Senin, 10 September 2012

Kepada: Islam MODERAt

Mayoritas Muslim Indonesia Moderat

JAKARTA, (PRLM).- Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Thohari menegaskan jika sudah menjadi konsensus bahwa mayoritas muslim Indonesia adalah moderat dalam pandangan keagamaannya. Karena itu pluralitas agama tidak semata-mata pengakuan mengenai kenyataan bahwa ada perbedaan agama dan budaya melainkan suatu apresiasi bahwa kenyataan pluralitas agama itu mempunyai nilai positif.
Hal itu disampaikannya dalam dalam dialog “Kebhinnekaan Modal Indonesia” di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (10/9). “Karena itulah istilah pluralisme agama bukanlah semata-mata fakta pluralitas, tapi juga keterlibatan aktif dan cita-cita untuk berjuang keras bagi pluralisme itu sendiri.”
Menurut Hajrijanto, menjadi seorang pluralis itu bukan menjadi seorang yang toleran, melainkan harus terpanggil untuk aktif berperan serta di dalamnya. Yaitu menerima teologis-ketuhanan kelompok lain sebagai design Tuhan bagi umat manusia. Dalam bahasa agama katanya, pluralitas adalah sistem yang didesign Tuhan untuk umat manusia.
“Jadi, bagaimana keragaman itu dapat membangun sipirit eksistensi bangsa ini untuk membangun keadilan dan harmoni Indonesia. Di mana setiap agama mempunyai ritualnya sendiri yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian pluralitas itu adalah sebagai fakta dan realitas, dan bukan tentang perbedaan ideologi,” tambah politisi Golkar ini.
Dengan demikian kata Hajrijanto, interpretasi baru mengenai pluralisme dalam konteks Indonesia ini penting untuk menghindari kesalahpahaman yang fatal, yang bisa merusak keragaman itu sendiri.
“Dunia saat ini lebih membutuhkan kedamaian dari pada kekerasan dalam menghadapi problem abad ini sebagai model resolusi konflik. Problem kemanusiaan hanya akan teratasi dengan kerjasama untuk mencapai kebahagiaan global tanpa diskriminasi ras, kelas sosial, agama maupun bangsa,” tuturnya. (A-109/A-26).***

Sabtu, 08 September 2012

Yth. TIDAK TAU 5SILA

11 Bulan Keliling Indonesia demi Pancasila
Penulis : Kornelis Kewa Ama Khayam | Sabtu, 8 September 2012 | 11:15 WIB
Jitet Koestana
KUPANG, KOMPAS.com — Liberius Langsimus, pemuda berusia 26 tahun, selama 11 bulan mengelilingi Indonesia hanya untuk memperjuangkan Pancasila. Ia menilai, Pancasila dalam kurun waktu 3- 5 tahun lagi tidak akan hidup di bumi masyarakat Indonesia.
Dalam pertemuan dengan sejumlah siswa SD, SMP, dan SMA di berbagai sekolah, ia menemukan bahwa Pancasila tidak pernah diketahui atau dipahami para siswa. "Saat tiba di Halmahera, anak-anak SMP yang saya tanyai tentang Pancasila bingung. Mereka menjawab, nama itu belum pernah mereka dengar, apalagi menghafalnya. Saya kecewa sekali dengan bangsa ini," kata Liberius.
Ia mengungkapkan, dalam seminar membagi pengalaman tentang Pancasila bersama Liberius Langsimus, yang baru saja selesai mengelilingi Indonesia (dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Ndana) dan semua provinsi di Indonesia, Pancasila sudah berada di ujung kepunahan.
"Jangankan siswa SD, SMP, SMA, tetapi juga sebagian besar mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia tidak paham mengenai Pancasila. Perlu ada revolusi penegakan pada Pancasila di seluruh lini kehidupan masyarakat. Pendidikan moral Pancasila dan program P4 harus dihidupkan kembali melalui sekolah-sekolah dari tingkat SD-perguruan tinggi.
Liberius memulai perjalanan keliling Indonesia mulai dari Ende pada 1 Oktober 2011, tepatnya di pohon sukun, tempat Soekarno merenungkan Pancasila, menuju Aceh sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Ndana. Ia akan kembali ke Ende pada 1 Oktober 2012. Hasil kunjungan Liberius akan dibukukan dalam enam seri tentang Pancasila dan diluncurkan pada 1 Oktober 2012.
Editor :
Rusdi Amral

Jumat, 07 September 2012

Yth. TIDAK BOLEH SOMBONG

Tak Toleran Itu Melawan Tuhan Melindungi non-Muslim adalah jihad. Musuh adalah mereka yang lalim. Minggu, 19 Agustus 2012, 20:04 Ismoko Widjaya, Mohammad Adam

VIVAnews - Ada yang istimewa dalam perayaan Idul Fitri 1433 H kali ini. Hari raya itu hanya berselang dua hari dengan perayaan hari ulang tahun Kemerdekaan RI. Pada 67 tahun silam, kala proklamasi kemerdekaan RI dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta, juga terjadi pada suasana Ramadan. Tentu bukan sebuah kebetulan jika pada perayaan Idul Fitri kali ini mengajak kita memikirkan kembali kehidupan bersama dalam satu bingkai negara Republik Indonesia. Terlebih begitu banyak peristiwa gesekan antar umat beragama, atau meningkatnya intoleransi belakangan ini. Semua seperti menggugat Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua suku dan agama yang diakui konstitusi. Untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan dan tugas umat beragama, khususnya Islam, dalam kehidupan berbangsa, VIVAnews mewawancarai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj, pada Rabu 15 Agustus 2012 lalu di Kantor PBNU, Jakarta Pusat. Berikut petikannya:

Apa pesan Hari Kemerdekaan yang bertepatan Ramadan. Persis saat proklamasi 17 Agustus 1945? Kita bangsa Indonesia juga harus bersyukur karena dulu kita merdeka di bulan puasa hari Jumat. Apa maknanya? Sangat besar maknanya. Kita umat Islam terutama harus betul-betul menjadi taat beribadah sekaligus warga bangsa yang baik. Ketika kita mengamalkan Islam dalam rangka memperkuat negara dan bangsa itu sama dengan ketika kita memperjuangkan negara dalam rangka mengamalkan Islam. Jadi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketika kita membangun kehidupan di dunia itu juga dalam rangka ibadah, kita ibadah pun juga dalam rangka membangun dunia. Kemerdekaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan seperti apa? Manusia itu subjek dan objek. Sebagai subjek dia adalah khalifatullah, wakil Allah, atau mandataris-Nya. Dimana dia diberikan kebebasan seluas-luasnya membangun dunia ini. Allah menyerahkan bumi ini kepada manusia dan masing-masing punya status yang berbeda-beda. Maka manusia diharuskan melakukan upaya terus menerus sesuai dengan proporsi dan kesempatannya membangun dunia ini.
Tapi sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia itu sama. Mulai dari presiden sampai tukang sayur. Sebagai mahluk, objek harus beribadah kepada Tuhan. Memang ada perbedaan di dunia ini, ada yang lebih rendah ada yang lebih tinggi. Tapi manusia dilahirkan sebagai mahluk yang merdeka. Tidak boleh ada perbudakan. Manusia dilarang memperbudak satu sama lain.
Apakah ajaran Islam mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusia? Awal dakwah itu adalah la ilaha ilallah, kita harus menolak selain daripada Allah. Artinya, ketaatan kepada selain Allah itu adalah nisbi dan sangat relatif. Ketaatan yang mutlak dan tanpa ditawar adalah hanya kepada Allah. Kepada sesama manusia kita merdeka. Kepada Allah kita tidak merdeka. Ketika kita berhubungan satu sama lain ada batasan dan aturannya. Hubungan kita dengan Tuhan ya semaunya Tuhan, wong Dia yang menciptakan kita kok. Tuhan perintahkan kita salat lima kali, haji, dan lain-lain itu memang kemauan-Nya. Tapi kalau kita sesama mahluk misalnya saya atasan dan anda bawahan. Jika saya perintah anda maka yang mengatur itu adalah sistem, bukan saya selaku pribadi.
Lantas kenapa ada gejala umat Islam semakin tidak toleran dengan yang lain di sekitarnya? Ya mereka itu menyalahi Islam. Ajaran Islam ini luar biasa, mereka saja yang tidak mengerti. Pemahamannya yang salah atau belum paham. Alquran itu luar biasa. Tidak mungkin di dunia ini hanya satu agama. Seandainya Allah menghendaki semua jadi orang beriman atau mukmin, semua jadi satu agama. Tapi apakah boleh menggunakan kekerasan untuk membuat orang lain beriman? Tidak. Kalau Allah mau dunia ini satu umat, satu bangsa, satu suku, tapi Tuhan kan tidak menghendaki itu.
Jadi dengan keadaan itu ada, bila masih ada orang yang tidak mau toleran berarti melawan kehendak Tuhan. Kalau kita benci dengan orang nonmuslim misalnya, itu melawan Tuhan. Kata nabi, tidak boleh ada permusuhan kecuali terhadap zalimin atau orang yang melanggar hukum. Peristiwa yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, bagaimana? Jelas salah. Muslim yang terpengaruh isu Rohingya lalu melampiaskannya pada kelompok lain, bagaimana? Semua itu salah. Kita orang Islam bakar gereja, salah. Orang Kristen bakar masjid, salah. Orang Islam membunuh orang kristen, salah. Orang Kristen bunuh orang Islam, salah. Jangan lihat agamanya. Lihat kriminalnya. Pokoknya kita tak boleh menganggap orang lain adalah musuh kecuali kepada yang zalim, yang melanggar hukum, pelaku kejahatan, pelaku kriminal. Pembunuh misalnya itu jelas pelaku kriminal, harus dijadikan musuh bersama baik muslim maupun nonmuslim. Koruptor, itu menjadi musuh bersama dan seterusnya.
Indonesia merupakan negara muslim terbesar, apakah perlu merawat keberagaman? Memberi perlindungan terhadap warga masyarakat yang baik-baik tanpa melihat dia muslim atau nonmuslim, itu termasuk jihad. Melindungi orang Kristen yang baik, itu jihad. Kristen minoritas, kita lindungi hidupnya di Indonesia, itu jihad. Memberi perlindungan itu jihad, asal orang itu orang baik-baik. Jadi kita umat Islam wajib melindungi nonmuslim, asal orang itu maksum atau baik atau bukan pelanggar hukum. Bagaimana caranya? Ya dengan melayani atau mencukupi apa yang dibutuhkan. Kalau kita lebih kaya dan mereka miskin, makan mereka bagaimana itu harus dipikirkan, juga tempat tinggal, pakaian, serta kesehatan. Makanya Shalahuddin Al-Ayyubi melindungi orang Kristen arab, karena kristen arab memang tidak mengajak musuhan. Tapi Kristen romawi yang mengajak perang ya itu yang diperangi.
Jika khazanah peradaban Islam digali, apa yang ideal agar kehidupan lebih ramah ke depan? Agama ini kalau tanpa diintegralkan atau disatukan dengan budaya, bisa bubar. Bisa langgengnya agama itu karena menyatu dengan budaya. Agama sebagai sesuatu yang sakral, datang dari Tuhan, turun dari langit, kepada manusia yang parsial, lemah, terbatas, terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu agama harus sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi Tuhan. Ya dong. Wong agama itu untuk manusia. Jadi agama ya harus sesuai dengan tantangannya manusia. Artinya, harus menyatu dengan budaya manusia. Ada beberapa ibadah manusia yang menjadi kehendak Tuhan seperti salat, haji, lempar jumrah dan lain-lain. Tapi sisanya agama itu soal sosial atau kemasyarakatan, ada zakat, berhubungan baik dengan sesama manusia, tidak boleh sombong, tidak boleh dengki, dan lain-lain. Itu semua demi kehidupan manusia di dunia ini. Apakah sekarang ini agama tidak menyatu dengan budaya? Ada beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia itu mereka bukan lakukan Islamisasi, tapi Arabisasi. Ada lagi yang sangat rigid, sulit, memberatkan: tidak boleh lihat perempuan misalnya. Kita ini yang tidak bisa kita capai dengan sempurna ya apa adanya saja kita lakukan. Hidup ini biar mengalir saja, hayati saja, tetap giat bekerja.(np)

Minggu, 02 September 2012

BORONG TISU, kritik atau melecehkan atau realistis

Ini Serial BBC yang Dianggap Lecehkan Muslim Rabu, 29 Agustus 2012 | 20:55

Program BBC1 bertajuk Citizen Khan itu dinilai menampilkan stereotip negatif warga Muslim, mempermainkan Islam, sekaligus juga melecehkan Alquran.

Mungkin sudah bisa diperkirakan, sebuah serial komedi TV mengenai seorang pemimpin komunitas Muslim, tak akan tayang tanpa ada kritik maupun komentar dari pemirsa. Itu pulalah yang terjadi pada Citizen Khan, sebuah miniseri milik BBC yang baru saja tayang perdana, Senin (27/8) lalu waktu setempat, yang menuai tak kurang dari 200 komplain.
Di antara komplain yang disampaikan berbunyi bahwa program TV tersebut telah "mempermainkan Islam", bersalah karena "membuat stereotip orang Asia", juga menayangkan adegan yang "melecehkan Alquran". Salah satu adegan yang khususnya banyak menuai amarah adalah ketika karakter seorang putri Khan, bergegas memakai jilbabnya dan berpura-pura membaca Alquran, ketika ayahnya datang.
Untuk diketahui, miniseri yang terdiri dari enam bagian itu sendiri, tayang perdana di saluran BBC1 pada Senin pukul 22.35 waktu setempat. Program ini diketahui dibuat oleh seorang Muslim warga Inggris, Adil Ray, yang juga memainkan peran utama di tayangan tersebut. Sebagaimana ditulis di kolom pesan BBC, salah seorang pemirsa menyebutkan bahwa "ini benar-benar menampilkan stereotip (negatif), bodoh, dan memilukan". Seorang pemirsa lainnya berpendapat bahwa tayangan itu sangat mengecewakan terutama ketika (karakter) sang ayah masuk dan si anak secara kasar membuka Alquran. Namun begitu, bukan tak ada sama sekali yang berupaya membela. "Orang-orang terlalu banyak membaca (hal negatif) dalam membicarakan Citizen Khan, terutama terkait soal jilbab. Hal seperti itu terjadi kok (sehari-hari)," tulis pihak yang membela. Selain Ray, tayangan komedi ini juga dibintangi oleh aktor My Family, Kris Marshall, yang berberan sebagai pengelola masjid, serta Shobu Kapoor (EastEnders) yang mmerankan istri Khan. Disebutkan, serial ini pada intinya berusaha memainkan humor dengan menyindir kesombongan Khan, termasuk kebanggaan semunya soal kedudukan di masyarakat dan dunia bisnis. Di antara kritik yang disamnpaikan pemirsa, disebutkan juga bahwa serial ini telah mengulangi penampilan stereotip tentang Muslim Inggris, dengan tayangan perdana bercerita seputar masalah rencana pernikahan putri Khan. Menurut beberapa orang, jika serial populer BBC2 Asian bertajuk Goodness Gracious Me, justru bisa mempertentangkan soal stereotip itu, tayangan ini malah "memainkannya" lagi. Menariknya, dua penulis lain yang bekerja bersama Ray di serial ini sendiri, yakni Anil Gupta dan Richard Pinto, justru diketahui sebelumnya terlibat pula dalam produksi Goodness Gracious Me. Lalu, bagaimana reaksi BBC? Seorang juru bicara BBC mengungkapkan, tayangan Citizen Khan sendiri tercatat berhasil tayang perdana dengan positif, mencatatkan 3,6 juta pemirsa, serta meraih 21,5 persen (rating) pemirsa di jam tayang malam. "(Serial) Komedi baru selalu memancing reaksi berbeda dari audiens. (Tentu saja) Karakter di tayangan ini hanyalah rekaan fiktif dan bukan mewakili masyarakat secara keseluruhan," ungkapnya. Sementara itu, Ray, dalam salah satu wawancara baru-baru ini di program BBC Breakfast, cukup bangga mempromosikan karyanya tersebut dengan menyebutnya sebagai "saluran" bagi warga Muslim untuk "menertawakan diri sendiri". "Saya kira merupakan sebuah peluang bagus, dengan Mr Khan sebagai Muslim asal Pakistan dan tokoh cerita ini, bagi kita untuk menikmati isi cerita yang begitu kaya, sekaligus menertawakan diri kita sendiri. Dan saya adalah seseorang yang punya keyakinan untuk itu," ungkapnya. Penulis: BBC/ Youtube/ Daily Mail/ Arsito Hidayatullah/ Ardi Mandiri

Rabu, 15 Agustus 2012

Yth. REM1$1 korupt0r

Kamis, 16/08/2012 10:51 WIB Enaknya Jadi Koruptor, Vonis Ringan & Panen Banyak Remisi! Indra Subagja - detikNews
Jakarta Koruptor benar-benar menikmati hidup di Indonesia. Bayangkan, uang negara miliaran masuk kantong pribadi, tapi di sidang di vonis ringan dan hanya sebentar menikmati dinginnya penjara. Panen remisi pun dinikmati terpidana korupsi.
"Jadi koruptor di Indonesia itu merdeka. Tanpa efek jera. Kemerdekaan dirayakan juga oleh musuh negara yakni koruptor," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Apung Widadi, saat berbincang, Kamis (16/8/2012). Bayangkan di peringatan Hari Kemerdekaan dan perayaan Lebaran ini, terpidana korupsi mendapatkan remisi. Salah satunya seperti disebutkan Ditjen PAS Kemenkum yakni Gayus Tambunan. Pemberian itu dilakukan karena Gayus berkelakuan baik. "Nah kalau dalam kasus Gayus dan ribuan koruptor lainnya itu bertolak belakang dengan semangat pemberantasan dan usaha merdeka dari korupsi. Atas masalah ini DPR paling harus bertanggung jawab atas penolakan moratorium remisi untuk koruptor yang didorong oleh Kemenkum HAM," jelas Apung. Apung menilai lagi-lagi pemberian remisi ini akan menjadi momok. Efek jera yang diharapkan muncul dari kurungan penjara tidak akan tercapai. Apalagi rata-rata vonis bagi terpidana korupsi di bawah angka 5 tahun. "Di sisi lain, remisi ganda Kemerdekaan dan Idul Fitri ini menjadi titik puncak gunung es ketidakberdayaan SBY dalam memberantas korupsi. Bukan dalam penegakkan hukum yang katanya tidak bisa diintervensi, SBY pun tunduk memberi izin remisi untuk koruptor. Presiden sebagai pemberi efek jera di garda paling akhir telah gagal," urainya. Apung melanjutkan kalau legislatif dan eksekutif tidak bisa memberi efek jera untuk koruptor, maka bisa dikatakan saat ini kita dalam posisi titik nadir melawan koruptor. "Dan akhirnya kemerdekaan pun bisa dinikmati koruptor yang mengambil uang rakyat," tegasnya. (ndr/vit)

Sabtu, 11 Agustus 2012

turut bersimpati atas bencana alam @mesjid

Minggu, 12 Agustus 2012 , 02:48:00 Masjid Disambar Petir, 13 Jamaah Tarawih Tewas
DHAKA - Setidaknya 13 orang tewas dan 15 lainnya terluka akibat masjid darurat yang digunakan untuk salat tarawih di Bangladesh, Jumat (10/8) malam tersambar petir. Imam salat tarawih termasuk dalam korban tewas.
Kepolisian Bangladesh menyatakan bahwa masjid yang tersambar petir tersebut terletak di desa Saraswatipur, distrik Sunamganj, yang berjarak 200 kilometer sebelah timur laut ibukota Dhaka. Masjid tersebut hanya bangunan dari kayu dan beratap jerami.
“Sekitar 35 warga lokal sedang melakukan shalat tarawih ketika petir tersebut menyambar,” kata kepala polisi, Bayes Alam dalam keterangan kepada media, Sabtu (11/8).
“Keseluruhan 13 orang, termasuk sang imam, meninggal di tempat kejadian. Tubuh dan muka sebagian korban terbakar hangus,” kata Alam. Ia menambahkan, 6 dari 15 orang yang terluka harus dirawat intensif di rumah sakit.
Para warga menjadikan bangunan tidak layak tersebut sebagai mesjid sementara karena akses menuju mesjid berbahan beton yang biasa mereka gunakan terendam air sungai Saraswati yang meluap akibat terpaan hujan deras yang melanda daerah tersebut selama beberapa minggu terakhir.
Petir merupakan ancaman utama di wilayah Sunamganj, yang menjadi lokasi dari berbagai danau besar di Bangladesh. Insiden warga yang tersambar petir biasa terjadi ketika musim hujan yang datang medio Juni sampai September.(AFP/ara/jpnn)

Jumat, 10 Agustus 2012

Yth. Indahnya Keanekaragaman Nilai

Serukan Indahnya Keberagaman dalam Beragama Kontributor Surabaya, Achmad Faizal | Sabtu, 11 Agustus 2012 | 03:50 WIB SURABAYA, KOMPAS.com — Tidak seperti biasanya, malam itu paduan suara Cantate Domino Universitas Kristen Widya Mandala mengiringi lagu bernuansa Islami yang dilantunkan Candra Malik dengan iringan musik Nusantara Kyai Menur. Busana yang dikenakan para penyanyi juga berbeda. Candra Malik selaku penyanyi utama mengenakan busana islami berupa jubah lengkap dengan kopiah, sementara penyanyi pengiring paduan suara mengenakan jubah putih yang biasa digunakan dalam acara di gereja. Tak hanya dalam hal busana terkesan kontras, dalam musik yang disajikan juga terdengar lebih indah. Sedikit sentuhan koreografi yang disajikan para penyanyi juga menambah keindahan penampilan mereka. Indahnya nuansa keberagaman itu sengaja ditampakkan dalam pergelaran musik bertajuk ''Persembahan bagi Bangsa, Merayakan Keberagamaan dalam Keberagaman'' yang digelar di Ciputa World Plaza Surabaya, Jumat (10/8/2012) malam. Pergelaran musik itu membawakan sejumlah tembang Kidung Sufi karya Candra Malik dengan iringan grup musik Kyai Menur. Menurut Candra Malik, lagu-lagu yang dibawakan malam itu dari album Kidung Sufi bertajuk Samudera Cinta, yang di antaranya berjudul "Seluruh Nafas", "Hasbunallah", "Fatwa Rindu", dan "Syahadat Cinta" yang bercerita tentang cinta kasih, persaudaraan, dan kebebasan baragama. ''Ini untuk mengingatkan kembali bahwa bangsa kita punya bakat untuk hidup penuh cinta, rukun, dan damai; serta mengajak masyarakat untuk menjauhi segala bentuk kekerasan karena perbedaan suku, agama, dan ras,'' katanya. Eksotisme musik rasa Nusantara yang dilengkapi sejumlah alat musik tradisional seperti kendang dan gending Jawa serasa lebih sempurna untuk dinikmati dengan dukungan sejumlah artis dan musisi pendukung, seperti Anji, Trie Utami, Leo Kristi, dan petikan gitar mantan gitaris Boomerang, John Paul Ivan. Selain di Surabaya, kata Candra, konser musik yang membawa misi mendukung keberagaman beragama itu sebelumnya juga digelar di Jakarta dan Yogyakarta. Daerah lain yang akan disinggahi antara lain Bali, Bandung, dan Solo. Editor : Glori K. Wadrianto

Selasa, 07 Agustus 2012

Yth. Ustadz TV

elasa, 07 Agustus 2012 | 03:52 WIB Awas, Banyak Ustadz ''Gadungan'' di Televisi
TEMPO.CO , Jakarta - Majelis Ulama Indonesia melihat banyak ulama yang tidak berkompeten dan berintegrasi tampil menjadi penceramah agama di televisi.
"Harusnya kualitas dan validitas serta keteladanan juru dakwah diperhitungkan," kata Wakil Ketua Tim Pemantau TV Ramadan 1431 H dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Imam Suhardjo di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin, 6 Agustus 2012.
Imam mengatakan, banyak tayangan komedi yang berujung pada makian atau melecehkan individu atau sekelompok orang. Ia prihatin, sebagian penceramah agama itu justru larut di skenario komedi.
Imam mencontohkan tayangan di Indosiar ketika Inul Daratista mengatakan "Pak saya nggak mandul lho, buktinya saya punya anak." Kemudian, ustadz menanggapi dengan perkataan "Lagian bukannya dibor malah ngebor."
Menurut Imam, pernyataan ini justru merendahkan seorang ustadz. Ia juga menyayangkan ustadz lain di Trans TV yang juga ikut ambil bagian waktu joget bersama secara berlebihan.
Imam mencermati, banyak dai yang menyampakan riwayat keagamaan dengan akurasi yang rendah. "Menggunakan hadis yang tidak sahih," kata Imam. Ia berharap para penceramah terus berusaha meningkatkan kompetensinya sebagai ustadz. Menurut Imam, ustadz yang mempunyai kompetensi bisa dilihat dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif, artinya ustadz mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni. Afektif, ustadz mempunyai kemampuan mengaitkankan ajaran-ajaran agama dengan permasalahan sehari-hari. Sedangkan psikomotorik, ustadz itu mempunyai kehidupan atau perbuatan yang terpuji. "Kalau tidak ada ketiga itu, berarti tidak layak disebut ustadz," ujar Imam. Ia berharap stasiun televisi lebih berhati-hati memilih penceramah. Televisi dihimbau untuk lebih mengutamakan kompetensi diatas unsur selebritas. SUNDARI

Rabu, 01 Agustus 2012

Yth. Salju Dieng

Selasa, 31 Juli 2012 | 15:11 WIB Suhu Dieng Tembus Minus 5 Derajat Celsius
TEMPO.CO, Dieng - Warga di kawasan dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada Ramadan ini merasakan cuaca yang amat ekstrem. Suhu udara di kawasan itu bisa menembus hingga minus 5 derajat Celsius. “Paling terasa saat sahur, rasanya seperti membeku,” ujar Sekretaris Kelompok Tani Kentang Perkasa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Kabul Suwoto, Selasa, 31 Juli 2012. Kabul mengatakan, suhu ekstrem tersebut sudah terjadi selama dua hari terakhir ini. Apalagi saat mendekati bulan purnama, suhu akan terus bertambah ekstrem. Ia menyebutkan, suhu akan mencapai titik terendah sejak pukul 02.00-06.00 pagi.
Menurut dia, jika dipaksakan keluar rumah, maka akan terasa sakit kepala. Apalagi saat harus mengambil air wudhu ketika hendak salat Subuh, dinginnya air akan sangat terasa.
Akibat suhu ekstrem itu, lahan pertanian kentang menjadi seperti hamparan salju yang memutih. Penduduk setempat menyebutnya embun upas atau embun yang membeku. Saat ini, kata Kabul, sedikitnya 50 hektare tanaman kentang sudah mati akibat serangan embun upas itu.
Akibat dinginnya suhu, dia menambahkan, petani pun harus berangkat ke ladang saat matahari sudah tinggi. Mereka menunggu pipa paralon untuk menyemprot air tidak terlalu beku. Jika dipaksakan, paralon yang terdapat air di dalamnya membeku itu bisa pecah. Ketua Masyarakat Pariwisata Dieng, Alif Rahman, mengatakan hamparan salju di Dieng justru menjadi daya tarik untuk wisatawan. “Terutama wisatawan lokal yang belum pernah melihat salju,” katanya. Ia mengatakan, suhu di Dieng bisa menjadi sangat ekstrem. Pada siang hari, suhunya bisa mencapai 22-24 derajat Celcius. Namun memasuki dinihari, suhu akan terus turun hingga titik terendah mencapai minus dua derajat, bahkan bisa mencapai minus lima derajat. Masih menurut Alif, hamparan salju hanya terjadi di wilayah Desa Dieng Kulon. Desa ini merupakan lembah yang dikelilingi pegunungan bekas Gunung Dieng purba. Hamparan salju paling mencolok terlihat di sekitar Kawasan Gunung Arjuna. “Pemandangan inilah yang paling dinantikan oleh wisatawan lokal, yaitu saat candi-candi dikelilingi salju yang sebenarnya embun yang membeku,” katanya. ARIS ANDRIANTO

Senin, 30 Juli 2012

Yth. PARA TERSANDERA

Polri Minta Barang Bukti KPK Dititipkan Penulis : Hindra Liauw | Selasa, 31 Juli 2012 | 07:36 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dipastikan tidak dapat membawa keluar barang bukti kasus dugaan korupsi simulator kemudi motor dan mobil yang ditemukan di Gedung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Barang bukti tersebut termasuk daliran dana yang mengarah pada pimpinan Korlantas. "Kita akhirnya menyita (barang bukti), tetapi dititipkan di Korlantas. Mereka bersikeras untuk menahan barang bukti di gedung mereka. Benar-benar aneh," kata seorang sumber di lingkungan penyidik KPK kepada Kompas.com, Selasa (31/7/2012). Saat berita ini diturunkan, penyidik KPK dan anggota Polri tengah melakukan pengecekan bersama barang bukti tersebut. Sumber tersebut belum dapat memastikan jumlah barang bukti yang dititipkan. Sebelumnya, penyidik KPK juga tidak diperkenankan keluar dari Gedung Korlantas seusai melakukan penggeledahan. Setidaknya 10 penyidik tersandera belasan jam. Pantauan Kompas.com di lapangan, Gedung Korlantas Polri masih dijaga ketat oleh beberapa polisi. Pagar gedung tersebut tampak masih digembok rapat dan para wartawan yang ingin meliput penggeledahan oleh KPK itu masih belum diizinkan masuk. Selain itu, tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Ketua KPK Abraham Samad, dan dua wakil ketua, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, juga mendampingi penyidik KPK yang tersandera. "Sejak jam 11 kami menemani tim ledah di sini," kata Busyro melalui pesan singkat kepada wartawan, Selasa. Editor : Kistyarini

Yang Dicari-cari: PRD

Rabu, 25 Juli 2012 08:32:09 Klandestin PRD, rapat di hutan sampai kamuflase pengajian Merdeka.com Reporter: Laurencius Simanjuntak Berdiri pada 22 Juli 1996 atau saat Orde Baru sedang buas-buasnya, tentu bukan perkara mudah bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Apalagi, ketika itu partai berhaluan sosialis-demokrat tersebut dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. "30 Tahun, delapan bulan dan 22 hari kekuasaan Orde baru," cetus Ketua Umum PRD, Budiman Sudjatmiko, menghitung usia kekuasaan Soehato saat itu. Pidato Budiman tersebut kemudian dikenal sebagai Manifesto Partai yang dibacakan tepat 22 Juli 1996 atau 16 tahun yang lalu. Deklarasi PRD di Kantor YLBHI itu jelas bukan gerakan sporadis karena Orba kelewat bengis. Tapi cita-cita revolusi PRD saat itu sungguh-sungguh serius. Lama sebelum akhirnya dideklarasikan menjadi partai, PRD yang semula bernama Persatuan Rakyat Demokratik, sudah bergerak secara klandestin. "Kami biasanya melakukan konsolidasi berpindah-pindah tempat untuk menghindari penciuman aparat intelijen," kata Budiman saat berbincang dengan merdeka.com di Jakarta, Rabu (25/7). Semua tahu, di era kekuasaannya, Soeharto menempatkan aparat intelijen sampai ke desa-desa untuk mencium indikasi-indikasi gerakan pembangkangan terhadap pemerintahan otoriternya. 'Sehelai rambut jatuh pun Soeharto tahu,' demikian hiperbola bagi sang penguasa saat itu. Untuk mengindar dari 'radar' Soeharto itulah, PRD kerap menjauhi keramaian saat hendak berdiskusi atau menggelar rapat-rapat konsolidasi. Tepi hutan atau lereng gunung akhirnya menjadi pilihan. "Kita pernah rapat di sebuah hutan tembakau di ujung timur laut Jakarta, di mana kami harus naik perahu berjam-jam," kisah Budiman yang sekarang menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun dari sekian banyak, kata Budiman, paling sering rapat dilakukan di pesantren atau seminari. "Karena kebetulan banyak aktivis-aktivis PRD yang berasal dari kalangan pesantren atau calon-calon pastur yang gagal," kata Budiman sambil tertawa. Untuk urusan kamuflase pengajian, Faisol Riza adalah jagonya. Berlatar belakang pesantren, pria kurus yang kini menjadi Staf Khusus Menakertrans itu, kerap menggunakan jaringannya para kiai di pesantren Nahdlatul Ulama (NU) untuk tempat mengumpat. Sementara untuk seminari, PRD sering menggunakan jejaring kadernya, Fransisca Ria Susanti. "Pernah saat aparat memaksa masuk, kita langsung menaruh Alquran di depan dan menyembunyikan dokumen-dokumen kongres di bawah pantat kita," ujarnya. Agar gampang disembunyikan, kata Budiman, dokumen atau diktat bahan diskusi dicetak dalam bentuk brosur-brosur kecil. "Jadi hurufnya pun sangat kecil-kecil," kata Budiman sambil mengernyitkan dahi. Namun, tak semua kamuflase acara rohani itu berjalan mulus. Jika sudah tercium intelijen, kata dia, biasanya para kiai pondok pesantren atau pastor-pastor yang mengasuh seminari menggunakan otoritasnya untuk mencegah aparat masuk. "Alasannya bahwa yang di dalam itu adalah santri-santri yang mengaji atau mahasiswa-mahasiwa yang sedang retret rohani," ujarnya. Semua gerakan klandestin yang menyerempet bahaya itu, kata Budiman, menunjukkan perjuangan untuk demokratisasi melawan kediktatoran Orba bukan cuma perjuangan fisik atau praktik. "Tapi juga perjuangan teori," katanya. Artinya, lanjut Budiman, PRD menuntut kader-kadernya tidak hanya pintar mengorganisir aksi massa, menghadapi moncong senapan atau gas air mata, tetapi juga wajib membaca dan menulis artikel untuk menjelaskan argumentasi sikap politik mereka. "Mereka harus siap berlatih semuanya tanpa fasilitas. Harus siap dalam situasi apa pun, di kebun, di hutan, di pantai, di pesantren, kampus atau seminari-seminari," ujarnya. Meski cita-cita revolusi akhirnya gagal, gerakan bawah tanah PRD sekian tahun itu membawa hasil yang tidak terlalu mengecewakan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 pengurus di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten/kota. Pada Pemilu 1999, partai bernomor urut 16 yang baru seumur jagung itu berhasil mengumpulkan 78 ribu suara. Diaspora kader-kader PRD pun kini beragam. Ada yang menjadi anggota dewan, staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis handal, ideolog serikat buruh, pembela petani tembakau, pimpinan parpol di daerah-daerah, dan sebagainya. Ini semua tak akan mungkin tanpa perlawanan. [did]

Selasa, 24 Juli 2012

Kebebasan ETNIS@kota WALI

Denyut Toleransi di Kota Wali Penulis : | Sabtu, 21 Juli 2012 | 21:33 WIB Oleh Rini Kustiasih Beberapa meter dari Pasar Jagasatru, Kota Cirebon, Jawa Barat, Nur Hayati (64), alias Tjiang Kwa, duduk di tepi jalan, dengan meja kecil, menjajakan aneka pepesan. Lewat pepesan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika melebur bersama denyut warga ”Kota Wali” ini. Tidak susah mengenali Tjiang Kwa. Parasnya ayu dan putih di usianya yang senja, mudah ditemukan di antara pelanggan yang pada sore pekan lalu membeli pepesan buatannya. ”Yah bagenlah, nemratusan bae ya (Ya sudahlah, Rp 600 saja, ya),” kata Tjiang Kwa, sambil menyerahkan lima pepesan oncom terakhir yang tersisa dalam plastik. Dagangannya pun ludes terjual. Perempuan yang murah senyum ini bersukacita menceritakan Cirebon, tanah kelahirannya. Menurut Tjiang Kwa, warga kotanya terbuka, tak usil, dan bertoleransi tinggi. ”Dengan tetangga sekitar, saya tak pernah bertengkar hanya karena saya keturunan Tionghoa. Semua tidak ada bedanya,” ujarnya. Tjiang Kwa tinggal di Kampung Purwasari, Kelurahan Pulasaren, sekitar 1 kilometer arah barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Tak jauh dari sana ada Jalan Petratean dan Pekalipan sebagai pusat perdagangan hasil bumi. Kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa. Kehangatan relasi sosial, seperti dirasakan Tjiang Kwa, sejatinya dibangun sejak abad ke-14 oleh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melalui dialog kebudayaan, Gunung Jati mengakomodasi tradisi lama dengan napas keislaman yang damai dan percaya diri. Seperti diterangkan R Achmad Opan Safari Hasyim, pengajar Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, yang meneliti naskah kuno dan Babad Cirebon. Opan mencatat, dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon, yang ditulis sekitar abad ke-17, disebutkan asal kata Cirebon adalah sarumban, yang berkembang menjadi caruban, yang artinya campuran. Orang dari berbagai etnis dan agama campur baur di kota pelabuhan ini. Banyak pendatang singgah mengisi perbekalan atau berdagang. Kompleks keraton, kini ada tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta satu perguruan Kaprabonan, pun kaya akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak dari Hindu. Tembok dihiasi keramik dari China. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan juga dibangun dengan atap limasan dan pintu gerbang menyerupai pura berwarna merah. Saat Belanda masuk ke Cirebon pada abad ke-16, unsur Kristen mewarnai peradaban Kota Wali. Ruang Prabayaksa di Keraton Kasepuhan, misalnya, dindingnya dihiasi porselen Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setiap keramik menggambarkan cerita nabi dalam Injil Perjanjian Lama. Interaksi harmonis Pola interaksi sosial antarwarga yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan merujuk pada keraton dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol. Terjadi pula zonasi tempat tinggal yang alamiah di antara dua komunitas besar pendatang, yakni Tionghoa dan Arab, dengan keraton sebagai sentral. Komunitas Tionghoa tinggal di pecinan yang dekat dengan keraton. Pecinan berada di daerah Lemahwungkuk, tempat pertama kali Kerajaan Pakungwati (sekitar tahun 1430) didirikan Pangeran Walangsungsang, putra mahkota Kerajaan Padjadjaran sekaligus paman Syarif Hidayatullah dari garis keturunan Sunda. Lebih jauh ke utara-barat, sekitar 1,5 kilometer dari keraton, ada Kauman, yakni kampung keturunan Arab di sekitar Masjid Panjunan. Masjid ini dibangun oleh Syekh Abdurrahman dari Baghdad, Irak, tahun 1480. Kholid bin Zou (62), tokoh keturunan Arab, menuturkan, sebagian besar orang Arab di kota itu berasal dari Yaman. Ada juga dari Arab Saudi, tetapi jumlahnya sedikit. Mereka merantau ke Cirebon lantaran kondisi di negaranya serba sulit. ”Ayah saya tiba di Cirebon tahun 1917. Ketika itu Kesultanan Cirebon masih kuat. Keluarga kami sering diundang keraton untuk mengikuti berbagai acara,” kenang Kholid menirukan cerita ayahnya yang memiliki 12 anak. Semua anak Zou lahir di Cirebon, tetapi cuma Kholid yang bertahan di kota kelahirannya. ”Ibu yang asli Tegal mencegah saya berangkat ke Yaman,” katanya. Umumnya, keturunan Arab generasi pertama, seperti ayah Kholid, membuka usaha pertenunan kain sarung dan berdagang hasil bumi. Keturunan mereka menyebar di Kecamatan Kejaksan dan Lemahwungkuk. Kini mereka banyak memiliki toko di Jalan Panjunan dan Kolektoran. Keharmonisan Arab-Tionghoa itu juga masih bisa ditemui dari rumah bergaya Hokkian yang tersisa di daerah Panjunan. Sedikitnya ada lima rumah bergaya Hokkian di Kauman, dicirikan dengan atap melengkung, banyak jendela di loteng, dan pintu di bawah untuk berdagang. Dalam hubungan dengan kelompok yang terlebih dahulu ada di Cirebon, seperti warga Sunda dan Jawa, Sunan Gunung Jati tidak membeda-bedakan perlakuan. Bahkan, untuk urusan penyebaran agama dan penyelesaian konflik, dia yang adalah salah satu penyebar Islam di Jawa mengutamakan cara damai sesuai adat setempat. Editor : Desk Multimedia

56 Tahun dst @Kebebasan BERIBADAH

Masjid-Gereja di Tanjung Priok Cermin Toleransi Beragama Penulis : Galih Prasetyo | Rabu, 25 Juli 2012 | 05:11 WIB JAKARTA, KOMPAS.com -- Ada pemandangan menarik di Jalan Enggano No.52 Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masjid dan Gereja berdampingan. Masjid Al-Muqarrabin persis berdempetan dengan Gereja Protestan Mahanaim. Ketua Jemaat Gereja Mahanaim Pendeta Nyonya Tatalede Barakati menjelaskan bangunan gereja sudah berdiri sejak tahun 1957. Menurutnya, masjid Al-Muqarrabin berdiri dua tahun setelah gereja berdiri. "Gereja ini (usianya, red) sudah masuk ke-55 tahun, dibangun dari tahun 1957. Sedangkan masjidnya baru ada sekitar dua tahun setelah gereja berdiri. Satu tembok, satu dinding," kata Pendeta Tatalede Barakati saat ditemui Kompas.com di Gereja Mahanaim, Jakarta Utara, Selasa (24/7/2012). Tatalede mengatakan, hubungan yang sudah terjalin antara pengurus gereja dan masjid tidak pernah menemui masalah. Apabila ada acara keagamaan, seperti bulan suci Ramadhan, Lebaran atau Natal mereka saling mendukung. Meskipun pihak gereja mengaku belum pernah membuat acara bersama. "Kalau acara bersama sih belum ada. Tetapi kita saling mendukung. Kami memberikan bantuan juga. Kalau mereka (pihak pengurus masjid) butuh apa, mereka biasanya memberi tahu kami. Begitu pula sebaliknya," tutur Tatalede. Di bulan Ramadhan ini, pihak gereja menjadwalkan akan menggelar buka puasa dengan menyediakan tajil. Sebab, kegiatan serupa juga pernah digelar pada Ramadhan tahun kemarin. Namun hingga kini Tatalede mengaku masih menunggu kabar dari pihak masjid untuk acara buka bersama itu. Biasanya, kata Tatalede, buka puasa bersama dilakukan pertengahan Ramadhan yang diorganisir pihak masjid dan melibatkan warga sekitar. Tahun lalu buka puasa bersama diadakan di sekitar Jalan Melur I, Koja, Jakarta Utara, tak jauh dari lokasi gereja-masjid. "Pada bulan puasa lalu kami membagikan santapan berbuka, seperti kolak. Biasanya dilakukan pertengahan Ramadhan. Kita menunggu kabar dari mereka (pihak masjid)," kata Tatalede. Saat Lebaran pun, kata Tatalade, pihak gereja turut membantu mempersiapkan untuk shalat Idul Fitri. Misalnya, jika shalat Ied bertepatan pada Minggu, pengurus gereja bersedia mengalah dengan cara meniadakan acara mereka. Sementara apabila pihak gereja menggelar ibadah, maka pihak pengurus masjid mempersilakan lahan parkirnya digunakan jemaat gereja. "Selama 55 tahun itu ya hubungan kita akrab. Kami saling mengunjungi. Kami saling perhatian. Kami anggap saudara," ujar Tatalede. Namun kini masjid dan gereja yang berdiri harmonis itu akan direlokasi dengan alasan pelebaran jalan. Gereja akan direlokasi ke Jalan Melur No.5, RT.006 RW 013, Kelurahan Rawa Badak Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Gereja baru sedang dalam proses pembangunan. Sedangkan masjid Al-Muqarrabin belum diketahui akan dipindah kemana. Editor : Farid Assifa

Kamis, 07 Juni 2012

3 April 33 M

Jum'at, 8 Juni 2012 | 04:51 WIB Sains & Teknologi Ilmuwan Temukan Waktu Kematian Yesus Yesus meninggal Jumat, 3 April 33 Masehi. Sabtu, 26 Mei 2012, 14:59 WIB Karlina Octaviany VIVAnews - Yesus wafat pada Jumat, 3 April 33 Masehi. Inilah hasil investigasi kaitan kematian Yesus dengan gempa bumi. Penelitian ini digelar oleh Peninjau Geologi Internasional (IGR) dengan melihat aktivitas gempa sekitar Laut Mati. Gempa ini bersumber sekitar 13 mil dari Yerusalem. Injil Matius Bab 27 mengatakan ketika Yesus meninggal saat disalib, gempa mengejutkan terjadi di lokasi itu. Tanah bergetar dan langit tiba-tiba gelap. Kini peneliti menelusuri konteks teks tersebut dengan dukungan rekaman geologi, dan data astronomi. Penggabungan data untuk mencari tanggal kemungkinan waktu kematian Yesus. Pakar geologi Supersonic Geophysical, Jefferson Williams dan koleganya dari Pusat Penelitian Ilmu Geologi Jerman mempelajari sampel tanah dari pantai Ein Gedi Spa, di dekat Laut Mati. Setelah menggali hingga ke lapisan tanah terdalam, dua gempa bisa dideteksi dengan melihat sendimen yang membentuk lapisan. Varves yang menjadi sebutan untuk lapisan tanah yang diteliti itu dibangun setiap tahun. Penyebaran gempa terjadi mulai pada 31SM. Gempa lain menghempas pada 26 Masehi dan 36 Masehi. Williams mengatakan kepada Discovery, gempa terakhir terjadi pada tahun ketika Pontius Pilate menjadi penguasa Yudea. Inilah saat gempa yang disebutkan dalam Injil Matius terjadi. Menurut Williams seperti dilansir dari Daily Mail, hari dan tanggal Yesus disalib masih belum pasti. Tapi, tahun kematian sudah sesuai. Williams mencari petunjuk dengan mencocokan semua data-data dari Injil. Hari Jumat dipilih karena semua Injil menyatakan penyaliban terjadi pada hari itu. Peneliti mengatakan petunjuk ini dikombinasikan dengan kalender Yahudi dan data astronomi. Hasilnya, Jumat 3 April 33 Masehi merupakan kemungkinan paling tepat. (adi)

Minggu, 01 April 2012

20 taon mengejar angin demokrasi myanmar

Myanmar opposition claims by-election win for Suu Kyi Photo Sun, Apr 1 2012 By Aung Hla Tun and Andrew R.C. Marshall YANGON (Reuters) - Myanmar's pro-democracy leader Aung San Suu Kyi won a seat in parliament on Sunday, her party said, after an historic by-election that is testing the country's nascent reform credentials and could persuade the West to end sanctions. Suu Kyi's National League for Democracy (NLD) party claimed victories in at least 19 of the 45 available seats and announced to loud cheers that the Nobel Peace Prize laureate had won in Kawhmu, southwest of the commercial capital Yangon, raising the prospect of a sizable political role following a two-decade struggle against military dictatorship. The charismatic and wildly popular Suu Kyi, who suffered from illness and exhaustion on the campaign trail, did not address the crowd but issued a statement asking supporters to respect the other parties. "It is natural that the NLD members and their supporters are joyous at this point," Suu Kyi said. "However, it is necessary to avoid manners and actions that will make the other parties and members upset. It is very important that NLD members take special care that the success of the people is a dignified one." Traffic around the NLD's crumbling Yangon offices ground to a halt as about 2,000 supporters gathered, waving flags and cheering as one by one, NLD candidates claimed victories. "We keep hearing we have had more success but we need to hear it from our candidates," a party official told Reuters. The Election Commission had yet to confirm any of the results and officials from the ruling Union Solidarity and Development Party (USDP) could not be reached for comment. The United States and the European Union have hinted that they may lift some sanctions - imposed over the past two decades in response to human rights abuses - if the election is free and fair, unleashing a wave of investment in the impoverished but resource-rich country bordering rising powers India and China. Suu Kyi had complained last week of "irregularities", though none were significant enough for any immediate dispute. Voters filed into makeshift polling stations from dawn, some gushing with excitement after casting ballots for the frail Suu Kyi, or "Aunty Suu" as she is affectionately known. Among supporters who voted in her rustic constituency of bamboo-thatched homes in Kawhmu, there was little doubt she would win. "Almost everyone we asked voted for Aunty Suu," said Ko Myint Aung, a 27-year-old shop owner. To be regarded as credible, the vote needs the blessing of Suu Kyi, who was freed from house arrest in November 2010, six days after a widely criticized general election that paved the way for the end of 49 years of direct army rule and the opening of a parliament stacked with retired or serving military. President Thein Sein, a general in the former military junta, has surprised the world with the most dramatic political reforms since the military took power in a 1962 coup in the former British colony then known as Burma. In just one year, the government has freed hundreds of political prisoners, held peace talks with ethnic rebels, relaxed strict media censorship, allowed trade unions, and showed signs of pulling back from the powerful economic and political orbit of its giant neighbor China. It was rewarded last November when Hillary Clinton made the first visit to the country by a U.S. secretary of state since 1955. Business executives, mostly from Asia but many from Europe, have swarmed to Yangon in recent weeks to hunt for investment opportunities in the country of 60 million people, one of the last frontier markets in Asia. A small number of officials from Western countries and the Association of South East Asian Nations (ASEAN) were invited to attend the polls but given only a few days to prepare. They called themselves "visitors" rather than observers. "Whatever irregularities we saw ... did not seem to be out of bad will or intentions. It was more lack of experience or knowledge," said EU delegate Malgorzata Wasilewska, adding that irregularities could still occur in the counting process. CHANGING TIMES The 2010 election was condemned as rigged to favor the USDP, a party formed by the junta before it ceded power a year ago. The USDP is by far the biggest party in the legislature. The NLD boycotted that vote. But just as Myanmar is changing, so too is Suu Kyi. Many see her now, at 66, as more politically astute, more realistic and ready to compromise. She has described Thein Sein as "honest" and "sincere" and accepted his appeal for the NLD to take part. Her top priorities, she says, are introducing the rule of law, ending long-simmering ethnic insurgencies and amending the 2008 constitution that ensures the military retains a political stake and its strong influence over the country. Many expect Suu Kyi to exert considerable influence and some wonder if conservatives would dare oppose her ideas in parliament given her popularity, especially ahead of a general election in 2015. Many MPs want to be seen aligned with her, basking in her popular support. The election has not gone smoothly. Suu Kyi has suffered sickness and accused rivals of vandalizing NLD posters, padding electoral registers and "many, many cases of intimidation." Some of these infractions, however, are quite minor compared with elections elsewhere in Southeast Asia, where vote-buying and even assassinations are common. On Friday the NLD said a betel nut had been catapulted at one of its candidates and a haystack set on fire close to where another was due to give a speech. It made fresh claims of irregularities on Sunday, alleging coercion by the USDP and damage of ballot papers. Some critics say Suu Kyi is working too closely with a government stacked with the same former generals who persecuted dissidents, and fear she is being exploited to persuade the West to end sanctions and make the legislature appear effective. Others have almost impossibly high hopes for her to accelerate reforms once she enters parliament. "Too many expectations are dangerous," says Ko Ko Gyi, a former political prisoner. "She is not a magician." Some U.S. restrictions such as visa bans and asset freezes could be lifted quickly if the election goes smoothly, diplomats say, while the EU may end its ban on investment in timber and the mining of gemstones and metals. But some critics say sanctions should remain in place to encourage more reforms and ensure all political prisoners are freed and bloody conflicts with ethnic militias cease. "Giving the NLD the ability to win an extremely limited number of seats in parliament is not enough," said Joe Crowley, who in January made the first visit to Myanmar by a U.S. congressman in 12 years. "Now is not the time for the international community to rush toward lifting pressure on Burma." (Additional reporting by Paul Eckert in Washington; Writing by Martin Petty; Editing by Tim Pearce)

Kamis, 29 Maret 2012

a methadone mosque, how 'bout church

Malaysian Mosque Is Also a Methadone Clinic By LIZ GOOCH KUALA LUMPUR — Every Monday and Thursday morning, the slightly built man rides the bus for an hour and a half from his home on the outskirts of Kuala Lumpur to the Ar-Rahman mosque. After reciting his prayers, he climbs the stairs to the mosque’s mezzanine level, gives a urine sample and consults a doctor. A pharmacist then gives him a small plastic cup containing methadone, to help wean him from his heroin addiction. The man, who did not want to be identified because of the stigma surrounding illicit drug use in the Muslim-majority country, said he had injected heroin for seven years before coming to the Ar-Rahman mosque about a year ago. “It makes me no longer take heroin on the street,” he said, referring to the methadone. “It makes me able to work.” Some Muslim scholars believe that drugs that may prevent Muslims from carrying out their religious duties are forbidden under Islam, and Malaysia enforces strict laws, including the death penalty, for drug trafficking. Penalties for those found in possession of heroin include a fine, up to life in prison and whipping, depending on the amount. But at Ar-Rahman mosque, doctors from the University of Malaya have succeeded in getting the religious authorities onboard in what the World Health Organization says is the world’s first methadone program operating out of a mosque. Doctors plan to expand the program to two more mosques in Kuala Lumpur in coming months. Malaysia has an estimated 170,000 intravenous-drug users, with heroin the most commonly used drug. Opiate users accounted for about half of all drug users arrested in 2010, and the amount of heroin seized that year was the highest reported during the past five years, according to a recent report by the U.N. Office on Drugs and Crime. Most heroin in Malaysia is from Myanmar, Laos and west Asia, but some is also processed domestically, the report found. While some countries have been using methadone to treat heroin addicts for decades, Malaysia introduced a nationwide government-financed program in 2005. Previously, the University of Malaya ran a program where patients had to pay for treatment. The success of that program, combined with the alarming spread of H.I.V. among intravenous drug users, prompted the government to introduce its own program with free dosages in 2005. Clean needle exchanges were introduced the following year. The number of new H.I.V. infections reached almost 7,000 in 2002; by 2005 that figure had dropped to just over 6,100, with intravenous drug use the main mode of transmission. Before the introduction of methadone, heroin addicts were sent to government rehabilitation centers for two years where they would go “cold turkey,” an approach doctors said led to a high relapse rate. But while the number of methadone programs has expanded since 2005, a shortage of clinics with adequate space and facilities meant that many people who might have benefited from the treatment were still missing out, said Dr. Rusdi Abdul Rashid, chief coordinator of the University of Malaya’s Center of Addiction Sciences , which runs the Ar-Rahman program. When doctors first approached the mosque authorities and the government departments of Islamic Development, which must approve activities in Malaysian mosques, they encountered strong opposition. The authorities feared that methadone was forbidden in Islam, Dr. Rusdi said. But the doctors explained that methadone was different from other drugs because it is a medication and does not give patients a euphoric feeling. “They agreed to allow us to pilot the program,” Dr. Rusdi said in an interview. The program, which began in 2010, now has 50 patients whose ages range from 18 to 60. When they first join the program, patients must take the methadone under the watchful eye of pharmacists. After a couple of months and at least two consecutive urine tests that show they are negative for drugs, patients are allowed to take up to three doses home with them. While the Malaysian methadone program marks the first one based in a mosque, the Islamic authorities have become involved in the fight against drugs in other countries, like China and Indonesia, where some Islamic organizations run rehabilitation centers. Malaysia’s national Department of Islamic Development said it agreed to allow the methadone program at Ar-Rahman mosque after the National Fatwa Council granted permission for the use of methadone on the condition that it is taken under a doctor’s supervision. “The use of methadone at Ar-Rahman mosque was permitted by religious authority because it is considered as a type of medicine that can be used as a treatment to drug addicts,” the department said in a statement. “JAKIM believes this program can make the mosque as a social center for the community,” the department said, using the Malay acronym for its title. Nizam Yussof, treasurer of the Ar-Rahman mosque, said the mosque committee agreed to host the program because it was helping people change their lives for the better. “A lot of them are already in good health, already have a proper job, some of them have also married and have a new family,” he said. “I believe what the organization is doing is a good move.” But not everyone agrees. Mr. Nizam said that some worshipers had expressed concern and wanted to know why the program could not be based in a clinic. “Some of our people look at drug addicts, some people think it’s not good to see them waiting around the mosque,” he said. Dr. Rusdi said he wanted to continue working closely with the mosque to help remove the stigma surrounding drug users. In a report released last year , the World Health Organization said while discrimination against drug users remained high in Malaysia, their access to health care had increased in recent years. The report referred specifically to the Ar-Rahman mosque. Since the introduction of methadone and needle-exchange programs, the number of new H.I.V. cases has dropped by almost half, with the number of new infections in 2009 — 3,080 — the lowest since 1993. However, new infections rose to 3,652 in 2010, the last year for which figures are available, as sex overtook intravenous drug use as the main mode of transmission. The Malaysian AIDS Council , an umbrella organization of groups working on H.I.V./AIDS issues, says that Muslim men in Malaysia are still most at risk of contracting H.I.V. through intravenous drug use and has strongly supported the Ar-Rahman program. “We are currently campaigning to other religious authorities and leaders in the country to adopt this program,” said the council’s president, Mohammad Zaman Khan. At Ar-Rahman mosque, the Ministry of Health provides the methadone dosages for free and pays for the two pharmacists who dispense the methadone while doctors from the University of Malaya and general practitioners attend once a week to assess patients. Each patient pays 15 ringgit, or about $4.90, a week to participate. Dr. Rusdi said the treatment also involves “spiritual enhancement,” which he said is often a feature of drug treatment programs regardless of the patient’s religion. In this program, for the first eight weeks patients must perform their prayers before they see a doctor and receive methadone. After that, reciting prayers is not compulsory but Dr. Rusdi said it is encouraged, as is attending weekly religious talks, additional elements he believes may help prevent patients from relapsing. The Department of Islamic Development was also involved in designing this part of the program. “We think that spiritual treatment can have a better outcome on top of methadone treatment in terms of retention rates and treatment, H.I.V. risk behavior and also the quality of life,” Dr. Rusdi said. The University of Malaya is planning to expand its program after receiving invitations from two other mosques in Kuala Lumpur. To save costs, it hopes to begin a mobile service where a van will ferry a doctor and a pharmacist to the mosques to deliver the program. There are also plans to establish a similar program at two Hindu temples in Kuala Lumpur. Dr. Rusdi said he did not know of any temples or Christian churches that currently provide such services in Malaysia. On a recent Thursday, the men who came barefoot up the stairs to the clinic were a mix of young and old. A 48-year-old man who gave his name only as Carlos said he began coming to the mosque about a year ago after using heroin for three decades. Carlos, who earns a living performing music on some of the capital’s most popular tourist streets, said that, since he stopped taking heroin, he had been able to buy his family a small house. “I think it’s very good,” he said of the program, clutching three small bottles of methadone that must last until his next visit. “In Christianity, they have addicts using churches,” he said of programs in other countries. “But Muslims can also use the mosque to help people like us.”

Selasa, 21 Februari 2012

hormati lah kitab suci yang dihormati pemercayanya

More than half of Americans back Obama's Koran apology By Missy Ryan WASHINGTON | Mon Mar 5, 2012 6:42pm EST (Reuters) - More than half of Americans support President Barack Obama's apology for U.S. troops burning copies of the Koran, an incident that triggered a spate of bloody protests and attacks on U.S. soldiers in Afghanistan. In a Reuters/Ipsos poll released on Monday, 56 percent of those surveyed backed Obama, who has been criticized by U.S. Republican presidential candidates for apologizing to Afghan President Hamid Karzai. Twenty-three percent disagreed. While the spasm of violence that erupted following the incident on a NATO base in Afghanistan does not appear to have significantly altered Americans' perspective on the war, 66 percent of those polled also said Washington should bring its troops home immediately. Obama's formal apology and the debate that decision created have underscored the delicate course the president must tread in his campaign for re-election in November. Afghanistan and other foreign policy issues are sure to take a backseat to the economy in the campaign but Obama is loath to give Republicans more ammunition in the crucial months before the elections. The poll, conducted from March 2 to March 5, showed that far more Democrats supported Obama's apology, with 76 percent of them saying Obama made the right decision. Only 37 percent of Republicans backed the apology, and almost half said Obama was not right to do so. Some 53 percent of independents supported the apology. In keeping with calls from Capitol Hill, Democrats surveyed professed even less support than Republicans for a continued U.S. presence in Afghanistan. Some 76 percent of Democrats said U.S. troops should be withdrawn immediately, compared with 53 percent of Republicans. Seventy percent of independents favored an immediate withdrawal. The poll included 1,143 Americans interviewed online. The poll had a credibility interval of 3.4 percentage points. Obama cannot allow the outcry over the Koran incident and other NATO missteps to undermine tentative security gains, weakening his ability to point to a series of security successes such as the killing of al Qaeda leader Osama bin Laden, or worsen tensions with the mercurial Karzai government. His decision received extra scrutiny when, several days later, two U.S. officers were shot dead by an Afghan inside the Afghan Interior Ministry, one of a spate of so-called 'insider' attacks on NATO forces since the Koran burnings took place. The Koran burnings could be behind the death of up to six American soldiers. On Monday, a suicide bomber killed at least two civilians at the gates of the base where the Korans were burned. The Taliban said the attack was an act of 'revenge. Underlying the debate over Obama's apology are even larger questions about the future of U.S. involvement in Afghanistan, where over 10 years after the Taliban government was toppled the militant group remains a potent enemy. Obama plans to pull all of the 33,000 troops he deployed in 2009-10, credited with turning around the long-neglected campaign in Afghanistan, by this fall, leaving around 68,000 U.S. troops. Most foreign combat troops are due to withdraw by the end of 2014. (Editing by Warren Strobel and Eric Walsh) Afghan clerics demand punishment for Koran burners By Hamid Shalizi KABUL | Fri Mar 2, 2012 5:11pm EST (Reuters) - Senior Afghan clerics said on Friday the burning of Korans at a NATO base last month was an "evil act" that must be punished, a demand that could deepen widespread public anger over the incident. "The council strongly condemns this crime and inhumane, savage act by American troops by desecrating holy Korans," members of a council of clerics said after meeting President Hamid Karzai, according to a statement issued by his office. "The council emphasized that the apology for this evil act can never be accepted. Those who committed this crime must be publicly tried and punished." Despite apologies from President Barack Obama and other senior U.S. officials, the desecration of the Korans at Bagram air base ignited a wave of anti-Western fury across Afghanistan, including protests that killed 30 people. The Koran burnings are a setback to the Western campaign to win the hearts and minds of Afghans in order to weaken the Taliban and force the Muslim militant group to negotiate an end to the war now in its 11th year. A joint investigation, conducted by U.S. military officials and members of the Karzai government, has concluded that five U.S. soldiers were involved in the incident on a NATO military base, officials said on condition of anonymity. But the joint probe of the incident, one of three being conducted, did not provide specific recommendations on possible disciplinary action the soldiers might face, the officials said. A separate U.S. Army probe, which has not yet been completed, may contain such recommendations. The determination of the joint probe, which has not been released, that five soldiers were involved was first reported by the Washington Post. Yet the statements on Friday by the Afghans clerics - reflecting Muslims' deep reverence for the Koran - suggests at least some Afghans will not be satisfied without a public trial. DOUBT U.S. officials have said that the Korans were confiscated from prisoners on the base and mistakenly discarded in an incinerator. Afghan laborers found charred remains. A string of attacks on NATO troops by Afghan security forces followed the burnings. The killing of two U.S. officers, allegedly by a police intelligence officer, in the heart of the heavily guarded Interior Ministry raised particular concern and cast fresh doubt over the effectiveness of Afghan security forces. If their capabilities do not improve before foreign combat troops head home at the end of 2014, the country could face prolonged instability. Obama and other Western leaders are hoping to decisively weaken the Taliban before most foreign combat troops withdraw by the end of 2014. The White House also wants to broker political negotiations between the Karzai government and the Taliban. Yet Bagram, the air base where the Koran burnings took place, was a source of friction between the United States and Karzai's government long before the Korans were burned. An Afghan government commission investigating abuse accusations at the largest U.S. jail in Afghanistan, located at Bagram, has said inmates reported being tortured and held without evidence. Control over Afghans captured by U.S. forces is a major stumbling block in negotiations between Kabul and Washington on a strategic partnership agreement. NATO's night-time raids on Afghan homes, which Karzai objects to, are another point of contention. The agreement would define the terms of any U.S. military presence after the end of 2014. The senior clerics said the Koran burnings took place at Bagram because the administration of the prison at the facility, where the holy books had been located, did not treat religious material with respect. "We strongly demand the closure of prisons run by foreigners," the clerics told Karzai during the meeting, his office said. (Writing by Michael Georgy; additional reporting By Missy Ryan; Editing by Stacey Joyce) February 24, 2012 Koran Protests Resume in Afghanistan Despite U.S. Apology By ALISSA J. RUBIN, SHARIFULLAH SAHAK and JAWAD SUKHANYAR nyt KABUL, Afghanistan — Angry and violent protests broke out in Kabul after the midday prayer on Friday and gunfire could be heard near the large Eid Gah Mosque where a crowd of more than 1,000 people gathered in the center of the capital. The protests were in response to the burning of several Korans at the largest NATO air base in the country on Monday night, which the military afterward said was a inadvertent mistake and apologized for profusely. A second angry protest by an estimated 4,000 people armed with rocks and sticks was surging along the Kabul-Jalalabad road in the east of the city and moving toward central Kabul. At least seven police vehicles were seen retreating as the crowd hurled a barrage of stones. A few of the protesters were waving the white flag of the Taliban and some were wearing head wrappings with a jihad slogan written on them: “I sacrifice myself.” Protesters throughout the city were also shouting “Death to America.” There were reports of demonstrations in at least six other provinces, but it appeared they were peaceful, at least initially. The potential scope of the fallout from the burning of several copies of the Koran by American military personnel this week became chillingly clear on Thursday as a man in an Afghan Army uniform shot and killed two American soldiers. Seven Afghans were killed in three provinces on Thursday and many more were injured, most in skirmishes with Afghan security forces. Afghan officials quoted Thursday from a letter from President Obama in which he, among other things, apologized for the Koran burning. For President Hamid Karzai, the episode has fast become a political thicket. He and other government officials share with the Afghan populace a visceral disgust for the way American soldiers treated the holy book, but they recognize that violent protests could draw lethal responses from the police or soldiers, setting off a cycle of violence. Complicating matters is that some of Mr. Karzai’s allies in Parliament and elsewhere, including former mujahedeen leaders, have openly encouraged people to take to the streets and attack NATO forces. Mr. Karzai has not spoken out against them publicly, but his government’s overall message on Thursday suggested that he did not want more violence. Mr. Karzai met with members of both houses of Parliament at the presidential palace and urged them to help to try to contain the protests. “The president said that ‘according to our investigation we have found that American soldiers mistakenly insulted the Koran and we will accept their apology,’ ” said Fatima Aziz, a lawmaker from Kunduz who attended the meeting. “He said, ‘Whoever did this should be punished, and they should avoid its repetition. Insulting holy books and religion is not acceptable at all.’ ” Ms. Aziz, who said she wept when told of the Koran burning, also said Mr. Karzai told Parliament members that the protesters’ violent response was “‘not proper.’ ” Ms. Aziz, along with many educated Afghans, some of whom registered their views on Facebook, said she was dismayed by the exploitation of the incident for political gain and accused Iran and Pakistan of behind-the-scenes manipulation. Both countries would like to see the American military under pressure, and the reaction to the Koran burning has accomplished that. The Taliban released two statements on Thursday: one urged Afghans to attack foreign troops and installations as well as Afghan forces who are defending them, and the second urged Afghan security forces to turn their guns on their NATO colleagues. “The Islamic Emirate of Afghanistan calls on all the youth present in the security apparatus of the Kabul regime to fulfill their religious and national duty,” the statement said, “to repent for their past sins and to record their names with gold in the history books of Islam and Afghanistan by turning their guns on the foreign infidel invaders instead of their own people.” Mohammed Salih Suljoqi, a lawmaker from Herat, said the episode “has been used as a tool of propaganda.” “The noble and pure emotions of our fellow countrymen are being misused by the intelligence agencies of neighboring countries,” he said, adding that some groups “are trying to destabilize the situation and lead the country into chaos.” “All these tragic incidents can spread a dark shadow and negatively impact the relationship of Afghanistan and the United States,” Mr. Suljoqi said. President Karzai’s office quoted from what it called a letter of apology from Mr. Obama that was delivered Thursday by Ambassador Ryan C. Crocker to signal to the Afghan public that the United States understood the distress the episode had caused. In the letter, according to Mr. Karzai’s press office, Mr. Obama wrote: “I wish to express my deep regret for the reported incident. I extend to you and the Afghan people my sincere apologies.” Mr. Obama’s office would not release the text of what it called a three-page letter on a “host of issues” between the two countries, “several sentences of which relate to this issue.” One of the Republican candidates for president, Newt Gingrich, issued a statement that harshly criticized Mr. Obama for his apology, calling it an “outrage.” “It is Hamid Karzai who owes the American people an apology, not the other way around,” the statement said. Four Afghans were killed in confrontations with the police in Oruzgan Province and one in Baghlan Province. In Nangarhar Province, two Afghans protesting the Koran burning were shot to death outside an American base in Khogyani District, said Mujib Rahman, the doctor on duty at the hospital in the district center. It was unclear whether they were shot by Afghan soldiers or NATO troops, but a NATO spokesman, Lt. Cmdr. James Williams, said NATO troops would shoot only if they were in mortal danger, and the protesters did not constitute mortal danger. About the same time as the protest and the shootings outside the base, an Afghan Army soldier turned his gun on NATO soldiers at the base, according to other protesters and elders. Two American soldiers were killed. Mr. Karzai and the religious leaders and elders he had assigned to investigate how the Koran burning came about released a statement calling for restraint by the Afghan people and demanding that those responsible be tried swiftly. “In view of the particular security situation in the country, we call on all our Muslim citizens of Afghanistan to exercise self-restraint and extra vigilance in dealing with the issue and avoid resorting to protests and demonstrations” that could be used by extremist groups to incite violence, the statement said, adding that NATO officials had “agreed that the perpetrators of the crime be brought to justice as soon as possible” in an open trial. A NATO inquiry into the burning continues, a spokesman said, adding that the United States would take disciplinary action if “warranted.” Reporting was contributed by an employee of The New York Times from Nangarhar Province. Tentara NATO bakar Quran, rakyat Afghan marah besar! Oleh Newswires Selasa, 21 Februari 2012 | 23:50 WIB KABUL: Pengunjuk rasa Afghanistan, bersenjata ketapel dan bom bensin, mengepung pangkalan militer terbesar tentara yang dipimpin oleh Amerika Serikat di Afghanistan pada Selasa 21 Februari 2012. Mereka marah atas laporan bahwa pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membakar Al Quran. Penjaga di Pangkalan Udara Bagram, sekitar 60 kilometer utara Kabul, menanggapi dengan menembakkan peluru karet dari menara pengawas, kata saksi di tengah kerumunan berteriak Allahu Akbar, Allahu Akbar. Ratusan orang lain berunjuk rasa di Ibu Kota Afghanistan. Pasukan keamanan mengirim bantuan guna mencegah gerakan di negara Islam itu keluar kendali. Panglima pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, Jenderal John Allen, meminta maaf dan memerintahkan penyelidikan atas laporan bahwa pasukan secara tak layak membuang sejumlah besar sarana agama Islam, termasuk Quran itu. "Saya menyampaikan permintaan maaf tulus atas pelanggaran itu, kepada Presiden Afghanistan, pemerintah Republik Islam Afghanistan, dan yang terpenting, kepada yang mulia rakyat Afghanistan," katanya. Pernyataan langsung Allen itu, diduga untuk membatasi kerusakan setelah kejadian serupa menghasilkan kekerasan dan serangan terhadap orang asing, ditayangkan berulang kali di televisi Afghanistan. Tuduhan bahwa pasukan NATO di pangkalan itu membakar banyak kitab suci umat Islam tersebut pertama kali dilaporkan oleh seorang pejabat tinggi pemerintah. Pejabat polisi setempat menyatakan lebih dari 2.000 orang berunjuk rasa di luar pangkalan luas kelolaan Amerika Serikat di Bagram tersebut. "Mereka berunjukrasa terhadap pembakaran Quran di pangkalan itu," kata pejabat itu kepada kantor berita Prancis AFP. Sidiq Siddiqi, Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, memastikan adanya unjuk rasa itu dan menyatakan bantuan dikirim ke daerah tersebut untuk mencegah kekerasan. Unjuk rasa lain oleh sekitar 500 orang terjadi di kebupaten Pul-e-Charkhi di Kabul, tidak jauh dari pangkalan besar persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO di jalan Jalalabad, kata Juru Bicara Kepolisian Ashamat Estanakzai kepada AFP. "Polisi mengendalikan kerumunan itu, tidak ada kekerasan," katanya. Unjuk rasa serupa pada masa lalu menjadi kekerasan di Afghanistan, bangsa yang sangat taat Islam, di mana penghinaan terhadap agama itu diancam hukuman mati. Sekitar 10 orang tewas dan puluhan lagi luka dalam beberapa hari kerusuhan pada April 2011 akibat pembakaran Quran oleh pendeta Amerika Serikat Terry Jones di Florida. "Saya sudah memerintahkan penyelidikan atas laporan saya terima pada malam hari itu bahwa anggota ISAF di Pangkalan Udara Bagram secara tidak layak membuang sejumlah besar sarana agama Islam, termasuk Quran," katanya. "Kami benar-benar menyelidiki kejadian itu dan mengambil langkah untuk memastikan hal serupa tidak pernah terjadi lagi. Saya menjamin Anda. Saya berjanji kepada Anda. Ini sama sekali tidak disengaja," katanya. Allen berterima kasih kepada warga Afghanistan setempat, yang membantu mengenali kesalahan itu dan bekerja sama untuk segera mengambil tindakan perbaikan. Pasukan pimpinan NATO di Afghanistan pada tengah Februari menyatakan "salah membunuh" sekelompok anak-anak dalam serangan udara, yang membuat marah pemerintah, dan mengatakan kematian mereka mungkin terkait dengan gerakan menumpas pejuang di daerah tersebut. Serangan udara itu terjadi di dekat desa Giawa, di Propinsi Kapisa, Afghanistan timur, dan mengikuti pemboman serupa, yang memicu ketegangan antara pemerintah dengan NATO atas korban di kalangan rakyat, yang meningkat setiap tahun selama lima tahun belakangan, demikian AFP melaporkan. (Antara/ea)