Kamis, 09 Oktober 2014

Yth. Koali$1 PERMANEN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Majelis Pakar Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani mengungkit investasi politik partainya kepada Prabowo Subianto. Dia juga membeberkan peran PPP dalam mendukung Koalisi Merah Putih (KMP), parpol-parpol pendukung Prabowo - Hatta pada Pilpres 2014 di DPR.
Yani menuturkan sebelum ada partai politik lain mengusung Prabowo Subianto untuk maju menjadi calon Presiden 2014, PPP sudah terlebih dahulu menjagokan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan (Kopssus) itu.
Dukungan PPP diberikan langsung kepada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto saat masih untuk Pemilu legislatif di Gelora Bung Karno Jakarta, 23 Maret 2014. Saat itu Prabowo belum ditetapkan sebagai capres.
Setelah itu, PPP mendukung pencalonan Prabowo yang berpasangan dengan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa untuk mengikuti Pilpres 2014. Usai Pemilu dan Pilpres, PPP pun bersatu dengan KMP mengegolkan sejumlah target bersama, seperti mengesahkan Undang-undang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3), tata tertib persidangan DPR dan MPR, pengesahan RUU Pilkada, dan pengisian jabatan di DPR/MPR.
Atas fakta-fakta itu, Yani tidak dapat menerima bila KMP menegasikan investasi yang dilakukan PPP. "Investasi yang begitu banyak, tapi dianggap tidak ada arti dan makna ya silakan saja menilai seperti itu," Kata Yani di gedung parlemen di kawasan Senayan Jakarta, Rabu (8/10/2014).
"Kalau kawan-kawan KMP menggangap bahwa KMP ini mempunyai kesalahan yang cukup besar gara-gara ini silakan dinilai seperti itu. Tapi perlu dicatat bahwa investasi PPP terhadap KMP ini jauh lebih besar juga," kata Yani, anggota DPR RI yang terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I.
Rakyat yang akan membuktikan fakta dan sejarah apabila kubu KMP mempersoalkan keseriusan sikap PPP mendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam paket calon pimpinan MPR RI, Selasa (7/10).
"Kalau kawan-kawan KMP manggagap bahwa sikap yang kemarin pelanggaran sangat serius, ya biarlah fakta dan sejarah rakyat yang membuktikan," ujarnya.
Yani mempertanyakan perihal PPP yang tidak mendapat jatah satu pun jabatan di parlemen. "Menurut saya dari 9 slot yang tersedia di DPR maupun MPR masa PPP satu pun enggak dapat, iya kan."
Atas hal itu dia pun meminjam kutipan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bahwa dalam hari raya korban janganlah saling mengorbankan.
Kalaupun sikap PPP tiba-tiba berpaling dari KMP yang mengusung paket pimpinan MPR yang diketuai Zulkifli Hasan, lalu mengalihkan dukungan ke kubu KIH yang mengusung paket Oesman Sapta, hal itu lantaran terdapat perbedaan pandangan dan langkah dengan KMP terkait mengisi jabatan di MPR.
"Kemarin itu, kami minta izin untuk berbeda pandangan, berbeda langkah hanya mengisi jabatan-jabatan di MPR. Kemarin itu bukan dalam konteks pendukungan Jokowi tetapi mengisi jabatan di MPR," imbuhnya.
Saat ditanyakan apakah PPP akan berbalik bergabung dalam pemerintahan Jokow-JK, Yani mengatakan akan melihat respons yang dilakukan KMP terlebih dahulu. "Kita lihat saja perkembangan. Politik itu sangat dinamis, politik itu sangat cair, tergantung respons yang dilakukan oleh kawan-kawan KMP," tuturnya.
Saat ditanyakan apabila nanti PPP didepak oleh KMP, ia pun menjawab bahwa partainya akan pasif. Ia mengakui masih ingin tetap bersama-sama dengan KMP. Hal pasti, hingga saat ini, PPP masih bergabung di Koalisi Merah Putih.
Sementara Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menanggapi dingin sikap PPP yang merapat ke KIH ketika pemilihan pimpinan MPR. Menurut Hidayat, semuanya dikembalikan lagi kepada internal PPP apakah ingin tetap di KMP atau di dengan KIH.
"Kembali kepada PPP maunya bagaimana, dengan kemarin tidak bersama dengan Koalisi Merah Putih. Tidak bersama dengan KMP apa sudah keluar dan ingin kembali lagi," kata Hidayat.
Hidayat mengaku KMP tidak pernah meninggalkan PPP, karena dengan adanya penandatangan kontrak politik permanen oleh Ketua Umum PPP Suryadharma Ali beberapa waktu lalu.
"Kami nyatakan, kami tidak pernah meninggalkan rekan-rekan PPP. Ada penandatangan dari Pak Suryadharma Ali termasuk posisi PPP dalam pemipinan MPR kemarin kami ingn menjaga kesolidan ini," kata mantan Presiden PKS dan Ketua MPR periode 2004-2009.
Ia menyatakan KMP ingin mendengarkan klarifikasi politik dari PPP. Namun jika PPP ingin ke Koalisi Indonesia Hebat silakan saja, tetapi kalau mau kembali ke Koalisi Merah Putih akan membahas terlebih dahulu melalui pimpinan-pimpinan Koalisi Merah Putih.
"Ya mereka buat pernyatan terbuka, dan tolong diklarifikasi apakah sebenarnya begitu dan tidak begitu. PPP memang masih ingin bersama dengan KMP atau nyaman dengan KIH," ujar Hidayat. (tribunnews/rahmat patutie)


INILAH.COM, Jakarta - Soliditas tim Koalisi Merah Putih (KMP) jelang pemilihan Pimpinan MPR dalam ancaman serius. Jika dalam debut sebelumnya koalisi ini mendominasi, kini terancam bubar di tengah jalan.
Sukses KMP di sejumlah peristiwa politik di Parlemen mendapat batu sandungan menjelang pemilihan Pimpinan MPR. Ini terkait dengan paket pimpinan MPR yang akan diusung dari koalisi ini yakni dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN dan Partai Demokrat.
Sekretaris Jenderal DPP PPP M Romahuruziy mengatakan pihaknya resmi mengajukan Hasrul Azwar sebagai calon Pimpinan MPR. Menurut Romi, usulan ini tidak bisa ditawar lagi. "Keputusan ini sebagai keptuusan bulat yang berada dalam posisi yang tidak bisa ditawar," kata Romi usai rapat internal PPP di ruang Fraksi PPP di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (6/10/2014).
Saat ditanya apakah PPP memungkinkan pindah haluan ke Koalisi Indonesia Hebat? Romi tidak tegas menjawabnya. Hanya saja, ia menegaskan dalam politik semua kemungkinan bisa terjadi. "Yang pasti perjuangan PPP, dedikasi PPP, loyalitas PPP di KMP dibaca oleh kader PPP di seluruh Indonesia pasca putusan DPR kemarin," urai Romi.
Sementara, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengklaim persoalan di KMP terkait posisi PPP di paket Pimpinan MPR telah tuntas. "Masalah itu selesai, dua hari yang lalu. Yang jelas ada pembicaraan dan menghasilkan kesimpulan," kata Fadli ditemui di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Namun saat ditanya tentang posisi PPP yang tidak mendapat jabatan paket Pimpinan MPR, Fadli buru-buru menyebutkan peluang PPP mengisi pimpinan MPR belum tertutup. "Belum tentu PPP tidak dapat jabatan," kelit Fadli.
Menurut dia, soal siapa yang bakal mengisi, Fadli menyebutkan tidak ada soal siapa yang mengisi apakah kader PPP dari DPD atau yang dari partai politik.
Sinyal keretakan koalisi ini ditandai dengan rapat gabungan (Ragab) pimpinan fraksi dari fraksi di MPR dan kelompok DPD yang memutuskan sidang paripurna pemilihan Pimpinan MPR dilakukan pada Selasa (7/10/2014) esok.
Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI Edhy Prabowo mengatakan mulanya pihaknya dan beberapa fraksi mendorong sidang paripurna MPR RI dengan agenda memilih Pimpinan MPR dilakukan Senin (6/10/2014) malam ini.
"Kami usulkan jam 21:00 malam ini, KMP juga usul hari ini. Tapi PPP mengubah untuk besok. Mereka punya alasan. Bagi kami besok dan sekarang tidak masalah," tegas Edhy.
Sementara Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan penundaan sidang paripurna MPR semata-mata dikarenakan DPD akan mengerucutkan sembilan nama usulan dari DPD sebagai salah satu pimpinan MPR menjadi satu nama untuk diusung dalam Sidang Paripurna MPR RI. "Sebelum jam 10, Selasa (7/10/2014), kita sudah punya nama," kata Irman. [mdr]

 TEMPO.CO, Jakarta - Legislator yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha, menjamin dukungan suara partainya bulat ke koalisi Indonesia Hebat pendukung Joko Widodo. Dalam sejarah pengambilan keputusan tahap paripurna, kata Syaifullah, PPP selalu solid mendukung tokoh yang telah disepakati. (Baca: Setelah Molor Dua Jam, MPR Gelar Rapat Rahasia)

"Kami punya 39 kursi solid dan tak terpecah-pecah," kata Syaifullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 7 Oktober 2014. Dia juga menjamin seluruh anggota fraksi akan hadir. Bila tidak hadir, ujarnya, partai akan memberikan sanksi kepada para kadernya di parlemen. (Baca: Incar Pimpinan MPR, PPP Membelot ke Koalisi Jokowi)

Syaifullah mengatakan sebelum memutuskan pengalihan dukungan, sejumlah petinggi koalisi Prabowo Subianto terus merayu PPP agar membatalkan niatnya. Sampai pukul 18.00 WIB, kata Syaifullah, mereka masih menjamin Koalisi Prabowo menang dengan cara menggerogoti suara Dewan Perwakilan Daerah. (Baca: Koalisi Jokowi Pesimis Paket Pimpinan MPR Diterima dan DPD Pilih Oesman Sapta sebagai Pimpinan MPR)

"Tapi kami tetap menganggap tawaran itu tak menarik," kata Syaifullah. Dia mengatakan PPP hanya tertarik bila diberi posisi sebagai pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun, politikus Golkar Idrus Marham dan Setya Novanto tak bisa memberikan jaminan apa pun kepada PPP. (Baca: Koalisi Jokowi Sukses Rayu DPD, Siapa Dalangnya? dan Berebut Ketua MPR, DPD Tetap Kompak Satu Nama)

Syaifullah mengatakan kerja sama ini kemungkinan bakal berlanjut pada pembahasan berikutnya, yakni dalam sejumlah posisi di kabinet. Dia mengatakan keputusan ini juga bisa mengubah sikap PPP yang akan diputuskan di musyawarah nasional nanti. (Baca: Paripurna MPR, Koalisi Prabowo Banyak Interupsi dan Lawan Kubu Prabowo, Mega-Jokowi Bisa Kalah 5-0)

SUNDARI SUDJIANTO

DETIK Jakarta - PPP hampir pasti melabuhkan diri dan memilih bergabung dengan paket pimpinan MPR yang diajukan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Keputusan PPP itu disebut-sebut hasil dari lobi politik para dewa.

"Seluruh ketua umum telah melakukan komunikasi politik," kata Politisi Hanura Saleh Husein di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/10/2014).

"Kapan tepatnya keputusan itu keluar? Siang ini?" tanya wartawan.

"Ya dewa-dewa kan selalu berkomunikasi," tutur Saleh sambil tersenyum simpul.

Bergabungnya PPP membuat Hanura tak kebagian jatah kursi di paket pimpinan MPR yang diajukan KIH. Hal tersebut dianggap bukanlah masalah dan tidak ada deal-deal tertentu dengan KIH.

"Tidak ada deal deal, yang penting ini bisa cepat selesai. Kita tidak berpikir ke situ (tidak dimasukan paket karena perolehan suara kecil). Ini inisiatif kita sendiri," jelasnya.
JAKARTA wsj, Indonesia — With the passage of legislation that discontinues direct regional elections in Indonesia, a coalition of old-guard parties opposing President-elect Joko Widodo would appear poised to take control of nearly every gubernatorial seat across the Southeast Asian nation.
Appearances, as usual given the fluid politics of the world’s third-largest democracy, can be deceiving.

The parties that passed the new elections bill last week — the same parties that supported the unsuccessful presidential run of former army Gen. Prabowo Subianto — will hold majorities in 31 of the archipelago nation’s 34 provincial legislatures. Aburizal Bakrie, leader of the largest party in the coalition, called it one of the grouping’s biggest victories.
If the coalition’s members stay together at the regional level, the new law would allow them to appoint governors — not to mention thousands of mayors and district heads — in regional elections over the next five years.
But that’s a big “if.” Indonesia has a long history of loose party affiliations, especially at the regional level, and voting across party lines — or switching parties entirely — isn’t uncommon.
“That was the lesson from 1998 to 2004, when this system” of indirect elections previously was in place, said Marcus Mietzner of Australian National University. “There was no coherence in party voting, and caucus members simply voted for the candidate who had given them the most money.”
A difference today, he added, would be if elections across the country were held on a single day, which could make coordinating nominations easier for coalitions within regional legislatures.
There are also a number of ways the law could unravel before local elections take place next year.
The most immediate is via a judicial review of the law at the Constitutional Court. A handful of such appeals have already been filed, each making a case that the law contradicts the constitution. The bar is high for proving their case, though, and a decision will likely come down to interpretation of a few key articles.
All other options will require a significant change in the allegiances of parties in the national legislature.
In a first scenario, President Susilo Bambang Yudhoyono could make good on his stated intent to issue a decree that would effectively call for a new vote on an altered version of the law — one that calls for direct elections. But his decree would still be subject to a vote in the next legislature, which will be controlled by the coalition of Subianto supporters.
In a second scenario, President-elect Widodo could try to amend the law — or introduce a new one — after he assumes power later this month. Getting that passed would  still require approval of the Subianto-controlled legislature.
Thus barring a surprise decision to overturn the law from the Constitutional Court, the key for proponents of direct elections is breaking apart Mr. Subianto’s coalition.
Mr. Widodo has yet to name his cabinet, but has said he will appoint politicians in about half of all positions. If some of those positions go to opposition parties, the thinking goes, he’ll reshape Mr. Subianto’s coalition into a minority power.
Even if Mr. Widodo doesn’t win over the opposition immediately, those parties could still face public pressure to break up in the months ahead. The elections bill was widely unpopular among citizens of all stripes.
“If implemented, the abolition of direct local elections would indeed constitute a major regression in Indonesian democracy,” Mr. Mietzner said. But “we haven’t seen the end of this yet.”

detik Jakarta - Jokowi membentuk sebuah satuan tugas khusus (satgasus) yang berfungsi membahas arah blusukan Joko Widodo. Satgasus ini dipimpin dua orang yaitu putra Ketua Umum PDIP Prananda Prabowo dan orang dekat Hatta Rajasa, Wahyu Sakti Trenggono.

"Dia memang dekat dengan Pak Hatta Rajasa, tapi sesama alumni ITB," kata Deputi Kantor Transisi Andi Widjajanto kepada wartawan di Kantor Transisi, Jl Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2014).

Penunjukan Wahyu Sakti sebagai pimpinan Satgasus menarik perhatian. Sebagai orang dekat Hatta, namun Wahyu malah memilih mendukung Jokowi.

Andi mengatakan sejak awal Wahyu sudah ikut dengan Tim Pemenangan Jokowi-JK. Bahkan namanya terdaftar sebagai juru kampanye nasional.

"SK-nya di KPU ada kok," ujar Andi.


RMOL. Mahfud MD mengatakan calon wakil presiden Hatta Rajasa sejalan dengan pemikirannya, yakni menerima keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan legawa.
  
Hatta, kata Mahfud, terikat keputusan DPP PAN yang menerima kemenangan pasangan Jokowi-JK. Namun sebagai cawapres, Hatta mengikuti keputusan yang diambil oleh tim Prabowo-Hatta.

Sebelumnya Mahfud menjelaskan, Akbar Tanjung adalah orang yang memunculkan ide menolak hasil pilpres dan menarik diri dari proses rekapitulasi di KPU oleh pasangan Prabowo-Hatta.

Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta ini mengatakan, ide tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung pada rapat di Rumah Polonia siang kemarin (Selasa, 22/7). Selanjutnya Ide Akbar itu disambut sebagian besar anggota koalisi, karena meyakini ada kecurangan sistematis dalam Pilpres 2104.

"Menurut Akbar Tanjung sikap itu lebih terhormat daripada menerima dengan legawa keputusan KPU," ujar Mahfud seperti dikutip dari JPNN, Rabu (23/7).

Mahfud sendiri berpendapat lain. Sejak pukul 13.00 kemarin (22/7), Mahfud secara resmi telah menyerahkan mandat sebagai ketua tim pemenangan kepada Prabowo. Artinya, sejak siang kemarin, Mahfud sudah bukan bagian dari tim Prabowo-Hatta. Mahfud diganti mantan menteri penerangan Letjen TNI  Purnawirawan Yunus Yosfiah.
   
Mahfud menambahkan, agenda setelah 22 Juli sudah bukan agenda pemenangan capres-cawapres. Agenda yang diusung tim Prabowo-Hatta, lanjut Mahfud, adalah melawan keputusan KPU tentang hasil Pilpres. Prabowo sebenarnya tetap meminta Mahfud bergabung. Namun mantan menteri pertahanan itu menolak. 

"Saya sudah tidak mungkin terlibat. Apalagi kalau membawa kasus ini ke MK, saya sebagai mantan ketua MK tidak mungkin menjadi tim hukumnya," tandas Mahfud. [rus] 


JAKARTA, KOMPAS.com — Pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, terlihat mulai retak di pengujung jalan. Prabowo sudah menyatakan sikap resminya menolak hasil Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi tanpa kehadiran Hatta.

Pernyataan itu pun tak ditandatangani Hatta Rajasa dan hanya mencantumkan nama Prabowo seorang diri.

Ketua DPP Partai Amanat Nasional Bima Arya mengungkapkan, Hatta nantinya akan menyampaikan sikap atas hasil KPU di DPP PAN sore ini.

Hatta, lanjut Bima Arya, akan menyampaikan bahwa PAN menghormati apa pun hasil rekapitulasi suara yang dilakukan KPU.

"Tidak (menolak hasil pemilu). Pak Hatta akan sampaikan tetap menghormati proses yang dilakukan KPU apa pun hasilnya," ungkap Bima saat dihubungi Selasa (22/7/2014).
Bima pun merahasiakan keberadaan Hatta saat ini. Dia meminta agar publik menunggu saja keterangan lengkap yang disampaikan Hatta Rajasa di DPP yang akan dihadiri sejumlah pengurus partai berlambang matahari itu.
"Tunggu saja lengkapnya nanti di jumpa pers," ucap Bima.
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PAN Viva Yoga Mauladi yang dihubungi terpisah mengungkapkan, sejumlah pengurus PAN tengah menggelar rapat. "Jadi, lebih baik dihubungi ke tim hukum Pak Mahendra Datta," ungkap Viva.
 


Merdeka.com - Prabowo Subianto sudah cukup pede maju menjadi capres dengan banyak partai besar di belakangnya. Namun akhir-akhir ini, ketika ada indikasi kekalahan, satu demi satu partai pendukung Prabowo mulai goyah.

Melihat pertanda ini kubu Prabowo mulai menguatkan kembali partai pendukungnya dengan penetapan koalisi permanen. Tetapi indikasi ketidaksetiaan terus muncul dan Prabowo mulai menyadarinya.

"Apapun yang terjadi, terjadilah. Koalisi itu bisa dibentuk bisa juga berakhir. Bahkan dalam pernikahan kamu juga bisa bercerai," ujar Prabowo seperti yang dikutip The Associated Press (AP), Jumat (18/7).

Sebelumnya ada tanda partai Golkar ingin tinggalkan koalisi permanen Gerinda dan merapat ke Jokowi . Ide ini digagas tokoh Golkar seperti Ginandjar Kartasasmita , Yorrys Raweyai yang kerap mengkritik Ical, tidak ada kinerjanya membesarkan Golkar selama Pemilu 2014.

Partai pendukung Prabowo - Hatta mematenkan Koalisi Merah Putih di Tugu Proklamasi. Mereka mematenkan koalisinya untuk lima tahun ke depan. Acara itu dihadiri masing-masing ketua umum dan sekjen partai pendukung Prabowo - Hatta . Namun, tak ada petinggi DPP Demokrat yang hadir. Padahal Demokrat telah menyatakan diri sebagai partai pendukung Prabowo - Hatta . Hanya ada Ketua DPD Demokrat DKI Nachrowi Ramli dalam deklarasi itu.