Sabtu, 21 Oktober 2017

sejarahwan @Madiun 1948, G30S

💃

Jakarta -detik
Berita hoax atau bohong tak hanya terjadi di era milineal seperti sekarang ini. Tahun 1965 saat terjadi tragedi pembunuhan enam jenderal dan 1 perwira TNI AD oleh sebuah Gerakan 30 September, berita hoax juga diproduksi kemudian.
Hoax dimaksud antara lain terkait bantuan 30 ribu senjata dari China seperti diberitakan harian Angkatan Bersenjata terbitan 25 April 1966. Tiga artikel yang muncul dalam edisi tersebut bertajuk, "Kisah Gagalnya Coup Gestapu jang Dimasak di Peking", "Rezim Peking Perintahkan Bunuh 7 Djenderal & Semua Perwira Reaksioner", dan "RRT Sanggupi Pengiriman Sendjata & Perlengkapan untuk 30.000 Orang".
Harian itu menceritakan pertemuan petinggi PKI DN Aidit dengan tokoh Partai Komunis China, Mao Zedong. Dalam pertemuan isu yang dibahas antara lain rencana penggulingan Presiden Sukarno. Untuk itu Mao menjanjikan bantuan sebanyak 30 ribu pucuk senjata ke Aidit.
Kudeta untuk Sukarno dirancang akan dilakukan pada 5 Oktober 1965. Namun setelah tiba di Jakarta, Aidit mendapat perintah dari China agar kudeta dilakukan pada 1 Oktober.
"Ini adalah bagian dari seri fiktif yang secara jelas ditulis untuk menertawakan rezim peking," tulis kabel diplomatik Kedubes AS seperti dikutip detikcom dari nsarchive2.gwu.edu. "Semua hal tersebut di atas adalah produk imajinasi si penulis," bunyi lanjutan dalam dokumen tersebut. Telegram rahasia itu tercantum dalam dokumen ke-28 dari 39 file (1964 hingga 1968) yang dibuka ke publik sejak Selasa (17/10/2017).
Terkait G30S 1965, pada November 2008 pemerintah RRC juga pernah membuka dokumen diplomasi mereka dalam kurun waktu 1961-1965. Namun pada musim panas 2013 Kementerian Luar Negeri RRC menutup kembali dokumen-dokumen tersebut. Beruntung Taomo Zhou yang tengah mempersiapkan disertasi di Universitas Cornell sempat membaca dan memanfaatkan arsip tersebut.
Dalam papernya, "Tiongkok dan G30S", Taomo menulis Mao Ze Dong memang tertarik untuk mendorong revolusi di Asia Tenggara, tapi dia tak sampai menganjurkan PKI untuk melancarkan perjuangan bersenjata menentang Sukarno. Beijing malah mendorong PKI untuk melanjutkan kebijakan front persatuan dengan Presiden. Tujuan utamanya adalah mengeksploitasi konfrontasi Indonesia menentang pembentukan Malaysia sebagai penyeimbang kekuatan Barat di Asia Tenggara.
"Pada awal 1965, PM China Zhou En Lai mengumumkan bahwa Tiongkok dalam posisi sebagai teman Indonesia, tak akan berpangku tangan kalau imperialism Barat berani menyerbu Indonesia," tulis Taomo.
Walaupun revolusi Tiongkok menjadi contoh yang mungkin diikuti PKI, dia melanjutkan, posisi Partai Komunis China tetap pada pendirian bahwa perjuangan bersenjata bukan merupakan strategi terbaik di Indonesia.
Ikhwal bantuan senjata yang pernah dijanjikan, Taomo berkeyakinan hingga G30S 1965 meletus senjata-senjata itu sebenarnya belum sampai di Indonesia. Sebab proses administrasinya belum tuntas, juga perlu waktu untuk perakitan, pengepakan, hingga pengangkutan dan distribusinya.
Fakta lain menunjukan, dibanding RRC bantuan Uni Soviet kepada Indonesia justru lebih nyata. Jumlah bantuan persenjataan Soviet kepada Indonesia sejak 1960-an diperkirakan berkisar antara 600 ribu -1,2 juta dollar.
"Jadi, sulit untuk secara pasti menganggap kalau bantuan militer Tiongkok memiliki dampak yang cukup signifikan dalam menentukan perkembangan politik di Indonesia pada 1965," tulis Taomo Zou.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan, fakta bahwa keterlibatan China dan pengiriman senjata dari negeri itu ke Indonesia jelang 1965 adalah hoax merupakan bukti baru. Fakta ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.
"Arsip yang baru dibuka ini memperlihatkan hal-hal yang baru. Misalnya tidak ada pengiriman ribuan senjata ke Indonesia dan soal keterlibatan China yang ternyata hoax ini menarik," kata Asvi.



(erd/jat)


JAKARTA, KOMPAS.com - International People's Tribunal 1965 menganggap 39 dokumen tentang pembunuhan massal pasca-Gerakan 30 September 1965 yang disimpan pemerintah Amerika Serikat (AS) bukan hal baru.
Hal itu diungkapkan, Re­search and Data Collection IPT 1965, Sri Lestari Wahyuningrum di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, Jumat (201/10/2017).
"Dokumen itu bagian yang sangat dipertimbangkan hakim ketika memutuskan keterlibatan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam genosida di Indonesia," kata Ayu sapaan Sri Lestari Wahyuningrum.
Meski demikian, kata Ayu, 30.000 halaman dokumen itu membuktikan dan memperkuat keputusan final majelis IPT kasus 1965 yang menyebut ada 10 tindakan kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965.
Dari keputusan tersebut, majelis hakim menyatakan Indonesia bersalah dan harus bertanggung jawab atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
"Ini justru meneguhkan dan menguatkan putusan hakim IPT 1965," kata Ayu.
Karena itu, ia pun mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melakukan penyelidikan lanjutan atau penyelidikan ulang atas kejahatan kemanusiaan dan genosida dengan adanya dokumen tersebut.
Bahkan, kata Ayu, ini termasuk pada kasus-kasus kejahatan serius lainnya seperti penghilangan paksa 1997-1998 atau kerusuhan Mei 1998.
"Sampai saat ini pelaku kejahatan 1965 melakukan persekusi kepada yang dituduh komunis. Polanya berulang terus. Di Aceh, Papua, Timor Leste, Talangsari, Tanjung Priok lainya inventornya pelaku 1965," kata dia.
Tak hanya itu, Ayu menyatakan, Pemerintah Indonesia juga harus mengambil langkah nyata sebagai bagian dari penyelesaian berkeadilan bagi hak-hak korban 1965 baik secara yudisial dan non-yudisial dengan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Klarifikasi Sejarah.
"Historical justice penting dalam tahap ini. Sebab tanpa itu tidak mungkin ada proses lanjutan lainnya karena itu basis fakta empirik yang kami ingin jalankan," kata dia.
Terakhir, Ayu berharap masyarakat internasional mendukung tugas pelapor khusus PBB untuk pemajuan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, reparasi dan jaminan tidak terulangnya kekuatan serius di masa lampau.
"Pemerintah pun juga harus ambil langkah nyata mengakhiri impunitas dan mewujudkan empat pilar hak-hak korban tersebut di masa kini dan mendatang," tutur Ayu.
39 dokumen
Dilansir dari BBC Indonesia, sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika. Dokumen menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca-1965.
Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Data dan fakta ini dinilai menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.
Para anggota dan simpatisan PKI itu "kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September," tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.
Pemerintah hati-hati
Pemerintah Indonesia sendiri tidak akan bertindak gegabah atas pengungkapan dokumen tersebut di AS.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, Indonesia tidak bisa begitu saja mempercayai dokumen yang dari negara lain. Karena itu, Indonesia akan bertindak hati-hati.
"Begini, di Amerika, jangankan orang, presidennya saja dibunuh. Itulah, jadi yang penting kita hati-hati begitu," kata Ryamizard di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Ryamizard mengacu pada pembunuhan Presiden ke-35 Amerika Serikat John F Kennedy pada November 1963. Namun, sepanjang sejarahnya, ada empat Presiden AS yang tewas dibunuh. Selain Kennedy, ada Abraham Lincoln (Presiden ke-16), James A. Garfield (Presiden ke-20), dan William McKinley (Presiden ke-25).
Menurut Ryamizard, Indonesia dan Amerika Serikat selama ini memiliki hubungan yang baik. Ia juga berteman baik dengan Menteri Pertahanan AS Robert Gates.
Ryamizard mengatakan, dia akan berkomunikasi dengan Menteri Gates terkait dokumen peristiwa 1965 itu.
🍻
Merdeka.com - Sudah 52 tahun peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI dan satu perwira. Terjadi pada 30 September 1965. Sejak masa reformasi, berbagai upaya penyelesaian tragedi berdarah itu dilakukan.

Namun, nyatanya rekonsiliasi itu belum berjalan baik. Masing-masih pihak yang terlibat dalam peristiwa G30S merasa dirinya sebagai korban. Tak ada keinginan untuk membuka diri. Apalagi mengakui kesalahan yang dilakukan kelompoknya.

Letjen (Purn) Agus Widjojo adalah putra sulung Pahlawan Revolusi Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo. Dia menilai PKI harus bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan di tahun 1948, pada 1 Oktober 1965 dan sebelumnya. Mereka melakukan pembunuhan dan meneror masyarakat. Puncaknya adalah membunuh para jenderal di malam kelam tersebut.
Namun setelah itu keadaan berbalik. Giliran ratusan ribu anggota PKI, atau mereka yang dituding PKI menjadi korban dibantai oleh rakyat antikomunis yang dibekingi TNI AD. Di sini fungsi perlindungan negara pada warganya dipertanyakan.

Agus menyaksikan ayahnya dijemput dan tak pernah kembali pada dini hari 1 Oktober 1965. Namun kemudian Agus memilih untuk menghentikan dendam dan menggagas rekonsiliasi di antara dua pihak. Dia tak mau kelak peristiwa semacam itu terjadi lagi di Indonesia.

"Sampai kapan kita mau mewariskan dendam antara sesama anak bangsa," katanya pada merdeka.com.

Pada merdeka.com, Agus bercerita panjang lebar soal peristiwa itu. Bagaimana pula tanggapannya soal isu kebangkitan PKI. Simak wawancara Ramadhian Fadillah, Anisyah Al Fakir, Rendi Perdana dan Muhammad Zul Atsari dengan Letjen (Purn) Agus Widjojo Selasa pekan lalu.

Pernahkah anda terpikirkan untuk balas dendam?

Oh enggak ada. Bagaimana mau balas dendam. Siapa yang saya cari? Memang saya ingin tahu juga, siapa yang bunuh ayah saya, bagaimana cara membunuhnya, mengapa dibunuh?
Kelak itu baru saya dapatkan dari pengetahuan-pengetahuan yang dalam selama saya menjadi perwira.

Tapi ketika peristiwa itu terjadi, saya baru lulusan SMA. Saya tahu soal (G30S) itu karena mendengarkan radio dan melihat warta berita televisi yang masih hitam putih di TVRI.

Kenapa anda saat itu memilih menjadi tentara?

Kepastian masa depan. Saya ingin mencari bidang pengabdian yang bisa meneguhkan hati saya, saya menemukan itu adalah pengabdian dalam keprajuritan.

(Agus Widjojo masuk akademi militer hingga kemudian mencapai pangkat letnan jenderal)

Bukan karena ingin mencari pembunuh ayah anda, atau melakukan aksi balas dendam?

Oh tidak ada.

Saat ini Film soal G30S PKI ramai diputar lagi. Anda adalah saksi mata peristiwa tersebut. Bagaimana anda menilai film itu?

Itu merupakan kenyataan sejarah. Malam itu saya dengar suara sepatu boot dan tusukan bayonet di pintu. Saya dengar suara-suara teriakan. Tapi saya tidak bisa melihat langsung karena saya tidur di kamar sebelah.

Begitu kejadian saya langsung berpikir bahwa saya harus siap menghadapi kemungkinan terburuk ke depannya. Saat itu saya baru lulus SMA. Bisa dirasakan bagaimana tiba-tiba kepala keluarga itu lenyap, lantas bagaimana nasib kita?

Mungkin kalau tidak ada kejadian seperti itu saya tidak bisa menjadi tentara seperti sekarang ini.

Apakah anda memaafkan tragedi 1965?

Berdamai dengan masa lalu. Yang sudah ya sudah. Belum tentu itu memaafkan. Tapi saya terima itu sebagai sebuah kenyataan. Tetapi saya berpikir untuk kepentingan bangsa, bukan saya pribadi, atau untuk membalas dendam walaupun masih ada keinginan dalam diri sendiri masih ada rasa penasaran siapa sih yang bunuh ayah saya itu, itu enggak bias dihindari.

Tapi ke depannya bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi hal itu? Mau terus begini? Saling mendendam? Sampai kapan? Itu saja yang saya pikirkan.

Bagaimana prosesnya hingga anda kemudian menerima kenyataan hingga akhirnya menyuarakan rekonsiliasi antara para eks Tapol dan keluarga pahlawan revolusi?

Tidak gampang itu ya, karena itu proses pencarian. Waktu itu saya mendapat tugas sebagai komisi untuk perdamaian antar Timor Leste dan Indonesia yang angkatan bersenjatanya bersinggungan.
Mulai dari situ saya melihat adanya rekonsiliasi perdamaian dari kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dari situ saya melihat bahwa perdamaian adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah pertikaian. Saya memutuskan untuk segera berdamai dengan keluarga pelaku dan juga keluarga korban tahun 65. Rekonsiliasi itu sendiri baru bisa dipahami jika seseorang sudah berdamai dengan dirinya sendiri.

Dengan situasi memanas lagi seperti saat ini, idealnya rekonsiliasi seperti apa?

Dalam kondisi seperti sekarang ini yang masih rawan setiap kali ada permasalahan, kita harus dekati dengan persamaan. Jangan tonjolkan perbedaan dulu. Tapi apa persamaan kita. Apa persamaan sebagai satu bangsa yang merekatkan kita. Apa persamaan kita? Itu dulu sampai sembuh sakitnya.

Karena masyarakat kita belum cukup dewasa untuk melihat satu masalah kebangsaan dari perspektif perbedaan. Yang sebetulnya bermanfaat untuk kita cari dan ambil pelajaran, justru untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat kita belum siap untuk sampai ke situ.

Kenapa rekonsiliasi sulit sekali dilakukan?

Saya setuju satu-satunya jalan untuk berdamai dengan masa lalu adalah dengan rekonsiliasi. Untuk sampai kepada space yang memungkinkan kita berekonsiliasi dengan semua pihak itu memang memerlukan persyaratan yang berat dan persyaratan itu tidak ada dalam masyarakat kita.

Kita belum siap untuk rekonsiliasi. Persyaratan itu adalah bahwa pertama semua harus berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Semua harus berdamai dengan masa lalunya dulu.

Kalau seperti kemarin kita lihat masing-masing pihak masih menempatkan dirinya dalam konteks 65, dalam peran 65. Ya sudah, kemarin itu Indonesia masih berada seperti di tahun-tahun itu.

Kita tidak bisa menempatkan diri sebagai manusia di tahun 2017 dan mengadakan refleksi untuk melihat tragedi 65 dari perspektif indonesia tahun 2017.

Rekonsiliasi itu tidak menuding-nuding berbagai pihak. Apabila kita dari masing-masing pihak mengadakan refleksi dan introspeksi terhadap diri sendiri. Itu belum ada sifat di masyarakat kita.

Kalau kita lihat dulu ada Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang memotori rekonsiliasi. Kini dengan situasi memanas seperti ini, apa tidak mundur lagi rekonsiliasi?

Ya kita untuk maju dan mendorong supaya mencapai kondisi rekonsiliasi secarasubtansif. Rekonsiliasi kumpul-kumpul bersama sudah banyak. Forum Silaturahmi Anak Bangsa, yang kita adakan sendiri di situ ada anak Aidit, Kartosuwiryo, tapi sekedar untuk duduk bersama dan makan bersama.

Tapi tidak secara substantif untuk mendorong masuk dengan mencari pengungkapan kebenaran. Guna memutar film, melihat pihaknya masing-masing, apa yang terjadi, di mana tanggung jawab pihaknya. Bukan tanggung jawab yang lain dalam tragedi 65.

Karena dalam tragedi 1965, masing-masing pihak sampai tingkat tertentu pasti punya tanggung jawab dan tidak bisa mempersalahkan kepada satu pihak. Semua harus bertanggung jawab karena ini merupakan proses dan tragedi yang menyebabkan sebab dan akibat.

Kalau dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa tatanannya sudah pada intropeksi diri atau bagaimana ?

Tidak ada hukum di Indonesia untuk membuat orang sampai ke tingkat itu. Forum itu sebenarnya sudah bagus, bisa berkumpul, bisa menyatu dengan anak korban dan pelaku. Tapi kelemahan dari rekonsiliasi semacam itu tidak ada pelajaran yang dipetik. Apa yang salah dari masa lalu. Bagaimana agar tidak terulang kembali sekarang ini?

Beberapa waktu lalu diskusi di LBH yang dihadiri eks Tapol sempat dibubarkan. Tanggapan anda?

Kelemahan even yang diadakan di LBH adalah pertama, dia banyak mengumpulkan dari kelompok yang banyak sejalan dengan pemikirannya. Kalau itu ya kita akan makin mabuk.

Kedua berbicara akan meneruskan sejarah. Siapa pun tidak ada yang memiliki kewenangan meluruskan sejarah. Tidak pula sejarawan.

Kedua pihak harus datang dan duduk bersama. Di mana letak tanggung jawab kelompoknya terhadap tragedi 65 itu. Semua dilandasi keinginan yang sama untuk bersatu kembali dengan berdamai pada diri sendiri dan dengan masa lalu. Itu berat. Itu susah. Saya tidak percaya itu ada pada masyarakat Indonesia saat ini.

Rekonsiliasi itu artinya pendekatan. Tidak bisa satu pihak mengaku sebagai korban. Ya tidak bisa dong. Itu sudah berpihak, dan korban tragedi 65 ini ada di mana-mana. Karena korban ada di mana-mana. Jadi, tidak satu pihak. Kita tidak bisa tarik garis, sana hitam, sini putih. Begitu juga sebaliknya. Maka tidak akan tercapai penyelesaian masalah seperti itu.

Jadi pertemuan ini hanya menambah polarisasi dengan kelompoknya saja dan kita akan susah bergerak untuk mencapai rekonsiliasi.

Kalau dulu, saat Saya simposium di Hotel Arya Duta banyak healing proses dan juga truth seeking. Biarkan semua pihak bicara agar kita semua tahu. Kalau kemarin yang di LBH kan cuma satu pihak yang ingin mencoba meluruskan sejarah. Tidak ada itu sebenarnya, jika mereka ingin meluruskan sejarah, itu versi dia. Jadi masyarakat kita belum siap untuk rekonsiliasi.

Simposium Tragedi 1965 di Aryaduta sempat mencuri perhatian. Kedua belah pihak dihadirkan untuk duduk bersama dan disaksikan banyak pihak. Apakah nanti akan ada simposium lanjutan?

Harus dilalui dengan proses pencerahan terlebih dahulu kepada semua pihak terhadap apa yang akan direkonsiliasi. Apakah kita sepakat untuk melalui rekonsiliasi? Apa kita mau terus fanatik, saling memusuhi, sampai kapan? Dikasih dengan cara-cara apapun itu tidak akan menyelesaikan.

Masyarakat kembali memanas dan menyangkut-pautkan berbagai hal dengan PKI. Menurut Anda, bagaimana masyarakat saat ini harus bersikap terhadap isu komunisme?

Bawalah kepada fakta dan bagaimana menyikapi kondisi seharusnya. Sebetulnya rambu-rambu hukum sudah cukup kuat, terutama TAP MPRS tahun 1966. Turut menyebarkan ajaran komunisme yang diancam dengan hukuman-hukuman tertentu. Tegakkan lagi seperti itu.

Hanya mungkin memang, hukum itu belum konkret yang dinyatakan sebagai menyebarkan ajaran komunisme yang bagaimana, jangan sesuatu yang sifatnya sangat umum.

Seperti misalnya oleh-oleh kaos palu arit yang dijual bebas di Vietnam. Kalau memang itu mau dilarang di Indonesia, cantumkan peraturan itu dalam undang-undang. Itu pun harus dengan konkret agar semua tahu akan hal itu.

Lantas apa yang dikatakan sebagai penyebaran paham dan ajaran komunisme, harus diperjelas juga maksud dalam undang-undang tersebut.

Bagaimana tanggapan anda terkait kembali memanasnya isu kebangkitan PKI?

Kalau tidak ada kondisi yang sengaja membuat masalah itu muncul maka dia tidak akan muncul. Mungkin juga dia malah diimbangi dengan masalah lain yang bersifat lebih mendesak. Sebenarnya luka itu belum sembuh (tragedi 65).

Menurut Bapak siapa yang memainkan isu ini? 

Ya campur aduk sih. Segala cara digunakan untuk mencapai tujuannya yang beraneka ragam dan pasti itu tujuan politik.

Sebetulnya ketakutan masyarakat kepada PKI saat itu karena apa?

Karena dibuat dalam kemasan informasi yang menakutkan dan itu sebenarnya belum tentu benar. Informasi-informasi tidak benar ini yang disebarkan terus menerus.

Padahal sebenarnya ancaman terhadap Pancasila itu bukan hanya dari komunis saja. Kalau istilah yang diangkat dalam orde baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Kalau ekstrem kiri itu ada kemungkinan untuk datang kembali. Apakah ekstrem kanan tidak akan muncul kembali? Tanya orang Jawa Barat sekarang ini, dari mana gerakan-gerakan intoleransi. Dari wilayah sabuk yang dulu merupakan basis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

TNI AD hingga saat ini masih terdepan untuk memerangi segala hal berbau komunis. Dari pengalaman anda, sebenarnya seperti apa doktrin yang diterima TNI AD soal komunisme ini?

Ya memang benar. Tahun 1948 mereka (PKI) berontak. Sebetulnya 1963 mereka beralih strategi. Mereka memaksakan kebijakan-kebijakan yang pro komunis dan mereka menjadi anak emasnya Presiden Soekarno. Ada isu land reform, membagikan tanah.

Lalu ada rencana angkatan kelima, mempersenjatai buruh tani guna bisa menandingi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dan itu khas negara komunis. Ini mereka desakkan setelah mereka memenangkan hati dan pikiran Presiden Soerkarno. Semakin intens lagi setelah mereka mendengar informasi desas-desus sakitnya Bung Karno dan tidak akan lama lagi bisa dikendalikan hidup Bung Karno. Yang menentang itu paling gencar adalah Angkatan Darat. Tapi Angkatan Darat lebih bersifat defensif.

Nah mungkin PKI ini yang terpancing "kapan nih kita bertindak. Kalau kita terlambat bertindak kita keduluan Angkatan Darat'. Mereka terpancing untuk masuk.

Penculikan ini merupakan tradisi di tentara. Misal ada peristiwa Rengasdengklok. Nah ini kan kultur politik dulu, yang dilaksanakan oleh elemen-elemen yang tidak profesional. Aksi mereka langsung gagal. Tidak ada plan B karena mereka semua amatiran.

Mereka juga menanamkan dendam di hati masyarakat. Tanya anggota HMI, Anshor, budayawan, itu semua diintimidasi oleh Pemuda Rakyat. Ada tuh anggota Babinsa yang digorok karena berusaha melawan. Aksi seperti apa, aksi sepihak.

Jadi ketika saya duduk bersama anaknya Aidit, dan saya juga dipertanyakan oleh teman-temen saya, 'ngapain duduk semeja dengan pembunuh ayahmu Gus?' Saya tidak permisif dengan tindakan saya itu, tetapi saya ingin memaksakan PKI harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa 65.

Tanggung jawab dong, di mana letak tanggung jawabmu? Saya ingin mengatakan PKI-PKI itu tangannya ikut berlumuran darah. Kenapa kalian tidak pernah mengatakan bahwa sebelum 1 Oktober 65 sebelum jam 4 pagi. Jam 4 pagi masih terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Apalagi sebelum-sebelumnya tahun 48. Kuburan masal itu banyak. Kenapa tidak pernah disinggung? Itu yang mau saya paksakan untuk diakui. Saya katakan, adakan refleksi dan intropeksi pada diri kalian sendiri.

Dari kubu yang anti-PKI juga alasannya untuk mencegah korban yang lebih banyak yang diakibatkan oleh PKI, itu bisa dipertimbangkan. Tapi kalau sampai bertahun-tahun bela diri namanya bukan bela diri tapi ada keterlibatan langsung dan ini yang tidak diakui dari sisi anti PKI.

PKI tidak mengakui pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum '65 dan mereka merasa tidak bersalah dan merasa menjadi korban dan di sini ada yang mengatakan negara tidak mungkin bersalah. Padahal negara punya tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya.

[ang]
💣





TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menganggap penyelesaian perkara peristiwa 1965 masih jauh dari usai. Deklasifikasi Arsip Keamanan Nasional (NSA) dan Pusat Pengungkapan Dokumen Nasional (NDC) Amerika Serikat tentang peristiwa 1965, menurut dia, hanyalah satu langkah menuju upaya penyelesaian.
"Ibaratnya menaiki anak tangga, dari anak tangga pertama sekarang naik ke anak tangga ke dua," ujar Usman kepada Tempo pada Jumat, 20 Oktober 2017.
Belum lama ini, NSA dan NDC membuka sejumlah surat telegram rahasia diplomatik Amerika Serikat yang di antaranya mengungkap ada keterlibatan pihak asing dalam peristiwa 1965. Total ada 39 dokumen dengan tebal 30 ribu halaman yang salah satu isinya tentang pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI pada 28 Desember 1965.
Penyelesaian perkara HAM dalam peristiwa 1965 sudah berjalan lama, jauh sebelum dibukanya data NSA dan NDC. Namun, selama ini, upaya penyelesaian tersebut mentok di berbagai tingkatan. Misalnya, terus dikembalikannya hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM akan peristiwa itu oleh Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut.
Penyelesaian secara non yudisial alias rekonsiliasi pun mandek. Walaupun Kejaksaan Agung sudah beberapa kali memaparkan langkah tersebut sebagai ganti langkah yuridis, tetap saja tak ada perkembangannya.
Usman mengatakan perlu kerja keras untuk menyelesaikan perkara HAM persitiwa 1965 secara tuntas. Misalnya, melengkapi dokumen-dokumen bukti yang masih kurang. Menurut dia, data yang ada sekarang belum mencukupi.
Salah satu data yang belum diungkap ke publik, kata Usman, adalah data dari pihak Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA). "Padahal data panasnya di pusat intelijen AS tersebut," ujarnya. Data diplomatik yang sekarang terbuka, menurut dia, baru memberikan gambaran awal peristiwa 1965.
Namun data dari pihak Indonesia atau TNI sendiri belum ada. Padahal, menurut Usman, data TNI bisa memberikan gambaran soal pengerahan pasukan dalam peristiwa 1965 mulai dari jumlah, lokasi, hingga sasaran mereka. "Saya yakin data itu ada," kata Usman. "Saya rasa perlu menyurati Pemerintah AS juga agar ada upaya bilateral untuk menyelesaikan Peristiwa 65 pasca deklasifikasi data. Jadi, ada berita acara dan dokumen yang diberikan resmi."
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Feri Kusuma beranggapan perlu ada political will juga dari Presiden Joko Widodo agar penyelesaian perkara HAM peristiwa 1965 bisa lebih maju. Political will itu bisa berwujud keterlibatan Presiden Joko Widodo langsung dalam mengkoordinir penyelesaian perkara.
"Komisi oleh Kepresidenan itu penting, supaya temuan cepat ditindaklanjuti. Tak bisa sepenuhnya di Kemenkopolhukam," ujar Feri yang beranggapan penyelesaian perkara 65 tak bisa ditunda lebih lama lagi.
Pihak Istana Kepresidenan, hingga berita ini ditulis, belum memberikan komentar soal dokumen yang menyinggung sejarah 1965 itu. Juru bicara Istana Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo, belum merespon kontak yang dilakukan oleh Tempo.

Read more at https://nasional.tempo.co/read/1026652/amnesty-international-dokumen-as-gambaran-awal-peristiwa-1965?BeritaUtama&campaign=BeritaUtama_Click_2#6yOBRclmcZQy2YG0.99



🌱


TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa kelam 1965 kembali mengemuka setelah lembaga nirlaba National Security Archive di The George Washington University, Amerika Serikat, meminta pemerintah setempat membuka dokumen rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia periode 1964-1968. Dokumen tersebut mengungkap sejumlah fakta dalam peristiwa 1965, termasuk keterlibatan Muhammadiyah dalam pembunuhan para anggota serta simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Misalnya, dalam surat kawat atau telegram bertanggal 6 Desember 1965 dari Konsulat Jenderal Amerika di Medan kepada Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, terungkap ada hasutan-hasutan yang dilakukan para ustad Muhammadiyah. Dalam surat kawat itu, para ustad mengatakan kepada jemaah mereka supaya membunuh orang-orang yang secara sadar terlibat PKI. “Membunuh mereka sebanding dengan membunuh seekor ayam,” demikian sebagian isi telegram tersebut.


Baca: Di Dokumen Rahasia AS, Bagaimana Peran Ansor Saat 1965?
Pernyataan-pernyataan itu disebut sebagai bentuk restu (lisensi) bagi para jemaah Muhammadiyah membunuh anggota dan para simpatisan PKI. Pernyataan dari para ustad itu juga disebut-sebut punya kemiripan dengan kebijakan Nahdlatul Ulama dari kalangan konservatif.
Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan ia tidak kaget dengan hadirnya fakta dari beberapa surat kawat tersebut. Menurut dia, fakta bahwa ada konflik keras yang terjadi antara kelompok Islam dan PKI pada saat itu tidak bisa dinafikan, apalagi sejak peristiwa Madiun 1948 dan peristiwa 1965.
Baca: TNI Masih Pelajari Dokumen Rahasia AS Soal Sejarah 1965
“Saya kira surat kawat itu tidak mengagetkan. Banyak ustad Muhammadiyah dan NU yang keras melawan PKI dan pengikutnya pada saat itu. Dan itu terjadi di banyak daerah di Indonesia,” kata Dahnil kepada Tempo, Jumat, 20 Oktober 2017.
Menurut Dahnil, bila surat kawat tersebut bisa dipertanggungjawabkan, ia mengatakan hal itu diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi anak-anak bangsa saat ini. Hal ini, kata dia, supaya peristiwa 1965, pembantaian dan pembunuhan terhadap para jenderal, serta pemberontakan di Madiun pada 1948 tidak lagi terulang kembali.
Simak: Dokumen 1965 Diungkap, Amerika Terlibat dalam Pembantaian PKI
“Bagi kami jangan kemudian peristiwa itu membawa pada dendam sejarah yang tidak produktif. Kita harus move on,” kata Dahnil.
Ia juga mengingatkan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan Islam yang disebut namanya tidak perlu takut terhadap fakta sejarah, termasuk sejarah 1965. Apalagi jika nantinya surat kawat dan dokumen tersebut bisa dipertanggungjawabkan, Dahnil justru mempersilakan supaya bisa diungkap.

Read more at https://nasional.tempo.co/read/1026450/dahnil-tak-kaget-dokumen-soal-1965-sebut-muhammadiyah-terlibat#rKDkQwDEK4EMiPW9.99

🐅
Jakarta detik - Surat perintah sebelas Maret atau sering disingkat Supersemar masih terus menjadi teka-teki sejak tahun 1966 hingga kini. Rupanya, Central Intelligence Agency (CIA) memantau situasi politik Indonesia saat Supersemar dikeluarkan.

Dalam dokumen CIA yang dikutip detikcom, Sabtu (11/3/2017), tergambar bagaimana transisi kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto terjadi. Dokumen CIA itu dilaporkan pada tahun 1966 dan baru dipublikasikan pada Desember 2016 lewat situs resmi lembaga tersebut.

CIA menulis kronologi transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada tahun 1966. Laporan itu menuliskan bahwa pemicu perpindahan kekuasaan adalah demonstrasi mahasiswa.

Mahasiswa menduduki kantor Kementerian Luar Negeri dan melakukan penjarahan. Situasi politik lndonesia digambarkan memanas terutama setelah peristiwa G30S atau Gestok di tahun 1965.

Laporan CIA itu juga menuliskan bagaimana Sukarno sebetulnya bukan bermaksud menyerahkan kekuasaan ke Soeharto. Namun Soeharto tetap merasa dirinya mendapat mandat dan langsung membentuk kabinet.

Namun laporan CIA tak menuliskan secara detail bagaimana 'penyerahan kekuasaan' dari Sukarno ke Soeharto itu terjadi. CIA hanya menulis Sukarno tiba-tiba meninggalkan rapat pada tanggal 11 Maret 1966. 

Begini kronologi perpindaham kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto dalam pantauan CIA:

3 Maret
Dalam menghadapi kelanjutan demonstrasi mahasiswa di Ibukota, Sukarno memerintahkan penutupan Universitas Indonesia di Djakarta.

8 Maret
Mahasiswa Indonesia mengintesifkan demonstrasi antipemerintahnya, menduduki dan menjarah Kantor Kementerian Luar Negeri.

8 Maret
Pemuda dari gerakan kiri membuat serangan kecil ke Kantor Kedubes AS.

10 Maret
Menindaklanjuti pertemuan dengan Sukarno, pemimpin partai politik mengeluarkan pernyataan dukungan untuk presiden dan mengutuk agitasi antipemerintah.

11 Maret
Dalam pertemuan dengan kabinet barunya, Sukarno, bersama Menlu Subandrio, tiba-tiba meninggalkan Istana Kepresidenan Bogor.

12 Maret
Menghadapi ultimatum militer, Sukarno menandatangani penyerahan otoritas eksekutif kepada Jenderal Suharto. Suharto tiba-tiba mengeluarkan pemerintah "atas nama" Sukarno secara resmi melarang Partai Komunis.

16 Maret
Dalam pengumuman kepresidenan, Sukarno, mencoba mendapatkan kembali otoritas yang dia berikan kepada Suharto, menegaskan bahwa perintahnya untuk Suharto adalah kesalahpahaman dan bahwa dia sendiri bisa menentukan komposisi kabinet Indonesia. Dalam pernyataan terpisah, Jenderal Suharto sepakat bahwa otoritas Presiden belum surut.

18 Maret
Bertindak untuk memenuhi kekuasaan yang dia asumsikan, tentara menahan 15 menteri dari aliran kiri, termasuk target utama mereka Menlu Subandrio, dan menggantinya dengan yang berasal dari kalangan moderat. Pimpinan tentara dan sekutu sipilnya mulai bicarakan formasi kabinet baru.

23 Maret
Sukarno membuat kemunculan yang mengejutkan dalam sebuah resepsi diplomatik dalam rangka mencoba untuk memperbaiki citra dirinya yang hancur.

27 Maret
Kabinet moderat yang baru diumumkan, didominasi oleh Jenderal Suharto; Sultan Yogyakarta, bertanggung jawab atas kementerian ekonomi; dan Menlu yang baru Adam Malik. Jenderal Nasution kembali ke pemerintahan dengan jabatan kementerian sebagai deputi komandan tertinggi dari KOGAM, "Komando Ganyang Malaysia". Sukarno mempertahankan posisinya sebagai presiden dan perdana menteri.

4 April
Menlu Malik dan Sultan Yogyakarta mengumumkan pernyataan publik tentang peletakan dasar moderat dalam kebijakan ekonomi dan luar negeri. Malik mulai intens untuk mengembalikan keanggotaan Indonesia di PBB dan memulai upaya untuk mengakhiri konfrontasi melawan Malaysia yang sudah dilakukan selama tiga tahun. Sultan menerima bantuan asing dari berbagai sumber dan memberi garis program stabilisasi atas ekonomi Indonesia yang chaos.

10 April
Pemerintahan yang baru mengumumkan penekanannya untuk memperpanjang pengakuan kembali ke Singapura tetapi menegaskan kembali permusuhannya terhadap Malaysia.

Sukarno, Soeharto, dan Supersemar dalam Pantauan CIA Tahun 1966Dokumen CIA tentang Supersemar (Dok Istimewa)

(bpn/dnu)


Jakarta detik- Tragedi G30S/PKI melahirkan pertanyaan. Apa peran China? Apa peran Amerika? Dan berapa jumlah anggota PKI yang dibantai dalam aksi balasan tentara. CIA mengungkapnya dalam sebuah tulisan.


Hal ini dimuat dalam tulisan 'The Lesson of The September 30 Affair' dari Center for the Study of Intellilgence CIA, Volume 14 Issue 2, Musim Gugur 1970. Tulisan ini adalah jurnal internal CIA dan dirahasiakan selama puluhan tahun dan baru dipublikasikan kepada umum tahun 1994 dan diposting di situs CIA pada 8 Mei 2007.



Kita bisa membacanya sendiri di situs resmi CIA bagian perpustakaan digital. Seperti dibaca detikcom, Minggu (1/10/2017). Penulisnya adalah Richard Cabot Howland, staf Kedubes AS yang bertugas di Jakarta tahun 1965-1966.



Kemlu AS dalam tulisan Foreign Relations of The United States 1964-1968 Volume XXVI menyebutkan kalau artikel Howland ini untuk menjawab 3 pertanyaan penting. Pertama, hubungan China dalam G30S/PKI. Kedua kaitan pemberantasan PKI dengan perang Vietnam yang sama-sama melawan komunis dan ketiga, jumlah anggota PKI yang tewas dibantai oleh tentara dan warga sipil.






Howland mengatakan China sama bingungnya dengan AS saat G30S/PKI terjadi, karena terlalu banyaknya pejabat sipil dan militer terlibat di pihak PKI, Sukarno dan Angkatan Darat. Dia menyimpulkan dari beberapa dokumen dan data, tidak ada peran China dalam G30S/PKI, meskipun China mendukung tumbuhnya komunisme di Indonesia.



"Mustahil Sukarno atau Aidit menawarkan kekuatan luar manapun untuk 'ikut ambil bagian dalam aksi' atau dimintai tolong dalam Gerakan 30 September," kata Howland.






Terkait hubungan dengan Perang Vietnam, menurut Howland saat itu banyak yang percaya Angkatan Darat Indonesia berani melawan PKI dan Sukarno karena tahu akan didukung tentara Amerika di Vietnam. Menurut Howland tindakan AD saat itu lebih ke situasi taktis semata, bukan karena tentara AS ada di Vietnam Selatan.



"Suharto bertindak bukan karena visi geopolitik atau strategis dari kehadiran tentara AS di Vietnam Selatan. Itu situasi taktis saja, Yani meninggal, Nasution tidak sanggup, Suharto adalah perwira senior yang ada dan memerintah dan cuma dia yang bisa bertindak. Dia bertindak tanpa banyak pikir nanti bagaimana. Kemenangannya saat itu bukan karena kehadiran kita di Vietnam," kata Howland.






Terkait dengan jumlah anggota PKI yang jadi korban, di luar negeri beredar angka 350.000 sampai 1,5 juta orang. Kedubes AS mendapatkan laporan dari berbagai wilayah Indonesia dengan aneka kisah seram soal pembantaian anggota PKI. Howland mengaku turun langsung ke beberapa daerah di Indonesia. Dia mengaku angka itu dibesar-besarkan karena semangat anti-PKI saat itu. Jumlah aslinya tidak mungkin dihitung, namun lebih kecil dari yang digembar-gemborkan.



"Seorang letkol angkatan darat memberikan angka yang kata dia akurat dari lapangan. Total 50.000 tewas di Jawa, 6.000 tewas di Bali dan 3.000 tewas di Sumatera Utara. Saya ragu metodenya tapi perkiraannya dapat diterima, digabung dengan data saya hasilnya total ada 105.000 orang Komunis tewas. Ini angka yang tetap besar, tapi jauh dari klaim 350.000-1,5 juta orang," kata dia. 

(fay/imk)


👻


TEMPO.COYogyakarta - Sebuah diskusi menarik tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) digelar di Sekretariat Syarikat Indonesia di Yogyakarta, Jumat, 22 September 2017. Dalam diskusi yang bertema Jalan Sunyi Penyintas Genosida itu, Ngatiyar, aktivis LSM Mitra Wacana, memaparkan mengapa PKI mempunyai banyak pengikut pada 1960-an.
Ngatiyar yang pernah melakukan riset di sebuah desa di Jawa Tengah pada 2009 dan 2013 untuk tesis S-2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menemukan beberapa alasannya. "Faktor kepemimpinan desa mendukung wilayahnya meraih suara terbanyak," kata Ngatiyar.
Ngatiyar mencontohkan, desa yang menjadi lokasi risetnya mempunyai luas seperempat dari luas kecamatan. Ada tujuh desa dalam kecamatan di sana. Sebanyak 80 persen warga di desa itu menjadi simpatisan PKI. "Karisma terbangun dari kekuasaan seseorang di daerahnya," kata Ngatiyar.
Faktor kedua adalah bahasa simbolik yang menarik dari keberadaan simbol palu dan arit yang dimiliki PKI. Ngatiyar pun meyakini, hingga hari ini, simbol PKI tersebut dinilai paling menarik dari simbol-simbol yang dimilik partai-partai politik di Indonesia.
"Saya tanya, mengapa warga di sana lebih memilih PKI? Bukan PNI atau NU?" kata Ngatiyar.
Alasan warga, simbol kerbau pada PNI menunjukkan borjuasi. Maksudnya, meski kerbau digunakan untuk membajak sawah, kerbau hanya dimiliki priyayi atau orang-orang kaya di desa.
Sedangkan simbol NU berupa tali jagat sulit dipahami warga awam. "Kalau palu dan arit itu setiap ke ladang, ke sawah dibawa," kata Ngatiyar.
PITO AGUSTIN RUDIANA

Read more at https://nasional.tempo.co/read/1020952/mengapa-pki-punya-banyak-massa-sebelum-1965-penelitian-ini?PilihanUtama&campaign=PilihanUtama_Click_1#tk7V8Jq8gkGrO658.99





TEMPO.COJakarta - Untung Sjamsuri, salah satu tokoh penting dalam Gerakan 30 September 1965. Orang biasa mengenalnya sebagai Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang bertugas sebagai Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa. Peran Letkol kelahiran Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 adalah sebagai pemimpin penculikan yang ditengarai orang dekat Soeharto.
Dari penelusuran Tempo, sejak umur 18 tahun, Untung diketahui sudah masuk ke dalam dinas kemiliteran di Heiho, kesatuan militer bentukan tentara pendudukan Jepang. Setelah Jepang kalah, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. Batalion inilah yang disebut-sebut terlibat dalam aksi pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948, yang dimpimpin oleh Musso.
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi, kawan dekat untung yang ditemui Tempo pada 2009 menuturkan setelah 1948, Untung bertugas di Solo, Jawa Tengah. Kebetulan kota Solo saat itu Komandan Komando Resor Militer-nya adalah Soeharto. Selesai menjabat komandan Korem, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung pun ikut pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad yang mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.

Karir Untung semakin dekat pusaran politik nasional setelah masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Tidak tanggung-tanggung dua kompi Banteng Raiders saat itu pun dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jejak Soeharto terlihat dengan penempatan Untung dan Banteng Raiders sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden di Istana. Sebabnya, Soeharto yang memimpin Kostrad yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Selain sering bertugas bersama, kedekatan Soeharto dengan Untung lainya ketika menghadiri pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. Kunjungan pada  Februari 1965 itu dilakukan Soeharto yang sudah menjabat Panglima Kostrad bersama istrinya, Tien, untuk menghadiri pesta pernikahan mantan anak buahnya.
Untung juga pernah menyebut keterlibatan Soeharto pada peristiwa G30S 1965. Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Jawaban Soeharto tidak seperti memerintah Untung. "Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Kemudian menurut eks menteri Luar Negeri Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Kesatuan itu diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Anehnya pasukan tersebut membawa peralatan siap tempur dengan peluru tajam. "Aneh, masak untuk defile prajurit mesti membawa peluru tajam. Semestinya tidak begitu, ada mekanismenya kalau di militer," kata Laksamana Punawirawan Omar Dhani, bekas Kepala Staf Angkatan Udara di era Presiden Sukarno.
EVAN KOESOEMAH | PDAT | SUMBER DIOLAH

Read more at https://nasional.tempo.co/read/707180/g30s-1965-rupanya-soeharto-yang-tempatkan-letkol-untung#iE77zPEKk0wYGylB.99

Kebumen - Pekarangan dengan luas 150 meter persegi dan hanya ditumbuhi ketela rambat di Dusun Kedung Bajul, RT 01/ RW 02, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah ini, dulunya merupakan tempat tinggal Letkol Untung yang memimpin G30S 1965. Pihak keluarga sengaja tidak mendirikan bangunan lagi di atas tanah itu, dan membiarkannya begitu saja.

Untung sendiri lebih dikenal dengan nama Kusmindar di kampungnya itu. Sepeninggal ibunya, Letkol Untung yang lahir di Kebumen, 3 Juli 1926 lalu pindah ke Solo pada umur 10 tahun. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri.

Foto: Rinto Heksantoro/detikcom


Muhyono (60), kerabat Letkol Untung, menuturkan keluarga sengaja tidak membangun rumah lagi di atas tanah itu tanpa alasan yang jelas. Kini di lahan kosong itu lebih banyak dimanfaatkan untuk mejemur pakaian.

"Ya memang ini dulu bekasnya (rumah) di sini, tapi tidak di bangun lagi, itu malah saya buat njemur baju," kata Muhyono saat ditemui detikcom, Rabu (27/9/2017).

Muhyono mengaku hanya mengenal sosok kerabatnya itu dari televisi setelah diketahui terlibat dalam pemberontakan G30S 1965. Dengan keyakinan agama yang ia anut, menurutnya, PKI adalah paham yang salah dan tidak sejalan dengan hati nuraninya. "Meskipun kami masih saudara ya kami tetap menolak paham PKI itu," lanjutnya.

Sementara itu Kepala Dusun setempat, Nurwahid (40) menuturkan, dari cerita yang ia dapat, Letkol Untung adalah TNI cerdas dan mempunyai berbagai prestasi. Namun, selaku orang awam, ia dan warga desa setempat tidak mengira jika akhirnya Letkol Untung terlibat dalam pemberontakan G30S.

"Pak Untung merupakan lulusan terbaik akademi militer waktu itu, terus diangkat jadi ajudannya Pak Soeharto. Tapi setelah itu kami juga tidak tahu kok ternyata terlibat dalam partai komunis dan ikut dalam G30S," tuturya.


(erd/jat)


Jakarta - Banyak hal belum terungkap tentang sosok Letnan Kolonel Untung yang disebut memimpin Gerakan 30 September (G30S) 1965. Detikcom menyusuri jejak masa kecil Untung di desa kelahiran Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah. 

Warga mengaku tak begitu tahu tentang cerita masa kecil dan remaja Letnan Kolonel Untung bin Samsuri. Padahal di desa itulah pada 3 Juli 1926 Untung yang memiliki nama kecil Kusmindar alias Kusman dilahirkan. 

Baca juga: Jejak Letkol Untung, dari PKI Madiun ke Lubang Buaya 1965
Kusman sempat belajar di Sekolah Rakyat 'Seruni' di Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sampai kelas 3. Sekolah itu kini berganti menjadi SD Negeri 1 Bojongsari. Namun nama Kusmindar atau Kusman alias Untung belum tercatat dalam buku induk siswa di sekolah tersebut. Kepala SD N 1 Bojongsari Edy Sutrisno mengatakan buku induk siswa di sekolahan tersebut baru dibuat tahun 1940. Sehingga bisa jadi Kusman yang lahir pada 3 Juli 1926 tercatat pada dokumen lain yang tidak sempat diamankan oleh pihak sekolah pada waktu itu.

"Data tertua dalam buku induk siswa ini adalah murid kelahiran tahun 1940an, sedangkan Kusmindar kan lahir tahun 1926 jadi kemungkinan belum masuk buku induk ini atau malah tercatat pada buku lain," kata Edy kepada detikcom, Rabu (27/9/2017).

Mbah Sadeli, teman masa kecil Letkol Untung (Foto: Rinto Heksantoro/detikcom)


Mbah Sadeli (85), warga RT 01/ RW 02, Dusun Kedung Bajul, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen mengatakan bahwa sejak usia 10 tahun Kusman pindah ke Solo. Di Solo, Untung tinggal di rumah pamannya, Samsuri. Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. 

"Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya," kata Letkol CPM (Purn) Suhardi, teman masa kecil Untung di Solo seperti dikutip dari Koran Tempo, 5 Oktober 2009. 

Seperti diketahui Untung kemudian menjadi Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalyon ini berada di ring III pengamanan presiden. Pada sekitar tahun 1964 Untung melangsungkan pernikahan di Kebumen dengan Hartati warga Bojongsari. Namun saat itu tak banyak warga yang diundang. "Mungkin karena sudah menjadi tentara terus dianggap sombong," kata dia. 

Menurut Mbah Sadeli, tamu di pernikahan Untung banyak pejabat penting ketika itu. "Tapi enggak tahu siapa saja (yang datang). Sekarang Hartati ke mana juga pada enggak tahu," tambahnya. 

Di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965 beredar kabar bahwa Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan istri, Tien, menjadi salah satu tamu yang datang ke pernikahan Untung. Mantan Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam bukunya, "Kesaksian tentang G30S" mengatakan bahwa kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. 

Soeharto datang dengan mengemudikan sendiri mobil jeep dinasnya. Kenyataan itu bagi Soebandrio mengundang pertanyaan tersendiri. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, "tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar," kata Soebandrio dalam buku tersebut.

Soeharto, dalam biografi 'Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President', mengaku mengenal Untung sejak 1945. Namun dia tak pernah menyinggung ikhwal kehadirannya dalam pernikahan Untung. "Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin" kata Soeharto dalam buku biografi yang ditulis Retnowati Abdulgani Knapp itu.

Hingga terjadinya peristiwa G30S dan kemudian Letkol Untung dieksekusi mati pada 1966 di Cimahi, Jawa Barat banyak kehidupan pribadinya yang belum terungkap. Termasuk soal kisah cintanya.


(erd/jat)



JakartaCNN Indonesia -- Putusan akhir pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan, Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966.

Salah satu dari 10 kejahatan HAM itu ialah genosida atau tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu. Kejahatan genosida ini dialami anggota, pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). 

“Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia,” ujar Ketua Hakim IPT 1965 Zak Yacoob seperti dikutip dalam salinan putusan IPT 1965, Rabu (20/7). 

Hakim menyatakan Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando. Semua kejahatan terhadap kemanusiaan, katanya, dilakukan kepada warga masyarakat Indonesia dengan sistematis, diam-diam, tapi meluas. 

Sepuluh kejahatan HAM berat yang dilakukan pada periode 1965-1966 adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida. 

"Semua tindakan ini merupakan bagian integral dari serangan yang menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap PKI, organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas juga terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI,” ujar Yacoob. 

Yacoob selanjutnya mengatakan, Indonesia gagal mencegah terjadinya tindakan tidak manusiawi ini, ataupun menghukum mereka yang terlibat atau melakukannya. 

“Sebab jika terjadi perbuatan pidana yang dilakukan terpisah dari pemerintah, atau tindakan yang biasa disebut aksi lokal spontan, bukanlah berarti negara dibebaskan dari tanggung jawab. Negara wajib menghalangi kembali berulangnya kejadian, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab,” kata Yacoob.

Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian, meminta maaf pada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.

Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan ada kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.

Genosida 

Hakim menyebutkan kejahatan kemanusiaan periode 1965-1966 termasuk kategori genosida. Dalam persidangan IPT 1965 pada November 2015 lalu, kejahatan kategori ini tidak dibahas dalam sidang. 

Laporan putusan hakim IPT 1965 menyebutkan pihak penuntut tidak memasukkan tuntutan ini dalam tuduhan, juga tidak memungkinkan ada agenda mendengarkan kesaksian atas poin ini dalam sidang yang berlangsung selama empat hari. 

Meski begitu, para hakim memutuskan mempertimbangkan pokok persoalan ini dalam putusan akhir. Dalam memutuskan kategori genosida ini, hakim mengutip Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1948. 

Dalam konvensi itu disebutkan genosida merupakan perbuatan terhadap bangsa, etnis, rasial atau agama dalam bentuk membunuh, menyebabkan luka-luka, dengan sengaja menimbulkan kelompok hidup dalam kerusakan fisik, upaya mencegah kelahiran atau dengan paksa mengalihkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lain. 

Menurut bunyi laporan ini, fakta-fakta yang dihadirkan dalam sidang pengadilan rakyat termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. 

“Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina,” bunyi putusan itu. 

Menurut Ketua IPT 1965, Saskia E. Wieringa, kepada CNNIndonesia.com, meski Indonesia tidak meratifikasi konvensi tentang genosida, namun secara hukum internasional harus tunduk atas aturan ini. 

Keterlibatan Soeharto 

Putusan final juga menjelaskan detail bagaimana peran sentral Jenderal Soeharto dalam peristiwa pembantaian massal 1965 dan sesudahnya. Putusan hakim menyebutkan sejak 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto langsung mengambil kontrol de facto atas ibu kota dan angkatan bersenjata. 

Sebuah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya. 

Pada 1 November, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib. Dengan demikian, komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya. Selanjutnya Soeharto dan kroni-kroninya segera menuding PKI sebagai dalang dari Gerakan 30 September (G30S0).

“Sebuah kampanye propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia lah, terutama perempuan-perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menyiksa dan mencungkil mata atau memutilasi alat kelamin mereka sebelum meninggal,” bunyi laporan itu. 

Akibat propaganda ini, kekerasan dan demonstrasi terhadap orang-orang yang diduga komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah. Kekerasan ini terjadi di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan menyebar ke seluruh tanah air. 

Pada 21 Desember 1965, Jenderal Soeharto mengeluarkan sebuah perintah (Kep-1/KOPKAM/12/1965) untuk para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing. 

Putusan hakim juga menyebutkan beberapa komandon militer yang dapat diminta pertanggungjawaban yakni Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat Kopkamtib periode 1965-1969, Kopkamtib 1969-akhir 1978, dan komandan wilayah setempat periode 1965-1969 dan periode 1969-1978.

Selain menyebutkan Soeharto sebagai nama perseorangan, dokumen putusan sidang tak menyebutkan nama lain dari pihak apapun. 

“Bukti dokumentasi terkini mengenai pembantaian benar-benar kurang, dan tampaknya akibat ditekan oleh aparat-aparat militer,” bunyi laporan itu.
(yul)

INILAHCOM, Jakarta—Mengapa kini kita menyebut G30S tanpa menyertakan ‘PKI’ sebagaimana dulu di zaman Orde Baru kita menamakannya?
Penulis mencoba menelusuri adakah ketetapan pemerintah yang mengganti terma itu dengan G30S saja tanpa PKI. Mungkin kurang maksimal, sejauh apa yang penulis temui, belum ada perubahan aturan tentang hal itu. Menyadari ketidakmaksimalan upaya itu, bila memang sebenarnya telah ada perubahan akan peraturan yang sudah baku itu, urun rembug atas tulisan ini sangat dinanti.
Tetapi adakah persoalan dengan tidak menyebutkan kata ‘PKI’ mengikuti frase G30S? Dengan keterbatasan penulis, menurut penulis sih tidak. Dalam pemahaman terbatas penulis, ada tiga alasan untuk mengatakan ‘ok-ok saja’ frase G30S itu tanpa pelabelan ‘PKI’ menyertainya. Dan sikap itu jauh dari persoalan apakah kita pro atau anti-PKI pada persoalan ini.
Pertama, penulis sepakat dengan E.H. Carr, yang dalam bukunya ‘What is History’, mengatakan bahwa sejarahadalah dialog yang tak pernah usai antara saat ini dan masa lampau. Sejarah adalah proses interaksi berkesinambungan antara sejarawan dan fakta yang—kemudian, dimilikinya. Sebagaimana Carr, saya percaya tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Dan dunia memang akrab dengan revisi sejarah, sebagaimana dunia kenal baik bahwa penulisan sejarah--history, sering bias pemenang. Karena itu, kadang ia menjadi semata His Story.
Sementara, dalam sejarah G30S kita menyaksikan sejarah bukan lagi merupakan dialog antara sejarahwan yang menggali dan fakta yang ditemukan. Sejarah G30S adalah monolog yang terasa dipaksakan pihak tertentu (militer?).
Paling tidak, menurut sejarahwan Asvi Warman Adam, pada 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha,--dua koran militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan".
Anehnya, saat itu Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI bisa terbit. Asvi menulis, salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative." Asvi bertanya, apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak lain?
Meski hanya lima hari, larangan terbit untuk semua koran itu sangat menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. “Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan,” tulis Asvi beberapa tahun lalu. Besar kemungkinan, sejak itulah istilah ‘G30S/PKI’ itu muncul, diulang-ulang karena ketakutan atau kemalasan media massa untuk mempertanyakan.
Kedua, ada riset kecil yang dilakukan Asvi terhadap Buku Putih yang dikeluarkan Sekretariat Negara RI tahun 1994, ‘Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia ‘. Bila buku itu dibaca dengan seksama, kata Asvi, diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan pembuatnya. Dalam buku itu terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman).Dari indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah Gerakan Tiga Puluh September,Dewan Revolusi, Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali.
Jadi, kata Asvi, buku itu berbicara lebih banyak tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik.
Ketiga, karena kuatnya bias sejarah soal G30S, maka senyampang penggalian fakta tentang peristiwa itu terus dilakukan, memang sebaiknya membuat kejadian itu netral lebih dulu. Cara menghilangkan ‘PKI’ pada frase G30S—yang tampaknya berlangsung alamiah, barangkali cukup efektif untuk keperluan netralitas itu.
Namun tentu saja, sejarahwan Indonesia tak bisa berpangku tangan menyaksikan banyak bolong dalam sejarah bangsanya. Beberapa tanda tanya besar itu harus dijawab dengan kerja-kerja ilmiah. Bukan dengan kerja-kerja berbau politik, yang akan kembali mengaburkan kenyataan sejarah yang terjadi. [dsy]

Merdeka.com - Di tahun 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) tumbuh menjadi salah satu kekuatan politik raksasa. Pada Pemilu 1955, PKI bisa meraih posisi keempat dengan 6,1 juta pemilih atau 16,4 persen suara. Cukup besar mengingat PNI yang memimpin mendapatkan 23,2 persen suara.

10 Tahun kemudian perkembangan PKI makin pesat. Menurut data saat itu, ada 3 juta anggota PKI. Ditambah 3 juta anggota organisasi sayap di bawah PKI. Selain itu ada 20 juta simpatisan PKI. Angka yang bisa bikin partai politik mana pun keder.

Prestasi PKI saat itu tak bisa dilepaskan dari trio komunis muda, Dipa Nusantara Aidit, Mohamad Hatta Lukman dan Njoto. Aidit kemudian menjadi Ketua Central Comite, MH Lukman dan Njoto masing-masing menjadi wakil ketua I dan II.

Setelah peristiwa Madiun 1948, PKI hancur lebur. Aidit dan Lukman dikabarkan kabur ke luar negeri menuju Indochina. Tapi banyak juga yang menyebut keduanya hanya bersembunyi di dalam negeri.

Tahun 1954, Aidit, Lukman dan Njoto merebut kepemimpinan PKI dari para komunis tua semacam Alimin. Mereka membangun PKI yang sudah berantakan. Membuat terobosan, seperti pengkaderan, pendidikan, hingga menggaji pengurus partai secara profesional.

Hasilnya mengejutkan, PKI tak cuma bangkit. Di Pemilu 1955, mereka mencuri posisi empat besar.

PKI kemudian menjadi partai komunis nomor tiga terbesar setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Nama Aidit disejajarkan dengan tokoh komunis besar macam Mao Zedong dan Joseph Stalin. Aidit bahkan punya gelar kehormatan internasional.

"Tahun 1963, Aidit diangkat menjadi Ketua Kehormatan Lembaga Ilmu pengetahuan RRC. Dengan pengangkatan tersebut, menurut protokoler China, Aidit tidak lagi cuma dipanggil kawan Aidit, melainkan harus lengkap dengan kalimat 'Kawan Aidit yang Bijaksana'," demikian ditulis Julius Pour dalam Buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan, Petualang terbitan Kompas.

Dengan perkembangan seperti itu, PKI menargetkan tahun 1970, mereka akan menjadi partai nomor satu di Indonesia. Apalagi kebijakan Soekarno yang makin menyeret Indonesia bermesraan dengan Uni Soviet dan RRC.

Tapi bukan berarti langkah Aidit akan mudah. Kekuatan Angkatan Darat berdiri tegak menghadang PKI.

Para perwira senior Angkatan Darat menggelar pertemuan membahas langkah politik mereka tanggal 13 Januari 1965. Salah satu isinya, AD berusaha menjauhkan PKI dari Soekarno. AD juga melihat kekuatan komunis adalah ancaman nyata.

Perkembangan selanjutnya, seperti sudah diketahui, Aidit nekat bergerak sendiri. Tanpa sepengetahuan anggota Politbiro, Aidit membawa PKI memasuki petualangan berujung maut. Aksinya menculik para jenderal Angkatan Darat menyeret PKI pada kehancuran. PKI dinista, dihujat, dan dibantai.

Kenapa Aidit berpikir pendek?

Banyak dugaan. Ada yang menyebut Aidit tak mau Angkatan Darat memukul PKI lebih dulu saat Soekarno sakit. Lalu ada provokasi Biro Chusus PKI pimpinan Sjam Kamaruzaman yang menyatakan militer pendukung PKI siap bergerak. Ada juga yang menyebut justru agen CIA bermain dalam peristiwa ini.

Teka-teki ini mungkin tak pernah terjawab.

Aidit tewas ditembak pasukan Kostrad hanya beberapa hari setelah G30S gagal. Keinginannya menjelaskan detil G30S pada presiden Soekarno tak pernah dikabulkan Jenderal Soeharto.

Berakhirlah nasib pria bernama asli Ahmad Aidit yang bersuara merdu saat melantunkan azan ini.

Kematian Aidit adalah kehilangan besar bagi dunia komunis internasional. Khusus untuk Aidit, Mao Zedong menulis puisi perpisahan untuk Aidit. Isinya penuh keharuan.

Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang
Malahan gugur menjelang musim semi datang
Yang akan gugur, gugurlah pasti
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi

 Merdeka.com - Dalam dunia politik periode 1965, Ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia (CC PKI) Dipa Nusantara Aidit punya musuh abadi. Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani menjadi musuh bebuyutan yang selalu menjegal langkah politik PKI. Sebaliknya, PKI pun selalu menyerang Angkatan Darat.

Kedua orang itu memang tak pernah cocok. Ditambah lagi perseteruan Angkatan Darat dan PKI yang maik meruncing, Yani dan Aidit ibarat anjing dan kucing.

Ketika Yani dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat 22 Juni 1962, Aidit khusus menulis puisi untuk menyindir Yani. Puisi itu diberi judul Raja Naik Mahkota.

Udara hari ini cerah benar,
Pemuda nyanyi nasakom bersatu,
Gelak ketawa gadis Remaja,
Mendengar si lalim naik tahta,
Tapi konon mahkotanya kecil,

Ayo maju terus kawan,
Halau dia ke jaring dan jerat,
Hadapkan dia kemahkamah rakyat.

Aidit tak menyukai gaya hidup Yani yang borjuis. Mulai dari mini bar, koleksi jam tangan mewah, hingga hobi golf Yani. Yani yang lulusan pendidikan militer Amerika juga dinilai sebagai agen neokolonial dan imperialisme (Nekolim).

Serangan Aidit berlanjut, tahun 1963 saat Operasi Trikora di Irian Barat selesai, PKI menuding Angkatan Darat memboroskan anggaran dan menyebabkan negara bangkrut. Saat itu kondisi perekonomian Indonesia memang morat-marit.

Yani marah, dia membalas serangan Aidit. "Biar ada 10 Aidit pun tak akan bisa memperbaiki ekonomi kita," kata Yani seperti ditulis dalam buku Sejarah TNI Jilid III terbitan Pusjarah.

Keduanya pun kembali terlibat seteru saat Aidit mengusulkan pembentukan angkatan kelima dimana buruh dan tani dipersenjatai. Aidit beralasan buruh dan tani akan dikerahkan untuk Dwikora menghadapi Malaysia dan serangan Nekolim. Yani menolaknya. tentu saja Angkatan Darat tak mau PKI punya kekuatan bersenjata yang sewaktu-waktu bisa digerakkan.

"Kalau Nekolim menyerang, semua rakyat Indonesia akan dipersenjatai. Bukan hanya buruh dan tani," balas Yani.

Saat itulah beredar Dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Isinya menyebut ada kerjasama antara militer AS dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tak loyal dengan Soekarno. Ada isu Dewan jenderal yang siap mengkudeta Soekarno dan mendirikan pemerintahan baru. Nama Yani masuk di dalamnya. Jelas saja Yani menolak isi dokumen tersebut.

Yani tahu PKI akan segera menyerang, tapi dia meremehkan informasi yang beredar. Intelijen Angkatan Darat ternyata gagal mendeteksi gerakan 30S. Ketidakwaspadaan yang harus dibayar dengan harga sangat mahal. Yani tewas diberondong pasukan penculik 1 Oktober 1965 dini hari di rumahnya. Sejumlah jenderal pimpinan Angkatan Darat juga dihabisi. Mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di lubang buaya.

Tapi kemenangan juga bukan milik Aidit. Setelah G30S gagal, Aidit lari ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit tertangkap. Beberapa versi menyebutkan Pasukan Kostrad mengeksekusi Aidit dengan berondongan peluru AK-47 di sekitar Boyolali. Sama, jenazah Aidit pun dimasukkan dalam sumur tua.

Demikian akhir permusuhan Yani dan Aidit, hampir serupa walau tak sama. Keduanya bukan pemenang, hanya korban revolusi yang masih abu-abu.
Rabu, 13/10/2010 13:48 WIB
Tidak Benar Soviet di Balik Peristiwa Madiun 1948
Bagus Kurniawan - detikNews




Yogyakarta - Peristiwa Madiun 1948 atau dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Moeso ternyata tidak dtemukan bukti
keterlibatan Uni Soviet. Tidak ada instruksi langsung dari Uni Soviet, namun Moeso lebih terinspirasi kemenangan Partai Komunis Cina (PKC) atas kelompok nasionalis pimpinan Dr Sun Yat Sen.

"Jalan baru Republik Indonesia-nya Moeso sebagai pedoman gerakan komunis di Indonesia lebih sebagai kreatifitas Moeso sendiri daripada cetak biru dari Kremlin. Moeso lebih terpikat cara-cara PKC," ungkap sejarawan Dr Budiawan dalam bedah buku "Dari Moskow ke Madiun?, Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet -Indonesia 1947-1953" karya Larissa M. Efimova di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Rabu (13/10/2010).

Menurut Budiawan dalam pandangan kaum intelektual baik barat maupun Indonesia, bahkan penulisan sejarah resmi menyebutkan peristiwa Madiun 1948 adalah sebagai berdirinya negara boneka Soviet, pemberontakan yang didukung Soviet yang komunis dan pemerintahan Soviet di bawah Moeso. Dengan kata lain ada keterlibatan Uni Soviet atas peristiwa itu.

Namun dalam dokumen yang sudah diklasifikasikan oleh Indonesianis asal Rusia, Prof Larissa M. Efimova, menunjukkan tidak ditemukan bukti-bukti mengenai perintah Moskow secara instruktif dan pasti kepada Moeso.

"Karya M. Efimova menunjukkan tidak ada garis perintah langsung. Dari
dokumen-dokumen yang ada, dapat disimpulkan Moeso menuangkan pandangan dan
gagasan sendiri politiknya," kata Budiawan yang juga penerjemah kumpulan tulisan Efimova tersebut.

Budiawan mengatakan Moeso pulang ke Indonesia bulan Agustus 1948 lebih didasari atas keprihatinan terpecah dan tercerai-beraninya kaum kiri pimpinan Amir Syarifuddin Cs. Moeso waktu itu ingin menyelamatkan kaum kiri terhadap tekanan kelompok lain.

Buku tersebut setebal 171 halaman yang diterbitkan oleh Syarikat Indonesia dan Kelopak Semata (Kelompok Penyimak Sejarah Masyarakat Tanah Air). Buku ini juga mengungkap seputar awal mula hubungan Indonesia-Uni Soviet antara tahun 1947-1953 berdasarkan data-data resmi di Rusia yang telah diklasifikasi setelah Soviet pecah tahun 1989.

Dari data-data tersebut kata Budiawan, terungkap bahwa bagi Soviet, Indonesia bukan arena untuk menyebarkan pengaruh politiknya terutama saat perang dingin. Sesuai perjanjian Yalta oleh Inggris, AS dan Soviet, Soviet lebih mengarahkan ke Eropa Timur, dan AS ke Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Sedangkan Inggris ke wilayah Asia Tenggara. "Pimpinan Soviet lebih patuh pada perjanjian internasional," katanya.

Dia menegaskan berdasarkan kajian Efimova terungkap bila Indonesia setelah
kemerdekaan mencoba mendekati Soviet dengan membuka jalur hubungan diplomatik seperti yang dilakukan Menlu waktu itu LN Palar untuk mendapatkan dukungan internasional. Dalam catatan Efimova, Soviet-lah yang mungkin merupakan negara pertama yang menyeret Indonesia ke dalam kancah perang dingin. Namun Indonesia juga mampu memanfaatkan rivalitas dalam perang dingin untuk kepentingan nasionalnya.

"Saat itu Soviet juga sangat hati-hati terhadap Indonesia terutama saat ada penjajakan pembukaan jalur hubungan diplomatik. Bagi kelompok antikiri sendiri juga khawatir bila hubungan dengan Soviet dibuka akan dimanfaatkan oleh kelompok kiri," tutup dia. (bgs/anw)