Rabu, 30 November 2016

SBY (Presiden RI ke 6) BUKAN PAHLAWAN kami, seh

TEMPO.COJakarta - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan saran kepada Presiden Joko Widodo lewat tulisan panjanganya di media massa. Tujuan dari saran itu, menurut SBY, adalah agar Presiden Joko Widodo bisa mendinginkan suasana politik yang tengah memanas di Indonesia.
sekutu yang urusannya agama

Salah satu saran yang diberikan oleh SBY adalah Presiden Joko Widodo harus menemui tokoh-tokoh atau organisasi politik yang berseberangan dengan pemerintahannya. Menurut SBY, para tokoh atau organisasi yang berseberangan jangan ditakuti-takuti, tetapi dirangkul agar tidak bertindak berlebihan.

Baca:
Situasi Memanas, Jokowi Kerap Ditanya Pengusaha Soal Politik
Ahok Akan Disidang, Ini 3 Alasan Dia Akan Lolos


Saran yang lain, mencegah para pembantu Presiden untuk membuat panggung politiknya sendiri. SBY berkata, jangan sampai para pembantu Presiden Joko Widodo mengambil keuntungan dari situasi politik yang memanas demi kepentingan pribadi atau partai. Sebaiknya, menurut SBY, semua pembantu satu sikap dengan Presiden Joko Widodo.

"Dan pemerintah harus mencegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan atau kekerasan yang lebih besar. Cegah, jangan sampai ada kekerasan yang meluas," ujar SBY dalam tulisan panjangnya itu.

Baca:
Diplomasi Meja Makan, Presiden Joko Widodo Jamu Muhaimin
Demokrasi Kerumunan ~ Poltak Partogi Nainggolan


Lantas, apakah Presiden Jokowi membaca tulisan panjang dari SBY itu? "Enggak," ujar Presiden Joko Widodo perlahan sambil menggelengkan kepala kepada wartawan di Istana Kepresidenan seusai menjamu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Selasa, 29 November 2016.

Presiden Joko Widodo pun enggan mengomentari lebih lanjut soal saran yang diberikan oleh SBY tersebut. Namun, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa semua masukan dari tokoh atau partai politik terkait pemerintahannya pasti akan ia catat. "Semua dicatata, dikomunikasikan," ujar Presiden Joko Widodo.

ISTMAN M.P.

💥

Jakarta - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki catatan atas situasi dan dinamika politik, hukum dan keamanan Tanah Air belakangan ini. Berikut catatan SBY seperti yang diterima redaksi, Senin (28/11).
Ada dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya.
Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini. Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga terjadi di seluruh Tanah Air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit.
Gerakan massa yang mengusung tema mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru.
Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis? Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.
Dalam situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami semua kena fitnah.
Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena itu, melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan sederhana saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.
Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci.
Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit.
Karenanya, menurut pandangan saya saat ini prioritasnya adalah mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal.
Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan. Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan.
Dulu ketika saya mengemban tugas sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah isu pelanggaran HAM.
Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara ~ apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.
Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi.
Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka.
Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar. Demikian juga, jika ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Memang sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya. Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan? Semua harus waspada.
Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi uang (money power).
Saya amat sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.
Sementara itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal.
Berbicara tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik.
Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja. Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka. Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY" akhirnya cepat berlalu ....
Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege mongso.
Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power.
Persuasif harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
Dalam keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut".
Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan.
Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas.
Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....
Dalam situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kebersamaan kita.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.👀
Akhirnya, menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ....


Carlos KY Paath/AB

Suara Pembaruan


 TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden terpilih Joko Widodo menyaksikan gladi resik acara pelepasan di Istana Merdeka. Pelepasan dilakukan setelah SBY dan Jokowi mengadakan pertemuan internal seusai Upacara Militer Penyambutan. (Baca: Di Twitter, SBY Ucapkan Maaf dan Salam Perpisahan)

Acara pelepasan diperkirakan bakal mengharukan. Suasana haru dibangun kelompok paduan suara dan orkestra yang menyanyikan lagu "Gugur Bunga", tepat saat SBY dan Kristiani Herawati berpamitan dengan Jokowi dan Iriana di Halaman Istana Merdeka. (Baca: Di MPR, Jokowi Duduk di Kursi Warisan Soeharto)

Tak hanya itu, seorang anak akan membacakan puisi tentang pengabdian SBY selama menjadi presiden. "Satu dawarsa kamu memimpin," bunyi salah satu bait puisi tersebut. (Baca juga: Pelantikan Jokowi, Begini Rangkaian Jadwalnya)

Berdasarkan gladi resik, Jokowi dan Iriana akan mengantar SBY dan Ani hingga jalur kanan Istana Merdeka. Setelah itu, Jokowi hanya akan mengamati SBY dan Ani berjalan kaki menyusuri jalur gerbang kanan Istana Merdeka yang jarang terbuka tersebut.

SBY rencananya akan berhenti sejenak di depan podium paduan suara dan orkestra hingga lagu berakhir. SBY dan Ani akan bersalaman dengan perwakilan kelompok tersebut sebelum kembali berjalan kaki menuju pintu gerbang.

Sepanjang jalan, sisi kiri dan kanan, sekitar 120 personil TNI dan Kepolisian berdiri tegak. SBY rencananya akan melapor untuk terakhir kali pada Komandan Pasukan Pengaman Presiden pengirin upacara. Paspampres dan seluruh personil TNI-Polri akan memberikan hormat kepada SBY dan Ani.

SBY dan Ani melanjutkan jalan kaki hingga tepat di pintu gerbang sisi Kanan Istana Negara. Di bagian luar, sebuah rangkaian kendaraan pengamanan sudah siap menanti. Paspampres Grup D langsung menyambut dan mengantar SBY dan keluarga menuju Cikeas.

"Tak akan ada acara apa-apa di Cikeas. Seluruh staf khusus dan kepresidenan pergi bersamaan dengan kepulangan SBY," kata juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha.

FRANSISCO ROSARIANS

Merdeka.com - Disahkannya pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang telah diputuskan oleh DPRD dalam rapat Paripurna, kemarin, ternyata memicu berbagai polemik. Bukan saja di dalam negeri tetapi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri juga ikut melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan aksi demonstrasi.

Dalam orasinya, mereka menyampaikan beberapa bentuk kekecewaan atas disahkannya UU tersebut. Bahkan, mereka menuding bahwa sosok Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah sosok seorang yang demokratis.

Sebab, mereka menilai seharusnya SBY yang merupakan pimpinan partai Demokrat bisa mengintruksikan kader-kadernya untuk memilih Pilkada langsung saat voting Paripurna itu berlangsung bukan melakukan aksi walk out. Oleh karena itu, pihak demonstran yang berada diluar negeri mendesak SBY untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.

Pasalnya, atas disahkannya UU Pilkada demonstran menganggap hal itu merupakan suatu langkah mundur dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
 
Merdeka.com - Di Amerika Serikat, protes dilakukan warga negara Indonesia di depan Willard InterContinental Hotel, Washington D.C. Hotel itu adalah tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginap. Dalam foto demonstrasi yang diterima merdeka.com, Sabtu (27/9) lalu, massa yang terdiri dari pria dan wanita itu membawa sejumlah foto SBY dan poster yang mengecam SBY atas disahkannya RUU Pilkada.

Tak sampai disitu, mereka menilai demokrasi di Indonesia telah mati atas disahkannya pilkada melalui DPRD. Maka dari itu mereka menganggap sosok SBY bukanlah seorang yang berjiwa demokrasi.

Dini hari kemarin, DPR telah mengesahkan RUU Pilkada menjadi undang-undang. Salah satu pasal yang paling krusial adalah soal pelaksanaan pilkada.

Kubu Koalisi Merah Putih menginginkan agar pilkada dilaksanakan melalui DPRD. Sementara, partai pendukung Jokowi-JK menginginkan agar pilkada dilaksanakan secara langsung.

Yang mengagetkan adalah sikap Partai Demokrat. Jika sebelumnya Demokrat menegaskan mendukung pilkada secara langsung dengan 10 syarat, jelang voting kemarin partai besutan SBY itu justru memilih walk out.

Alasannya, 10 syarat yang diajukan tak diakomodir. Alhasil, kubu pendukung pilkada langsung kalah.
 Merdeka.com - Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) di San Fransisco melakukan demonstrasi di depan kantor pusat Twitter dan di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di kota California utara, Amerika Serikat (AS), Kamis (9/10) lalu. Mereka menyampaikan kekecewaannya atas aksi walk out nya Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY yang berbuntut disahkannya Undang-Undang Pilkada oleh DPR.

Dalam pengumuman protes di beberapa media sosial, sejumlah warga Indonesia menilai bahwa disahkannya UU pemilihan secara tidak langsung pertanda matinya demokrasi di Indonesia. Sebab, DPR dinilai secara jahat dan keji sudah merampas hak-hak rakyat untuk secara langsung memilih pemimpinnya.

"Dalam pemahaman tentang partisipasi warga, demonstrasi adalah alat pertunjukan kekuatan masyarakat (sipil) untuk dua tujuan. Sebagai tekanan politik bagi orang-orang yang berkuasa di pemerintahan dan sebagai pendidikan politik bagi masyarakat biasa," kata Izak Y.M. Lattu, mahasiswa S3 UC Berkeley yang ikut dalam demonstrasi damai di depan kantor pusat Twitter, melalui rilis yang diterima merdeka.com, Sabtu (11/10).

Menurut Izak, dia bersama WNI lainnya memilih berdemo di depan kantor pusat Twitter, San Fransisco, lantaran dianggap tempat yang paling cocok. Apalagi isu #TolakUUPilkada kemarin sempat panas di medsos burung berwarna biru itu.

"Jakarta memang kota dengan pengguna Twitter terbanyak sedunia, dan Indonesia merupakan negeri dengan pengguna Twitter terbanyak ke-5 di dunia. #shameonyouSBY juga sempat menjadi trend topik dunia selama 48 jam 'menghilang' secara misterius, dan penjelasan resmi Twitter dianggap tidak memuaskan," paparnya.

Aksi puluhan warga Indonesia berjalan dengan damai. Dalam aksinya mereka memakai baju hitam dengan sebagai tanda berkabung dan menutup mulut dengan plester. Mereka juga membawa kertas besar yang bertuliskan #SaveIndonesianDemocracy #DPRessing #ShameonyouSBY #shamedbyYOU #shamedbyYOUagain.

Merdeka.com - Warga Negara Indonesia yang berada di Paris menggelar Happening Art dari depan Stasiun Metro La Muette di Arrondisement 16 Paris dan berjalan menuju KBRI di Rue Cortambert, Selasa (30/9) waktu setempat. Aksi itu merupakan bentuk protes mereka terkait pengesahan UU Pilkada dimasa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bukan saja mengkritiki SBY, dalam kesempatan itu, para WNI juga menuding skenario UU Pilkada merupakan upaya Koalisi Merah Putih untuk menjegal Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).

"Batu sandungan pertama sudah disiapkan oleh Koalisi Merah Putih dengan mendesakkan ide penghapusan pemilihan langsung bagi pimpinan daerah," ujar Mulyandari dalam rilis yang diterima merdeka.com, Rabu (1/10)

Mulyandari menambahkan, strategi itu dimaksudkan agar kelak dalam 5 tahun mendatang Koalisi Merah Putih yang akan menguasai kursi pemerintahan daerah dan menjegal segala rencana pembangunan pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, Koalisi Merah Putih tanpa ragu mencabut hak pilih rakyat dan memberikan hak menentukan pimpinan kepala daerah kepada DPRD.

"Keputusan ini sama sekali tidak tepat karena saat ini kesadaran politik rakyat justru sedang tumbuh. Permainan politik berdasarkan pertimbangan irasional dan bukan untuk kepentingan bangsa harus dijawab dengan tegas oleh rakyat," tuturnya.

"Dengan ini kami warga negara Indonesia di Prancis yang peduli atas situasi politik di Indonesia meminta SBY dan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Pilkada demi kepentingan kemajuan demokrasi di Indonesia. Kedua, kepada DPR RI hasil pemilu 2014 yang akan dilantik 1 Oktober 2014 ini agar memasukkan kembali agenda revisi UU Pilkada dan mengembalikan hak pilih rakyat dalam Program Legislasi Nasionalnya bersama Menteri Dalam Negeri yang baru di pemerintahan Presiden Jokowi." pungkasnya.

Diketahui saat di KBRI, mereka diterima oleh Kabid Fungsi Politik Arifin Saiman serta Kabid Fungsi Kebudayaan dan Penerangan Henry Kaitjily. Pihak KBRI berjanji akan meneruskan pernyataan mereka kepada pemerintah Indonesia di Jakarta dan akan memberikan dukungan lebih aktif untuk pendidikan politik warga negara Indonesia di Prancis.
 Merdeka.com - Sekelompok warga Negara Indonesia yang terdiri dari pelajar dan pekerja di London, Inggris, turut menyampaikan aspirasinya menolak pilkada melalui DPRD. Meski diguyur hujan, mereka tetap menggelar aksi damai dan teatrikal di depan gedung Parlemen Inggris Sabtu (4/10) lalu.

Dalam aksi itu, WNI mendesak demokrasi di Indonesia kembali ditegakkan. Mereka meminta sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dapat kembali dilaksanakan. Pasalnya, pilkada melalui DPRD dianggap mencabut hak rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

Tak sampai disitu, mereka menyatakan bahwa disahkannya UU pilkada itu merupakan langkah mundur dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Maka dari itu, demonstran meminta kepada anggota DPR periode 2014-2019 agar mendengarkan suara rakyat dengan mengesahkan Perppu UU Pilkada yang telah ditandatangani Presiden.

Selain pernyataan sikap, pengunjuk rasa ini pun menggelar aksi teatrikal yang mengilustrasikan kemunduran demokrasi dengan mulut tersumpal kertas hal itu disimbolkan sebagai suara rakyat yang dibungkam.

Diketahui unjuk rasa yang dilakukan warga Negara Indonesia di London bukan lah yang pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya Pada 27 September lalu, mahasiswa dan pekerja warga Negara Indonesia juga melakukan aksi penolakan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
 Merdeka.com - Sekitar 350 warga negara Indonesia di Hong Kong menggelar aksi protes menolak Undang-Undang pilkada melalui DPRD. Aksi ini berlangsung di depan kantor Konsulat RI di Hong Kong (28/9) lalu. Dalam aksi nya mereka menyampaikan bahwa UU pilkada telah merampas hak demokrasi rakyat Indonesia.

"Kami (warga negara Indonesia diluar negeri) dengan tegas menolak undang-undang UU Pilkada ini yang merampas hak demokratis rakyat. Peraturan yang merugikan rakyat pasti juga merugikan buruh migran dan harus dilawan" kata koordinator aksi saat menyampaikan orasinya, Sringatin.

Pada kesempatannya, WNI juga meneriakkan 'Shame on you SBY' serta 'UU Pilkada cabut sekarang juga'. Tak sampai disitu, pengesahan UU pilkada ini dinilai hanyalah pesanan pemodal dunia yang sedang membutuhkan sumber daya lebih untuk menyelamatkan diri dari krisis melalui pemerintahan SBY. Sehingga proses demokrasi yang melibatkan rakyat hanyalah memperlambat target, maka UU ini pun harus disahkan.

"UU Pilkada melalui DPR wujud kongkret penjajahan gaya baru yang melalui peraturan. Sistem kenegaraan Indonesia akan dikembalikan ke jaman penjajahan Belanda bahkan kerajaan dimana keputusan dan pimpinan daerah diputuskan oleh pusat. Tentu orang-orang yang ditunjuk harus setia kepada kepentingan elit diatasnya dan pemodal asing" ungkap Sringatin.

Dia pun menuturkan bahwa elit politik yang berkuasa saat ini memperjelas jati dirinya sebagai kaki tangan asing yang harus memenuhi target para pemodal. Maka selain telah merebut hak-hak rakyat dalam berdemokrasi UU Pilkada ini pun dianggap akan memperburuk kemiskinan yang mengakibatkan terpuruknya Indonesia.

"Saat ini saja ketika kita masih bisa memilih, demokrasi masih diselewengkan dan suara rakyat masih tidak didengar. Akibatnya persoalan-persoalan rakyat terus dikesampingkan. Kemiskinan yang akut dan pengangguran yang memunculkan berbagai konflik politik dan sosial di masyarakat. Salah satunya realitas migrasi terpaksa, perdagangan manusia dan perbudakan di kalangan buruh migran" tandas Sringatin.

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak wariskan nilai demokrasi selama sepuluh tahun kepemimpinannya. Anggapan itu, dia menambahkan, makin kentara setelah Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

"Substansi Perpu itu wajib diapresiasi, tapi proses penerbitannya bisa disebut tak bermoral," ujarnya di Menteng Huis, Jakarta, Ahad, 12 Oktober 2014. (Baca: SBY: Kemarahan Rakyat Mestinya Dibagi Dua)

Presiden SBY mengeluarkan Perpu Pilkada dua pekan lalu. Keputusan tersebut diteken untuk menggantikan UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan itu memuat sistem pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan seperti yang ditawarkan Partai Demokrat saat Rapat Paripurna DPR.

Menurut Ray, Presiden SBY harusnya bisa menghentikan kegaduhan politik akibat penerbitan Perpu tersebut. Sebab, dalam sistem presidensial, presiden bisa menyatakan ketidaksetujuannya pada rancangan undang-undang yang sedang dibahas di parlemen. "Andaikan Presiden Yudhoyono keluarkan veto sebelum Paripurna DPR, RUU Pilkada akan berhenti dibahas," ujarnya. (Baca: SBY Bikin Kuis #KopdarPamitan)

Sikap yang tidak prodemokrasi, kata Ray, juga ditunjukkan oleh Presiden SBY yang tak berpihak pada masalah hak asasi manusia. Problem kebebasan beragama dan penyelesaian kasus HAM masa lalu tak mendapat perhatian serius pada era Presiden Indonesia ketujuh itu. "Komitmen pada kasus HAM itu juga jadi indikator keberpihakan pada proses demokrasi."

Dengan melihat manuver politik Presiden SBY, kata Ray, rakyat makin yakin bahwa Ketua Umum Partai Demokrat itu konsisten dengan politik pencitraan. "Politik pencitraan sah. Namun, bila dipakai untuk membentuk kesan dia sebagai seorang demokrat sejati, itu sangat bermasalah," ujarnya.

RAYMUNDUS RIKANG
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat, Nurhayati Ali Assegaf, sudah diberi sanksi tak langsung oleh Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Hukuman itu dijatuhkan lantaran Nurhayati memerintahkan anggota fraksinya untuk walk-out dari sidang paripurna saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah. (Baca: Demokrat Dinilai Sukses Jalankan Skenario di DPR)

"Ini arifnya SBY. Apa perlu diberi sanksi lagi ketika SBY memutuskan bahwa Nurhayati tidak lagi menjadi kandidat Ketua DPR?" kata Ruhut saat dihubungi Tempo, Ahad, 11 Oktober 2014. Menurut Ruhut, sebelumnya Nurhayati memang ngebet mengincar posisi Ketua DPR. Koalisi Prabowo Subianto yang menampung Demokrat pun kerap menyebut Nurhayati sebagai salah kandidat Ketua DPR. "Tapi tidak bisa. SBY sudah tidak memberikan jalan," kata Ruhut. (Baca: Perpu Pilkada, Demokrat Minta PDIP Tidak Kaku)

Ruhut mengatakan SBY masih sebagai penentu dalam kebijakan ihwal siapa yang layak menjadi Ketua DPR. Lantas, saat ditanya mengenai perkembangan sanksi resmi untuk Nurhayati, Ruhut tak menjawab dengan jelas. "Kalau sanksi silakan tanya kepada Amir Syamsuddin. Dia, kan, yang sebelumnya bilang ada sanksi," ujarnya merujuk kepada Amir, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang juga Ketua Dewan Kehormatan Demokrat. (Baca: PDIP Janji Kawal Perpu Pilkada SBY dan (Baca: SBY Siapkan Perpu Batalkan UU Pilkada)

Sebelumnya, Amir menyatakan partainya tengah mempertimbangkan sanksi untuk Nurhayati. "Masih akan kami bicarakan, belum ada tindakan yang pasti," ujarnya kepada Tempo di gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin malam, 30 September 2014. Aksi walk-out yang berimbas pada disahkannya pemilihan tidak langsung melalui DPRD, berlawanan dengan arahan SBY, yang meminta kadernya memperjuangkan opsi pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan. Atas aksi walk-out itulah partai mempertimbangkan sanksi atau teguran pada Nurhayati. (Baca: Siapkan Perpu, SBY: Saya Ambil Risiko Politik)

Ihwal hukuman SBY versi Ruhut ini, Nurhayati belum dapat dikonfirmasi. Sebelumnya, dalam konferensi pers di markas DPP Demokrat pada akhir September 2014, Nurhayati mengaku bahwa aksi walk-out dalam Rapat Paripurna RUU Pilkada adalah inisiatifnya sendiri. Aksi itu dia perintahkan sebagai ketua fraksi lantaran kecewa usulan partainya tak diakomodasi pimpinan sidang. Instruksi walk-out, kata Nurhayati, tidak diketahui oleh SBY. "Saya siap diberi sanksi,' kata Nurhayati. (Baca: SBY Punya Plan B Jegal UU Pilkada dan SBY Punya Plan B Jegal UU Pilkada)

Keputusan walk-out Demokrat mengubah peta suara di DPR dalam pengambilan keputusan ihwal RUU Pilkada. Dengan keluarnya Demokrat yang memiliki 148 kursi, koalisi Prabowo Subianto yang mendukung pilkada lewat DPRD unggul atas koalisi Joko Widodo yang mendukung pilkada langsung, yang hanya mengumpulkan 237 kursi. Di lain pihak, koalisi Joko Widodo hanya memiliki 139 kursi sehingga UU Pilkada yang memuat pasal mekanisme pilkada lewat DPRD akhirnya disahkan. (Baca: Merunut Sikap Plinplan Pemerintah di UU Pilkada)

MUHAMAD RIZKI

DETIK Jakarta - 11 Aktivis demokrasi yang diundang menghadiri Bali Democracy Forum 2014 yang akan dilaksanakan pekan depan menolak hadir. Mereka menilai tak ada gunanya hadir berbicara demokrasi sementara pemerintah saat ini sudah balik kanan alias mundur jauh.

"‎Kami memilih tidak hadir karena demokrasi di Indonesia memang mengalami kamajuan tapi belakangan berbalik arah. Jadi tidak ada yang secara positif. Karena mundur jadi tidak bisa sharing positif Indonesia," kata Ketua Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyakat Indonesia (Yappika) Fransisca fitri dalam jumpa persnya di kantor LBH, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2014).

Ia hadir bersama 8 orang berwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti KontraS, FITRA, ICW, LBH Jakarta, Perludem dan Transparansi International Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Mereka diundang untuk menghadiri acara Bali Civil Society Forum 2014 yang mengundang beberapa organisasi masyarakat sipil dari negara-negara Asia. Acara rencananya akan dimulai pada 8-9 Oktober esok dan dilanjutkan dengan Bali Democracy Forum 2014 pada 10-11 Oktober yang akan dihadiri para kepala negara dan pejabat setingkat menteri.

Sedang menurut Koordinator KontraS Haris Azhar, disahkannya UU Pilkada pada 26 September lalu oleh DPR dan berlanjut dengan drama politik hingga menghadirkan Perpu Pilkada yang ditandatangani oleh Presiden menunjukkan demokrasi di Indonesia berada diujung tandung.

"Soal Perpu itu hanya lip service karena konstalasi DPR sangat tidak mungkin memenangkan karena KMP mayoritas," kata Haris.

Mereka mengkritisi acara Bali Civil Society 2014 baru dilakukan‎ tahun ini padahal para organisasi masyarakat sipil ini sudah bertahun-tahun lalu meminta acara ini diselenggarakan. Menurut Haris Azhar, forum ini tak lebih dari sekedar pesta perpisahan SBY yang masa jabatannya akan berakhir pada 20 Oktober mendatang. Terlebih karena SBY lah yang dulu menggagas acara ini diadakan pada 2008. 

 "‎Ini kayak farewell partynya SBY terbukti dari harusnya dilaksanakan November tapi justru diajukan ke Oktober. Padahal kalau dia beritikad baik harusnya forum ini dihadiri oleh Pak Jokowi (presiden terpilih) untuk menyampaikan konsep demokrasinya ke depan," ucap Haris.

Sebagian besar dari 11 organisasi yang menolak didaulat sebagai pembicara dalam seminar. Namun, rentetan peristiwa politik yang terjadi di Indonesia membuat mereka memilih mengkritisi demokrasi Indonesia dari luar daripada berbicara demokrasi yang mereka nilai palsu dalam forum itu.

Dalam skala jangka panjang, menurutnya, tak ada dampak yang akan terjadi dengan ketidakhadiran mereka. Pasalnya, tidak ada hal yang bersifat rekomendasi dari acara forum civil society yang akan dibahas dalam Bali Democracy Forum‎ 2014 kelak.

"Tidak ada dampak ke depan karena forum ini hanya dibuat oleh SBY yang menghadirkan prestasi demokrasi SBY. Apa yang kami kerjakan berlanjut. Masih ada forum lain dan nggak akan berdampak apapun. Ada forum lain di international selain Bali demokrasi‎ itu," pungkas Haris.


Jakarta detik - ‎Koalisi Merah Putih (KMP) telah mengadakan rapat di kediaman di rumah Aburizal Bakrie dan disepakati empat partai akan mendapat jatah kursi pimpinan MPR. Partai Demokrat dan PPP dipastikan mendapat jatah kursi itu.

"Yang pasti keinginan teman-teman PPP itu diakomodir," kata petinggi PKS Hidayat Nur Wahid di kediaman Ical, Jl Ki Mangun Sarkoro, Menteng, Jakpus, Minggu (5/10/2014) dinihari.

PPP memang sebelumnya telah mengungkapkan keinginannya untuk mendapat jatah kursi pimpinan MPR yang akan dipilih Senin (6/10) besok. Meski keinginannya sudah diakomodir, namun pihak PPP belum menentukan siapa nama yang akan diajukan.

"Nanti kita akan tentukan orangnya, akan kita bahas di internal PPP," jelas politisi PPP, Ahmad Yani yang juga hadir dalam rapat mendampingi Ketum Suryadharma Ali.

Selain PPP, partai yang dipastikan mendapat jatah kursi pimpinan MPR dari KMP adalah Partai Demokrat. Namun, menurut Waketum Partai Demokrat Max Sopacua, pihaknya akan meminta arahan Ketum Susilo Bambang Yudhoyono untuk menentukan nama yang akan diajukan sebagai pimpinan MPR.

"Belum ada nama, kita nanti tunggu arahan dari atasan. Nanti akan disampaikan Ketum," kata Max.

Sebelumnya beredar kabar bahwa Partai Demokrat mendapat jatah kursi Ketua MPR. Eks Ketua fraksi PD di DPR, Nurhayati Ali Assegaf disebut sebagai calon kuat yang akan diajukan Demokrat dan didukung semua partai di KMP.
VIVAnews - Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan membantah bahwa partainya dijanjikan akan mendapat kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat usai aksi walk outnya sehingga UU Pilkada dengan opsi pemilihan kepala daerah diwakilkan oleh DPRD disahkan.



"Siapa dengan siapa itu? (dijanjikan kursi MPR)," kata Syarief di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa 30 September 2014.



Syarief juga mengaku belum tahu dan tak pernah membaca perjanjian itu dengan Koalisi Merah Putih. Meskipun surat perjanjian itu ditandatangani oleh semua pimpinan fraksi Koalisi Merah Putih.



"Saya belum tahu. Belum pernah baca itu," kata dia.



Bahkan, kata Syarief pihaknya belum pernah membicarakan soal bagi-bagi kursi itu dengan Koalisi Merah Putih. "Nggak ada janji-janji. Nggak ada itu," katanya.



Demokrat pun saat ini belum menentukan siapa yang akan diajukan untuk menjadi calon ketua DPR maupun MPR. "Ya. Kita lihat saja nanti. Targetnya lihat saja nanti," ujar dia.

Sebelumnya, soal jatah kursi Demokrat jika UU Pilkada disahkan menggunakan opsi pilkada tidak langsung, tak dibantah oleh rekan koalisinya sesama Koalisi Merah Putih.

"Ya (Demokrat) salah satunya (calon Ketua MPR)," kata Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto.

Hingga saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menggelar rapat terbatas di gedung Sasana Manggala, Halim Perdanakusuma. Rapat yang digelar sejak pukul 01.00 dini hari itu terkait UU Pilkada yang disahkan alam rapat Paripurna DPR RI pekan lalu.



TEMPO.CO, Yogyakarta - Sepuluh organisasi non-pemerintah dan mahasiswa di Yogyakarta menuntut pembatalan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Mereka membuka posko di Titik Nol Kilometer, ujung selatan Jalan Malioboro, untuk menggalang kartu tanda penduduk dari warga sebagai bentuk dukungan pembatalan itu.

“Sore ini kami buka posko terus berlanjut sampai malam,” kata koordinator lapangan aksi itu, Asman Abdullah, Kamis sore, 2 Oktober 2014. “Besok (Jumat) kami akan buka lagi.”

Massa yang menamakan diri Komite Dukung Pilkada Langsung itu di antaranya terdiri dari Social Movement Institute, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Selain itu, ada organisasi mahasiswa kampus dan kedaerahan, misalnya UIN Sunan Kalijaga, Universitas Muhammadiyah Magelang, dan Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo.

Menurut Asman, selain membuka posko di kawasan Malioboro, Komite juga membuka posko pengumpulan KTP di dua kampus di Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Sudah dapat sekitar seratus KTP sekarang,” katanya.

Melalui jaringan mereka di Jakarta, dia melanjutkan, KTP itu akan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari petisi pembatalan UU Pilkada. Menurut dia, salah satu poin UU Pilkada itu yakni pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah ancaman bagi kedaulatan rakyat.

Kamis, 25 September 2014, DPR mengesahkan UU Pilkada melalui mekanisme perolehan suara. Lima partai; PAN, PPP, Gerindra, PKS, dan Golkar; mendukung pilkada melalui DPRD. Partai Koalisi Merah Putih penyokong Prabowo-Hatta itu unggul dengan 256 suara.

Direktur SMI Eko Prasetyo mengatakan aksi ini sebenarnya tak hanya untuk mendukung pembatalan UU Pilkada semata. Namun juga melawan koalisi partai itu. “Koalisi Kapak Merah itu ingin kembali membangun watak politik seperti Orde Baru,” ujarnya.

Kecaman terhadap Koalisi Merah Putih juga tergambar dalam spanduk aksi mereka. Di atas spanduk warna biru yang mereka bentangkan menghadap jalan tertulis kalimat: “Koalisi Maling Permanen, Lawan Perampokan Suara Rakyat!”

Menurut dia, koalisi itu telah membawa demokrasi di Indonesia pada ambang kehancuran. Pertarungan politik pun tak bisa lagi ditempatkan sebatas di dalam gedung parlemen. “Kalau organisasi masyarakat sipil tak turun ke jalan (demokrasi) akan gawat sekali,” katanya.

Aksi-aksi yang dilakukan Komite, kata dia, adalah bagian dari menggalang dukungan masyarakat yang lebih luas. Pada bulan mendatang, jaringan organisasi masyarakat berhimpun dalam Konferensi Darurat Demokrasi. “Akan launching 2-3 bulan lagi,” ujarnya.

ANANG ZAKARIA


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Politisi Golkar, Bambang Soesatyo meminta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhenti bermain kata-kata terkait UU Pilkada yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI beberapa hari lalu.
Menurut anggota Komisi III DPR RI ini, SBY harus memperjelas dan mempertegas sikapnya atas RUU Pilkada yang telah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR beberapa hari lalu.
"Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY sebaiknya berhenti bermain kata-kata, karena perilaku yang demikian hanya melahirkan ketidakpastian," ungkap Bambang kepada Tribunnews.com, Minggu (28/9/2014).

Lebih lanjut Politisi Golkar ini mempertanyakan sikap SBY terkait Pilkada lewat DPRD. "Kalau SBY menolak RUU Pilkada itu, kenapa baru sekarang?
Bukankah dia (SBY) sendiri yang menandatangani amanat presiden (ampres) atas RUU Pilkada tersebut tiga tahun lalu?" Demikian dia mempertanyakan.
Kata Bambang, kenapa saat partai besutannya, yaitu Partai Demokrat (PD) membela pemerintah yang mengusulkan Pilkada melalui DPRD itu dengan mati-matian, malah meradang dan mengumbar perasaan.
Selama berada di Amerika Serikat, SBY berujar, ”Saya serius; berat untuk menandatangani UU ini, karena dari awal opsi saya pilkada langsung dengan perbaikan. "

"Dengan nada pernyataan seperti itu, saya melihat bahwa SBY masih saja bermain dengan kata-kata. Semua juga paham bahwa tidak ada pengaruhnya dia tanda tangan atau tidak. Dalam UU jelas, jika presiden tidak tanda tangan, otomatis dalam waktu satu bulan UU tersebut berlaku," kritiknya.

Lebih dari itu, menurutnya, dalam Paripurna yang sampai pagi dinihari lalu, Mendagri Gamawan Fauzi jelas hadir mewakili pemerintah dan presiden.
Bahkan selesai voting dan ketuk palu, Mendagri atas nama Presiden menyampaikan terima kasih karena usulan pemerintah tentang perubahan RUU Pilkada dari sistem langsung ke DPRD yang diajukan tiga tahun lalu akhirnya disepakati dan disetujui oleh DPR.
"Jadi, bagaimana bisa dia (SBY) tiba-tiba kaget dan mau menggugat?" Dia pertanyakan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari menilai aneh rencana Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajukan gugatan/judicial review (JR) UU Pilkada.
Karena, menurut anggota Komisi III DPR RI ini, dengan mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya akan mengalami hambatan soal legal status Partai Demokrat (PD).
Mengingat PD juga ikut mengambil keputusan. Bahkan menyebabkan kekalahan pikada Langsung saat Rapat Paripurna di DPR RI beberapa waktu lalu.
"Jika Pak SBY mau memperbaiki kerusakan akibat walkout (WO) tersebut dengan mengajukan JR ke MK tampaknya akan mengalami hambatan soal legal status PD mengajukan JR mengingat PD ikut mengambil keputusan bahkan menyebabkan kekalahan pilkada Langsung. Jadi aneh kalau pak SBY mau menempuh jalan yang hampir tidak mungkin tersebut," tegasnya.
Lebih lanjut Eva juga mengkritisi Problem internal PD--yakni mengusut inisiator WO. Jauh lebih penting dari itu, dia mengingatkan SBY, bahwa kerugian nasional berupa demokrasi yg mundur akibat WO PD lebih penting untuk segera diselesaikan.
"Urusan implementasi serahkan ke Presiden berikut. Pak SBY bisa menyarankan presiden berikut untuk mengajukan revisi UU sambil menunggu hasil JR yang akan diajukan kelompok sipil," pesannya.

Selasa, 29 November 2016

against all the odds

JAKARTA, KOMPAS.com
 - Mahkamah Kehormatan DPR memberhentikan Ade Komarudin dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

Keputusan itu merupakan sanksi ringan dari pelanggaran etik yang dilakukannya.
Ade divonis bersalah saat memindahkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) menjadi mitra kerja Komisi XI.
Sebelumnya sejumlah BUMN yang memperoleh PMN tersebut merupakan mitra kerja Komisi VI.
Kedua, Ade divonis melakukan pelanggaran ringan dalam tuduhan memperlambat proses pembahasan Rancangan Undang-undang Pertembakauan.
Karena melakukan dua pelanggaran ringan, maka dihitung secara akumulatif sebagai dua pelanggaran sedang.
Hal itu berarti sebagai pimpinan alat kelengkapan Dewan, Ade harus diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPR yang merupakan pimpinan alat kelengkapan Dewan.
"Berdasarkan pasal 21 Kode Etik DPR, saudara Ade Komarudindiberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPR karena terbukti melakukan satu pelanggaran sedang sebagai akumulasi dari dua pelanggaran ringan," ujar Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad saat membacakan amar putusan, di Ruang MKD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Ade sebelumnya dilaporkan ke MKD atas dugaan pelanggaran etik saat melakukan pemindahan mitra kerja dari Komisi VI ke Komisi XI dan juga memperlambat proses pembahasan Ketua RUU Pertembakauan.
Saat ini pula, Golkar telah mengajukan pergantian Ketua DPR dari Ade ke Setya Novanto dan akan dibahas dalam Rapat Paripurna hari ini pukul 15.00 WIB.
Ade menganggap pelaporan dirinya ke MKD merupakan rekayasa.
"Kelihatan tanda petik itu (laporan MKD) diada-adain, biar publik yang menilai. Saya akan hadapi, ikuti dengan baik saja," kata Ade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Ade mengatakan, sejak menjadi anggota DPR di tahun 1997, proses PMN selalu menjadi domain Komisi XI karena melibatkan Kementerian Keuangan.
Karenanya, menurut Ade, pengalihan BUMN menjadi mitra kerja Komisi XI dalam proses PMN tidak salah.
"Sekarang saya diadukan, rapopo, tadi saya sudah jelaskan. Termasuk saya diproses secara politik, saya akan hadapi, akan proses. Semua terus lanjut ke paripurna," lanjut pria yang akrab disapa Akom itu.
💩
jakarta globe: There is something about the mysterious death of 27-year-old Wayan Mirna Salihin that captures people's imagination so much that when the Jakarta Police announced that they finally had a suspect – Mirna's own friend Jessica Kumala Wongso – people went to social media expressing jubilation, rejoicing at the prospect that whoever is responsible will be closer to facing justice.
Mirna died after drinking an iced coffee at a posh cafe inside an equally upscale Grand Indonesia shopping mall.
We could thank Mirna's father for giving doctors permission to perform an autopsy on Mirna's body, a crucial part of any murder investigation but something that many Indonesians consider taboo.
Without the autopsy we could never have guessed that there was a high-enough concentration of cyanide in her stomach to kill dozens of people and her killer would roam free.
Then there's Jessica, the friend who arrived nearly an hour early and ordered and paid for Mirna's Vietnamese ice coffee drink. From day one, people were quick to assume that she might be behind the killing, as she does not behave like a typical grieving friend.
After her arrest, the Internet is flooded with conspiracy theories and speculation about the possible motive, from the plausible to the bizarre. There are also arguments between experts who reject the theory that Jessica is the real killer. Not to mention the countless memes featuring Jessica's photo and the text: 'Let's Grab a Coffee!'
Perhaps it is the way Mirna's life was cut short at such a young age which fascinates a lot of Indonesians. Or that her untimely death came just mere weeks after she got married to a friend she met while studying in Australia, a young man named Arief Soemarko. Or is it the fact that she was one of a pair of twins (she has a twin brother named Sendy Salihin) which captivates many Indonesians? Or perhaps it is all of the above.
Whatever the reason, we can thank the Internet for keeping the conversation alive, fueling our fascination with the gruesome murder of a young woman. Activists can only wish that the Internet had been a greater part of our daily lives back in 2004, the year when human rights defender Munir Said Thalib was assassinated.
Munir died on Sept. 7, 2004, on board a Garuda Indonesia flight to Amsterdam as it flew over Budapest. Hours before his death, as the plane made a short stop in Singapore, Munir was offered a cup of coffee by Pollycarpus Budihari Priyanto, an off-duty Garuda pilot and suspected State Intelligence Agency (BIN) operative, who laced the coffee with a lethal dose of arsenic.
Pollycarpus was sentenced to 14 years in prison after the Central Jakarta District Court, on Dec. 1, 2005, found him guilty of murdering Munir.
But those who masterminded the murder, giving Pollycarpus his orders, remain beyond the reach of the law.
An independent fact-finding team, established by then-president Susilo Bambang Yudhoyono in November 2014, found that immediately prior to and after Munir’s death, Pollycarpus had communicated extensively with Muchdi Purwoprandjono, who at the time was a deputy chief of the BIN.
In their court testimonies, several intelligence officials also said that Pollycarpus often visited the BIN headquarters and met behind closed doors with Muchdi. In at least one of those meetings, Abdullah Mahmud Hendropriyono, the BIN chief at the time, was also present.
The South Jakarta District Court, however, acquitted Muchdi of all charges on Dec. 31, 2008, despite the judges hearing in Pollycarpus’s trial ruling that Pollycarpus had acted on Muchdi’s instructions. Hendropriyono was never charged.
A fearless man
Munir was a fearless human rights defender who was not afraid to speak out for victims of injustice even during former president Suharto's New Order regime, when activists were often jailed or kidnapped.
Without Munir, we would have remained blinded by the fact that for years the military was involved in some of the world's worst mass killings, forced disappearances, running protection rackets for big businesses and criminals without fear of prosecution.
He had helped uncover the murder of labor activist Marsinah, who was kidnapped and murdered by the military for demanding her company to obey the local minimum wage requirements in 1993. He had also represented Suharto's critics and political foes and unraveled the kidnapping and torture of 23 students and activists in 1997 and 1998 -- one has been confirmed dead and 13 are still missing and presumed killed.
Munir investigated the massive loss of civilian lives following the 1999 referendum in East Timor as well as gross human rights violations in the restive areas of Papua and Aceh.
Given these achievements, it would be fitting that the government unravel the truth behind his death or at the very least honor him by carrying on his important work.
Instead, the government did the opposite. The people Munir was fighting against, those he accused of gross human rights violations,  now hold powerful positions in Joko's administration.
Hendropriyono, the man linked to but never charged for Munir's murder, the former military officer Munir accused of being responsible for the massacre of 27 civilian protesters in Talangsari, Lampung, in 1989, served as an adviser to the president during his 2014 campaign.
Wiranto, the former military chief believed to have been responsible for the deaths of thousands in the aftermath of the 1999 East Timor secession from Indonesia, is now the leader of a party in Joko's coalition, the People's Conscience Party (Hanura).
The president has also named as his defense minister retired general Ryamizard Ryacudu, who led several military campaigns in Aceh and Papua that resulted countless civilian casualties.
The current intelligence chief, Sutiyoso, also a chairman of a party in Joko’s coalition, the Indonesian Justice and Unity Party (PKPI), was the commander of the Jakarta Military Command when his men carried out a deadly military raid in front of the Indonesian Democratic Party (PDI) headquarters in 1996 to oust then-chairwoman Megawati Soekarnoputri.
Megawati, the daughter of Indonesia's first president Sukarno, who was ousted after the 1965-66 massacre of suspected Communist members and sympathizers, eventually set out to form her own party: the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) of which Joko is a member.
In June, the government announced it would establish a “reconciliation commission” to seek a “permanent solution for all unresolved human rights abuses,” which Munir had spent his lifetime to uncover.
But it seems the focus of the commission is to seek compensation for victims and not to bring those responsible to justice. Joko's administration has also refused to reopen Munir's murder case and instead provided a parole for the person convicted of poisioning Munir, Pollycarpus, on Nov. 28, 2014.
Munir has given up so much for the country, even his life, fighting for countless victims of injustice despite the constant death threats he and his family received.
We, the powerless, can only voice our anguish through articles and social media posts, through weekly rallies known as “Kamisan” in front of the State Palace every Thursday and immortalize the legend that is Munir in murals, T-shirts and books, wishing that the true killers of Munir will some day face justice.
Meanwhile, the powerful say and do nothing, not even three of the student activists who were kidnapped in 1997-98 who have now become some of the country's top politicians.
It is through his work that we as a nation realize that we must not let this country again fall under military rule.
Munir has inspired us to speak up and fight. He had helped us realize that injustice, no matter how puny must not be tolerated, which also means that the killer of an innocent, young newly-wedded woman must not walk free, whoever it may be.
Nivell Rayda is a news editor at the Jakarta Globe and author. The views expressed are his own.

Mengenang Mun'im Idris: Adakah Kematiannya terkait Kasus Antasari? Ismail Fahmi - Minggu, 29 September 2013, 07:07 WIB 130929_munim-antasariok.jpgBisnis.com, JAKARTA--Wafatnya ahli forensik nasional Mun'im Idris pada Jumat (27/9/2013) menyisakan duka mendalam. Bahkan, sejumput tanda tanya pada sebagian orang. Wajar saja bila ada pihak yang mengkaitkan kematiannya dengan beberapa kasus besar yang ditanganinya. Sebab, beberapa kasus ‘misterius’ menjadi sedikit terkuak setelah almarhum memaparkannya dalam buku Indonesia X-Files. Meskipun tidak gamblang, buku yang lebih cocok dikategorikan sebagai bunga rampai itu, memuat catatan pemeriksaan forensik atas kasus besar mulai dari misteri kematian Bung Karno, aktivis buruh Marsinah, pejuang HAM Munir, korban tragedi Trisakti hingga pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.terbilang masih hangat karena perkara yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar itu masih terus bergulir Antasari, sebagai pihak terdakwa, rencananya akan menghadirkan Mun'im Idris sebagai saksi ahli dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) kedua, setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Pada sidang-sidang sebelumnya, kubu Antarsari mengaku sangat terbantu dengan informasi yang diberikan oleh Mun'im. Lantaran itu, pada sidang MK beberapa waktu lalu, ahli forensik dari Universitas Indonesia ini sengaja ‘disimpan’ dan baru akan dihadirkan pada sidang PK kedua.
Mahkamah Agung, melalui putusan No. 1429 K/Pid/2010, telah menetapkan Antasari sebagai terpidana atas kasus pembunuhan Nasrudin dan mantan Ketua KPK itu mendapat hukuman 18 tahun penjara. Oleh karena merasa tidak pernah melakukan perbuatan tersebut, Antasari mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan Antasari juga mengajukan gugatan undang-undang ke MK agar pasal PK diubah dari sekali menjadi dua kali. ADA REKAYASA
Lantas apa yang diketahui Mun;im terhadap kasus pembunuhan Nasrudin?
Dalam buku Indonesia X-Files, pakar forensik itu memberikan catatan sebagai berikut:
Penembakan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnain, pada 14 Maret 2009, lebih menjadi pembuktian bahwa ilmu kedokteran forensik bisa menaklukkan rekayasa yang dilakukan manusia.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Mun'im pun membuat kesimpulan yang mengejutkan dalam berkas visum et repertum yang ditekennya pada 30 Maret 2009.
"Peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 mm dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S&W."
Mun’im menerima jenazah Nasrudin tidak dalam keadaan aslinya. Jasad direktur BUMN itu tidak berbaju dan lobang peluru di kepalanya sudah dijahit.
Seharusnya, menurut ilmu foresnik kondisi jenazah harus sama dan lengkap seperti saat yang bersangkutan meninggal dunia.
Dengan akan digelarnya sidang PK kedua Antasari, adakah kematian Mun’inm terkait di dalamnya?
Memang terlalu spekulatif menarik kesimpulan seperti itu. Keluarga Mun’im sejauh ini tidak melihat ada yang janggal di balik kematian tokoh forensik nasional itu. Selamat jalan detektif!
Editor : Ismail Fahmi Mun’im Idries Wafat, Misteri Bagi Antasari Azhar 27 September 2013 JAKARTA | Dikonews - Keluarga Antasari Azhar mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Mun’im Idries. Namun, wafatnya Mun’im meninggalkan sejumlah misteri bagi keluarga terpidana pembunuhan berencana itu. “Tadi pagi-pagi Pak Antasari dikabari istrinya. Kami berbela sungkawa,” kata kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman di sela pemakaman Mun’im Idries di TPU Menteng Pulo, Jakarta, Jumat (27/9/2013). Menurut Boyamin, kematian Mun’im meninggalkan tanda tanya bagi keluarga Antasari. Karena sebelumnya, pria kelahiran Pekalongan 66 tahun silam ini, baru saja menulis buku X-Files: Mengungkap Fakta Kematian Bung Karno Sampai Munir. “Tapi kok tiba-tiba meninggal? Beliau juga membuat buku X-Files. Terus terang menimbulkan misteri bagi kami,” ungkap Boyamin. Kasus pembunuhan yang melibatkan Antasari Azhar memang memiliki kaitan dengan Mun’im. Dia dijadikan saksi ahli untuk mengusut misteri kasus penembakan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Nasrudin Zulkarnaen. Dalam penyelidikannya, Munim Idris mengatakan ada kejanggalan terhadap kematian Nasrudin. Salah satunya adalah jumlah peluru yang berada di tubuh Nasrudin. Menurut Munim Idris, saat itu, peluru yang ditemukan di dalam tubuh Nazurudin hanya ada 2 peluru. Sedangkan dalam persidangan disebutkan ada 3 peluru. (Ary/Yus) Read more: http://www.dikonews.com/2013/09/27/98589-munim-idries-wafat-misteri-bagi-antasari-azhar#ixzz2gIPfbKw2 Tentang Buku 'Indonesia X-Files' Mun'im Idris dalam bukunya yang berjudul 'Indonesia X-Files, mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir'. Peluncuran buku itu dilakukan di Perpustakaan UI, Depok, Kamis (27/6). Soal kematian Bung Karno, misalnya, Mun'im menduga kuat masa pengasingan menjadi penyebab turunnya terus kesehatan sang proklamator. "Kondisi kesehatan yang jelek dan tidak mendapat perawatan yang seharusnya, tidak adanya atensi, serta pudarnya eksistensi merupakan penjelasan yang rasional, dengan kata lain, perlakuan Orde Baru terhadap Bung Karno sedikit banyak mempunyai andil atas kematian penggali Pancasila tersebut," ujarnya. Selain itu, kematian Sukarno adalah pembiaran negara terhadapnya. Seorang Sukarno yang sangat aktif tiba-tiba dikerangkeng di paviliun Istana Bogor. Kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) atas persetujuan presiden waktu itu, Soeharto. "Pembunuh mematikan bukan hanya racun, tetapi pembiaran juga bisa sangat mematikan untuk manusia seaktif Bung Karno, Bung Karno memang sakit-sakitan waktu itu. Tetapi itu hanya penyebab kecil. Penyebab utamanya karena dia diisolir dari bangsanya sendiri," ia menjelaskan. Meski demikian bagi peminat hal2 yang berhubungan dengan dunia kriminal, buku ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis peluru termasuk arah putaran-nya, perbedaan peluru keluar dan masuk, memperkirakan jarak senjata dengan korban, kaliber, dibunuh lalu diledakkan atau malah terbunuh karena ledakan, dan lain2. Baginya peristiwa penembakan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnain, pada 14 Maret 2009, lebih menjadi pembuktian bahwa ilmu kedokteran forensik bisa menaklukkan rekayasa yang dilakukan manusia. Setelah melakukan serangkaian penelitian, Mun'im pun membuat kesimpulan yang mengejutkan dalam berkas visum et repertum yang ditekennya pada 30 Maret 2009. "...peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S&W." Seperti dalam kasus pembunuhan Nasrudin, Mun'im dengan gamblang melontarkan dugaan adanya rekayasa. Dia menyatakan menerima jasad Nasrudin tidak dalam keadaan aslinya. Jenazah itu tidak berbaju dan lubang peluru di kepalanya sudah dijahit. Padahal, bagi dokter forensik, kondisi jenazah tersebut harus persis sama dan lengkap seperti saat dia meninggal. Ia menerima jasad Nasrudin tidak dalam keadaan aslinya. Jenazah itu tidak berbaju dan lubang peluru di kepalanya sudah dijahit. Padahal, bagi dokter forensik, kondisi jenazah tersebut harus persis sama dan lengkap seperti saat dia meninggal. Kasus lain yang cukup menarik dituliskan oleh Mun’im adalah kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Sebagai pakar forensik, dia tidak percaya begitu saja dengan satu kesimpulan yang menyatakan Munir dibunuh di atas pesawat. Bersama dua koleganya, salah satunya adalah pakar toksikologi (ilmu tentang racun) dari Universitas Udayana, Mun’im menemukan dugaan baru bahwa Munir dibunuh di kafe Coffee Bean di Bandara Changi Singapura. Dalam kasus Munir yang tewas dibunuh 7 September 2004, Mun'im mengungkapkan bagaimana peran ilmu forensik. "Semula semua orang terpaku, yakin pembunuhan dilakukan di atas pesawat Garuda. Akibatnya, tersangka pelaku pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, divonis bebas oleh Mahkamah Agung pada Oktober 2006," Jumat, 28 Juni 2013. Dalam kerangka kasus Munir ketika itu, diyakini bahwa Munir diracun di atas pesawat Garuda, dari Jakarta ke Den Haag, Belanda. Polisi dan jaksa yakin racun arsenik dimasukkan ke dalam mi goreng yang disajikan untuk Munir. Belakangan, hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah meyakini racun dimasukkan dalam jus jeruk. Masalahnya, tak ada fakta yang bisa mengaitkan tersangka utama kasus ini, Pollycarpus, dengan insiden di atas pesawat. Mun'im dan tim pencari fakta akhirnya menelusuri perjalanan Munir ke Singapura untuk mengetahui di mana racun pembunuh Munir tersebut diberikan. Setelah dilakukan tes, diketahui bahwa racun arsenik baru bereaksi sekitar 30 menit setelah diberikan. Sementara perjalanan dari Jakarta ke Singapura selama 90 menit. Berbekal fakta itu, Mun'im merasa ada yang tidak beres. Akhirnya, berdasarkan sejumlah fakta, diambillah kesimpulan bahwa Munir tidak dibunuh di atas pesawat, melainkan pada saat Pollycarpus mengajaknya minum di Coffee Bean yang ada di Bandar Udara Changi, Singapura. Menurut Mun'im, hanya di tempat itulah kemungkinan peracunan Munir bisa terjadi. Setelah minum di Coffee Bean, Munir mengeluh sakit perut dan meminta obat maag. Di atas pesawat, Munir sempat muntah dan kejang-kejang sebelum dinyatakan meninggal. Berkat temuan baru tim Mun'im, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung bisa mengajukan peninjauan kembali atas vonis MA yang membebaskan Pollycarpus. Pada 2007, dengan bukti itu, Polly divonis 20 tahun penjara. Dr. Mun'im, ia yang biasa membongkar misteri, kini ia pun meninggal dalam misteri, mungkinkan terkait buku "Indonesia X-Files" ? atau kematiannya terkait perlakuan Orde Baru terhadap Bung Karno dan misteri lainnya? wallahu 'alam (ikhlas/dbs/voa-islam) TEMPO ONLINE: SELASA, 17 SEPTEMBER 2013 | 16:24 WIB Begini Rekaman CCTV Pembunuhan Sisca Yofie TEMPO.CO, Bandung - Peristiwa terbunuhnya Sisca Yofie masih meninggalkan sejumlah pertanyaan. Rekonstruksi yang dilakukan kepolisian pada akhir Agustus 2013 pun dinilai janggal oleh keluarga. Terlebih Kejaksaan Negeri Bandung kini mengembalikan berkas penyidikan polisi soal pembunuhan Sisca Yofie. "Dari rekonstruksi, motor Wawan kan melewati mobil dulu, kemudian balik. Padahal, saya lihat di CCTV, dia langsung dibegal. Bahasa Sundanya dibekem," kata seorang warga di sekitar kediaman Sisca Yofie, Jalan Setra Indah Utara, Sukajadi, Kota Bandung, pada Tempo, Jumat, 6 September 2013. Dia adalah salah satu orang yang ikut menyaksikan diputarnya CCTV rekaman pembunuhan Sisca Yofie. CCTV itu berasal dari pos security Guest House Setra Priangan yang terletak persis di samping rumah kost-an Sisca Yofie. Begitu tubuh Sisca Yofie ditemukan tergeletak bersimbah darah, polisi langsung mengusut pelaku dengan meminta keterangan petugas security dan memutar rekaman CCTV itu. "Rekonstruksi dan rekaman CCTV itu tidak cocok. Banyak yang janggal," kata sumber Tempo ini. Pada saat rekonstruksi, kata dia, posisi mobil Sisca menghadap pagar. Padahal, rekaman CCTV menunjukan moncong mobil mengarah ke jalan. Tak pelak, kejanggalan proses rekonstruksi ini membuat banyak warga tak habis pikir. "Saat rekonstruksi dilakukan banyak kok warga yang bilang aneh, janggal," kata sumber ini. Dia juga menyaksikan rekonstruksi polisi di dekat rumahnya. Adapun polisi meyakini sebaliknya. Kapolrestabes Bandung Kombes Sutarno yakin sudah menemukan pembunuh Sisca Yofie, yakni Wawan dan Ade. Polisi berulangkali membantah ada keterlibatan aktor lain dalam pembunuhan Sisca Yofie. Sisca Yofie terbunuh di tangan Wawan dan Ade pada Senin malam, 5 Agustus 2013. Kedua tersangka mengaku hanya menjambret tas Sisca yang ada di dalam mobil. Menurut Wawan, Sisca sempat mengejar dan merangkulnya sebelum akhirnya rambut Sisca masuk dalam gir motor dan terseret hingga 800 meter. AMIRULLAH | PERSIANA GALIH Senin, 26/08/2013 16:21 WIB Tanda Tanya Pembunuhan Sisca Asmara Segitiga Kompol A PASTI LIBERTI MAPPAPA - detikNews Jakarta - Kesedihan tidak tergurat di wajah Komisaris Polisi (Kompol) Albertus Eko Budiarto. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya jelas menunjukkan Kepala Subdirektorat Penerangan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat itu tengah galau. Warna-warna tegas, merah kehitaman, di sofa yang dia duduki tidak membantunya memusatkan konsentrasi. Ia kacau-balau. Tiga komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) “menginterogasi” sang kompol pada 16 Agustus lalu. Interogasi dilakukan di ruangan Kepala Polda Jawa Barat, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Kompolnas mencecar polisi itu soal hubungan cintanya dengan Branch Manager PT Verena Multi Finance Bandung, Franciesca “Sisca” Yofie. Dalam fokus majalah detik edisi 91, Sisca, yang pernah menjadi model dan membintangi film, dibunuh secara sadis di depan tempat kosnya, Jalan Setra Indah II, Sukajadi, Bandung, pada 5 Agustus lalu. Cinta terlarang polisi beristri itu dengan Sisca terbongkar begitu Sisca tewas. Asmara terlarang ini pun dikait-kaitkan dengan kematian tragis Sisca. “Kamu itu kan anggota Polri, masak punya selingkuhan kayak begitu? Istrimu mau kamu taruh di mana?” kata komisioner Kompolnas, Hamidah Abdurrahman, saat menginterogasi Kompol A. xxxxxxxxxxxxxxxxYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Jumat, 23/08/2013 08:55 WIB Kasus Sisca Yofie Misteri Telepon Terakhir Deden Gunawan - detikNews Jakarta - “Aku diikuti dua orang,” ujar Franceisca Yofie dengan nada ketakutan, saat menelepon seorang teman kerjanya, Senin malam, 5 Agustus lalu. Saat itu, Manajer PT Venera Multi Finance cabang Bandung itu tengah dalam perjalanan pulang dari kantor ke tempat kosnya, di Jalan Setra Indah, Cipedes, Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat. Itu ternyata menjadi telepon terakhir Franceisca. Karena, tak lama setelah itu, telepon genggamnya tak lagi bisa dihubungi. Belakangan, wanita berparas cantik yang akrab disapa Sisca Yofie itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tidak jauh dari tempat kosnya. Sisca pun tewas saat dibawa ke rumah sakit. “Informasi itu kami dapat dari rekan sekantor Sisca di Bandung,” kata sahabat Sisca, Fino J., yang juga karyawan PT Venera Multi Finance di Jakarta. Dalam majalah detik edisi 90, Fino pun diutus oleh kantornya ke Bandung untuk mencari tahu kebenaran soal kematian sahabatnya itu. Rekan-rekan sekantor Sisca masih menganggap janggal keterangan polisi bahwa wanita berusia 34 tahun itu tewas karena aksi penjambretan. Apalagi sesaat sebelum kejadian, Sisca yang ketakutan sempat menelepon bahwa ia sedang dibuntuti dua orang. Kejanggalan tak hanya dirasakan teman kerja. Seorang warga yang tinggal di dekat rumah kos Sisca di Jalan Setra Indah juga merasakan hal serupa. Saat ditemui majalah detik, pria yang meminta namanya dirahasiakan itu pernah bertanya kepada seorang saksi yang hadir saat polisi melakukan olah tempat kejadian perkara di tempat kos Sisca, sehari setelah kejadian. ***
Kamis, 22/08/2013 15:55 WIB

Komentar Keluarga Soal Rekonstruksi: Rambut Sisca Tidak Sepanjang Itu

Tya Eka Yulianti - detikNews
Bandung - Rekonstruksi kasus Sisca Yofie (34) diperankan langsung oleh kedua tersangka yaitu Wawan dan Ade. Sementara Sisca diperankan oleh polwan (sebelum jatuh) dan seorang pria yang mengenakan wig. Panjang rambut wig yang dipakai pemeran Sisca bikin keluarga kurang sreg.

Pasalnya, menurut keluarga, panjang rambut Sisca tidak sepanjang wig yang digunakan. Hal itu menjadi catatan kejanggalan rekonstruksi dari pihak keluarga.

"Kita kalau kejanggalan disampaikan. Beri masukan. Seperti rambut. Rambut Sisca tidak sepanjang itu. Tidak sampai 30 cm," ujar juru bicara keluarga Sisca, M Tohir di Lapangan Abra, Jalan Cipedes Tengah usai rekonstruksi di lokasi 5, Kamis (22/8/2013).

Saat melihat wig yang dikenakan pemeran, keluarga mengaku kurang sreg. "Rambut panjang tadi kurang pas. Tadi tadi kami bilang tolong itu rambutnya tidak sepanjang itu," tutur Tohir.

Dalam rekonstruksi, Sisca diperankan polwan. Namun saat adegan memasuki detik-detik pembacokan, peran Sisca digantikan seorang pria berkemeja hitam yang mengenakan wig cukup panjang, lebih dari sebahu.

Dalam adegan terlihat Sisca tertelungkup di sisi kiri bagian belakang motor dengan kepala menyentuh aspal pada jarak ratusan meter dari kos Sisca. Rambut panjangnya dipotong Wawan di Jl Cipedes Tengah, Sukajadi, Bandung. Kemudian ditingal begitu saja.
mmmmmmmmmmmmmmmmmKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm SABTU, 10 AGUSTUS 2013 | 05:26 WIB Pembunuh Sisca Yofie Pintar TEMPO.CO , Bandung: Pembunuh Franceisca Yofie masih misterius. Polisi menganggap pembunuh Yofie pintar menghilangkan jejak. "Para pelaku cukup pintar menghilang. Ada kemungkinan pelaku punya 'kemampuan' eksekusi," kata juru bicara Polda Jawa Barat Komisaris Besar Martinus Sitompul di sela acara Polda Jawa Barat, Bandung, Jum'at, 9 Agustus 2013. Polisi saat ini masih mendalami hasil pemeriksaan para saksi dan barang bukti yang ditemukan. Sejauh ini Martinus sudah memeriksa 10 saksi. Polisi sudah menambah temuan barang bukti dan petunjuk di lingkungan kejadian perkara yakni di lokasi penculikan korban di kompleks Setra Indah dan lokasi pembunuhan di Jalan Cipedes Tengah. Itu diantaranya dua rekaman CCTV kejadian di Jalan Cipedes Tengah. "Juga tiga telepon genggam milik korban. Satu handphone yang ditemukan rusak terlindas mobil di depan rumah kos dan dua lagi handphone di kamar kos korban," kata Martinus. Polisi juga mencari kemungkinan ada actor intelektual di belakang para eksekutor itu. "Kami menghimbau agar famili, teman-teman kongko dan seprofesi, serta orang dekat korban lain bersedia memberikan keterangan lebih terbuka kepada kepolisian," kata dia. Martinus menilai pembunuhan Yofie direncanakan cukup matang. Para pelaku sudah mengincar, mematangkan waktu, lokasi serta cara penyergapan dan eksekusi, serta senjata dan peralatan pendukung. Dua pelaku bersepeda motor menculik Yofie di depan rumah di Jalan Sentra Indah Utara 11, Senin lalu jelang waktu berbuka puasa. Para pelaku menyeret korban lebih dari 500 meter dengan menggunakan motor. Korban dieksekusi dengan ditebas golok hingga tewas di dekat sebuah lapangan di Jalan Cipedes Tengah. Saat pembunuhan, lokasi sepi. Namun aksi mereka terekam CCTV. ERICK P. HARDI