Senin, 28 Mei 2018

INtoleranDONES1A (3)






TEMPO.COJakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghifari Aqsa mengatakan tidak heran hasil survei menunjukkan mantan Presiden Soeharto sebagai pemimpin Indonesia yang paling berhasil.
"Hal yang tidak mengherankan karena Orde Baru berhasil menghegemoni rakyat Indonesia puluhan tahun," kata Alghifari saat dihubungi, Senin, 21 Mei 2018.
Presiden Indonesia kedua itu dinilai sebagai presiden paling berhasil dalam memimpin Indonesia, disusul Sukarno dan Joko Widodo. Kesimpulan itu didapat dari hasil survei yang dilakukan Indo Barometer terhadap 1.200 responden di 34 provinsi Indonesia.
Selain itu, oligarki yang selama ini mengabdi kepada Soeharto masih menempati posisi strategis sehingga bisa mempengaruhi masyarakat Indonesia. Hegemoni yang kuat, kata dia, membuat masyarakat lupa kejamnya Orde Baru.
Padahal, dia menambahkan, rezim Orde Baru dimulai dengan dibunuhnya jutaan orang. Bahkan diisi dengan banyak pembunuhan dan pelanggaran serta diakhiri dengan pelanggaran hak asasi manusia, seperti kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan paksa. "Survei ini menjadi tamparan," ujarnya.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 15-22 April 2018, Soeharto menempati posisi pertama sebagai presiden paling berhasil dengan dipilih 32,9 persen responden, lalu Sukarno di posisi kedua 21,3 persen.
Sedangkan di posisi ketiga ada presiden ketujuh atau yang kini menjabat, Joko Widodo, dengan 17,8 persen, disusul Susilo Bambang Yudhoyono 11,6 persen.
Selanjutnya posisi kelima B.J. Habibie 3,5 persen, posisi keenam Abdurrahman Wahid 1,7 persen, dan terakhir Megawati Sukarnoputri 0,6 persen.

Berdasarkan survei, salah satu faktor yang menyebabkan Soeharto menjadi presiden paling berhasil lantaran keberhasilan ekonomi dan sosial pada masa Orde Baru dibanding era reformasi. Keberhasilan Orde Baru dalam ekonomi itu paling tinggi dengan 54,6 persen dan sosial 43,2 persen.
🐗

Dompu detik - SETARA Institute mengutuk aksi persekusi yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dia menyebut aksi yang dilakukan oleh massa dari desa setempat itu didasari sikap kebencian dan intoleransi.

Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan kebencian dan intoleransi yang tumbuh di masyarakat harus ditangani sebagai tantangan dan potensi ancaman keamanan nyata. Sebab, menurutnya, intoleransi adalah tangga pertama menuju terorisme. 

"Sedangkan terorisme adalah puncak intoleransi. Oleh karena itu, energi pemberantasan terorisme harus dimulai dari hulu, yakni intoleransi sebagaimana yang terjadi di Lombok Timur ini. Jika dibiarkan, aspirasi politik kebencian dan intoleransi dapat berinkubasi menjadi aksi-aksi terorisme," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/5/2018).


Hendardi menjelaskan, indikasi akan adanya aksi persekusi sebenarnya sudah dirasakan oleh warga Ahmadiyah sejak bulan Maret lalu dan sudah dilaporkan kepada aparat kepolisian dan pemerintah setempat. Beberapa kali dialog antar warga juga dihadiri oleh aparat Polsek Sakra Timur dan Polres Lombok Timur. 

"Dalam dialog-dialog tersebut, kelompok warga intoleran menuntut warga Ahmadiyah untuk keluar dari keyakinan mereka dengan ancaman pengusiran jika tuntutan tersebut tidak diindahkan," ujarnya.


Hendardi mengatakan aksi persekusi itu merupakan tindakan melawan hukum, bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan merusak kebhinekaan. Dia juga menyesalkan kegagalan polisi dalam mengantisipasi dan mencegah terjadinya kekerasan itu.

"Kapolri harus memberikan perhatian besar terhadap kinerja aparat keamanan dalam mencegah kekerasan atas nama agama. Fokus aparat kepolisian atas penanganan terorisme yang dilakukan oleh jaringan teroris nasional dan transnasional tidak boleh mengurangi perhatian aparat untuk melindungi warga minoritas dari rasa takut (fear), tidak aman (insecure) dan terancam (threatened) akibat teror kekerasan mengatasnamakan keyakinan mayoritas. Justru pada aksi-aksi sejenis inilah ekstensi kerja pemberantasan terorisme harus dilakukan, meskipun dengan kerangka hukum yang berbeda," paparnya.

SETARA juga menuntut Pemerintah untuk menjamin keamanan jiwa raga dan hak milik seluruh warga Ahmadiyah, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Pemerintah juga diminta segera mengambil tindakan untuk melakukan pemulihan atas hak-hak korban yang terlanggar.

"Pengusiran dan pelanggaran berbagai hak dasar Jemaat Ahmadiyah di Mataram satu dekade yang lalu tidak boleh berulang dan menjadi pola tindakan massa dan pemerintah terhadap perbedaan keyakinan, mazhab, dan agama," ujarnya.

Selain itu, lanjut Hendardi, aparat keamanan dan pemerintah setempat harus memastikan kondusivitas sosial dengan mencegah eskalasi ketegangan sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama/berkeyakinan. Sebab, menurutnya, pembiaran kekerasan seperti yang terjadi atas warga Ahmadiyah ini akan semakin membuka ruang bagi politisasi agama, intoleransi, dan ujaran kebencian untuk kepentingan politik elektoral jelang pilkada serentak, pemilu, dan pilpres mendatang. 
(idh/tor)

🍋


Yogyakarta - Kasus intoleransi yang terjadi di Kota Yogyakarta baru-baru ini, yakni penolakan sejumlah organisasi masyarakat terhadap rencana kebaktian nasional reformasi 500 tahun gereja, tidak bisa dilepaskan dari kasus-kasus intoleransi lainnya.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Dr Muhadi Sugiono, Selasa (24/10) mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari fenomena yang sedang terjadi pada masyarakat Indonesia, di mana eskalasi tindak intoleransi makin meningkat.
“Untuk alasan, semua bisa dicari, artinya ada celah untuk memanfaatkan itu. Tetapi justru yang namanya toleransi itu adalah bukan membenarkan kesalahan, tetapi harusnya tidak mempermasalahkan perbedaan,” tegasnya.
Mahadi pun menyoroti, persoalan penolakan pengelola Kridosono pada rencana ibadah tersebut, sesungguhnya murni terjadi karena persoalan pengguna dan pengelola tempat. Dasarnya adalah kontrak. “Tidak mungkin panitia menyelenggarakan kegiatan tanpa kontrak terlebih dahulu, dan itu artinya ‘membayar’. Kalau pengelola menyatakan tidak memberikan izin, berarti hal itu tidak berkaitan dengn pihak kepolisian. Bahkan dari Kepolisian, izin pun hanya berupa pemberitahuan untuk kegiatan keagamaan, jadi tidak ada alasan benturan dalam hal perizinan,” ujarnya.
Alasan lain, yang muncul di masyarakat adalah pemurtadan. Muhadi, justru bertanya, yang mau dimurtadkan pihak mana?
“Kalau iya pun, mustinya yang marah adalah umat Kristen. Pokoknya ini tidak masuk akal, intinya mereka tidak suka ada acara seperti itu, persoalannya mengapa tidak suka. Kalau ada pengajian akbar pun tidak pernah ada persoalan. Ini alasan yang dibuat-buat,” ucapnya.
Pertanyaannya, mengapa Yogyakarta didominasi kelompok antitoleransi. “Mengapa mereka bisa mewakili orang Yogya, mengatur seenaknya, ini pekerjaan rumah bersama bangsa Indonesia dan pemerintah harus tegas, harus hadir,” ucapnya.
Kalaupun persoalan izin yang menjadi penghambat, harusnya pemda yang membubarkan, bukan ormas.
“Ini sebuah ironi, di saat kita berlomba-lomba membina kebinekaan, kebangsaan, kita justru jadi bertanya-tanya. Bangsa Indonesia itu yang mana?” katanya.
Di saat bangsa Indonesia berbicara soal kesatuan dan NKRI, Muhadi menegaskan tidak ada artinya jika masih ada kelompok-kelompok yang ingin menang sendiri dan mau mengatur sesuai keinginan sendiri.
“Artinya, ini sudah keterlaluan. Sekarang sudah saatnya, orang-orang seperti ini tidak dibiarkan, tidak diberi tempat,” tegas Muhadi.
Hal lain, staf pengajar Hubungan Internasional UGM ini juga menyoroti lemahnya dimensi pendidikan di dalam politik. Hanya karena kekuasan, oknum-oknum bisa memaninkan kartu-kartu.
“Yang harus dilakukan adalah pendidikan politik pada seluruh masyarakat untuk melek betul tentang apa terjadi, sekaligus yang diinginkan dan menghindari pesan-pesan yang sembunyi di balik perlakuan intoleransi tersebut,” ujarnya.
Persoalannya, lanjutnya, apakah masyarakat sudah terlalu permisif atau tidak tahu, atau bahkan cenderung apatis yang justru jadi lahan subur bagi mereka. “Masyarakat harus diberdayakan. Cara pikir yang toleransi itu, ya mereka harus aktif juga, tidak diam. Toleran itu artinya, tidak toleran pada intoleransi,” ucapnya.
Kerangka hukum dan UU dalam kehidupan beragama di Indoensia, sudah cukup jelas, dan secara konstitusi, Negara harus mengambil tempat, memberikan peran dalam keadilan.
“Yogya sebagai city of tolerance hanya menjadi wacana,” tutupnya



Sumber: Suara Pembaruan
🐍
media indonesia: PERLAHAN tapi pasti tabir siapa aktor di balik Saracen mulai ter­singkap.
Penyidik kepolisian kini telah menemukan titik terang orang atau pengendali utama dari kelompok yang memproduksi ujaran kebencian berkonten suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial itu.
Sebagaimana penuturan Kasubdit I Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
“Saracen hanya satu dari sekian kelompok yang dikelola dan didanai kelompok besar. Pengendali kelompok besar itu seorang politikus yang berasal dari sebuah partai politik. Dari analisis dan hasil pemeriksaan yang kami lakukan, nanti ketahu­an,” kata Irwan.
Irwan melanjutkan kelompok-kelompok yang bermunculan sejak lima tahun lalu itu terhubung satu sama lain.
“Semuanya berpusat ke satu kelompok di atasnya dan ada ruang-ruang yang menghubungkan antarmereka.”
Sebelumnya, polisi menangkap Jasriadi, Muhamad Faizal Tanong, dan Sri Rahayu Ningsih pada rentang 21 Juli-7 Agustus 2017 serta Asma Dewi di 8 September 2017. Asma Dewi ternyata terhubung dengan Saracen, terutama dengan Jasriadi. Hal tersebut diketahui dari bukti transaksi senilai Rp75 juta untuk menggunakan jasa Saracen.
Mengenai tersangka Jasriadi, lanjut Irwan, penyidik telah membuktikan yang bersangkut-an memiliki relasi luas dengan politikus dan media massa. Hubungan itulah yang membuat Jasriadi memiliki keterampilan menulis dan melek politik.
“Dia belajar autodidak. Jasriadi bahkan membuat pelatihan khusus cara-cara menulis ujaran kebencian di Hambalang. Dia sempat hendak menjadi pemateri sebuah pelatihan, tetapi keburu kami tangkap. Kami fokus pada tindak pidana yang dilakukannya,” ujar Irwan.
Menurut Irwan, Saracen kerap berubah nama dalam kegiatannya menyebarkan ujaran kebencian. Beberapa nama mereka antara lain Keranda Ahok Jokowi, Pendukung Anies-Sandi, Saracen, dan NKRI Harga Mati.
“Kami telusuri semua itu. Sekarang kan dampaknya.”
Berkas lengkap
Kabag Penum Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul menambahkan, berkas perkara atas nama Muhammad Faizal Tanong kini telah lengkap dan segera masuk ke tahap penuntutan.
“Jumat (15/9) kejaksaan memberi tahu berkas tersangka sudah lengkap atau P-21. Berkas Jasriadi masih harus dilengkapi. Kejaksaan telah menerima berkas tersangka Sri Rahayu Ningsih dengan dugaan penghina Presiden melalui Facebook. Adapun penyerahan tersangka dan barang bukti dilaksanakan Selasa (26/9),” ungkap Martinus.
Jaksa Agung HM Prasetyo ­mengakui pihaknya sudah meminta fatwa dari Mahkamah Agung untuk menggelar persidangan Sri Rahayu Ningsih di PN Jakarta Selatan kendati peristiwanya (locus delicti) berlangsung di Cianjur, Jawa Barat.
Sri Rahayu Ningsih menjadi tersangka dalam dua kasus, yaitu penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo di jejaring sosial Facebook dan keterlibatannya sebagai pengelola Grup Saracen.
Grup Saracen diketahui membuat sejumlah akun Facebook, di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennewscom.
Kelompok Saracen diduga menawarkan jasa penyebaran ujar-an kebencian bernuansa SARA di media sosial. (Ant/X-3)
👮

TANGERANG, KOMPAS.com - Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta Sandiaga Uno menegaskan Asma Dewi bukan bagian dari tim pemenangannya semasa Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.

Dewi merupakan tersangka kasus ujaran kebencian yang menyebarkan konten negatif saat Pilkada DKI Jakarta dan mengaku sebagai relawan pasangan Anies Baswedan dan Sandi.

"Bu Asma Dewi bukan dari tim pemenangan, tapi relawan yang cukup aktif. Selama kampanye, kami selalu mengingatkan jangan ada ucapan kebencian," kata Sandi saat ditemui Kompas.com di British School of Jakarta, Bintaro Sektor 9, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Jumat (15/9/2017) malam.

Sandi mengungkapkan, dirinya tidak kenal dengan Dewi. Namun, dia membenarkan bahwa Dewi adalah salah satu relawannya. Menanggapi kasus yang menjerat Dewi, Sandi hanya bisa menyampaikan rasa prihatinnya.

"Tentunya kami sangat prihatin kalau polisi menemukan pelanggaran hukum Bu Asma Dewi," tutur Sandi.

Baca: Asma Dewi Sebar Ujaran Kebencian Terkait SARA Saat Pilkada DKI Jakarta

Polisi menangkap Dewi atas dugaan penyebaran ujaran kebencian dan penghinaan terhadap kelompok tertentu melalui akun Facebook-nya, beberapa waktu lalu.

Dari pengembangan perkara, diketahui Dewi mentransfer Rp 75 juta kepada kelompok Saracen.

Menurut polisi, nama Dewi tertera dalam struktur pengurus Saracen yang tercantum dalam website. Namun, Dewi membantah dirinya bagian dari kelompok tersebut.

Baca: Polisi Sebut Nama Asma Dewi Ada dalam Struktur Pengurus Saracen



Merdeka.com - Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap Asma Dewi, Senin (11/9). Awalnya, polisi menangkap Dewi karena mengunggah konten ujaran kebencian dan penghinaan agama dan ras tertentu.

Berdasarkan pengembangan kepolisian, Asma Dewi yang ditangkap di Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan tersebut diduga pula pernah mentransfer uang sebesar Rp 75 juta ke pengurus inti kelompok Saracen. 

Kelompok tersebut sebelumnya telah diciduk akibat menyebarkan ujaran kebencian dan konten berbau SARA di media sosial.

Ketua Presidium 212 Slamet Maarif menjelaskan Asma Dewi pernah menjabat sebagai wakil bendahara Presidium 212 di saat kepemimpinan Ustaz Ansufri Idrus Sambo.

"Dulu dia Presidium Ustaz Sambo. Kan masuk dalam struktur organisasi yang Presidium dulu. Iya yang saya dengar waktu itu dia (Asma Dewi) Wakil Bendahara,"
kata Slamet saat dikonfirmasi merdeka.com, Selasa (12/9).

Slamet menjelaskan, usai Presidium 212 berganti kepemimpinan, Asma Dewi menjadi tak aktif dalam kelompok tersebut. Usai Ustaz Sambo tak lagi menjabat, Asma sudah jarang ikut dalam rapat mau pun pelbagai kegiatan dari kelompok yang merupakan peserta aksi Bela Islam tersebut. Oleh sebab itu, Slamet yang juga Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) ini mengaku tidak akrab dengan Asma Dewi.

Menurut Slamet, saat dirinya memimpin Presidium 212, sempat pula ingin mempertahankan Asma Dewi sebagai Wakil Bendahara. Namun, dikarenakan Asma Dewi tak aktif dalam pelbagai kegiatan, maka niat itu diurungkan.

"Pertama kita minta jadi wakil bendahara juga tapi waktu itu dia jalan enggak aktif, suka enggak hadir," ujar Slamet.

Asma Dewi memang tak begitu terkenal dibandingkan dengan nama-nama lain dalam aksi Bela Islam. Namun, namanya pernah mencuat dalam aksi Tamasya Al Maidah. Nama Asma Dewi tertulis dalam selebaran yang terkait kampanye mengawal pelaksanaan pemungutan suara Pilgub DKI. 

Terkait hubungan Asma Dewi dengan Tamasya Al Maidah, Slamet mengaku tidak mengetahuinya. "Saya enggak tahu. Yang kenal dekat Ustaz Sambo," tukasnya.

Dewi ditangkap polisi pada Jumat (8/9) di Komplek Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKSI), Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, polisi akan menelusuri uang Rp 75 juta yang dikirim Asma Dewi ke Saracen.

"Kan kita enggak tahu dia nyari order kemudian dikirim atau dia yang order, belum tahu. Apa salah satu kaki tangan yang mengambil itu. Karena kan aliran dananya diinfokan dari dia, ke siapa, terus diserahkan lagi ke siapa," kata Setyo di Kompleks Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (11/9).

Polisi masih menggali keterangan dari Dewi. Polisi belum bisa memastikan status Dewi sebagai pemesan ujaran kebencian atau hanya sebagai donatur untuk kelompok Saracen.

"Masih didalami. Yang jelas, aliran dananya ada. Dia kan baru ditangkap kemarin. kita liat apakah terlibat dalam itu," ujarnya. [rzk]

👮
Jakarta detik - Indonesia ternyata menempati peringkat kedua di dunia dalam daftar jumlah militan asing ISIS yang ditangkap di Turki. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Australia.

Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri Turki seperti dilansir media Australia, News.com.au, Sabtu (15/7/2017), dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, warga Rusia adalah yang terbanyak di dunia, yakni 804 orang. Diikuti kemudian oleh warga Indonesia yang berjumlah 435 orang.

Dituliskan News.com.au, pejabat-pejabat penegak hukum Australia telah lama prihatin akan jumlah warga Indonesia yang bertempur bersama ISIS di Suriah dan kembali ke Indonesia serta berbaur kembali ke masyarakat dengan bebas.

Untuk membahas kepulangan para militan ISIS tersebut, kepala-kepala kontraterorisme dan menteri-menteri pemerintah Australia akan menghadiri sebuah konferensi di Indonesia dalam dua pekan ini. Para pejabat Australia tersebut juga akan membahas ancaman yang ditimbulkan dari para petempur ISIS yang pulang tersebut dengan para pejabat Indonesia.

Bulan lalu, otoritas Indonesia mengumumkan bahwa 152 WNI yang dideportasi dari Turki antara Januari dan Juni tahun ini, telah dipulangkan ke desa-desa mereka setelah menjalani program deradikalisasi. Namun ada kekhawatiran bahwa sejumlah militan ISIS tersebut tengah merencanakan serangan-serangan di Indonesia.

Olivier Guitta, CEO of GlobalStrat, perusahaan konsultasi keamanan dan risiko geopolitik mengomentari peringkat kedua WNI dalam daftar jumlah militan asing ISIS yang ditangkap di Turki. Dalam serangkaian postingannya di Twitter mengenai angka tersebut, Guitta mengatakan bahwa "sangat mengkhawatirkan bagi keamanan Indonesia bahwa begitu banyak warga negaranya yang telah bergabung atau mencoba bergabung dengan ISIS di Suriah".

"Jumlah warga Indonesia anggota ISIS yang ditangkap di Turki benar-benar membingungkan dan merupakan kejutan besar karena mereka nomor 2," ujar Guitta.

Dikatakan Guitta, meski statistik dari Kementerian Dalam Negeri Turki tersebut tidak menyebutkan periode penangkapan, namun menurutnya kemungkinan adalah sejak tahun 2015 hingga sekarang.

Menurut analis terorisme Sidney Jones seperti dikutip News.com.au, banyaknya jumlah warga Indonesia yang ditangkap di Turki mungkin disebabkan oleh fakta bahwa banyak wanita dan anak-anak yang ditangkap setelah pergi ke Suriah bersama keluarga mereka.

"Ketika Anda mengatakan 'jihadis', imej Anda adalah salah satu petempur pria, namun banyak warga Indonesia yang pergi bersama keluarga dengan tujuan yang salah arah yakni membesarkan anak-anak mereka di negara yang murni Islam," tutur Jones.

Dalam daftar penangkapan militan asing ISIS di Turki tersebut, Tajikistan, Irak dan Prancis berada di nomor tiga, empat dan lima. 
(ita/ita)

👺


TEMPO.COYogyakarta - Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina, Ihsan Ali Fauzi menilai vonis Ahok 2 tahun penjara sebagai keberhasilan kebencian atas nama agama atau hate spin. Kondisi ini berbahaya untuk demokrasi yang sehat.

Dia memperkirakan hate spin akan terjadi pada pemilihan kepala daerah di tempat lain dan pemilihan Presiden RI 2019. Menurut dia, pilkada Jakarta menjadi contoh yang krusial bagaimana hate spin dijalankan oleh kalangan yang memanipulasi atau merekayasa. Tujuannya adalah memenangkan Pilkada. 

Baca: Aksi Dukung Ahok di Yogya Diganggu Massa, 6 Provokator Diciduk

"Sentimen berbasis agama sudah ada modalnya pada Pilpres 2014. Hate spin menggerogoti demokrasi yang sehat," kata dia di UGM seusai memberikan materi berjudul Hate Spin Kebencian Berbasis Agama dan Tantangan bagi Demokrasi di Fisipol UGM Yogyakarta, Jumat, 12 Mei 2017.

Menurut dia, demokrasi yang sehat menghargai orang bukan karena identitas agama ataupun etnisnya, tapi penghargaan terhadap warga negara Indonesia. Pejabat publik dipilih sebagai warga negara. Hate spin untuk pilkada DKI Jakarta, kata dia dijalankan oleh elit-elit tertentu yang punya kepentingan politik.

Ini terbukti dari hasil survei yang menyatakan 85 persen warga Jakarta tidak melihat video Ahok yang disebut menistakan agama. Elit-elit yang punya kepentingan politik memanfaatkan hoax.

Elit-elit itu melupakan masa depan Indonesia dan menggunakan segala cara untuk memenangkan pilkada. Pidato Ahok yang berujung pada kasus penistaan agama dipelintir. Kasus Ahok ini sangat krusial karena menyangkut kebencian minoritas.

Baca: Ahok Divonis 2 Tahun Penjara, Pengacara Duga Ada Muatan Politik

Vonis Ahok 2 tahun karena kasus penistaan agama, menurut Ihsan, adalah kemunduran demokrasi yang berujung memecah belah warga Indonesia. Hakim-hakim yang memutus kasus Ahok di pengadilan mendapat tekanan massa.

Ihsan punya solusi menyelesaikan hate spin. Ia berpendapat negara wajib menjalankan tanggung jawabnya mendidik warga negara Indonesia tentang kebhinekaan. Misalnya melalui surat edaran larangan ujaran kebencian. Kementerian Pendidikan juga harus memastikan nilai-nilai pluralisme sampai ke publik. Selain itu, publik juga perlu terus melawan hate spin.

Ia mengapresiasi aksi damai masyarakat dan simpati terhadap Ahok sebagai bentuk protes terhadap vonis itu. Aksi itu menggambarkan sebagian masyarakat punya kesadaran ada yang salah di pengadilan. Menurut dia, langkah Ahok mengajukan banding atas vonis tersebut adalah cara yang bagus dan menghargai proses hukum.

Baca: Vonis Ahok dan Pembubaran HTI , Pengamat Politik: Seolah Skor 1:1  

Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Rizal Panggabean mengatakan pilkada DKI Jakarta dan penistaan agama yang menimpa Ahok menggambarkan Indonesia kehilangan demokrasi. Padahal, sesuai nilai-nilai dalam demokrasi, pemimpin dipilih dengan melihat kualitas atau mutu dan kebijakan-kebijakannya. 

Kunci dari demokasi adalah partisipasi, kesetaraan, dan cara-cara yang fair. "Bukan melalui cara curang memanfaatkan isu agama dan etnis seperti yang terjadi di pilkada Jakarta," kata Rizal.

Rizal pernah punya pengalaman sebagai saksi ahli untuk pasal penistaan agama di Mahkamah Konstitusi. Tapi, tuntutan publik untuk menghapus pasal peninstaan agama itu gagal karena hakim-hakim mendapat tekanan masyarakat. 

Untuk mengatasi persoalan seperti yang terjadi dalam vonis Ahok pasal itu mesti dimatikan dengan cara bekerja bersama polisi dan hakim. "Pasal-pasal di KUHP yang memecah belah mesti dimatikan dan dihindari. Jaksa gunakan kewenangan diskresi. Jangan gunakan pasal penodaan agama," kata dia.

SHINTA MAHARANI
👮


Sejarah Kebangkitan Nasional (1)

Kabar24.com, OXFORD -- Wakil Presiden Jusuf Kalla memberi kuliah umum mengenai kehidupan "Islam Jalan Tengah" atau Islam toleran Indonesia di Pusat Studi Kajian Agama Islam University of Oxford, Inggris, Kamis (18/5/2017) malam.

Namun, sesaat sebelum kuliah umum dimulai, seorang warga keturunan Indonesia di Inggris bernama Mariella datang membawa beberapa papan bertulisan "Boo to Jusuf Kalla", "Stop Prosecution to Christians", dan gambar Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan dengan tulisan "Pilihan Jusuf Kalla untuk Gubernur Jakarta".

Dia memprotes penghukuman Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam perkara penistaan agama. Hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Ahok karena menilai perkataannya mengenai Alquran Surat Al Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, saat dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, memenuhi unsur pidana penodaan agama.

"Saya ingin tinggal di Indonesia, tapi beberapa kelompok menyerukan jihad, jadi Pak Jusuf Kalla tolong katakan pada saya Islam moderat seperti apa yang ada di Indonesia saat ini? Saya sangat tidak nyaman melihat apa yang terjadi di Indonesia," kata Mariella.

Dalam kuliah umum tersebut, Wakil Presiden mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar ketiga di dunia, namun Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai Pancasila.

"Dasar negara kami adalah Pancasila, yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Sekali pun Indonesia 88 persen penduduknya adalah Muslim, Indonesia bukanlah negara Islam," katanya di hadapan ratusan peserta kuliah umum.

Di bawah prinsip Bhinneka Tunggal Ika, ia menjelaskan, Indonesia mengedepankan toleransi dan perdamaian dalam keberagaman.

Kuliah umum Wakil Presiden dihadiri oleh para pelajar Indonesia dan pelajar asing yang tertarik mendalami ilmu agama Islam di Pusat Kajian Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies/OSIC).



Sumber : Antara
💂💂

TEMPO.CO, Semarang - Wali Kota Semarang Hendar Prihadi mengaku telah melaporkan penyebaran spanduk bertuliskan “Garudaku Kafir” yang terpasang di sejumlah titik di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Ia berharap penyebar spanduk itu bisa ditangkap dan diketahui motifnya. (Baca: Akademisi Tangkal Ideologi Anti Pancasila di Lingkungan Kampus)

“Supaya kasus ini bisa dituntaskan dan penyebar bisa ditangkap,” kata Hendrar atau akrab dipanggil Hedy itu, Kamis 18 Mei 2017.

Selain melaporkan ke polisi, Pemkot Semarang segera membuat program jangka panjang meyakinkan pada semua warga tentang NKRI harga mati. “Seharusnya kita sadar bangsa kita saat berdirinya sudah memikirkan keanekaragaman,” kata Hendy menjelaskan. (Baca: Legislator Jawa Timur Usul Hidupkan Kembali Pendidikan Pancasila)

Program itu terus mensosialisasikan NKRI berdasar pancasila dengan melibatkan ormas, tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai duta NKRI di masyarakat. Program itu untuk antisipasi jika ada masyarakat yang mencoba bergeser akan diingatkan. Sebelumnya terdapat 5 selebaran, terdiri 4 poster dan 1 spanduk. Isinya memancing konflik anti-NKRI dan ditempel di mading kampus dan beberapa tempat, seperti kantin dan areal kampus FISIP Undip. Poster itu telah disita oleh kepolisian pada Selasa 16 Mei 2017.

Poster tersebut tertulis "Garudaku Kafir" menyerupai stempel tepat di tubuh gambar lambang negara garuda pancasila berbentuk siluet. Di sekeliling garuda pancasila itu terdapat gambar bercak mirip darah. Selain itu, di bagian bawah terdapat tulisan "Depan Gedung A Fisip Undip 20 Mei 2017 Pukul 15.30 WIB" tanpa menjelaskan keterangan acara dan penyelenggara .

Kepala Sub Bagian Humas, Polrestabes Semarang, Komisaris Suwarna, menyatakan belum mendapat laporan hasil penelusuran penyebaran poster dan spanduk provokatif dan anti NKRI itu. Menurut Suwarna, penyelidikan dilakukan oleh Kepolisian Sektor Tembalang yang membawahi lokasi tempat penyebaran poster dan spanduk. (Baca: Jokowi Tegaskan Akan Gebuk Kelompok yang Ingin Ganti Dasar Negara)



“Selain itu juga intel disebar, tapi belum ada laporan apakah sudah ditangkap pelakunya,” kata Suwarna.



Kepala UPT Humas Universitas Diponegoro, Nuswantoro Dwiwarno menyatakan Undip telah mencopot poster tersebut pada Selasa malam, juga ia memastikan keterangan poster yang akan mengagendakan kegiatan pada 20 Mei 2017 itu juga tak berizin dari kampus. "Bukan kegiatan resmi mahasiswa Fisip atau civitas akademika Undip," kata Nuswantoro.

Menurut dia, insiden penyebaran spanduk dan poster itu sudah dilaporkan ke Polisi, namun belum diketahui pelakuk pemasang dan penyebar spanduk dan poster itu. “Sampai saat ini belum diketahui siapa yang memasang dan belum diketahui itu kegiatan dari siapa. Kami serahkan masalah ini ke pihak aparat,” katanya. (Baca: HTI Bakal Dibubarkan, Istana: Ada Pembiaran Terlalu Lama)



EDI FAISOL

👀
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya akan memeriksa Alfian Tanjung, Kamis ini. Alfian Tanjung akan dimintai keterangan soal cuitannya yang diduga menuding sebagian politikus PDI Perjuangan adalah kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Ustadz Alfian Tanjung akan hadir dalam pemeriksaan,” kata Kepala bidang Hubungan Masyarajat Polda Metro Jaya Komisadis Besar Raden Prabowo Argo Yuwono saat dikonfirmasi, Kamis, 18 Mei 2017.



Baca: Tuduhan Komunis, Alfian Tanjung Mohon Maaf pada Nezar Patria

Sedangkan Alfian Tanjung mengaku tidak bisa memenuhi panggilan kepolisian, karena telah memiliki jadwal lain dan hendak pergi ke luar kota. "Saya sudah koordinasi dengan pihak polisi, saya bisanya kamis depan," kata Alfian. 

Alfian Tanjung dilaporkan karena cuitannya yang menuding sebagian anggota PDIP adalah kader PKI. Sebelunya, Alfian disomasi Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki yang dituduh komunis.

Tuduhan tersebut disampaikan dalam ceramah yang videonya viral di media sosial. Ketika itu, Alfian Tanjung ceramah di Masjid Jami Said, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu, Oktober 2016.

“Mereka (PKI) sudah menguasai Istana, hampir sebulan ini tak ada lagi konsultan tentara,” kata Alfian. Rapat-rapat di istana negara, kata Alfian, dipimpin oleh orang yang namanya Teten Masduki, Urip Supriyanto, Budiman Sudjatmiko, Waluyo Jati, Nezar Patria, dan sederet kader-kader PKI.



Baca juga: Taufik Ismail: Tahun Ketiga Jokowi Mirip Kebangkitan PKI



“Yang mereka menjadikan istana tempat rapat rutin mereka tiap hari kerja di atas jam delapan malam ke atas. Keren ya, jadi istana negara sekarang jadi sarangnya PKI sejak bulan Mei 2016," kata Alfian dalam video yang viral di media sosial.

INGE KLARA SAFITRI
👮
Jakarta - PBNU mendukung langkah pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Misi dari HTI dinilai Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini bertentangan dengan Pancasila.


"Kalau membaca berbagai macam statement aktivis HTI, jelas apa yang menjadi misi HTI itu bertentangan dengan Pancasila," kata Helmy di Kompleks Istana Kepresidenan, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (16/5/2017).



Sebagai negara hukum, langkah pemerintah sudah tepat menurut Helmy. Dia menambahkan bahwa dakwah yang disampaikan HTI bisa meresahkan.



"Dengan pandangan yang menyebutkan bahwa konsep negara Pancasila adalah sistem yang mereka sebut pengkafiran, thagut, karena memutus mata rantai Khilafah Utsmani," ujar Helmy.



Selain itu ada juga ajaran yang menganggap orangtua atau kerabat sendiri kafir jika tak sejalan dengan pemikiran mereka. Paham seperti ini dinilai Helmy akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.




"Mereka sebut ortu kita semuanya adalah kafir dan menurut saya, ini akan menimbulkan persoalan. Ini pasti akan menimbulkan keresahan, memecah belah umat," kata dia.



"Kalau gerakan mengkafirkan kelompok yang berbeda pendapat dengan mereka, kalau sudah begitu, sedikit lagi kan sudah tinggal menganggap halal darahnya bagi orang-orang yang tidak sepaham," sambung Helmy.



Penyebaran paham HTI menurutnya juga sulit terdeteksi. Tak jarang mereka memakai forum seperti pengajian di perkampungan sehingga tak tampak di permukaan.



"Menurut saya, apa yg telah dirumuskan oleh pendahulu kita, soal bangsa, soal negara ini, sudah final. Indonesia merupakan negara yang penduduknya plural," pungkas Helmy. 

(bag/elz)

👂
RMOL. Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, heran atas kekalahan Basuki Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) dalam semua hasil hitung cepat putaran dua Pilkada Jakarta.
Dalam acara Rosi Spesial Pilkada yang ditayangkan live oleh Kompas TV, Hasto mengklaim, kebijakan-kebijakan Ahok selama menjabat gubernur sudah sangat baik. Ia menyebut, antara lain, kebijakan Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, dan macam-macam terobosan lain.

Kalau dilihat dalam seluruh proses politik, lanjut Hasto, data kepuasan masyarakat Jakarta terhadap kinerja Ahok-Djarot ada di angka 74 persen. Tetapi, hal sebaliknya tercermin dalam hasil akhir hitung cepat hari ini. 

Dia juga menyebut tingkat partisipasi pemilih di Jakarta pada putaran dua yang lebih rendah dari putaran pertama, yaitu dari 75 persen anjlok ke 65 persen.

Berangkat dari anomali tersebut, Hasto menyinggung soal ancaman terhadap kualitas demokrasi Indonesia 5-10 tahun ke depan. Dia mengkhawatirkan Anies-Sandi tidak akan mampu merealisasikan harapan yang tinggi dari warga Jakarta.

"Waktu akan melihat. Kita ingat, pada tahun 2004 kita semua terpesona pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi 10 tahun kemudian harapan itu belum terwujud," katanya.

Dia juga menyayangkan bahwa proses elektoral selama ini diiisi isu-isu politik yang kurang baik, misalnya sentimen Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA). 

"Maka bagi kami ini proses pendewasaan demokrasi kita. Dan ini adalah pembelajaran yang sangat baik. Kepuasan (kepada Ahok) 74 persen tapi tidak tercermin dalam sebuah hasil," tegasnya. [ald]

👮
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan bentuk politisasi identitas. Tujuannya yakni untuk menundukkan Ahok.
"Kasus ini jelas digunakan sebagai alat penundukan dalam bentuk politisasi identitas Pak Basuki yang multiple identity, kemudian dieksploitasi sehingga bisa ditundukan dan secara kebetulan kemudian ada kasus yang menjerat dirinya," ujar Ismail di Kantor SETARA Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).
Akibat politisasi identitas tersebut, Ahok mengalami banyak tekanan. Salah satu dampak yang terlihat yakni kalahnya dia dan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Dampak elektoralnya kan sudah terlihat hasilnya bahwa Pak Basuki dikalahkan. Itu politisasi identitas jangka pendek dalam konteks Pilkada," kata dia.
Ismail mendorong praktik-praktik politisasi identitas dalam kontestasi politik segera dihentikan. Sebab, politisasi identitas merupakan bagian dari kejahatan demokrasi.
"Ke depan politisasi identitas juga masih terus potensial terjadi dalam kontestasi politik di republik ini. Kami dorong praktik-praktik politisasi identitas, harus disudahi," ucap Ismail.
Kasus yang melibatkan Ahok ini dinilai dapat menebarkan ancaman baru karena memberikan preseden yang buruk bagi demokrasi di Indonesia. Berkaca pada kasus Ahok, semua orang berpotensi mengalami hal yang sama.
"Karakter dari delik penodaan agama multitafsir, bias, dan rentan dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik karena dia digunakan sebagai alat penundukan," kata Ismail.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebelumnya memvonis Ahok dua tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan penodaan agama dalam sidang putusan pada Selasa (9/5/2017).
Ahok kini ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Tim pengacara Ahok telah resmi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Mereka juga mengajukan penangguhan penahanan.

💢
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - The European Union Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam issues the following statement in agreement with the EU Heads of Mission in Indonesia:
"The European Union takes note of the decision of the North Jakarta District Court on the case involving Governor Basuki Tjahaja Purnama delivered on 9 May.
The European Union has always praised the leadership of Indonesia as the world largest Muslim majority country, a strong democracy and a country with a proud tradition of tolerance and pluralism. We call on the Indonesian government, its institutions and its people to continue this long standing tradition of tolerance and pluralism.
Indonesia and the European Union have agreed to promote and protect the rights enshrined in the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and Political Rights such as the freedom of thought, conscience and religion and freedom of expression.
The European Union recalls that those freedoms are interdependent, interrelated and mutually reinforcing rights, protecting all persons and protecting also the right to express opinions on any or all religions and beliefs in accordance with the international human rights law.
The European Union has consistently stated that laws that criminalize blasphemy when applied in a discriminatory manner can have a serious inhibiting effect on freedom of expression and on freedom of religion or belief." (*)

👄

TEMPO.COJakarta - Setelah pembacaan vonis hukuman penjara bagi terpidana penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, gelombang suara penghapusan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama menguat. 

Namun, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid tidak sepakat dengan wacana tersebut. Hidayat menyatakan dirinya bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak terhadap penghapusan pasal penistaan agama tersebut.
Baca : Aksi Dukung Ahok di Yogyakarta Diserang, Polisi Lepaskan Tembakan

"Kami dari PKS akan berdiri di garda terdepan menolak penghapusan pasal tersebut," ujar Hidayat di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta, Kamis, 11 Mei 2017.

Menurut Hidayat, secara logika, dengan masih diberlakukannya pasal tersebut masih banyak orang ataupun golongan yang masih tidak menghormati agama, baik secara langsung dan tidak langsung. 
Lihat pula : Ahok Minta Djarot Tinggal di Rumah Dinas Gubernur DKI

Dengan adanya penghapusan undang-undang tersebut dinilai Hidayat justru menimbulkan kekhawatiran munculnya sikap intoleransi terhadap umat beragama.

Adapun alasan lainnya, Hidayat Nur Wahid menuturkan Indonesia memiliki sejarah panjang terhadap pemberontak Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai tersebut dinilai sebagai golongan anti agama dan anti Tuhan. Menurut Hidayat, penghapusan pasal tersebut sama saja mendukung kemunculan PKI.

LARISSA HUDA
👺


TEMPO.COJakarta - Setara Institute mengungkapkan bahwa ada 97 kasus penistaan agama terjadi di Indonesia sejak 1965 hingga 2017. Sebagian besar terjadi karena perbedaan pemahaman soal agama. 


"Ditinjau dari perspektif konteks yang melingkupinya, kasus penodaan agama akibat polemik pemahaman keagamaan mendapatkan jumlah tertinggi, " ujar peneliti Setara Institute, Halili, saat memaparkan hasil penelitiannya, Kamis, 11 Mei 2017.

Halili menyampaikan, setidaknya ada 22 kasus penistaan agama yang terjadi akibat polemik pemahaman keagamaan. Dan kebanyakan, polemik tersebut terjadi ketika seseorang mencoba mencari pemahaman lain atas agama yang dianut. 

Dengan kata lain, kata Halili, 22 kasus itu terjadi karena seseorang atau pihak tertentu mencoba menutupi multi-interpretasi atas ajaran agama. Ketika seseorang mencoba memahami lebih lanjut suatu ajaran agama dengan mencari interpretasi lain, orang itu malah dianggap menistakan agama dan kemudian diperkarakan.

"Hukum penistaan agama malah dijadikan alat untuk memberangus perbedaan pandangan soal ajaran agama," ujar Halili. 

Halili melanjutkan kasus penistaan agama terbanyak kedua dan ketiga pun tak jauh dari unsur menghalangi penafsiran berbeda. Ia berkata, ada 19 kasus penistaan agama akibat polemik kebebasan berpendapat serta 10 kasus karena polemik pembentukan aliran keagamaan baru. 

"Jadi, kebanyakan kasus penistaan agama dimulai dari memaksa orang-orang tunduk pada satu pandangan saja, " ujarnya.

Di Indonesia, unsur penistaan agama diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 serta Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP, misalnya, menyatakan barang siapa di muka umum menyatakan ucapan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana. Pidananya adalah penjara paling lama empat tahun. 

Pasal tersebut, oleh kebanyakan orang, dianggap pasal karet karena tidak memberi batas yang jelas soal mana tindakan yang benar-benar menistakan agama dan mana yang tidak. Walhasil, ketika seseorang atau suatu pihak memiliki pemahaman agama yang berbeda dari pemahaman umum, berpotensi dianggap menista.

ISTMAN MP
👄