJTI, baru satu jurnalis televisi yang positif COVID-19, yakni reporter CNN dan sudah diumumkan oleh perusahaan. Puluhan berstatus ODP dan PDP. Dan, perusahaan media mengakomodasi pembiayaan. IJTI berusaha membantu pembiayaan bila ada yang tidak mampu membiayai. "Sejauh ini, perusahaan masing-masing membiayai test swab," kata Yadi. Saat ini IJTI masih berfokus pada permasalahan perlindungan jurnalis. Ia mengimbau agar perusahaan pers bisa mengakomodasi kebutuhan pelindung diri bagi wartawan selama liputan. Selain itu, mereka khawatir untuk masalah pendapatan bagi kontributor daerah. "Yang belum tersentuh secara keseluruhan adalah kawan-kawan jurnalis di daerah; mereka kesulitan mendapatkan masker dan hand sanitizer. Kami sedang usahakan untuk mencarikan kebutuhan tersebut. Mudah-mudahan kami bisa mengatasi problemnya," kata Yadi.

Baca selengkapnya di artikel "Jurnalis Selama Corona: Upah Telat, Meninggal Tanpa Perlindungan", https://tirto.id/eK8i

🐅

JawaPos.com – Sebanyak delapan perempuan diduga istri dari prajurit TNI mengunggah tulisan di media sosial (medsos) terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto yang terjadi pada Kamis 10 Oktober 2019 di Pandeglang, Banten. Kapuspen TNI, Mayjen Sisriadi‎ mengatakan, akan mengecek terkait hal tersebut bersama Badan Intelijen Strategis (BAIS) militer terlebih dahulu.
‎”Nanti kami akan koordinasi (BAIS). TNI mengedepankan etika,” ujar Sisriadi kepada ‎JawaPos.com, Sabtu (12/10) malam.
Sisriadi mengatakan, saat ini TNI tengah mencari sejumlah fakta. Sehingga, nantinya bisa diambil tindakan.
Sisriadi belum bisa memberikan informasi sanksi apa yang diberikan prajurit TNI yang melanggar etik. Namun, bukan tidak mungkin sanksi berat akan diberikan.
“Bersalah diberikan tindakan pencopotan atau yang lain,” katanya.
‎Sejauh ini ada delapan perempuan diduga istri prajurit TNI yang terjerat masalah gara-gara posting-an di medsosnya. Pertama, seorang perempuan berinisial FS, diduga istri prajurit TNI, sudah diamankan di ‎Polresta Sidoarjo, Sabtu (12/10) dini hari.
Ia diduga melanggar UU Nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11/2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sanksi belum diketahui.
Kedua, perempuan berinisial IB, juga diduga istri dari seorang prajurit TNI AD. IB mengunggah tulisan melalui akun Facebook-nya sebagai berikut: ‘Udah pada nonton trailer film baru??? Judulnya Wiranto Ditusuk (Tapi Bohong)’.
Ketiga, perempuan berinisial WB, diduga istri seorang prajurit TNI AD. Diduga WB mengunggah gambar yang bertuliskan: ‘Harusnya pisau yang buat nusuk kasih racun ular berbisa dulu, biar nanti koidnya juga kagak setting-an. mau ikut-ikutan drama Korea ya?’ tulis WB sambil diakhiri dua jempol ke bawah.
Keempat, perempuan berinisial IH, diduga istri dari seorang prajurit TNI AU. Melalui akun Facebook-nya, IH menuliskan: ‘Mau tanya … Beli perban yang udah lengkap dengan darahnya di mana ya?? Buat nyoba nge-prank yang masih setengah belum sadar’ tulis IH ditutup emoticon senyum menjulurkan lidah.
Kelima, perempuan berinisial IO, diduga istri dari seseorang di institusi AD. Di Facebook ia menuliskan: ‘Kaya adegan sinetron.. ditusuk tapi nggak ada muka sakit sama sekali.. hmm..’
Keenam, perempuan berinisial LA, belum diketahui jelas identitasnya. LA diduga mengunggah tulisan berikut: ‘Cuma sama pisau aja kok belum dibakar kaya dokter di Wamena, nggak kaya mahasiswa yang meninggal kepalanya retak gara-gara dipukul benda tumpul, nggak kaya anak-anak yang meninggal gara-gara asap di Riau sama Jambi. So nggak usah lebay lah’.
Sebelumnya, ada dua perempuan yang berkasus serupa. Sanksi untuk suami mereka pun sudah dijatuhkan. Pertama, perempuan berinisial IZN, yang merupakan istri Komandan Kodim Kendari, Kolonel HS. HS telah dicopot dari tugasnya sebagai Komantan Kodim.

Kedua, perempuan berinisial LZ, istri dari sersan dua Z. Akibat tindakan LZ tersebut, Z juga diganjar sanksi. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa mengatakan, kedua anggota TNI AD tersebut mendapat sanksi akibat unggahan istri mereka, yang dinilai melangggar UU nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
🐏

JawaPos.com – Perebutan kursi ketua MPR RI Periode 2019-2024 makin memanas. Tidak Hanya Golkar dan PKB. Gerindra pun mulai mengincar posisi yang saat ini diduduki oleh Zulkifli Hasan.
Menjelang pergantian pimpinan lembaga tinggi negara Oktober mendatang, bangsa Indonesia harus mampu menghadirkan pimpinan yang tepat. Di antaranya adalah sosok ketua MPR RI periode 2019-2024.
Lalu, seperti apa figur yang pantas untuk menjadi ketua MPR selama lima tahun kedepan? Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Lili Romli, saat ini Indonesia menghadapi dua tantangan, yaitu menguatnya radikalisasi agama dan deideologisasi pancasila.
Karena itu, MPR yang salah satu tugasnya menyosialisasikan empat pilar kebangsaan, wajib untuk memerangi radikalisme di negeri ini.
“Persoalan kita itu ya radikalisasi agama dan deideologisasi pancasila. Itu harus dilawan bersama-sama,” kata Lili Romli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/7).
Menurut Lili Romli, saat ini radikalisasi agama semakin menguat, kelompok-kelompok yang ingin mengganti pancasila masih terus bergerak. Di sisi lain, terjadi pendangkalan pemahaman ideologi pancasila di kalangan nasionalis sendiri.
Oleh sebab itu, pimpinan MPR ke depan sebaiknya dari kalangan santri nasionalis, sebab dari typical sosok ini, diyakini mampu mengurai dua masalah di atas. Harapanya figur itu mampu mengurai akar-akar radikalisasi agama dan mampu memperkuat pemahaman ideologi pancasila.
“Kalangan santri nasionalis ini bisa diwakili oleh Muhaimin Iskandar. Dia mampu memimpin MPR, dia santri dan juga nasionalis. Apalagi saat ini sudah menjadi wakil ketua MPR,” imbuhnya
Lebih lanjut, menurut Lili Romli, dua permasalahan di atas tidak bisa dianggap enteng. Sebab, radikalisme menjadi salah satu penyakit bangsa ini. Tentunya, MPR sebagai lembaga tinggi mempunyai peran dan tanggung jawab penting dalam menangani masalah ini.

“Dalam posisi ini MPR harus bisa berperan lebih banyak,” pungkasnya.
🐎
Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengemukakan pendapatnya dalam diskusi tentang dalang demo aksi 22 Mei lalu yang diselenggarakan di Kantor DPP PSI, Jakarta Pusat pada Rabu (29/5/2019).
Alih-alih berbicara tentang pihak yang diduganya sebagai sumber kerusuhan ini, penggiat HAM tersebut mengapresiasi proses politik demokrasi Indonesia yang semakin membaik.
“Dua puluh tahun Indonesia mengalami proses demokrasi ada satu capaian yang luar biasa. Ada dua indikator, sebuah negara demokrasinya bisa dikatakan stabil kalau 19 tahun menyelenggarakan pemilihan umum tanpa diinterupsi oleh dua hal yang besar, pertama kudeta militer dan (kedua) perang bersaudara,” ungkapnya.
Dari dua indikator tersebut, menurut Usman, Indonesia memiliki ketahanan politik yang luar biasa terlebih masyarakat sipilnya juga memiliki ketahanan demokrasi sehingga bisa bertahan berkali-kali melakukan pemilihan umum tanpa ada interupsi.
“Tentu saja dalam beberapa tahun terakhir kita memiliki tantangan. Memang ada kemunduran di tahun 2017 yaitu dengan pemenjaraan Ahok karena identitas agama, ras dan etnis. Momen ini adalah momen Indonesia paling disoroti kebebasan demokrasinya,” terangnya.
Namun begitu, pemilihan umum yang dilakukan tahun ini berujung pulih situasi politiknya, sehingga menurutnya di tahun-tahun berikutnya kondisi politik Indonesia akan semakin membaik.
Ia juga menitikberatkan pada penemuan keterlibatan eks anggota militer dalam kasus ini yang pada sejarahnya tidak pernah ada kasus yang melibatkan eks militer yang mampu diselesaikan secara tuntas karena mereka memiliki kekebalan hukum sendiri.
“Saya kira kalau kepolisian mau membongkar ini semua secara tuntas antara mau membawa ini ke pengadilan umum atau menggabungkan investigasi dengan sebuah tim investigasi independen sehingga masyarakat biasa mau memberikan kesaksian secara terbuka,” sambungnya.

Terakhir, ia memberikan apresiasi kepada pihak kepolisian yang mampu menerima kritik dari masyarakat yang dianggapnya sama sekali tidak merendahkan namun agar menjadi pertanggungjawaban kredibilitas pihak kepolisian itu sendiri.
🐃

Jakarta, Beritasatu.com - Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fajar Nursahid mengatakan, Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang berhasil menerapkan standar tinggi dalam konteks politik dan demokrasi liberal di Indonesia.
Meski pemilu pertama yang digelar di Indonesia, Fajar menilai, Pemilu 1955 merupakan pemilu paling ideal.
"Tahun 1955, Pemilu pertama dicangkokkan, tapi berhasil membuat benchmark yang cukup tinggi. Saya memandang 1955 ideal dalam konteks pemilu dan demokrasi," kata Fajar dalam diskusi 'Perbandingan dan Praktek Demokrasi Liberal 1955 dan 2019' yang digelar LP3ES di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Menurut Fajar, situasi politik pada Pemilu 1955 tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada Pemilu 2019. Peserta pemilu yang multi-partai, serta terjadinya keterbelahan di masyarakat. Namun, terdapat sejumlah perbedaan antara Pemilu 1955 dan Pemilu 2019. Dalam konteks media massa misalnya, meskipun memiliki kecenderungan politik, pada Pemilu 1955 media massa mampu mengelola konflik dengan baik.
"Kompetisinya ketat, tapi bisa nyambung dialog politiknya. Ini yang seharusnya kita belajar dalam konteks sekarang ini," katanya.
Selain itu, kata Fajar, kultur siap menang dan siap kalah dipraktikkan dengan baik oleh elite politik era 1950-an. Saat itu, sirkulasi kepemimpinan politik berjalan dengan sangat cepat. Figur politik silih berganti mengisi Kabinet dan menjadi hal yang biasa.
"Poin saya adalah, ada kultur siap menang dan kalah yang tinggi di sana. Orang berganti itu biasa saja. Sekarang sudah dinyatakan berkali-kali kalah masih ngotot. Itu jadi soal menurut saya dalam konteks sekarang. Dengan demikian spirit ini yang harus diwarisi generasi politik sekarang. Siap menang dan siap kalah merupakan bagian dari kultur politik dan etika politik yang harus dibangun berkaca dari tahun 50-an," katanya.
Lebih jauh, Fajar juga menyoroti tokoh-tokoh yang muncul pada era 1950-an. Menurutnya, tokoh-tokoh politik saat itu berhasil menjadi role model atau panutan yang baik dan dewasa.
Fajar mencontohkan meskipum pendiri Masyumi M. Natsir kerap berdebat keras dengan tokoh PKI DN Aidit atau dengan Soekarno, tetapi mereka masih tetap berkawan di luar politik. Menurutnya, role model semacam itu yang tidak terlihat ditunjukkan oleh tokoh-tokoh politik saat ini.
"Ada role model tokoh-tokoh politik yang sangat baik dan sangat dewasa. Mereka tajam berpolitik. Berbedanya luar biasa tajam, tapi mereka bisa berkawan dengan baik. Cerita Natsir dengan Soekarno, Natsir dengan Aidit itu kan di sidang luar biasa tajam tapi bisa berkawan baik di luar. Ini yang juga kemudian tidak ada dalam konteks politik sekarang. Bagaimana elite bisa kendalikan konflik dan bangun konsensus," katanya.
Untuk itu, Fajar berharap elite politik saat ini meneladani tokoh politik era 1950-an dalam mengendalikan konflik dan membangun konsensus. Tanpa adanya kedewasaan berpolitik ini, Fajar mengaku khawatir situasi politik yang saat ini terjadi tidak menemukan jalan untuk membangun konsensus.
"Ketika Juni nanti MK sudah putuskan, apakah masih ada peluang konsensus yang bisa dibangun? Ini yang kemudian kita harus belajar dari konteks 50an. Bagaimana orang bisa kagum pada berbagai role modelpolitik yang tumbuh dan sangat bisa memberikan teladan politik," katanya.
Lebih jauh, terdapat perbedaan penting antara partai politik saat ini dan era 1950-an. Menurutnya, saat itu, ideologi partai politik dibangun dengan kuat dan matang. Dengan demikian, meski ideologi berbeda dan bahkan saling bertentangan, partai politik tidak khawatir kehilangan konstituen. Kondisi tersebut berbeda dengan partai politik saat ini, di mana setiap partai tidak memiliki ideologi yang jelas dan bahkan seragam.
"Identifikasi sangat gamblang. Bagaimana proses ideologisasi ini tidak jalan. Tidak ada segmentasi khusus. Hanya pragmatis dan berorientasi kekuasaan," tegasnya.


Sumber: Suara Pembaruan

🐑
JAKARTA (Reuters) - Incumbent President Joko Widodo won last month's Indonesian election with 55.5% of votes against 44.5% for his challenger, retired General Prabowo Subianto, the election commission's official count said early on Tuesday.
The official result released by the General Election Commission (KPU) confirms unofficial counts by private pollsters of the April 17 election, giving Widodo a comfortable victory, though it could trigger a legal challenge and potential street protests after Prabowo claimed widespread cheating.
Widodo won with over 85 million of the total 154 million votes cast in the world's third-largest democracy. There was no immediate reaction from him or his campaign team.
An election supervisory agency earlier on Monday dismissed claims of systematic cheating because of a lack of evidence and independent observers and analysts have said the poll was free and fair.
But a witness for Prabowo's campaign team and the leading opposition party refused to sign and validate the official results, which were announced more than a day earlier than expected after the KPU worked into the early hours of Tuesday to finish the vote count.
"We won't give up in the face of this injustice, cheating, lies, and these actions against democracy," said Azis Subekti, a witness from Prabowo's campaign team.
It was not immediately clear if Prabowo would mount a legal challenge to the official result.
Authorities have tightened security in anticipation of potential civil unrest and have detained dozens of militant Islamists suspected of planning attacks to create mayhem during demonstrations.
Police rolled out barbed wire and readied armoured trucks and water cannons around the KPU. They have also prevented people from across Indonesia travelling to Jakarta en masse to join protests.
Prabowo has said the situation could trigger "people power"-style protests, while the government and police have urged protesters to keep the peace and vowed action against anyone stirring unrest.
National police, who report directly to Widodo, have also held or interrogated at least three leading opposition figures for suspected treason.
The streets outside the KPU were quiet immediately after the announcement.
Last week, police said they had detained about 30 suspected militants with ties to Jemaah Ansharut Daulah (JAD), Indonesia's largest group linked to Islamic State.
The losing party can lodge a legal challenge at the constitutional court. Otherwise, the commission will officially declare the winner by May 28.
Prabowo has not yet confirmed if he intends to go to court, but his challenge to his 2014 defeat by Widodo was rejected.
(Reporting by Agustinus Beo Da Costa; Writing by Ed Davies; Editing by Kanupriya Kapoor and Angus MacSwan)
🐇

JAKARTA republika -- Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengimbau kepada warga Muhamadiyah agar tidak ikut aksi 22 Mei 2019. Abdul Mu'ti berharap anggota Muhammadiyah justru bisa menjadi contoh dalam berdemokrasi.
Baca Juga
"Muhammadiyah menghimbau kepada anggotanya untuk tidak turut serta dalam aksi 22 Mei. Warga Muhammadiyah hendaknya menjaga khittah dan kepribadian dengan menjadi teladan dalam berpolitik dan berdemokrasi," kata Abdul Mu'ti dalam pesan tertulis kepada Republika pada Sabtu (18/5).
Selain itu, pemilihan Presiden adalah proses seleksi kepemimpinan yang biasa dilakukan Indonesia. Proses pemilihan Presiden, jelas Mu'ti, berlangsung secara konstitusional, terbuka, jujur, dan adil.
Penyelenggara pemilu pun, menurut Mu'ti, juga telah bekerja profesional, netral, dan transparan. Bahkan, mereka juga kooperatif menerima masukan, segala kesalahan telah diperbaiki, dan dugaan adanya kecurangan sudah dilakukan pemilihan ulang kembali.
"Karena itu semua pihak hendaknya menerima hasil-hasil Pemilu secara dewasa, legawa, arif, dan bijaksana," kata dia.
Jika ada keberatan terhadap hasil pemilu, Mu'ti menyarankan, hendaknya diselesaikan secara hukum. Pengerahan massa dalam bentuk apapun dan oleh siapapun hendaknya dihindari.

"Muhammadiyah juga menghimbau aparatur keamanan untuk tidak represif. Pendekatan persuasif melalui komunikasi personal dan institusional harus dilakukan. Pendekatan yang militeristik dan pre-emptive berpotensi menimbulkan benturan antara aparat dan rakyat," kata Abdul Mu'ti.
🐆

TEMPO.COJakarta - Kedua tangannya tak lagi berbentuk sempurna, dua daun telinganya rusak, bekas luka bakar terlihat jelas di hampir seluruh bagian tubuhnya. "Saya nyaris dibakar hidup-hidup," kata Iwan Firman salah satu korban selamat kerusuhan Mei 1998 mengenang kembali peristiwa nahas itu dalam peringatan "21 Tahun Tragedi Mei 98" pada Senin, 13 Mei 2019.
Pria 60 tahun ini bercerita ia dibakar hidup-hidup oleh 20 orang tanpa sebab. Beberapa di antaranya berperawakan tegap dan berambut cepak. Peristiwa nahas itu berlangsung saat ia mau pulang ke rumahnya di Jalan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Pagi tadi, seperti tahun-tahun sebelumnya, Iwan datang ke depan Citra Plaza, Klender. Bersama sejumlah penyintas dan keluarga korban, mereka berdoa dan mengenang korban tewas akibat dibakar hidup-hidup di pusat perbelanjaan yang dulu bernama Yogya Plaza itu. Mereka mendesak pemerintah mengungkap dalang kerusuhan yang menewaskan ribuan orang di Jakarta dan daerah lain di Indonesia.
"Kalau aku ketemu Jokowi, aku beberin semua. Aku mau cerita selama ini jadi kebelangsak kehidupanku ini," kata Iwan sambil meratapi kondisi kedua tangannya yang rusak itu.
Sementara itu, Maria Sanu terus mendekap foto mendiang anaknya, Stevanus Sanu, dalam peringatan tragedi Mei 1998 itu. Stevanus, kata dia, ikut terpanggang hidup-hidup di Yogya Plaza.
Maria meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mau menuntaskan kasus ini. Ia mengaku mendukung Jokowi kembali menjadi presiden agar bisa menemukan keadilan bagi almarhum anaknya. "Supaya dia mau buka hati, mata, dan peduli kepada keluarga korban pelanggaran HAM," ucapnya.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dalam laporannya, menyatakan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkaitan dengan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia waktu itu. Kerusuhan ini juga berkaitan dengan sejumlah peristiwa penting sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, hingga penembakan mahasiswa Universitas Trisakti.
Pemilu 1997 berakhir dengan kemenangan Partai Golongan Karya (Golkar) dan terpilihnya kembali Presiden Soeharto untuk yang keenam kalinya. Rezim orde baru saat itu membatasi ruang masyarakat untuk berekspresi.
Sejumlah aktivis yang berani menentang Soeharto hilang dan tak diketahui rimbanya hingga kini. TGPF menilai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat waktu itu, Prabowo Subianto bertanggung jawab atas penghilangan sejumlah aktivis.
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada Oktober 2013, Prabowo Subianto menjawab tudingan soal keterlibatan dia di kerusuhan Mei 98 itu. 28 Oktober 2013. "Kadang dalam pemerintahan, kita sebagai alat pemerintah menjalankan misi yang dianggap benar. Begitu ada pergantian pemerintah, pemerintah baru menganggapnya tidak benar. Saya, kan, hanya petugas saat itu," kata Prabowo.
Menurut Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini, dia telah mempertanggungjawabkan perbuatan yang menjadi porsinya. "Saya tidak ke mana-mana, saya bertanggung jawab, saya tidak ngumpet," kata dia.
Sementara itu, masih menurut analisa TGPF, krisis moneter mengakibatkan membesarnya kesenjangan ekonomi dan menciptakan dislokasi sosial yang luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antar kelas) dan horizontal (antar golongan).
Pergumulan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia waktu itu akhirnya pecah setelah insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. TGPF menilai penembakan ini sebagai pemicu kerusuhan berskala nasional.
TGPF mencatat sulit menemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan1998. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka yang berbeda. Tim relawan menyebut 1.190 orang tewas akibat terbakar atau dibakar, 27 orang tewas akibat senjata, dan 91 orang luka-luka. Sementara itu, data Polda menunjukkan 451 orang meninggal, korban
luka-luka tidak tercatat. Sedangkan data Pemda DKI yang meninggal dunia 288 orang dan luka-luka 101 orang.
Menurut TGPF, ada kesamaan waktu pecahnya kerusuhan bahkan kesamaan pola kejadian. Sementara pola kerusuhan bervariasi, mulai dari spontan, lokal, sporadis, hingga yang terorganisir. "Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan," tulis laporan TGPF itu.

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri mengatakan, peringatan 21 tahun reformasi kali ini bertepatan dengan pemilihan umum 2019. Sebabnya ia mendesak pemerintah yang baru bisa segera menyelesaikan kasus ini.
"Pemerintah dan parlemen terpilih punya pekerjaan rumah bagaimana semua yang sudah dikumpulkan oleh Komnas HAM harus ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung," kata Puri saat dihubungi Tempo.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung berkali-kali mengembalikan berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Berkas perkara yang dikembalikan adalah berkas peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, Lampung 1998, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Wasior dan Wamena.
Menurut Puri, penyelesaian kasus 1998 penting karena jika berhasil membongkarnya akan bermanfaat untuk kasus pelanggaran HAM lainnya. "Jejaknya akan mengarah ke siapa, pelakunya, skemanya, mekanismenya, prosedurnya, operasinya, akan mengarah ke jejak yang lebih luas lagi," ucapnya.
Selain itu, Puri menjelaskan negara wajib memenuhi hak-hak para korban Mei 1998. Para korban, kata dia, berhak mendapatkan hak keadilan, hak kebenaran, dan rehabilitasi dari negara. "Mereka berhak mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM sejak masa lalu yang menimpa mereka atau keluarga mereka sendiri," ujarnya.
🐈

ASIA TIMES : The West Papua National Liberation Army (TPNPB), the armed wing of the separatist Free Papua Movement (OPM), now appears to be specifically targeting the construction of the Trans-Papua Highway, one of President Joko Widodo’s flagship infrastructure projects.

In the latest incident last week, rebels killed three government soldiers, all members of the elite Indonesian Special Forces (Kopassus), in a firefight that went on for more than five hours in Papua’s Central Highlands district of Nduga.

Military spokesmen claimed seven to 10 rebels also died in the attack on a 25-man patrol, but only one body was reportedly recovered. Local TNPB commander Egianus Kogoya insisted on the movement’s website that his 50-strong force suffered no losses.


The March 7 shooting took place not far from the bridge where TPNPB fighters massacred 19 road workers last December in the bloodiest single incident since the controversial United Nations-administered 1969 Act of Free Choice made the former Dutch-controlled territory part of Indonesia.

The government has responded by sending in 600 troops from a South Sulawesi-based infantry battalion and a combat engineering unit which it says will take over construction of 20 bridges that have still to be built between Nduga and Wamena, the quasi highland capital.



The rebels first signaled their intentions when they killed a road worker in December 2017. Three months later, four workers died in an attack on a section of the highway in Nduga’s neighboring district of Puncak Jaya, 120 kilometers northwest of Wamena.

Pin-prick attacks continued through June 2018 local elections, when gunmen also opened fire on a small transport plane which had brought Police Mobile Brigade reinforcements into the Nduga district capital of Kenyam to guard ballot boxes.

The way the poorly armed rebels were able to sustain the latest contact for so long suggests they have either found a new source of ammunition or, as is more likely, they have developed a better appreciation of fire discipline.

But it also shows that they are determined to slow construction of the road on its path from the coastal city of Sorong in the western Bird’s Head region across the rugged mountain chain to Merauke on the southeast coast bordering Papua New Guinea.


The targeting of the highway is reminiscent of the efforts by Communist Party of Thailand (CPT) insurgents to stop construction on a border road in northern Nan province in the 1970s which threatened to cut off infiltration routes from neighboring Laos.

More than 200 soldiers and road workers died before the work was finished in 1981, about the same time as the CPT started to fall apart as a result of internal disputes and a falling out between the communist parties of China and Vietnam.


The 4,320-kilometer Trans-Papua Highway promises to bring important economic benefits, including lower costs for basic necessities, but Papuan leaders have long worried about the social impact of a project that will open up the Central Highlands for the first time to new settlers.

They say nothing has prepared the tribes for an influx of migrants from Sulawesi and other parts of eastern Indonesia who now outnumber indigenous Papuans by as much as 60-40 across the once-roadless territory.

More importantly, the rebels are well aware that the road will allow security forces easier access to areas that once could only be reached by helicopter or after days of slogging through difficult mountainous terrain.

While the TPNPB is only a shadow of the CPT and will never enjoy any level of outside support, it can tie up government security forces by making use of its local knowledge of the terrain and focusing its armed struggle on a single objective.


Previously, that objective had been Freeport McMoRan’s giant Grasberg copper and gold mine, 130 kilometers to the southwest, which still experiences pin-prick attacks despite being guarded by a police and military task force since the late 1990s.

The government has sought to play down the recent attacks, but presidential chief of staff General Moeldoko, a former armed forces commander, has objected to the TPNPB being referred to in official statements as an “armed criminal group.”

Moeldoko said last week that the rebels should be called separatists, a term that justifies military involvement, and not likened to a protection racket at Jakarta’s Tanah Abang textile market, which falls under the purview of the national police.

In TPNPB propaganda videos, the fighters appear to confine themselves to only one or two shots a minute, something they only can do by picking the time and place of their engagements.

Younger and more militant, Kogoya’s followers are part of a faction previously led by former OPM military commander Kelly Kwalik, who was killed in 2009 by the Detachment 88 counterterrorism unit then led by Tito Karnavian, the current national police chief.

It is believed the 200-strong group is armed with an assortment of 50 military-grade assault rifles, an estimate largely based on the number of weapons lost by the military and police in engagements over the past few years.

But their ammunition is still extremely limited, judging by recent engagements, and without external support they will likely never pose a serious military threat beyond stalling road construction projects designed to open their once-safe remote sanctuaries

🍒

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemilihan legislatif (Pileg) 2019 ditengarai akan menjadi kuburan massal partai politik. Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris menengarai pemilihan legislatif 2019 akan menjadi kuburan massal partai politik.
Dari 16 parpol yang berpartisipasi, ucap Syamsuddin, ditengarai hanya 8 parpol yang akan lolos ambang batas parlemen.

"Hasil pileg yang akan datang diduga kuat akan menjadi kuburan massal partai politik," ujar Syamsuddin di Millenium Hotel, Tanahabang, Jakarta Pusat, Rabu (13/3).
Disampaikan Syamsuddin saat menjadi satu di antara narasumber dalam rilis lembaga survei Konsep Indonesia (Konsepindo). Menurutnya, ada sejumlah faktor yang membuat Pileg 2019 menjadi kuburan massal parpol.
Pertama, lantaran ambang batas parlemen di Pileg 2019 meningkat menjadi 4%. Sedangkan, dalam Pemilu sebelumnya hanya 3,5%. Faktor kedua, tak semua parpol mendapatkan efek ekor jas dari pasangan calon presiden.
"Dengan Pemilu serentak tidak semua partai menikmati insentif elektoral dari Pilpres," tutur Syamsuddin.
Menilik dari hasil sigi survei Konsepindo, ucap Syamsuddin, hanya delapan parpol diyakini akan lolos dari ambang batas parlemen. Di antaranya, PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, PAN, dan NasDem.
"Parpol baru PSI, Berkarya, Garuda, Perindo, dari hasil survei Konsepindo jauh sekali dapat mencapai ambang batas parlemen," katanya.
Direktur Konsepindo Veri Muhlis Arifuzzaman berujar, berdasarkan hasil sigi lembaganya terdapat empat parpol yang telah melebihi ambang batas parlemen. Berikut di data lengkap berdasarkan hasil sigi Konsepindo:
1. PDI Perjuangan 26%
2. Gerindra 12,8%
3. Golkar 9,3%
4. PKB 6,2%

5. Demokrat 3,9%
6. PAN 3,8%
7. NasDem 3,2%
8. PKS 2,8%
9. PPP 2,2%
10. Hanura 1,2%
11. Perindo 1,2%
12. Berkarya 0,4%
13. PSI 0,2%
14. Garuda 0,2%
15. PBB 0,1%
16. PKPI 0,1%
🐈


Jakarta, Beritasatu.com – Sebanyak tujuh relawan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) 01 Joko Widodo-Maruf Amin (Jokowi-Maruf) menjadi korban ledakan petasan di parkir timur Senayan, Jakarta, Minggu (17/2). Para korban kini tengah dalam perawatan di sejumlah rumah sakit.
“Saat ini saya berada di rumah sakit, melihat langsung kondisi kawan-kawan yang tadi terkena dampak dari ledakan,” ungkap Wakil Kepala Rumah Aspirasi Rakyat 01, Michael Umbas kepada Beritasatu.com. Dua orang korban berada di RS Mintoharjo, dan lima lainnya di RS Pelni kawasan Petamburan.
Umbas menjelaskan, terdapat satu relawan yang gendang telinganya pecah. Selain itu, ada juga yang langsung terkena serangan jantung akibat mendengar bunyi keras ledakan. Seperti diketahui, tak jauh dari lokasi ledakan, pendukung Jokowi-Maruf mengadakan nonton bersama debat. Ledakan sontak membuat terkejut para relawan.
“Saat sesi pertama debat sudah terjadi ledakan. Kami saat itu berpikir positif, yang terjadi letusan ban mobil. Ternyata setelah ada informasi lanjutan, ternyata ada ledakan yang mengakibatkan korban relawan-relawan Pak Jokowi,” ujar Umbas. Pihaknya menyayangkan dan menaruh keprihatinan atas ledakan yang terjadi.

Menurut Umbas, aparat penegak hukum sepatutnya menelusuri motif pelemparan petasan. “Ini bentuk teror kepada relawan Pak Jokowi. Ini ancaman terhadap demokrasi. Ini upaya menghancurkan semangat dan militansi kita untuk memenangkan Pak Jokowi. Kami tidak akan pernah gentar. Kami yakin kepolisian juga usut ini,” tegas Umbas.
🐍


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Staf TNI Angkatan Darat ( KSAD) Jenderal Andika Perkasa tidak mempersoalkan jika ada pihak-pihak yang mengait-ngaitkan dirinya dengan peristiwa pembunuhan aktivis HAM asal Papua, Theys Eluay. Hal itu dikatakan Andika seusai dilantik sebagai KSAD menggantikan Jenderal Mulyono, Kamis (22/11), di Istana Negara, Jakarta.
"Monggo, enggak ada alasan bagi saya untuk melarang itu," ujar Andika di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/11). Ia juga mempersilakan jika ada aktivis HAM yang mau kembali menginvestigasi apakah dirinya benar-benar terlibat dengan pembunuhan Theys atau tidak.


"Kalau mereka mau menelusuri itu juga silahkan. Kan enggak ada yang perlu saya khawatirkan," ujar dia.
Selain soal itu, Andika mengakui, muncul nada miring mengenai dilantiknya ia menjadi KSAD lantaran merupakan menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono. Ia juga tidak mempersoalkan pendapat itu.
"Itu juga monggo ya, mau ngomong apa juga, saya begini saja kok dari dulu. Enggak ada yang akan saya komentari lagi. Terserah," ujar Andika.
Sebelumnya, Andika dilantik Presiden Joko Widodo sebagai KSAD, Kamis pagi. Ia menggantikan Jenderal Mulyono yang akan memasuki masa persiapan pensiun pada Januari 2019 yang akan datang.
Pengangkatan Andika tersebut berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 97 TNI Tahun 218 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Selain itu, berdasarkan surat Keputusan Presiden nomor 98 TNI Tahun 2018 tentang Kenaikan Pangkat dalam Perwira Tinggi TNI, Presiden Jokowi juga menaikkan pangkat Andika dari bintang tiga atau Letnan Jenderal menjadi bintang empat atau Jenderal TNI. (Fabian Januarius Kuwado)

🐌
Jakarta detik- Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melantik Letjen Andika Perkasa menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang baru. Andika menggantikan Jenderal Mulyono, yang masuk masa pensiun pada Januari 2019.

Pelantikan Andika akan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, pada hari ini, Kamis (22/11/2018), pukul 09.00 WIB.

"Andika (KSAD yang baru) insyaallah jam 9 nanti (dilantik Presiden Jokowi), mudah-mudahan tidak ada halangan melintang," ujar Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin saat dihubungi, Kamis (22/11).

Nama Andika sebelumnya sudah santer disebut-sebut bakal menggantikan Mulyono sebagai KSAD. Andika saat ini menjabat Pangkostrad. Sebelumnya, Andika pernah menjabat Dankodiklatad, Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan pernah menjadi Komandan Paspampres pada Oktober 2014, sesaat setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden RI.




🍓

Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi nonpemerintah menilai rencana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sebagai gejala lanjutan dari militer yang ingin kembali ke pelbagai sendi kehidupan sipil. 

Direktur LBH Jakarta Al Ghiffari Aqsa melihat upaya militer tersebut terjadi di sejumlah sektor dan terus meluas sejak reformasi berhasil menempatkan mereka kembali sebagai alat pertahanan negara. 

"Terlibat dalam penggusuran, urusan keamanan, kereta juga jadi pembantu petugas, terlibat dalam penyuluhan pertanian, di kampus, bahkan sempat mau dilibatkan dalam pendidikan dasar," kata Al Ghiffari dalam sebuah diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (3/8). 



Bagi Al Ghiffari segala keterlibatan militer pada kehidupan sipil menandakan kemunduran semangat reformasi. Ia melihat tingkat kepercayaan publik yang tinggi kepada militer saat ini mungkin jadi penyebab keinginan militer merangsek ke banyak bidang, termasuk dalam pemberantasan terorisme. 

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf berkata militer sejatinya tidak dilarang berkegiatan dalam lingkup sipil, hanya saja dibuat seminimal mungkin. 

"Boleh jika dan kalau unsur dari Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI terpenuhi," kata Al Araf. 

Demi mengantisipasi terorisme, menurut Araf tak masalah menyertakan TNI apabila ancaman yang ditimbulkan sampai ke taraf membahayakan negara. 


Namun jika tidak, dia menilai kepolisian masih bisa mengatasinya seperti yang selama ini terjadi. Ia mencontohkan seperti serangan teroris di Marawi, Filipina atau serangan ISIS di Suriah dan Irak. 

"Jamaah Islamiyah kan bisa ditangani, pasca-bom Surabaya kan banyak penangkapan juga jadi penegakan hukum sudah bisa menangani," imbuh Araf. 

Latar belakang tersebut membuat Araf dan Ghiffari serta organisasi lain seperti KontraS, YLBHI, Setara Institute, Elsam, ICJR, dan beberapa lainnya mendesak pemerintah tak membuat Peraturan Presiden yang mengatur teknis pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. 

Mereka berpendapat pelibatan militer belum diperlukan. Salah merumuskan, mereka justru khawatir wewenang yang dapat dipegang oleh militer tersebut bisa menimbulkan efek samping yang tak diinginkan. 

"Kalau salah, saya khawatir ini bisa merusak sistem negara hukum, tata demokrasi, dan HAM yang menimbulkan pertanyaan pada akuntabilitas," kata Ghiffari menutup.


Jakarta -detiknews
Sebanyak 34 dokumen rahasia Amerika Serikat mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi, salah satunya bahwa Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer.
Dokumen-dokumen yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) ini mengemukakan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.
Sebagian merupakan percakapan staf Kedutaan AS di Jakarta dengan pejabat-pejabat Indonesia, lainnya adalah laporan para diplomat mengenai situasi di Indonesia.
Prabowo: Era Suharto akan berakhir
Salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.
Dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997 itu, keduanya membahas situasi Indonesia.

Dokumen Rahasia AS: Prabowo Perintahkan Penghilangan Aktivis 1998Foto: NSA via BBC
Dokumen Rahasia AS: Prabowo Perintahkan Penghilangan Aktivis 1998Foto: NSA via BBC

Prabowo mengatakan mertuanya, Presiden Suharto, tidak pernah mendapat pelatihan di luar negeri dan pendidikan formalnya pun sedikit. Namun, menurutnya, Suharto sangat pintar dan punya daya ingat tajam.
Bagaimanapun, urai Prabowo, mertuanya tidak selalu bisa memahami persoalan dan tekanan dunia.
"Akan lebih baik jika Suharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi kekuasaan secara damai", sebut Prabowo dalam dokumen itu.
"Apakah itu terjadi pada Maret atau perlu beberapa tahun lagi, era Suharto akan segera berakhir," sambungnya.
Siapa di balik penghilangan para aktivis?
Arsip tertanggal 7 Mei 1998 ini mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang tiba-tiba menghilang.
Catatan itu memuat bahwa para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.

Dokumen Rahasia AS: Prabowo Perintahkan Penghilangan Aktivis 1998Foto: NSA via BBC

Dokumen Rahasia AS: Prabowo Perintahkan Penghilangan Aktivis 1998Foto: NSA via BBC

Namun, siapa di balik aksi penghilangan itu?
Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.
Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.
"Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto," sebut dokumen tersebut.
Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, Prabowo berulangkali menekankan dirinya tidak bersalah ketika rangkaian peristiwa 1998 terjadi dan mengatakan dia hanya menjalankan perintah atasan.
"Sebagai seorang prajurit, kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya," kata dia dalam debat capres pertama. "Itu merupakan perintah atasan saya.
Perpecahan di tubuh militer
Arsip yang dibuat pada 8 Mei 1998 ini melaporkan adanya perpecahan di tubuh militer Indonesia mengenai cara menghadapi para demonstran.
Laporan ini menyebutkan Wiranto yang saat itu menjabat Panglima TNI diperintahkan bersikap tegas terhadap para demonstran.
Dia kemudian memperingatkan para mahasiswa agar tidak menggelar demonstrasi di jalan-jalan, namun pada saat yang sama mengatakan kepada mereka bahwa militer tidak bermusuhan.

Dokumen Rahasia AS: Prabowo Perintahkan Penghilangan Aktivis 1998Foto: NSA via BBC
Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu menjadi bawahan Wiranto, melontarkan ide untuk mengumpulkan semua anggota MPR demi menentukan masa depan negara (diduga menggantikan Suharto).
"Jika benar, ini mengindikasikan niatan 'Kubu Wiranto'," sebut dokumen itu.
Di sisi lain, Prabowo berupaya mencegah demonstrasi semakin ganas di Jakarta.
"Prabowo terlibat perebutan kekuasaan dengan Wiranto," tulis arsip tersebut.
Dokumen-dokumen ini diungkap Arsip Keamanan Nasional dengan memanfaatkan Undang-Undang Kebebasan Informasi yang mengharuskan arsip rahasia diungkap setelah beberapa tahun.
Arsip Keamanan Nasional sendiri merupakan sebuah lembaga yang bermarkas di Universitas George Washington dan didirikan secara swadaya oleh sejumlah akademisi dan jurnalis pada 1985.

MerahPutih.com - Dokumen Rahasia Amerika Serikat mengungkapkan adanya pertemuan antara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang kala itu menjabat Danjen Kopassus membahas tentang pelengseran Presiden Soeharto dengan petinggi negeri Paman Sam pada Maret 1998, atau dua bulan sebelum Presiden RI ke-2 itu berhenti dari jabatan pada 21 Mei 20 tahun silam.
Fakta ini terungkap dalam 34 dokumen rahasia Amerika Serikat tentang rentetan peristiwa di Indonesia sebelum dan sesudah Reformasi Mei 1998 mulai dari periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.
Dokumen-dokumen ini diungkap Arsip Keamanan Nasional (NSA) dengan memanfaatkan Undang-Undang Kebebasan Informasi yang mengharuskan arsip rahasia diungkap setelah beberapa tahun.
NSA sendiri merupakan sebuah lembaga yang bermarkas di Universitas George Washington dan didirikan secara swadaya oleh sejumlah akademisi dan jurnalis pada 1985.




























Dilansir dari NSA, satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto. Dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997 itu, keduanya membahas situasi Indonesia.
Dokumen rahasia dengan nomor telegram 006622 itu menuliskan, Prabowo mengatakan mertuanya, Presiden Soeharto, tidak pernah mendapat pelatihan di luar negeri dan pendidikan formalnya pun sedikit. Namun, menurutnya, Soeharto sangat pintar dan punya daya ingat tajam.
Masih dalam dokumen itu, Prabowo menambahkan bagaimanapun mertuanya itu tidak selalu bisa memahami persoalan dan tekanan dunia. "Akan lebih baik jika Soeharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi kekuasaan secara damai," kata Prabowo kepada Stanley Roth, dikutip dari dokumen, Rabu (25/7).
"Apakah itu terjadi pada Maret atau perlu beberapa tahun lagi, era Soeharto akan segera berakhir," tegas Ketum Gerindra itu lagi tertulis dalam dokumen yang sama.


























Dokumen NSA
Dokumen Rahasia AS yang dirilis NSA.

Untuk diketahui, Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mulai goyang sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada media 1998. Saat itu, mahasiswa dan rakyat bersatu menggelar aksi unjuk rasa yang berujung tuntutan Soeharto mundur dipicu aksi penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan di sejumlah kota kala itu.
Desakan ini akhirnya memaksa Soeharto melepas jabatannya sebagai presiden setelah berkuasa selama 32 tahun. Pria berjulukan 'Smilling General' itu menyampaikan pidato di Istana Negara pada 21 Mei pukul 09.00 WIB.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya sebagai presiden.
Wakil Presiden B.J. Habibie langsung disumpah sebagai presiden saat itu juga. upacara serah terima jabatan pun berlangsung singkat. Usai berpidato, Soeharto berdiri sejenak menunggu Ketua Mahkamah Agung mengambil sumpah BJ Habibie. Sejak hari ini, Indonesia memasuki era Reformasi. (*)
🐒
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai terpilihnya Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan momentum untuk memaksimalkan peran Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
"Dengan terpilihnya Indonesia sebagai DK PBB, Indonesia dapat memaksimalkan perannya, salah satunya memperjuangkan kemerdekaan Palestina, dan perdamaian dunia pada umumnya," kata Taufik di Jakarta pada Sabtu, 9 Juni 2018.
Taufik mengatakan dukungan Indonesia pada kemerdekaan Palestina yang selama ini diperjuangkan di berbagai forum pun dapat diberikan secara maksimal. "Indonesia juga dapat memaksimalkan perannya dalam berbagai isu konflik dunia, salah satunya penanganan krisis Rohingya, Myanmar," kata dia. Isu lainnya yang bisa dipantau Indonesia adalah terorisme, intoleransi, maupun isu-isu lain yang berdampak pada perdamaian dan keamanan dunia.
Menurut Taufik, hal lain yang harus menjadi perhatian Indonesia adalah rencana pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, yang akan digelar dalam waktu dekat di Singapura. Hal itu, kata dia, karena pertemuan kedua pemimpin negara itu berpengaruh pada keamanan dan perdamaian dunia.
Taufik mengatakan peran Indonesia terhadap perdamaian dunia juga dapat semakin berpengaruh setelah terpilih sebagai Anggota DK PBB ini. "Hal ini juga sesuai dengan amanat UUD 1945 kita, yang mengamanatkan Indonesia berperan dalam menciptakan perdamaian dunia. Semoga selama 2 tahun mendatang, Indonesia semakin memberikan pengaruh pada perdamaian dunia," ujarnya.

Indonesia terpilih untuk keempat kalinya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dalam pemungutan suara yang digelar di Majelis Umum PBB di New York pada Jumat, 8 Juni 2018. Indonesia akan menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk Periode 2019-2020. Perolehan suara Indonesia sebanyak 144 dari 190 negara anggota Majelis Ulama PBB.
🍈

Kabar24.com, CANBERRA - Para Indonesianis menggelar Konferensi Indonesia Update 2017 di Australian National University, Canberra, Australia membahas situasi politik dan ekonomi terkini di Indonesia.
Dihadiri ratusan peserta, konferensi yang mengusung tema “Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignity” tersebut diadakan pada Jumat dan Sabtu, 15 – 16 September 2017.
Sejumlah pengamat Indonesia—dikenal dengan sebutan Indonesianis—berkumpul pada perhelatan tahunan ini. Di antaranya sejarawan Anthony Reid dan Robert Cribb, ahli politik Marcus Meitzner dan Edward Aspinall, ekonom Hall Hill, dan ahli geografi Jeffrey Neilson.
Dalam konferensi ini, para Indonesianis menyoroti munculnya kekuatan oligarki yang mengendalikan konservatisme Islam dan hiper-nasionalisme dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Fenomena ini terlihat dari terbentuknya kompetisi antar elite oligarki, melalui kekuasaan dan sumber daya yang melibatkan politik identitas.
“Fenomena ini terlihat dari politik identitas yang semakin meningkat dan menjadi instrumen penting dari kompetisi tersebut,” kata Vedi Hadiz, Deputi Direktur Asia Institute di Universitas Melbourne, pada hari pertama Konferensi Indonesia Update 2017 di Australian National University, Canberra, Australia.
Menurut Vedi, meningkatnya politik indentitas di Indonesia melibatkan arus utama dari nilai-nilai konservatisme Islam. Tidak hanya karena mudah memperoleh dukungan banyak orang, nilai-nilai tersebut juga memiliki kapasitas untuk membawa gerakan ini bersama-sama agar segala sesuatu bisa dijalankan berdasarkan ajaran Islam.
Vedi mengamati, pemerintahan Presiden Joko Widodo merespons fenomena itu dengan hiper-nasionalisme, yang ditandai dengan kembalinya diskursus gaya Orde Baru melalui Pancasila dan negara terintegrasi. “Respons yang diberikan sama-sama sebuah kemunduran,” kata dia.
Dua hal tersebut, kata dia, memperdalam karakteristik demokrasi liberal yang sebenarnya sudah terjadi. Itu sebabnya, demokrasi di Indonesia saat ini menjadi lebih ekslusif. “Pemilihan umum membantu elit oligarki mengamankan dominasi sosial dalam berkompetisi,” ucap Vedi.
Pada saat yang sama, perlindungan terhadap hak-hak sipil, terutama kelompok marginal, berada di bawah bayang-bayang kompetisi antar elite oligarki. Itu sebabnya kaum marginal, seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), agama minoritas, eks tahanan politik, juga hak perempuan, masih berada di bawah ancaman meski berada di era demokrasi.
Kompetisi antar elite oligarki juga terlihat pada penggembosan kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terjadi akhir-akhir ini melalui pembentukan Panitia Khusus KPK di Dewan Perwakilan Rakyat.
Tekanan terhadap KPK, menurut Vedi, mengindikasikan kepentingan “para pemangsa” mendominasi partai-partai politik dan institusi negara seperti parlemen. Padahal, KPK merupakan simbol utama kesuksesan reformasi. (Tempo)
Sumber : Tempo.co


👊

WAKIL Presiden M Jusuf Kalla menegaskan dirinya tidak akan maju lagi dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019.

"Saya tidak akan maju lagi (Pilpres 2019) karena dua alasan, pertama karena umur dan kedua karena ketentun Undang-Undang dasar 1945," kata Wapres M Jusuf Kalla saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) Kedaulatan Bangsa Menuju Satu Abad Kemerdekaan 2045 di Istana Wakil Presiden, Jakarta, hari ini.

Lebih lanjut JK menjelaskan bahwa dalam UUD 45 tegas menyatakan seseorang hanya boleh menjabat presiden atau wapres dua kali. Setelah itu tidak boleh lagi.

"Jadi jelas hanya dua kali. Disitu tidak ada kata berturut-turut, tapi dua kali. Jadi saya sudag dua kali. Kalaupun disitu ada kata berturut-turut, maka saya juga tidak akan maju lagi," ujar Wapres yang disambut tepuk tangan.

Dalam kesempatan itu, Wapres juga menjelaskan dirinya merupakan juara Indonesia dalam hal pilpres. "Saya ini juara Indonesia. Tiga kali ikut pilpres dan dua kali menang satu kali kalah. Mana ada yang seperti saya," kata JK yang disambut tawa meriah. (OL-7)

🍦
Merdeka.com - Presiden Joko Widodo merasa terganggu dengan polemik pembelian 5.000 senjata api secara ilegal. Isu ini pertama kali dilontarkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Saat memberi sambutan di Sidang Kabinet Paripurna, Jokowi mengingatkan bawahannya agar menjaga stabilitas politik nasional. Dia tak ingin pejabat negara berbicara sesuatu yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai pernyataan Kepala Negara menunjukkan sikapnya sebagai panglima tertinggi yang membawahi institusi TNI dan Polri. Menurutnya, tidak bisa prajurit sekali pun jenderal berbicara tanpa ada kontrol pemerintah.

"Itu adalah tamparan keras buat Panglima Gatot," kata Yunarto saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (2/10) malam.

Dia menilai terlepas benar atau tidaknya yang disampaikan Gatot, namun secara etika kenegaraan sudah melangkahi Presiden. Sikap mantan kepala staf angkatan darat itu juga melanggar kode etik seorang prajurit. 

"Bagaimana kode etik harus dijaga. Panglima tugasnya terkait dengan situasi pertahanan dan keamanan negara. Jokowi tegaskan dia tidak diam," tuturnya.

Menurut Yunarto, penegasan Jokowi menjadi batasan ke depan untuk pejabat tinggi negara agar tak sembarangan buka suara. Yunarto menangkap pesan agar panglima tidak bersikap hanya sebagai atasan, tetapi dia juga merupakan bawahan presiden. 

"Ini sebuah peringatan yang akan jadi kontrol sikap Gatot ke depan," tuturnya.

Gatot sendiri mengaku telah mengantongi data intelijen yang akurat soal pembelian senjata api tersebut. Akan tetapi, informasi itu hanya boleh disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. 

"Semuanya informasi hanya boleh saya sampaikan kepada atasan saya Presiden. Menko Polhukam pun tidak, Menhan pun tidak," tegasnya.

Sebelumnya, Jokowi mengingatkan jika terjadi perselisihan di antara kementerian dan lembaga agar diselesaikan di tingkat Menko. Apabila tidak selesai di tingkat Menko, maka perlu diselesaikan di tataran Wakil Presiden. 

"Masih belum selesai (di tingkat Wapres), bisa ke saya," tegasnya.

Dia juga menegaskan, dirinya adalah Panglima tertinggi Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Jokowi meminta agar menteri dan pimpinan lembaga terus bekerja sama, bersinergi dalam mewujudkan pembangunan nasional.

"Sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara, saya perintahkan kepada bapak ibu dan saudara-saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing!" ucapnya saat memberikan sambutan di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/10).

Jokowi kembali mengingatkan, 2018 adalah tahun politik karena akan ada momentum Pilkada, Pileg, dan jelang Pilpres. Karena itu, dia meminta, menteri dan pimpinan lembaga menghindari kegaduhan. 

"Sekali lagi, jangan melakukan hal-hal yang menimbulkan kegaduhan, kontroversi. Kita bekerja saja, sudah. Kalau ragu-ragu agar diangkat ke ratas," tegasnya. 

Jokowi sudah memanggil Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dan Gatot ke Istana, 27 September lalu. Sebelumnya, Jokowi juga sudah mendapat klarifikasi dari Gatot saat bertemu di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (26/9) malam.

Hari ini, Wiranto akan memanggil kembali Panglima TNI, Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Badan Inteligen Negara Budi Gunawan untuk menyelesaikan isu pengadaan 5.000 pucuk senjata. Ini dilakukannya setelah Jokowi menginstruksikan perselisihan diselesaikan di tingkat Menko.

"Semua saya undang BIN, Kapolri, Panglima TNI, kemudian dari Menteri Pertahanan, dari Pindad, Bea Cukai, dan sebagainya," ungkap Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/10). [did]

💂

Politik Putus Asa dan Jahat: Ancaman Diulangnya Tragedi Mei 98

Tragedi Mei 98 tidak terjadi secara spontan, kerusuhan terjadi secara sistematis, terencana dan terbuka. Tragedi Mei 98 tidak boleh terulang lagi dan haram dijadikan barang dagangan politik. Ulasan Tunggal Pawestri.
Ratusan nisan tak bernama berjejer rapi. Di tengahnya, sebuah batu sederhana menyerupai bentuk lembaran kain yang sedang dijahit jarum raksasa, dengan benang kawat merah berdiri tegak. Jahitannya belum selesai. Tidak sulit menemukan makam massal korban tragedi 98 di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur. Di papan penunjuk jalan terbaca lokasi persis tempat itu, Blad 27 Blok AAI.
Tahun lalu, setelah lobi intensif yang dilakukan Komnas Perempuan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama akhirnya meresmikan pembuatan prasasti Tragedi Mei '98 di TPU Pondok Ranggon. Menurutnya, prasasti ini dibangun sebagai salah satu bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan rasa keadilan, terutama bagi keluarga korban. Tiap tahun, selalu ada upacara kecil dilakukan oleh keluarga korban dan para pegiat kemanusiaan di TPU ini.
Mengingat apa yang pernah terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998, rasanya sulit percaya bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi (TGPF) Mei 98 yang dibentuk pemerintah telah dengan rinci memberikan kisaran jumlah korban dan kerugian dari berbagai sumber.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan mencatat 1.217 korban meninggal dengan cara mengerikan. Korban luka berjumlah ratusan. Selain itu, ratusan keluarga kehilangan rumahnya karena dibakar dan lainnya kehilangan harta benda karena dijarah. Hal terburuk, sekitar 85 perempuan yang mayoritas beretnis Cina menjadi korban kekerasan seksual.
Hasil temuan terpenting dari TGPF adalah, tragedi Mei 98 tidak terjadi secara spontan, kerusuhan terjadi secara sistematis, terencana dan terbuka. Hingga saat ini, kelompok masyarakat sipil yang bekerja untuk isu hak asasi manusia masih terus berupaya memerjuangkan agenda penegakan hukum atas apa yang terjadi pada tahun itu.
Politik putus asa
Bukan hanya sekali dua kali saja kita mendengar ocehan jahat dari orang-orang yang dianggap tokoh dan memiliki pengaruh publik lumayan besar. Pertarungan kekuasaan menyebabkan mudahnya para politisi, tokoh dan pendukungnya mengeluarkan pernyataan provokatif dengan semangat untuk melemahkan lawan politiknya. Propaganda politik adalah hal lumrah dalam perebutan kekuasaan, namun apa yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, menjadi sangat menguatirkan.
Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, sudah beberapa kali kita dengar serangan-serangan pernyataan berbau rasis dan agama yang ditujukan kepada salah satu kandidat bakal calon gubernur yang berasal dari etnis dan agama minoritas di Indonesia. Meski berdasarkan UU Pilkada 8/2015, pernyataan serangan berbasis SARA tidak dapat dibenarkan dan diancam hukuman pidana, namun banyak orang yang tak ragu melakukannya. Beberapa di antaranya melakukan dengan dalih mengikuti ajaran agama.
Penulis: Tunggal Pawestri, feminis dan aktivis HAM
Bagi saya pernyataan paling jahat dan terdengar putus asa adalah pernyataan para tokoh yang mulai menggunakan tragedi Mei 98 untuk mengintimidasi lawan politik. Entah apa yang merasuki isi kepala para tokoh saat beberapa di antara mereka mulai dengan enteng menebar ancaman akan terulangnya tragedi Mei 1998 jika salah satu bakal calon gubernur yang beretnis Cina dan beragama Kristen terpilih. Pernyataan para tokoh ini seolah membuktikan satu hal, tragedi Mei 98 adalah tragedi yang bisa diatur dan direncanakan. Mengerikan.
Dalam power threat theory, Hubert Blalock (1967) menjelaskan bahwa kelompok mayoritas akan selalu berupaya memproteksi status dominannya dengan berlaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas akan dianggap sebagai ancaman, terlebih jika ada kompetisi ekonomi dan soal politik atau soal ekonomi politik. Tak heran jika lawan politik yang mewakili kelompok mayoritas akan menggunakan seluruh upaya untuk menekan pihak lawan yang dianggapnya representasi kelompok minoritas.
Hargai perbedaan, bersikaplah terbuka
Namun sebagai bangsa, apakah kita mau masuk dalam politik macam ini? Politik penyingkiran satu kelompok lainnya hanya karena perbedaan suku, agama, ras, orientasi seksual, identitas gender atau etniknya? Bukankah kita tak boleh berlaku diskriminatif atas dasar apapun? Bukankah kita harus menghargai perbedaan dan bersikap terbuka?
Oleh karena itu, di bulan Mei ini, para tokoh atau politisi frustasi sebaiknya berefleksi, membuka mata hati. Tragedi Mei 98 tidak boleh terulang lagi, tragedi ini semestinya haram untuk jadi barang dagangan politik apalagi dipakai untuk mengintimidasi. Indonesia harus jadi bangsa yang beradab, bukan bangsa yang biadab.
Penulis:
Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

😎

Jakarta, CNN Indonesia -- Kerusuhan pada Mei 1998 merupakan hasil kulminasi dari malapetaka ekonomi yang memukul Asia dan krisis politik. Emosi negatif masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi mencapai titik didihnya. 

Kerusuhan berupa penjarahan di kawasan pertokoan meletup di berbagai wilayah. Bersamaan dengan itu, ribuan mahasiswa yang jengkel dengan rezim Orde Baru beserta kroninya, juga turun ke jalan untuk berdemonstrasi. 

Paparan itu disampaikan sejarawan sosial ekonomi Asia Tenggara dari Universitas Amsterdam, Gerry van Klinken dalam tulisannya yang ia beri judul 'Kerusuhan Mei.' 


Menurutnya, sejak 1997, krisis ekonomi di Asia memukul Indonesia jauh lebih keras dibandingkan negara-negara lain, misalnya Thailand, Filipina, dan Korea Selatan. Nilai tukar rupiah merosot tajam dengan cepat.

Depresiasi nilai tukar tersebut membuat ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutus hubungan kerja pegawai-pegawainya. Harga-harga kebutuhan pokok pun merangkak naik dengan pesat.

Rakyat yang lapar menjadi mudah tersulut emosi, hingga melampiaskannya kepada kalangan yang lebih mapan. Dalam hal ini, etnis Cina yang paling banyak menjadi korban.

Penjarahan massal dengan cepat menjalar di berbagai tempat di Jakarta. Pada tanggal 13 Mei 1998, massa mulai melakukan penjarahan di wilayah Cengkareng dan Glodok. Bagaikan virus, hampir seluruh pertokoan di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat dijarah dan dibakar oleh massa.

Petugas dari kepolisian yang berusaha menghentikan penjarahan tidak berdaya menghadapi massa yang kalap. Pos polisi dibakar. Mereka lalu berlarian bagai rusa yang diburu kawanan singa. 

Tulisan "Milik Pribumi" juga mulai banyak terpampang di toko-toko yang tidak ingin menjadi sasaran penjarahan. 

Pada 14 Mei 1998, kawasan pertokoan Mangga Dua menjadi korban selanjutnya. Sejak pagi, massa sudah mengerubungi kawasan tersebut demi mendapat barang-barang yang berharga. Dari Mangga Dua, massa lalu menyerbu wilayah Jakarta Tua yang banyak dihuni oleh etnis tionhoa.

Pada hari itu, di wilayah jakarta Selatan mulai meletup kerusuhan, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Titik kerusuhan lalu menyebar ke daerah Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, dan Cipete dengan sangat cepat.

Di Jakarta Timur pun kerusuhan sudah terjadi. Penjarahan dan pertokoan menjadi pemandangan lazim di sana. Paling parah terjadi Di Yogya Plaza Klender Jakarta Timur, dimana 488 orang mati dalam kerusuhan. 

Dari Klender, letupan amarah massa merembet ke Cempaka Putih, Pulo Gadung, hingga Matraman. Sore harinya giliran langit daerah Kramat Jati yang menjadi hitam karena bumbungan asap kerusuhan.

Para penjarah umumnya terdiri dari penduduk miskin perkotaan yang tidak terwakili dalam panggung politik. Mereka tidak memiliki pemimpin panutan, dan hanya mendapat nutrisi dari khutbah agitatif di masjid-masjid kecil. 

"Mereka kemudian melampiaskan (emosi) kepada simbol-simbol yang tidak terjangkau, seperti bank, mesin ATM, supermarket, showroom mobil dan sepeda motor milik orang-orang China," kata Gerry.

Kerusuhan berangsur berhenti pada tanggal 15 Mei 1998. Kala itu, pos polisi di Pulomas, Jakarta Timur yang dibakar massa menjadi penanda suasana menjadi lebih dingin. Kemudian terjadi beberapa penjarahan susulan yang dilakukan pemulung, namun tidak sampai seperti di dua hari sebelumnya.

Demonstrasi Mahasiswa

Selain kerusuhan yang terjadi akibat krisis ekonomi, massa yang tidak tahan dengan krisis politik juga melakukan aksi yang tak kalah besarnya. Umumnya, mereka adalah mahasiswa dari berbagai daerah yang menuntut agar Soeharto turun dari jabatan.

Pada tanggal 12 Mei, mahasiswa universitas Trisakti, Jakarta berkumpul di kampus merencanakan demonstrasi untuk merong-rong rezim otoritarian tua. Pukul 12.30, sekitar 6.000 mahasiswa bergerak menuju gedung parlemen di Senayan. Namun, pihak aparat tidak memperkenankan.

Mahasiswa tidak ingin kembali ke kampus seperti yang dianjurkan aparat. Mereka tetap bertahan di jalan seraya menyanyikan lagu-lagu nasional.

Sore harinya, pada pukul 16.45, aparat meminta agar mahasiwa harus bersih dari jalan raya dan kembali masuk ke wilayah kampus. Suasana menjadi panas. Ratusan mahasiswa, yang sebagian dari mereka membawa bunga, berhadap-hadapan dengan barisan petugas dengan wajah garang. 

Tak lama, seorang petugas menembakkan senjatanya ke udara. Aparat lalu menyerbu, menembakkan gas airm mata, dan memukul ke arahnmahasiswa. Mahasiswa lalu berhamburan mencari tempat berlindung. Ada yang bersembunyi di dalam gedung, kios, juga berlari menuju kampus Trisakti.

Hingga pukul 18.00, peluru aparat telah menggugurkan empat mahasiswa, antara lain Hafidin, Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan elang Mulya Lesmana.

Kematian empat mahasiswa membuat suasana menjadi semakiin mendidih. mahasiswa dari berbagai daerah mulai mendatangi Jakarta. Mereka ingin ikut serta berperan dalam menamatkan riwayat Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun lamanya.

Jumlah mahasiswa yang berdemontrasi semakin hari semakin melejit jumlahnya. Hingga pada tanggal 18 Mei 1998, demonstran berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Kemudian pada tanggal 21 Mei, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya yang disiarkan oleh televisi.


👴

RMOL. Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) meminta agar semua pihak yang berada di lingkaran Istana Negara untuk tidak berkhianat terhadap Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, PENA 98 mensinyalir, ada sejumlah elit dan menteri yang berpotensi mengkhianati Presiden.

"Kalau mereka mengkhianati (Jokowi), kita akan mancatat namanya satu per satu. Siapa pun itu," kata Sekjen PENA 98, Adian Napitupulu dalam acara "Refleksi Gerakan Mahasiswa 98 Melawan Kebangkitan Orde Baru" di Graha Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Senin (15/5) malam.

Politisi PDIP ini menegaskan, pihaknya telah mencatat sejumlah menteri yang berpotensi mengkhianati presiden dan pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

"Kalau misalnya kemudian Wakil Presiden juga mau mencoba-coba (khianati Jokowi), kita akan mencatat namanya. Dan kami harap, kerakusan-kerakusan untuk berkuasa tidak mengorbankan rakyat kita," tegas Adian.

Adian menekankan, jika ada orang atau kelompok yang pernah menjadi bagian dari Orde Baru ingin kembali berkuasa terhadap republik ini. Ia menyarankan, mereka untuk beristirahat dan menyerahkan kepada generasi yang lebih muda untuk memimpin republik ini.

"Berikan kita kepercayaan untuk memperbaiki bangsa yang kalian hancurkan selama 32 tahun. Kalian sudah menghancurkan bangsa ini 32 tahun dan kami tidak mau berjudi menyerahkan bangsa ini kepada kalian. Menjadi Presiden mungkin menarik buat beberapa orang. Berkuasa tidak salah di republik ini, yang menjadi persoalan adalah untuk berkuasa mengorbankan banyak orang, bahkan mengorbankan bangsanya sendiri. Saya tidak rela kalau itu terjadi," demikian Adian.[san]

👮
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian pengusaha memutuskan tidak jadi membawa pulang hartanya ke Indonesia atau repatriasi melalui program tax amnesty.
Wakil Ketua Industri Keuangan Non Bank Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sidhi Widyapratama mengatakan, banyak di antara pengusaha yang sudah membawa hartanya ke Tanah Air menyesal telah melakukan repatriasi.
Hal ini disebabkan kondisi sosiopolitik di Indonesia yang tengah berdinamika.
“Tentu sosiopolitik harus dijaga karena sangat mempengaruhi. Pengusaha banyak wait and see. Banyak yang menyesal telah repatriasi,” katanya pada sebuah seminar di Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5/2017).
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat, hingga batas waktu untuk merealisasikan repatriasi atau akhir Maret 2017, dana yang sudah masuk ke dalam negeri dalam rangka repatriasi senilai Rp 128,3 triliun.
Sementara, komitmen dana repatriasi pada program tax amnesty sebesar Rp 146,6 triliun.
Dengan demikian masih ada Rp 18 triliun dana repatriasi dari wajib pajak (WP) yang telah menyampaikan, tetapi belum masuk laporan realisasi repatriasinya
Apindo sudah mengimbau para pengusaha yang mau merepatriasi harta untuk segara merealisasikan komitmennya.
Namun mereka berpikir ulang. Sebagian dari mereka mengkonversi menjadi deklarasi. “Maka dari itu, ada komitmen yang cukup besar, tetapi realisasinya masih sedikit,” kata Sidhi.
Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, minimnya repatriasi berkaitan dengan gonjang-ganjing politik di Tanah Air.
Menurutnya, pada periode September hingga Desember ada sejulah pengusaha yang mengubah rencananya untuk repatriasi harta.
“Repatriasi seharusnya bisa lebih besar. Informasi dari private banker di Singapura, satu bank di Singapura kelola sekitar Rp 2.000 triliun uang WNI,” kata Yustinus.
Lanjut Yustinus, suhu panas politik juga bisa menekan investment ratingIndonesia.
Terlebih, apa yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah mendapatkan perhatian kalangan internasional. Khususnya soal pasal-pasal yang sifatnyauncertain.
“Di Indonesia, orang yang punya jabatan dan power saja bisa kena ketidakpastian (dalam pasal-pasal tertentu), Bagaimana investor? Pesan ini akan mempengaruhi bisnis, repatriasi dan lain-lain akan terganggu, jelas terganggu,” ucapnya.
Ia melanjutkan, masih belum semua komitmen repatriasi dibawa pulang.
Bila kondisi di dalam negeri dianggap tidak kondusif, komitmen tersebut bisa saja dibatalkan meski dengan ongkos yang lebih mahal karena kena penalti.
“Begitu dana repatriasi masuk sistem perbankan, beberapa layer sudah tidak bisa diawasi. Itu malah akan jadi pendorong melakukannya (pembatalan). Penyelesaiannya ya politik. Dan ini buruk,” katanya.
Kegagalan pemerintah menjaga kondisi politik menurut Yustinus akan berdampak pada kepercayaan.
“Pajak akan terganggu apabila politik gaduh. Reformasinya mungkin akan lebih lama stepnya. Bahkan insentif yang dulunya menarik, ketika ditawarkan sekarang tidak menarik lagi,” ungkapnya.
Reporter: Ghina Ghaliya Quddus
👮
kompas.com: Sabtu pagi yang cerah, 9 Mei 1998, pukul 07.45 waktu Jakarta, Presiden (waktu itu) Soeharto tiba di ruang VVIP Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Setengah jam sebelumnya, Menteri Sosial (kala itu) Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, juga lewat ruang itu untuk terbang ke Kalimantan Timur dalam rangka kunjungan kerja. Tutut tidak ikut Soeharto ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan puncak negara-negara Nonblok yang disebut G-15.                                      

Sebelum terbang dengan pesawat khusus MD-11 Garuda, di ruang VVIP Bandara, Soeharto sempat melontarkan kritik kepada para wartawan media massa yang dinilainya ikut memperkeruh krisis saat itu. Soeharto menuduh pers hanya menonjolkan "kebebasan" tidak memperhatikan "tanggung jawab".

Sementara itu, penjual donat di teras bandara untuk penumpang umum sempat nyeletuk kepada saya yang ikut rombongan Soeharto ke Mesir.

"Apakah Pak Harto masih bisa pulang ke Indonesia?" tanya penjual donat itu.

Sedangkan para wartawan yang tidak ikut ke Mesir tetapi hadir di bandara berseloroh tentang para wartawan yang ikut rombongan Soeharto. "Nah, ini dia para calon menteri penerangan pemerintah Indonesia di pengasingan."

Sekitar pukul 08.05 waktu setempat, Soeharto terbang ke Mesir. Kali ini Soeharto tidak berkeliling ke seluruh ruang di pesawat untu menyalami sat per satu rombongan. Ini tidak seperti biasanya bila Soeharto terbang ke luar negeri.          

Sekitar pukul 15.30 waktu setempat, atau pukul 19.30 waktu Jakarta, Soeharto tiba di Kairo, Mesir. Soeharto menginap Hotel Sheraton Heliopolis di kamar suite 2006 sampai nomor 2012.

Rombongan lainnya berjumlah 46 orang juga menginap di hotel itu. Mereka langsung istirahat karena pertemuan puncak G-15 baru dimulai pada Senin 11 Mei dan berakhir pada 15 Mei 1998.

Para wartawan diundang Kedubes RI di Kairo untuk nonton tari perut di kapal pesiar dan restauran di Sungai Nil. Saya dan wartawan kantor berita Antara tidak ikut, ditinggal di hotel karena ketiduran.

Ketika makan malam di restauran hotel, beberapa wartawan dari Jepang mendekati saya dan wartawan Antara. Salah satu dari para wartawan Jepang itu bertanya kepada kami.

"Kami dengar Soeharto itu termasuk orang terkaya di dunia, tapi kekayaannya disimpan di luar negeri."


"Mungkin juga," jawab wartawan Antara, sambil tertawa.

Usai pertemuan puncak G-15, Rabu malam, 13 Mei 1998, waktu Kairo, Soeharto bicara panjang lebar kepada masyarakat Indonesia di gedung Kedubes RI di Kairo.

Dari pertemuan itu, saya mengirimkan berita lewat telepon dari pos keamanan kedutaan. Bunyi berita itu begini:

"Presiden mengatakan kalau memang rakyat tidak lagi menghendaki dirinya sebagai presiden, ia tidak akanmempertahankan kedudukannya dengan senjata. Ia akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan dengan keluarga, anak anak dan cucu-cucu. Soeharto juga membantah dirinya orang terkaya sedunia setelah Ratu Inggris Elizabeth, Raja Arab Saudi Fahd, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah.

"Itu fitnah," kata Soeharto.

Teman-teman wartawan tidak mengirim berita karena waktunya sudah lewat dari deadline. Berita saya itu jadi headline.

Kamis pagi, 14 Mei 1998, waktu Kairo, juru foto istana, Saidi, minta para wartawan datang ke kamar Soeharto dengan membawa rekaman ucapan Soeharto seperti yang diberitakan Kompas.

Tapi pertemuan wartawan dan Soeharto ini batal karena Soeharto mempercepat waktu pulang ke Jakarta.

Jumat subuh, 15 Mei 1998, pesawat rombongan Soeharto tiba di langit di atas Jakarta. Tampak sebagian Jakarta masih ada yang terbakar.

Jelang sore, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, Jakarta, Soeharto mengumumkan  lengser di tengah maraknya tuduhan Pemerintahan Orde Baru yang KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selamat merenungkan Mei '98...


👲


Political Driven Budget Cycle in Indonesia: Can the Voters be Influenced ? Vid Adrison Institute for Economic and Social Research, Faculty of Economics University of Indonesia (LPEM FEUI)

I. Introduction Background Some  literatures of public finance argues that public service delivery will improve if fiscal decentralization is followed by political decentralization. The Government of Indonesia is considered to have this view, indicated by the introduction of direct election of district head in Law No.32/2004 on Regional government when it replaced the former law (22/1999). It seemed to be a good progress, however there are problems surrounding local district head elections. Some of the problems can be attributed to huge amount of resources required to enter local political stage. In 2011, the Indonesian Minister of Home Affair stated the estimated resources spent for district head election per each candidate is around IDR 50 billion (approximately USD 4.8 million)


The absence of total campaign funding limit - either in law or government regulation - may contribute to this huge amount of campaign cost. Given that the campaign funding comes neither from the state nor the political party, the candidates must find the financing sources themselves. For the incumbent, he/she has several ways to increase the probability of reelected. Among others include providing good visible public good such as road infrastructure (Kuncoro, et al, 2013), increase campaign expenditure and changing budget allocation for political purpose. The use of government budget to increase the probability of re-elected has been long studied in both theoretical and empirical literature. However, to author’s knowledge, empirical studies for Indonesiancase are very scant. Sjahrir et al (2013) found the existence of political budget cycle at the district level. Sjahrir et al (2014) conclude that lack of political accountability contributes to excess spending on administrative, and the introduction of direct head election did not curtail the waste. However, there have been no empirical studies that investigate the impact of political budget cycle on the probability of re-elected. Thus, this study aimed at investigating the impact of political budget cycle on the probability of re-elected.

Policy Significance The data from Indonesian’ Anti-Corruption Clearing House shows that 38 out of 316 cases handled by Anti-Corruption Agency (KPK) is related to budgetary cases. Out of 369 corruption suspects, 33 are district heads and 9 are governors. As changing budget allocation prior to election years does not necessarily imply corruption, politicians can use local budget as the mean to achieve their objective of reelection. This means that public resources are spent based on more on the incumbent political benefit rather than society’s benefit. Thus, observing changes in spending pattern before election may provide an initial indication that public resources are misused for bureaucrat political purpose.

Organization of the Paper

This article is organized as the following. In section 2, we will review the existing literatures on political budget cycle, both from theoretical and empirical categories. In section 3, we will discuss the data, empirical methodology and analysis. Finally, conclusion will be presented in section 4.

II.Previous Studies (this questionnaire was sent to BPS in each district. I thank Windhi Putranto for designing and sharing the filled questionnaire.)

The use of government budget to increase the probability of incumbent has been studied in both theoretical and empirical literature. Among theoretical studies include Nordhaus (1975), Hibbs (1977), Alesina (1987) and Rogoff (1990). While for empirical category, the support for politically-driven budget cycle is mixed. The empirical studies in 1970s and 1990s generally do not find regular statistically significant political budget cycle (See Alesina, 1997 and Drazen, 2001). Other studies confirmed the existence of politically-driven budget cycle (Remmer, 1993; Schukcecht, 1996; Shi and Svensson, 2006; Brender and Drazen, 2006). These studies find that before elections, public spending increases, while revenues fall. Study by Vergne (2009) decomposes expenditure into current and capital expenditure. The finding is consistent with Rogoff’s (1990) prediction that public spending toward visible/routine expenditure, away from capital expenditure. For Indonesian case, recent study by Sjahrir et al (2013) confirmed the existence of political budget cycle at district level, especially when direct election was introduced. They found that prior to local election, the incumbent spend more on discretionary fund directed toward religious group or society/sport group, which are budgeted as donation or social assistance, and subcategorized under “others” spending. In another study, Sjahrir et al (2014) identified the contributing factors to administrative overspending. They found that the degree of political competition increases administrative spending (which is categorized under “other” spending), and the introduction of direct head election failed to reduce the degree of overspending. Although there are evidences from previous studies on the existence of political budget cycle in Indonesia, to author’s knowledge, there has not been any study that attempt to investigate the effect on the incumbent probability of winning an election. Thus, it is the objective of this study to fill such gap by investigating the effect of change in local government spending prior to election on the election result.

III. Data, Methodology and Analysis Data In order to answer the research question, we use secondary data from resources two sources, INDO DAPOER dataset of World Bank for the explanatory variables and filled questionnaire sent to BPS in each district 1 . 1

As there is no pooled information on district head election results in the National General Election Committee (KPU) nor in the Ministry of Home Affairs, a small questionnaire was developed to gather the necessary information to construct the dependent variable (i.e., whether or not the incumbent win the second term election)

The dependent variable is a dummy variable, which takes value 1 if the district head is re-elected, and zero otherwise. The period that we use is the district head election between 2006 and 2013. If the local district head election does not qualify for running in the election (for instance, the district head has been elected twice), the observation is dropped. A systematic change of spending composition prior to election year may indicate the presence of political budget cycle. Thus, the change in the share of spending in the one and two years prior to local district head election is used as the measure of politically-driven budget cycle. As the data on local government spending by function is mostly incomplete in INDO DAPOER, we use the share of spending for capital expenditure, goods and services expenditure, personnel expenditure and other expenditures. As control variables, we use proxies for development outcomes to reflect the overall achievement of the incumbent during the first period (such as average growth rate and the change in the unemployment rate in the past 2 and 3 years). We expect that the higher the growth rate, the higher is the probability of the incumbent to be re-elected. For unemployment rate, we expect negative relationship. Another control variable is poverty rate, which we consider as a measure of potential share of population that may be benefited from political budget cycle. And lastly, we also use dummy variable which equals to 1 if it is a city, and zero if it is a kabupaten.

The descriptive statistics is as depicted in the following table.






Empirical Results In order to test whether or not change in spending composition prior to election year, we run a simple logit regression. The results are presented in Table 2, when we use the change in the share of spending in the past year. In order to take into account the possibility that the budget cycle took place 2 year prior to election, we also calculate the change in share of spending in the election year compared to 2 year before, and the results are presented in Table 3.

From the results in table 2 and 3, we can see that the increase in share of spending on capital one and two years prior to election increase the incumbent’s probability of winning an election. The channel of capital spending on the probability of winning an election is most likely indirect. Increased share of spending on capital is expected to increase the quality of public infrastructure, thus increase the utility of voters such that they are willing to vote for the incumbent. Kuncoro et al (2013) found statistical evidence on the positive impact of good road quality on the incumbent’s probability of reelected of 50 districts in Java island.

The change in share of other spending (last 1 year) is found to have positive impact on the incumbent probability of winning an election. However, the effect is no longer significant if we use the change in share of other spending in last two years. On the other hand, the development outcome (measured by the average GDP growth in the last 2 years) is not statistically significant in affecting the incumbent’s probability of winning an election. Sadly to say, this may reflect that the voters can be influenced to support the incumbents through discretionary spending and forget about the economic achievement of the incumbent. Thus, the public should be more aware of the misuse of public budget for incumbent’s benefit.

IV. Preliminary Conclusion
Previous empirical studies in Indonesia have found the existence of political budget cycle at district level. The preliminary finding of this study suggests that the incentive to use budget for political purpose (i.e., “financing” incumbent political campaign through budget allocation) is very lucrative, because it increases the chance of winning an election for the incumbent. Adding insult to injury, voters seemed to less care about development outcome, indicated by insignificant impact of GDP growth on probability of re-elected. This provides even further incentive for the incumbent to spend more on discretionary spending to boost the probability of winning. Currently, huge resources required to enter political arena in Indonesia has drawn a public debate over whether or not a maximum limit for political financing should be put in national legislation. If the maximum limit will be in place, there is a possibility that the incumbent will turn to use budget to “finance” their campaign.
👮


Ulama kondang KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) memprotes video kampanye pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Saiful Hidayat. Video yang diberi judul "Beragam Itu Basuki Djarot", diungggah di akun sosial media pasangan calon nomor urut dua itu dan juga tim pemenangan mereka pada Minggu (9/4/2017).

Aa Gym memprotes adegan di mana sekelompok orang mengenakan sorban dan peci terlihat sedang melakukan aksi unjuk rasa dengan membawa spanduk 'ganyang Cina'.

"Pa AHOK saya PROTES KERAS video kampanye yang sangat menyudutkan umat Islam , ini fitnah yang sangat kotor dan keji," kata Aa Gym lewat akun Twitter-nya, Senin (10/4/2017).

"Tak pernah kami mengatakan ganyang Cina sekalipun berjuta umat Islam berkumpul, bahkan kami menghormati,,, mengapa membuat video Fitnah ini?," ujarnya.

Namun sayang, pernyataan Aa Gym ini langsung dimentahkan oleh warganet (netizen) dengan menunjukan bukti video dan foto saat sejumlah ormas Islam melakukan aksi unjuk rasa pada (4/11/2017) lalu. Saat itu Aa Gym juga turut hadir dan berorasi di aksi 411 tersebut, yang menuntut penegakan hukum atas Ahok, karena diduga melakukan penistaan agama.

Dalam video dan gambar yang beredar luas di dunia maya, menunjukan bahwa massa aksi 411 membawa spanduk yang menuliskan 'Ganyang Cina, penjarakan Ahok'.

"@aagym mungkin AA terlalu sibuk urusan keluarga, jd ga sempat nonton. Padahal kejadian ini di aksi 4-11 yg anda ikut terlibat di dalamnya," tulis warganet pemilik akun Takvir, yang disertakan dengan video aksi 411.

"@aagym ...dan perkuat cari data ndak asal provokasi, islam tttp damai koq, cuma anda saja hatinya tdk damai," ujar @kangdede78 yang juga menunjukan video aksi 411.

"@aagym Maaf aa'..maksudnya umat muslim yg mana? FPI, FUI, HTI ya? kalo NU jelas gak mungkin. Krn NU adl Islam yg sebenarnya. Beda sama yg laen..," tulis @MahesaPanji1.

"@aagym Pak Yai. Ini lho ada gambar dan video nya.... kok mentionku tidak dibalas? @aagym #adaAqua," ujar @nirwanoo.

Sumur Bor

👳
Power Shifting and Racial Violence: Anti-Chinese Riots in Indonesian Modern
History
Tsung-Rong Edwin Yang
Introduction
Ladies and Gentlemen, I am pleased to have the opportunity to do this presentation.
Today I am going to talk about an unpleasant and difficult issue. It’s riots. . Riots is
an unpleasant topic because of the nature of violence. It is a difficult because topic
because of the lack of documentation in most cases. Particularly in Indonesian
modern history, riots have a very violent history, and one of poor documentation.
My topic for today’s presentation is “Power Shifting and Racial Violence: Anti-
Chinese Riots in Indonesian Modern History “. I will address the questions: “Why
do so many anti-Chinese riots happen in Indonesia? What is the nature of anti-
Chinese riots? Can we get an overall picture of Indonesian riots by researching the
history of riots in this country?”
Please look at this handout. The first page of the handout is the outline. The
following pages are tables of riots in different periods of time. Page 6 is a glossary,
which contains Indonesian terminology.
The Jakarta May Riot, 1998
Let me begin with 'Jakarta May Riot' of 1998, in which women of ethnic Chinese
origin were targeted for gang-rape. I understand that many people in Hong Kong
were very concerned about this issue. But this matter remains a mystery. So far we
don’t know what was going on and what was behind the scenes.1 We cannot really
know what happened before new evidence is released. However, we may attempt to
identify the causes of the ‘Jakarta May Riot’.
1
          The widespread report of involvement of Kopasus, Indonesian Special Force, has not been
confirmed. The commander in charge was Prabowa Subianto. He denied his involvement and went
into exile to Jordan for a while to avoid further inquiry. Now he has come back to Indonesia and
continues to deny anything related to rioting. No one was arrested or charged in this case. For the time
being there is no any further inquiry on this case. It perhaps involves military or other political groups.
1


Theories to explain anti-Chinese Riots
There are two kinds of explanations available in the popular reports. The first theory
treats ‘anti-Chinese sentiment’ as the main reason for anti-Chinese riots; the second
theory sees ‘economic inequalities’ as leading to anti-Chinese riots. Many popular
discourses combine these two theories. The first theory emphasizes racial difference.
Here the difference could be skin colour, culture and custom or religion. I would call
it as theory of ethnicity. The second theory emphasizes class difference. I would call
it as theory of class. Both are very powerful theory. [this is nice and clear]
I will refer here to ‘the testament of Vivian’. The was the very first article to report
this case on the Internet in Indonesian language. I treat it as a historical document,
and published it in a newsletter in Academia Sinica and translated it into Chinese.
You can also find its English translation from the Internet.
One point in this article is shown on page 2 of the handout. The article states that
“All rapists started the action by shouting, 'Allahu Akbar.' (Arabic word: God the
greatest)”. If we use the theory of ethnicity, it is a Muslim element involved. We
may think that there are anti-Chinese sentiments among Muslim. They use this
chance to hit out at the Chinese community.
But I don’t consider this is evidence that Muslim groups targeted ethnic Chinese. We
should consider that if this theory were true, Muslim groups may show this kind of
sentiment. On the contrary, most Muslim leaders condemned the rape soon after the
news was released. The Indonesian President Habibie commented on this matter in
this way: “This is the most humiliating event in Indonesian history.” This would be
the strongest statement which a President can make. Habibie was the leader of a
Muslim group, ICMI.
It is unusual for Muslims to do this kind of thing. Rape, even of the enemy, for
Muslims is a matter of sin. Let me give you more examples to think about. If we
consider the racial conflict between Malay Muslims and ethnic Chinese in Malaysia,
2


gang-rape never became a common form of violence. Another example is the serious
unrest between Muslims and Christians in Ambon in the last two years. The killings
were very fierce but never turned to gang-rape. This kind of violence is not common
practice for Muslims. In this case, the theory of ethnicity is not good enough.
The theory of ethnicity is not good enough. If we look very carefully, we will find that
the rioters and the people who came out to help ethnic Chinese in most cases of riots
in the 1990s were pribumi. The anti-Chinese theory cannot provide a good
explanation and leads to misunderstanding about the ethnic relationship between
Chinese and pribumi.
This theory easily mixes different kinds of riots. For example, the riots in the 1940s
and the 1990s are different in term of issues involved, social structure and ethnic
relationship. This theory would treat them as having the same cause.
The theory of class is not good enough to explain this single case. If this theory
applies, then the big businessmen may be attacked during this period. The real
situation was that the anti-Chinese rape only happened in relatively poor areas in
Jakarta, in Northern and Western areas, like Pancolan, Mitra Bahari, and Tanggerang.
Even many areas in which urban middle class Chinese gather were not the targets in
that riot. It is difficult to explain this matter only by the theory of class.
The class theory also oversimplifies the issues of anti-Chinese riots. Many reports on
anti-Chinese riots would add one sentence in the end, “Chinese in Indonesia only
consist of 3 percent of the population but control 70 percent of national wealth.” This
kind of report implies that economic inequality is the main reason for anti-Chinese
riots. The problem is that the main victims in most cases were small shop owners in
small towns or countryside. The real rich people and urban middle classes, were
rarely attacked. So the theory fails to explain why anti-Chinese riots happened in
such ways. Furthermore, the theory became a myth in local discourse to legitimise
anti-Chinese riots. We should not continue to reinforce this kind of discourse.
Another way to consider this matter is an historical approach toward anti-Chinese
riots in Indonesia. If we look at all kinds of anti-Chinese riots in Indonesia which
3


were shown in the handout, we will find that it is rare to have gang-rape. It shows
that the May Riot is a special case. It is very possible, as some reports suggested, that
there may be a political conspiracy behind this matter. But I don’t want to go too far
unless we get some more evidence. This analysis of the May Riot shows that we
cannot understand one individual case well without having a whole picture of riot
history. An historical approach would be helpful to consider the social factors of anti-
Chinese riots since the nation has experienced frequent riots in modern history. The
social aspect may not help us to explain every single case. But it can help us to
understand the nature of riots in Indonesia and to get a deeper explanation.
The definition of riots and other terms
As a general term,‘riot’ falls somewhere between crime and war. Riot is not crime.
If one person loots a shop, it is crime. If many person organised to loot a shop, it is
still crime. But if many unorganised people suddenly loot every shop in a place, it
becomes a riot. There must be some reasons which mobilize common people to
become rioters. Riots only last a short time. Otherwise, they could become war. If
you can continuely mobilize ordinary people to fight, for example, by ideology or by
racial hatred, it’s war, for example, the violence in Palestine. Riots, in this sense,
need always explanations from social factors.
The riots that have taken place in Indonesia have their own, uniquely complicated,
socio-economic and political dynamic which needs to be understood. The Indonesian
terms for ‘riot’ in English were kerusuhan or huru-hara. They all contain meanings
of unrest, chaos, and vandalism. In this context, riots mean that in a period of time,
one group of people were mobilized by issues or characteristics of the group to take
collective action of violence on the life or property of another group. Riots can be
raised among unorganised people to join collective actions of violence, so riots
always have underlying social causes.
Riots can be classified by immediate causes, like hunger, poverty, inflation,
discrimination or revenge. Riots can also be grouped by the nature of the rioters –
soldiers, peasants, workers or minorities. In this paper, I take all kinds of riots into
4


account. Riots can also be grouped by results, such as property destruction, deaths,
or overthrown rulers. If any riots contain ‘anti-Chinese’ elements in causes or results,
even at a superficial level, I will treat them as anti-Chinese riots in this paper.2
The Study of Riots in Indonesia
In a country like Indonesia, riots of all kinds happened frequently in the modern era.
We may ask why there is so little research done on this issue.3
Because the mainstream concern of Indonesian studies has been dominated by major
political change, like decolonization, nationalism, cold war, or authoritarianism and so
on, there is no room for the study of anti-Chinese riots in academic circles. For a long
time, the anti-Chinese riots were given the label of so-called ‘Chinese problem’
(masalah Cina) in Indonesia. It has traditionally been seen as a question of national
integration. The Chinese are seen as unintegrated and so they caused the problem and,
by extension, the riots.4 At the same time, because this issue touches on so many
sensitive issues, including ethnic relations, the study of anti-Chinese riots has
remained untouchable to Indonesian scholars and been avoided by foreigners.
I argue that although the particular causes or incidents behind anti-Chinese violence
have undeniably varied from location to location, there does seem to be an overall
pattern throughout modern Indonesian history. The ethnic Chinese easily become
scapegoats as they are seen to represent the old regime in times of power struggle.
There have been four major periods of political change in Indonesia: the Japanese
occupation (1942), revolution and independence (1945-1949), the September 30
Incident and the fall of Sukarno (1965-1967) and the end of Soeharto's New Order
(1998). A series of anti-Chinese riots appeared in the archipelago during the process
2
           Some may be religious or anti-governmental at heart and really have nothing at all to do with
race. If the result affects Chinese in loss of life or property-destruction, these riots may have profound
consequences for ethnic relations. We should take them into account.
3The study of riots is very important for historical inquiry. Historians have long recognized
that the study of riots is essential. Riots reflect significant social contradictions and even people’s
perception. The ones that occurred during the French Revolution, in Tokugawa Japan, or as part of the
American civil rights struggle are widely regarded as turning points in the history of those countries.
4W. D. Sukisman, Masalah Cina di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Penilitian Masalah Asia,
1975), Z. M. Hidayat, Masalah Cina di Indonesia. (Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas
Pedjadjaran, 1976), A. B. Tangdililing, “Tinjauan Empiris Integrasi Nasional Sumatra dan
Kalimantan.” Intetasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi. (1987)
5


of a power shift each time. The four major periods of ethnic unrest will be discussed
in order. What is important to note at the outset is that all four waves involved
periods of power transition. I will examine the 'contagious riots' in each period and
the main theme for the power struggle.
Because so many riots have happened in Indonesia, I may not have time to go through
all of them. I personally think each case needs a detailed investigation. I have done
one book, several academic papers, and more than twenty commentaries in
newspapers or magazines on this topic. If you are interested in any single case, I can
tell you more detailed information in question time.
The Origin of ‘Contagious Riots’
Some studies have noted riots that happened earlier than 1942.5 However, I would
argue that those events were highly localized, involving religious and economic
conflict particularly. They were not contagious at the sense we use here and involved
isolated cases.6 When would be the beginning of ‘contagious riots’?
Decolonialization and Middlemen, (Japanese Era, 1942-1945)
The anti-Chinese riots of March 1942 happened after Dutch administrators were
evacuated, just after Japanese soldiers had landed but before they were in full control.
The riots were quite widespread on Sumatra and Java at a time during the power
vacuum. Many Chinese shops and factories were looted. In some cases, the looting
were actually initiated by fleeing Dutch soldiers. In other cases, the doors of
warehouses and factories were initially broken opened by Japanese soldiers. In either
case, Chinese property became an easy target for thieves. The loss was estimated at
least 100 million East Indies dollars while the total casualty list remains unknown.
5
         For example, Leo Suryadinata reported the outbursts of violence in Solo and Surabaya in 1912
and Kahin reported riots in Koedoes in 1918. Leo Suryadinata, Paranakan Chinese Politics in Java,
1917-1942. George Mcturnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia. (Ithaca, N. Y.: Cornell
University, 1952), p. 66.
6For example, the Koedoes Incident in 1918, which resulted in 11 Chinese businessmen killed
and many houses burnt, resulted from a conflict between Chinese and Muslim merchants. The violence
seems not to have spread further. It was only an isolated case.
6


In material published after the Japanese occupation, Chinese leaders said how
surprised they were and that such violence toward Chinese had been unprecedented
under the Dutch. There was no sign of anti-Chinese sentiment among pribumi in Java
before the Japanese arrived. A story in Tan Kah Kee’s memoir also showed this was
a new relationship between Chinese and pribumi.
The Japanese changed their policy after they controlled the situation and soon set firm
rules with severe punishments by kenpeitai, a move welcomed by Chinese residents.
The Japanese army established law and order after they controlled the whole island of
Java. But the events of March 1942 introduced large-scale anti-Chinese rioting to
modern Indonesia. Although their duration was very short, the effects have proven to
be long lasting. Since then Chinese property was targeted in the scorched-earth
policy during the struggle for politic power.
Nationalism and Scorched Earth Policy, (Indonesian
Revolution, 1945-1949)
A series of violent events occurred during the struggle for independence, 1945-1949.
Most cases took place in areas of Java and Sumatra. They were actively contested by
Dutch and Indonesian forces. These major anti-Chinese violence are shown in page 3
of the handout.
Although all of the events can be related to the independence struggle, they do not
seem to have been part of a deliberate policy. Rather, they were carried out by
pribumi in areas where Dutch authority was weak or absent and, later, in the context
of various police actions, when there were few republican elements around. Perhaps
it was their intention to cause maximum disruption. But given the context of the
times, the force of anti-colonial sentiments, and all of the international complications,
it is difficult to say to what extent the violence or property destruction was
specifically anti-Chinese. Although Chinese-language sources naturally emphasize
7


the racial character of the riots, it must be acknowledged that pribumi undoubtedly
suffered more, per capita, in the revolution.
Cold War and Massacre, (Gestapu, 1965-1967)
Gestapu is a Indonesian term, literally meaning the Incident of 30 September or the
movement of 30 September. It was an attempt at a coup by a few mid-level military
officers in 30 September 1965. Because they were members of the PKI, the
Indonesian Communist Party, a large-scale massacre of Communists and leftists by
the military and by ordinary people in rural areas followed. The precise number of
people killed, is still uncertain. Common estimates for the total dead range are from
500,000 to 1,000,000. Some recent reports repeatedly mentioned ethnic Chinese were
the main victims in this massacre. It is not true. There is no question that some
Chinese died, although their percentage of the total has long been exaggerated. Most
of the killing took place at the village level where leftists or those perceived to be pro-
Communist were rounded up and killed.
Again, riots soon took on a more overtly ‘anti-Chinese’ character, spreading from
Java and Sumatra to the outer islands, because many reports in Indonesia indicated
that the Chinese Communist Party gave an instruction to the Indonesian Communist
Party to conduct this attempt coup. Anti-Chinese rioting mainly caused by large-scale
demonstrations in major urban areas against the Chinese consul of the People’s
Republic of China. But Chinese were confronted mainly by demonstrations, not
massacre.
The massacre mainly happened in rural areas. All this time very few Chinese lived in
rural areas because the 1959 Presidential Decree no. 10 banned Chinese traders from
rural areas. This ban was actually a discrimination against Indonesian citizens of
ethnic Chinese origin, but in the end saved Chinese lives. The main target was the
PKI. At that time, PKI was the biggest Communist party in the world, with a very
small number of ethnic Chinese members. Many Chinese people managed to leave
the country to seek shelter. Many of them are actually in Hong Kong now. Chinese
language sources estimated that, from October 1965 through the change of
8


government in 1967, the period of greatest political instability, as many as 100,000
Chinese perished. They had been largely the victims of factors beyond their control,
caught as they were between communism and pribumi nationalism, the People’s
Republic of China and the Indonesian military.
There was two cases in this period that ethnic Chinese became main victims. They
were the violence in West Kalimantan in 1967 by local indigenous people, Dayaks,
and members of Baperki were targeted in Jakarta.7 They were both involved in the
issue of Communist party.
Economic Crisis and Anti-Governance of Orde Baru, (1994-
1998)
Now we move to the recent anti-Chinese violence in the 1990s. There are four waves.
It began in Medan in 1994, a workers’ protest turned to riots. The shops which was
destroyed were mainly owned by ethnic Chinese. Moreover, there was an obvious
connection between economic grieveance and ethnic scapegoating.
By the end of the year, Chinese property was under attack in many locations because
of price rises and the rapidly collapsing Indonesian economy. Before long, the entire
country was experiencing various degrees of unrest which culminated in the student
demonstrations of May 1998 and large-scale outrages against the Chinese community.
Conclusion: Power Shifting and Racial Violence
In this paper, I suggest that the anti-Chinese riots in Indonesia cannot be understood
only from aspects of current ethnic relations or class structure. These two kinds of
theories would easily turn to ‘Victim-Blaming’. Much previous research on this issue
only applies these two powerful theories. It implies that if ethnicity causes problems,
7
         Both were involving other factors. The violence in West Kalimantan in 1967 had strong
military elements behind the scene because of communist guerrilla in Sarawak. Some leaders of
Baperki supported PKI. The ‘New Order’ government quickly closed Chinese schools and newspapers
and took a strong assimilation policy towards ethnic Chinese by giving the impression that
‘Chineseness’ was an evil to be eliminated. Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis. (Kuala
Lumpur: OUP, 1983)
9


then to downplay the ethnic feature would be a solution. This resulted in the
assimilation policy applied to ethnic Chinese after Suharto took power. If economic
inequality causes problems, then to push Chinese people to donate money would be
the answer to reduce the tension. It was the usual practice and led to a corrupt system
during the New Order regime.
My conclusion is that the historical approach offers us better understanding of anti-
Chinese riots in Indonesia. The four periods of riots have some common
characteristics. First, every period when there was persistent and widespread rioting
coincided with a time of political transformation. From the early stages of the
Japanese occupation to Soeharto’s resignation, political change has been accompanied
by violence that has affected the Chinese community.
Second, ethnic Chinese were placed in a vulnerable or disadvantageous position in
each period of political uncertainty. They were seen as affiliated with the old regime.8
The Chinese have, time after time, found themselves on the losing side. It should go
without saying that the Chinese easily become scapegoats in times of social turmoil.
Third, although there has unfortunately been considerable loss of life, the main losses
in anti-Chinese roits have been largely property. Chinese casualties are not really
disproportionate when compared with pribumi Indonesians in similar crisis situations.
Thus, it is hard to conclude that rioting is a racially-motivated phenomenon or that
there is a deep hatred of the Chinese.
Fourth, ethnic relations have changed over time, and the socio-political context has
been different in each period. The basic characteristics of the political system are the
same. The transfer of power has been complicated by invasion, by revolution, by
anti-communist champions, and by Democratization. The new power would always
accuse ethnic Chinese of supporting the old regime before the new power won the
political struggle. However, after they win, the new regime would try to be close to
ethnic Chinese. The reasons are obvious. Ethnic Chinese have no political power but
8
           They were viewed as pro-Dutch during the Japanese occupation and independence struggle.
In the 1960s they were seen as associated with communist party. In the 1990s, Chinese was seen as
affiliated to Orde Baru regime.
10


have access to resources. The nature of modern Indonesian politics is winner-take-all.
No political power would let ethnic Chinese support other groups. Chinese often pay
money to the authorities to reinforce their affiliation with the regime in power. Then
all kinds of grievances are released against ethnic Chinese because of their affiliation
with the old regime during a transfer of power. It is why Chinese were always
victimized over different periods of time. It seems to be a cycle in Indonesian history.
The anti-Chinese outbreaks should not be seen as a minority problem but as a major
problem for the nation. The so-called ‘Chinese problem’ really is an Indonesian
problem. In Indonesian terms, Kambing Hitam means scapegoat. Kambing means
goat or sheep. Hitam means black. Chinese are ‘black sheep’. Black sheep are easy
to be blame because their colour is different. But the real matter is not colour. We
should expect a better system, not to concern people’s colour. Thank you.