Selasa, 14 Februari 2017

Awal sebuah peringataN (SBY bermanuver)




JAKARTA, KOMPAS.com
 — Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, menanggapi Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang melalui akun Twitter-nya mengeluhkan kondisi negara.

SBY menyebut bahwa juru fitnah dan penyebar hoax tengah menguasai negeri.
Antasari mengatakan, daripada melakukan posting yang berisi keluhan, lebih baik jika SBY membantu mengungkap kasusnya.
"Seharusnya, kalau Pak SBY cuit-cuitan, bantu bongkar kasus saya. Siapa pelaku sesungguhnya?" kata Antasari seusai menghadiri pergelaran teater kebangsaan "Tripikala" di Gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (23/1/2017).
Antasari merupakan terpidana kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain.
Ia divonis 18 tahun pada tahun 2009, saat SBY menjabat presiden.
"Daripada beliau cuit-cuit di Twitter bilang negara ini kacau, wong enggak kacau kok. Kalau kacau, enggak ada yang bisa terlaksana, mending dia bantu buka kasus saya. Dia tahu kok. Pada era beliau terjadinya," ujar Antasari.
Sejak 14 Agustus 2015, Antasari mulai menjalani asimilasi setelah menjalani setengah masa hukuman pidana.

Pada 10 November 2016, Antasari menjalani masa bebas bersyarat.
💢

TEMPO.COJakarta - Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyampaikan pesan untuk mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui akun Twitter-nya.

"Saya setuju Pak SBY menyatakan, 'Jangan ada islamophobia di negeri ini'. *abah," cuit Anas melalui akun Twitter-nya, Selasa, 14 Februari 2017.


Cuitan yang diberi tanda "*abah" menandakan kutipan itu berasal langsung dari pernyataan Anas, yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Anas menulis pernyataannya itu di secarik kertas. Tim admin yang mengelola akun Twitter Anas kemudian mengunggahnya.

Terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON), Hambalang, Bogor, itu menulis pesan berisi sepuluh poin untuk SBY.

Anas juga mengatakan islamophobia tidak akan terjadi di Indonesia. "Realitasnya, Islam dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. *abah," cuitnya.


Poin berikutnya, Anas menuliskan bahwa muncul pertanyaan dari teman-temannya, apakah ia percaya SBY adalah pembela atau "pejuang" Islam. Menurut dia, yang tahu hanya Allah dan SBY sendiri. "Apakah pembela Islam atau menggunakan Islam untuk menyukseskan anaknya. *abah," ujarnya.

Pada poin kelima, Anas menuliskan, “Yang bukan rahasia adalah sulit menemukan rekam jejaknya dalam sejarah pergerakan (aktivisme) (umat) Islam di Indonesia.” Karena itu, dia menuturkan pada poin selanjutnya, kurang elok jika untuk kepentingan pilkada lalu "memanfaatkan" isu Islam.


Anas menyarankan, jangan memperalat isu Islam demi mengejar ambisi kekuasaan. Sebab, menurut dia, hal itu hampir sulit dibedakan dengan strategi politik "menghalalkan segala cara".

"Yang terbaik bagi Pak SBY dan negeri ini adalah memilih jalan negarawan, madeg pandhito. *abah," tuturnya.

Poin terakhir terkait dengan pilkada. "Beri kesempatan para pemilih untuk bebas menggunakan haknya, sesuai dengan akal budi dan nuraninya."

FRISKI RIANA




Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyindir tweet yang disampaikan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, terkait aksi mahasiswa yang menggeruduk rumahnya di Kuningan, Jakarta Selatan. Sindiran itu disampaikan Anas melalui akun Twitternya.
"Pak Presiden SBY (saat itu) yg mencintai hukum dan keadilan. Tahukah Bapak brp kali demonstran dikirim ke rumah saya? *abah," tulis Anas, dalam akun @anasurbaningrum yang dikutip Liputan6.com, Jakarta, Rabu (8/2/2017).
Anas menyatakan, saat itu ia mempertanyakan haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan rasa aman. Namun begitu, ia tidak menumpahkan keluh kesahnya itu dalam akun Twitter.
"Saya bertanya kpd Presiden (saat itu), apakah Bapak peduli thd keselamatan dan keadilan? Alhamdulillah, saya tidak ngetuit. *abah," ujar Anas.
Menurut mantan Ketua Umum PB HMI ini, unjuk rasa memang tak etis dilakukan di kediaman seseorang. Dia pun hanya mendoakan agar SBY dalam keadaan sabar.
"Demo ke rumah pribadi jelas tidak elok. Saya berdoa smg Pak SBY diberikan ketenangan dan kesabaran. *abah," kata dia.
Setiap orang Jawa yg "wis Jowo" pasti mengerti persis makna "ngundhuh wohing pakarti". *abah," lanjut Anas.
Tweet tersebut ditulis Anas dalam secarik kertas yang disampaikan kepada sahabatnya. Kemudian pesan itu kembali ditulis ke dalam akun Twitter milik Anas.
"Disalin dari tulisan tangan Mas Anas yg dititipkan lewat sahabat yg berkunjung hari ini. *admin," demikian tweet Anas.
👺
TEMPO.COJakarta - Ketua pelaksana Jambore dan Silaturahmi Mahasiswa Indonesia di Bumi Perkemahan Cibubur, Septian, membenarkan peserta Jambore menyambangi kediaman mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin sore, 6 Februari 2017.

"Tapi bukan untuk menggeruduk. Kami hanya bagi-bagi selebaran," kata dia saat dihubungi, Senin, 6 Februari. Itu sebabnya mereka tidak meminta izin kepada kepolisian untuk melakukan aksi.

Septian mengatakan selebaran yang dibagikan berisi hasil musyawarah peserta Jambore. Salah satu hasil musyawarah adalah mahasiswa sepakat telah terjadi kegaduhan politik di Indonesia. "Kegaduhan politik yang kurang kondusif muaranya pasca-SBY mengeluarkan cuitan di Twitter yang menimbulkan gejolak di masyarakat," kata dia.

Baca:
Mahasiswa Geruduk Rumah SBY, Istana: Tak Usah Dikhawatirkan

Ia mengatakan SBY sering mengeluarkan pernyataan yang memicu gejolak sosial. Salah satunya, melalui akun media sosialnya. Septian melihat berbagai pihak saling mengadu domba dan memanas-manasi pihak lainnya akibat pernyataan tersebut.

Menurut Septian, kondisi tersebut berpotensi memecah belah persatuan Indonesia jika dibiarkan. Beberapa mahasiswa pun memutuskan mendatangi kediaman SBY untuk mengingatkan SBY dan warga di sekitarnya. "Kami mengingatkan sekaligus memberi tahu agar jangan baper (terbawa perasaan) dan sering tersinggung," kata dia. Ia mengatakan negarawan harus memberikan contoh yang baik karena pernyataan yang dikeluarkannya akan berdampak luas di masyarakat.

Septian mengatakan aksi mahasiswa juga dipicu keinginan untuk mendukung mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Dalam kegiatan Jambore, Antasari hadir sebagai pembicara. Septian mengatakan Antasari menyiratkan bahwa perkara yang menjerat dia merupakan kriminalisasi. "Selain itu, ada banyak kasus di era SBY yang belum tuntas," katanya.

Simak:
Wiranto Bosan Ditanyai tentang SBY
Senin, 6 Februari, SBY bercuit melalui akun Twitter-nya, @SBYudhoyono. "Saudara-saudaraku yg mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan "digrudug" ratusan orang. Mereka berteriak-teriak. *SBY*," tulisnya.

Ia mengatakan unjuk rasa tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahuan kepada polisi. Ia menduga unjuk rasa merupakan hasil provokasi dan agitasi mahasiswa di kompleks Pramuka Cibubur, kemarin, untuk menangkapnya.

VINDRY FLORENTIN
💪



media indonesia: ELEKTABILITAS Basuki-Djarot kian unggul jauh dari dua pasangan pesaing mereka. Survei Populi Center menunjukkan tren tingkat keterpilihan Basuki-Djarot terus melonjak dalam tiga bulan terakhir (lihat grafik).
“Pasangan nomor urut dua berhasil mengafirmasi pilihan calon pemilih dalam dua kali penyelenggaraan debat,” ujar peneliti Populi Center Nona Evita saat konferensi pers, kemarin.
Tingkat keterpilihan ketiga pasangan sebenarnya sempat cukup berimbang pada November 2016. Survei Populi Center saat itu menempatkan Basuki-Djarot di posisi teratas dengan perolehan dukungan sebesar 31,8%. Dua pesaing mereka menempel dengan cukup ketat, yaitu Agus-Sylvi dengan 26,5% dan Anies-Sandi dengan 26,2%.
“Tren ini sebenarnya menunjukkan turun gunungnya SBY berban­ding lurus dengan penurunan elektabilitas Agus-Sylvi. Kemunculan SBY di dalam pilkada DKI menjadi beban politik tersendiri bagi Agus untuk menjaring elektabilitas,” ujar Nona.
Survei itu juga menyimpulkan pasangan petahana lebih diunggulkan dengan basis dukungan pemilih yang lebih loyal. “Loyal voters Ahok-Djarot merupakan yang tertinggi. Pemilih loyal dua pesaing petahana cenderung lebih rendah.”
Media Survei Nasional (Median), kemarin, juga merilis hasil survei elektabilitas yang dilakukan pada 29 Januari-2 Februari 2017. Hasilnya elektabilitas Basuki-Djarot unggul tipis jika dibandingkan dengan kedua calon lain. “Elektabilitas pasangan Basuki-Djarot sebesar 29,8%, pasangan Anies-Sandi 27,8% dan pasangan Agus-Sylvi memperoleh elektabilitas 26,1%. Masyarakat yang belum menentukan pilihannya 16,3%,” ujar Direktur Riset Median Sudarto.
Tim pemenangan Basuki-Djarot optimistis pilgub berlangsung satu putaran. “Berbagai lembaga survei menyatakan kepuasan publik terhadap petahana sangat tinggi,” ujar sekretaris tim pemenangan Ahok-Djarot Ace Hasan Syadzily.(Jay/X-10)
- See more at: http://www.mediaindonesia.com/news/read/90978/elektabilitas-badja-makin-jauh-di-depan/2017-02-07#sthash.kdMoxyGs.dpuf
💪


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat mendukung penuh pemerintahan Joko Widodo sampai nanti akhir masa baktinya paripurna.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa partainya tak punya niat menggulingkan pemerintah.
Ada tiga sikap Partai Demokrat, yaitu mendukung Presiden Jokowi menuntaskan masa bakti, mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah, dan mengkritik pemerintah jika mengeluarkan kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat.
"Tidak ada niat sekecil apa pun, tidak ada tindakan untuk menjatuhkan pemerintah di tengah jalan," ujar SBY.
Meski demikian, dia menegaskan, Partai Demokrat tetap berada di luar pemerintahan. PD tak merasa dikucilkan, namun bersikap konsisten.
"Demokrat akan tetap menjadi partai tengah, demokratis religius, partai yang mencintai keberagaman," ujar SBY.
Selain itu SBY dalam pidato politiknya saat acara Dies Natalis mengatakan bahwa partai yang dipimpinnya saat ini tidak sama sekali memikirkan soal calon presiden.
SBY juga menegaskan bahwa partainya belum saatnya menatap Pemilu 2019.
"Mulai ada yang bicara Pemilu 2019, termasuk siapa-siapa yang dinominasi. Belum saatnya Demokrat bicara seperti itu," kata SBY.

Menurut SBY, tak baik mengait-ngaitkan peristiwa politik saat ini dengan Pemilu 2019. Banyak hal yang masih bisa dilakukan beberapa tahun ke depan, kata SBY.
"Banyak yang dilakukan oleh bangsa ini dalam 5 tahun ke depan," imbuh SBY.
Pada kesempatan tersebut SBY juga menyinggung soal aksi massa yang turun ke jalan beberapa waktu belakangan. Menurutnya hal tersebut harus segera diakhiri.
"Mari kita hormati proses penegakan hukum atas perkara Basuki yang berlangsung. Beri ruang kepada penegak hukum, putusan apa pun harus kita hormati. Bebaskan segala intervensi dari pihak mana pun. Pengerahan kekuatan massa dalam jumlah amat yang besar dari pihak mana pun barangkali seharusnya diakhiri. Gerakan massa yang berhadapan-hadapan bisa menimbulkan benturan fisik dan kekerasan yang tidak dikehendaki," tutur SBY.
Pemerintah, menurut SBY, harus bisa mengelola situasi sosial dan politik secara terukur. Tidak boleh ada manipulasi politik yang membuat situasi memburuk.
"Ketegangan sosial harus segera diakhiri. Jangan justru dipelihara, apalagi dibesar-besarkan," sebut SBY.
Sebagai bangsa yang majemuk, setiap warga negara harus bertoleransi dan tenggang rasa. Semua harus bergerak untuk kemajuan bangsa.
"Setelah itu, mari kita lanjutkan perjalanan kita, melangkah ke depan. Move on, masih banyak tugas dan pekerjaan yang harus dikerjakan di masa depan," ujar dia.
Presiden keenam RI ini juga menyebut kasus dugaan penistaan agama yang menjerat calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dalam pidato politiknya.
SBY mengatakan, kasus tersebut cukup mengguncang publik dan membuat situasi sosial dan politik memanas.
Ia mengatakan, ucapan Ahok saat itu yang menyitir salah satu ayat di Alquran merupakan isu yang sederhana.
Namun ia menilai, Pemerintah tidak bijak dalam mengelolanya sehingga berkembang menjadi isu yang rumit dan melebar.
"Saya berpendapat kasus hukum Basuki Tjahaja Purnama bukan isu Kebhinekaan dan SARA dan juga bukan isu NKRI," kata SBY.
Menurut SBY, kasus tersebut dalam perkembangannya seolah dipolitisasi dan digeser untuk masuk ke isu kebhinekaan dan SARA.
Akibatnya, masyarakat di akar rumput bersitegang dan membuat situasi sosial dan politik menjadi tidak kondusif.
"Saya berpendapat, ketegangan sosial dan politik harus diakhiri. Jangan dibesar-besarkan. Mari kita petik hikmah yang berharga dari peristiwa tersebut," kata ayah dari Cagub DKI Agus Harimurti Yudhoyono itu. (zal/kps/wly)
💩

Jakarta - Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menuliskan biografi KH Maruf Amin meminta semua pihak untuk mewaspadai upaya politisasi terhadap sosok sang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Khususnya terkait permasalahan yang didorong berlarut-larut antara KH Maruf dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Hati-hati sahabat," kata Ahmad Baso, yang juga aktif sebagai Wakil Ketua Lakpesdam NU, dalam keterangannya, Jumat (3/2).
Menurut dia, Ahok sudah meminta maaf kepada KH Maruf, dan sudah dimaafkan juga oleh Rais Aam NU tersebut. Namun, isu masih berusaha terus dilanjutkan.
Mantan Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012 itu menduga bahwa pelaku upaya memanaskan hubungan itu adalah orang-orang di sekitar Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, orang-orang sekitar SBY sudah matang dalam politisasi agama sejak almarhum Abdurrahman Wahid masih menjadi Presiden RI.
"Juga punya uang tak terbatas,” imbuhnya.
Dia menganalisa, sosok KH Maruf Amin berusaha dipolitisasi, karena sosok sebelumnya yakni Rizieq Shihab sudah menjadi 'kartu mati'. Khususnya setelah munculnya banyak kasus terkait yang bersangkutan.
"Kartu FPI sudah mati sejak banyak kasus menumpuk di Kepolisian. Tinggal mainkan kartu massa NU lewat settingan KH Ma'ruf Amin. Efeknya dahsyat kalau 'digoreng' tiap hari,“ jelasnya.


Markus Junianto Sihaloho/FMB

Suara Pembaruan
👻
Jakarta - Dalam dua kali jumpa pers yang dilakukannya pada tiga bulan terakhir, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan pentingnya equality before the law atau kesetaraan di muka hukum, namun arah tujuannya sangat berbeda.
Yang pertama diucapkan pada 2 November 2016, ditujukan agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diproses hukum karena menurutnya melakukan penistaan agama.
Ini kutipannya:
"Jadi kalau ingin negara kita ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan -- jangan salah kutip -- negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok ya mesti diproses secara hukum."
"Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law, itu adalah bagian dari nilai-nilai demokrasi. Negara kita negara hukum."
Yang kedua diucapkan SBY Rabu (1/2) kemarin, tapi yang ini ditujukan untuk melindungi dirinya sendiri atau privasinya dari aksi penyadapan telepon.
Dia merespons sinyalemen bahwa telah menelepon Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin untuk meminta dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama oleh Ahok. SBY pun menuntut aparat penegak hukum mengusut dugaan penyadapan telepon tersebut.
Bunyi kutipannya:
"Mulai hari ini saya akan mengikuti apa respons dari penegak hukum karena ini bukan delik aduan, tidak perlu Polri menunggu aduan dari saya."
"Sekali lagi bukan delik aduan. Equality before the law -- persamaan di muka hukum -- itu adalah hak semua orang."
Uniknya, tuntutan kesetaraan hukum dia kali ini sebetulnya merupakan implikasi dari proses hukum Ahok -- yang disidang sesuai dengan tuntutan kesetaraan hukumnya yang pertama.
Dalam salah satu persidangan, Ahok dan pengacaranya bertanya ke Ma'ruf apakah dia pernah ditelepon SBY soal bertemu Agus-Sylviana dan soal fatwa penistaan agama. Ketika dibantah, kubu Ahok mengatakan mereka punya bukti percakapan telepon.
Dari sinilah SBY kemudian menggelar jumpa pers untuk bertanya siapa yang menyadap dirinya, meminta aparat mengusut pelaku penyadapan, dan meminta Presiden Jokowi bertanggung jawab kalau ternyata aparat hukum sendiri yang menyadap.
Perbedaan Sikap
Raut muka dan gestur SBY juga cukup kontras antara 2 November dan 1 Februari.
Tiga bulan lalu dia bicara berapi-api, bahkan terkesan marah hingga tercetus "lebaran kuda", ketika menuduh pemerintah melakukan intelligence failure, memperingatkan pemerintah agar tidak menghalangi demonstrasi 4 November, dan menuntut proses hukum atas Ahok.
Kemarin di Wisma Proklamasi, SBY bicara dengan lembut dan sorot mata yang lebih teduh. Tangan kanan terus memegang mikrofon, tidak menunjuk-nunjuk seperti ketika jumpa pers di Cikeas.
SBY sendiri mengakui perbedaan sikap itu di awal pembicaraannya di Wisma Proklamasi.
"Ini dari staf, 'katanya wartawan pasti ini SBY marah'. Ya enggaklah. Dulu bulan November saya dianggap keras atau marah karena memang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Partai Demokrat dituduh menggerakkan aksi damai 4/11," kata SBY tanpa menyebut siapa yang menuduh.
"Saya juga dituduh mendanai dan bahkan menunggangi aksi damai itu, bahkan belakangan katanya menyuruh membom Istana Merdeka, di mana 10 tahun saya tinggal di sana dulu. Katanya juga SBY dalang dari rencana makar yang kemarin akan dilaksanakan."
Di antara 2 November dan 1 Februari, ketua umum Partai Demokrat itu juga membuat heboh dengan cuitan di Twitter: "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar "hoax" berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?"

Banyak yang menganggap cuitan itu sebagai serangan langsung ke Presiden Jokowi, karena sifatnya multi tafsir yang salah satunya adalah penguasa sekarang juru fitnah dan penyebar hoax.
👻

TEMPO.COJakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan penyadapan percakapan antara dirinya dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin merupakan kejahatan. SBY memohon negara menyusut penyadapan tersebut.  "Saya menilai penyadapan itu adalah sebuah kejahatan karena itu penyadapan ilegal," kata SBY kepada wartawan di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu, 1 Februari 2017.

SBY mengakui berbincang lewat telepon dengan Ma'ruf pada 7 Oktober 2016. Menurut SBY, pembicaraan itu hanya mengabarkan kedatangan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono, bersama Sylviana Murni untuk memohon restu kepada PBNU dan PP Muhammadiyah untuk mengikuti Pilkada DKI 2017. SBY mengatakan percakapan terjadi melalui telepon milik staf yang ikut dalam pertemuan itu.

Baca: 
Kata SBY soal Pertemuan Mar`uf Amin dan Agus Yudhoyono 
BREAKING NEWS, SBY: Telepon Disadap seperti Skandal Watergate

Namun SBY membantah meminta dibuatkan fatwa penistaan agama kepada Ma'ruf saat itu. "Silakan tanya sendiri apakah fatwa dikeluarkan di bawah tekanan SBY atau siapapun," kata dia.

Perbincangan antara SBY dan Ma'ruf terungkap dalam persidangan perkara penistaan agama dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai terdakwa. Basuki dan tim kuasa hukumnya mencecar Ma'ruf yang saat itu hadir sebagai saksi. Mereka meminta penjelasan detail isi perbincangan SBY dan Ma'ruf. Ahok menduga fatwa yang dikeluarkan MUI dibuat di bawah tekanan SBY.

SBY meminta negara mengusut penyadapan tersebut. "Saya hanya memohon keadilan karena hak saya diinjak-injak dan privacy saya yang dijamin undang-undang dibatalkan dengan cara disadap secara ilegal," kata dia.

SBY mengatakan polisi dan penegak hukum lainnya memegang bola dalam penyusutan penyadapan itu. Jika ternyata penyadapan dilakukan institusi negara, SBY meminta Presiden Joko Widodo mengambil alih.

VINDRY FLORENTIN

Jakarta - Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menyatakan, keberatan terhadap kesaksian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin dalam sidang lanjutan, kasus penodaan agama, di Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (31/1).
Beberapa keterangan yang disampaikan Ma'ruf dinilai bertolak belakang dengan data yang dikantongi tim penasihat hukum Basuki.
Basuki mengatakan, Ma'ruf diduga menutupi latar belakangnya yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebab, Ma'ruf tidak mencantumkan jabatan itu dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sementara, jabatan lainnya disebutkan.
Selain itu, Basuki menilai Ma'ruf tidak objektif memberikan keterangan sebagai saksi. Karena, diduga Ma'ruf mendukung salah satu pasangan calon Pilkada DKI Jakarta nomor urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Menurut Basuki, tim penasihat hukumnya memiliki bukti terkait dugaan adanya permintaan kepada Ma'ruf agar bertemu dengan Agus-Sylvi. Namun, Ma'ruf membantah hal itu.
Basuki menyampaikan, apabila Ma'ruf mempermainkan haknya, pihaknya akan membuktikannya satu per satu. "Sebagai penutup, kalau Anda menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Esa. Saya akan buktikan satu per satu. Terima kasih," ujar Basuki, di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (31/1).
Ia pun keberatan, ketika MUI menunjuk pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab menjadi saksi ahli untuk mengawal fatwa MUI. Karena, Rizieq dinilai memang tidak suka dengan Basuki ketika menggantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Saya keberatan untuk saudara saksi yang menunjuk Habib Rizieq untuk menjadi saksi karena di saat saya dipastikan menjadi gubernur dia menolak keras dan membuat gubernur tandingan," ungkapnya.
Basuki pun keberatan atas keterangan saksi yang menyatakan kehadiran dirinya tidak diterima masyarakat di Kepulauan Seribu. Padahal, kemarin dirinya diterima dengan baik oleh masyarakat Kepulauan Seribu.
"Saya datang ke Pulau Seribu, mereka (warga) ketawa-ketawa, dan kemarin saya datang ke enam pulau mereka menerima saya dengan baik," katanya.
Telepon dari SBY
Penasihat hukum Basuki, Humphrey Djemat, pada persidangan sempat bertanya kepada Ma'ruf apakah pernah bertemu dengan pasangan calon Pilkada DKI Jakarta?
Merespon pertanyaan itu, Ma'ruf mengaku pernah bertemu dengan pasangan Agus-Sylvi sewaktu berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Namun, pertemuan itu terjadi sebelum kasus dugaan penodaan agama bergulir.
"Itu (pertemuan dengan Agus-Sylvi) sebelum kejadian Pulau Seribu," kata Ma'ruf yang juga menegaskan, kedatangan paslon Agus-Sylvi ke PBNU bukan atas undangannya. Ketika keduanya datang, dirinya memang sedang berada di sana dan diminta untuk ikut menemui mereka bersama dengan Ketua PBNU Said Aqil Siradj.
Mendengar pernyataan itu, Humphrey membantahnya. Karena, Ma'ruf bertemu dengan pasangan Agus-Sylvi di Kantor PBNU, pada tanggal 7 Oktober 2016.
Humphrey bahkan menambah pertanyaan, apakah Ma'ruf sebelum pertemuan itu sempat mendapat telepon dari mantan Presiden SBY.
"Apakah ada telepon dari Pak SBY yang mengatakan mohon diatur agar Agus dan Sylvi bisa diterima di PBNU? Yang kedua apakah Pak SBY meminta mohon diatur segera keluarkan fatwa atas kasus dugaan penistaan agama?" tanya Humphrey.
"Tidak ada," jawab Ma'ruf.
Humphrey pun menyampaikan memiliki bukti terkait hal yang ditanyakannya tadi. Lalu, ia meminta kepada majelis hakim agar dapat menunjukkan bukti tersebut.
"Karena saksi bilang tidak ada, tidak ada, kita ada buktinya dan mohon izin ditunjukkan ke majelis hakim," sebutnya.
Sejurus kemudian, Humphrey menunjukan bukti itu kepada majelis hakim. Ma'ruf pun ikut maju dan melihatnya. Usai melihat bukti itu Ma'ruf mengaku lupa tanggal, ternyata pertemuan di Kantor PBNU terjadi pada saat kasus dugaan penodaan agama sudah bergulir. Namun, ia tidak menanggapi pertanyaan soal adanya telepon dari SBY itu.
"Oh itu sesudah Pulau Seribu, salah berarti. Berarti sebelum keluarnya pendapat keagamaan. Saya lupa tanggal itu, kan lupa," katanya.



Bayu Marhaenjati/HA

BeritaSatu.com
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Perkataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tentang Surat Al-Maidah ayat 51 dinilai oleh banyak pihak telah menistakan Agama.
Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono meminta kepada masyarakat DKI Jakarta untuk tetap berpikir bersih, rasional dan cerdas dalam menanggapi pernyataan Ahok.
"Kita hargai aspirasi masyarakat saya mengimbau untuk berpikir secara bersih, rasional dan cerdas. Hal seperti ini tidak perlu terjadi," ujar Agus Yudhoyono saat ditemui di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Anak sulung SBY itu, mengatakan bahwa dia prihatin atas kejadian pencatutan ayat Alquran oleh Ahok pada saat memberikan pengarahan di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.
Agus Yudhoyono juga meminta untuk menghindari bentuk polemik antar Agama, mengingat Jakarta sangat majemuk dan harus menghormati adanya perbedaan.
Sebelumnya, Ahok menerima banyak hujatan dan tudingan lantaran dirinya dinilai menistakan agama islam.
Hal tersebut menyusul munculnya video yang mempertontonkan dirinya tengah mengutip satu surat yang ada di dalam Al-Qur'an.
Ahok pun membela dirinya, ia merasa tidak ada yang salah terkait kutipan tersebut.
Menurut suami dari Veronica Tan itu, ia tidak bermaksud melecehkan suatu agama tertentu.
Dinilai rasis, ia kemudian dilaporkan oleh Advokat Cinta Tanah Air ke Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta.
👻

Jakarta - Di tengah suasana politik yang memanas dan mengancam kebinekaan maupun perpecahan bangsa, para pendeta memanjatkan doa untuk keutuhan dan persatuan Indonesia.
Pendeta yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) ini memanjatkan doa untuk Partai Demokrat dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), agar terus berkiprah dalam menjaga Bhinneka Tunggal Ika.
"Kita doakan terus, Demokrat dan SBY untuk menjaga Bhinneka Tunggal Ika," kata Pendeta Nus Reimas, dalam peringatan Natal Nusantara Partai Demokrat yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (21/1) malam.
Sementara itu, Ketua Panitia Natal Nusantara Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, peringatan Natal ini dilakukan di tengah kondisi bangsa yang memprihatinkan.
Menurutnya, potensi konflik horizontal terjadi dengan melibatkan anak bangsa. Untuk itu, kata Benny, pihaknya ingin menggugah kembali semangat kebangsaan, persatuan, perdamaian dan bela rasa serta peduli dengan member solusi yang produktif.
"Peringatan Natal ini, diselenggarakan ditengah kondisi bangsa yang memprihatinkan. Potensi konflik horizontal anak bangsa," katanya.
Sebelumnya, SBY dalam sambutannya menekankan soal pentingnya persatuan dan kesatuan dalam bingkai kebinekaan, terkait dengan munculnya potensi perpecahan akibat situasi politik akhir-akhir ini.
Menurut SBY, Indonesia bukan negara agama, tetapi negara berketuhanan dengan Ideologi Pancasila. Untuk itu, kata dia, negara harus hadir dan menyayangi semua umat beragama, tanpa membeda-bedakan identitas serta menyatukan sebagai bangsa yang rukun dan damai.
"Negara Indonesia bukan negara agama, negara Pancasila, tapi Indonesia adalah negara berketuhanan. Negara wajib menyanyangi agama di tanah airnya sendiri. Negara harus menyayangi semua umat beragama yang ada di negara ini. Tidak boleh negara memisahkan kita yang berbeda-beda identitas, tetapi harus menyatukan kita sebagai bangsa yang rukun dan damai. itulah jati diri kita," tegasnya.
SBY juga yakin bangsa Indonesia bisa melalui ujian tersebut. Bahkan, menurutnya, Partai Demokrat akan tetap memberi dan menjadi contoh atas keberagaman tersebut. Ia menegaskan, DNA dan darah Partai Demokrat adalah kebhinekaan.
"Saya yakin dan saya percaya DNA Partai Demokrat, darah Partai Demokrat, tetap adalah darah Kebhinekaan," ujarnya.
SBY menjelaskan, nilai-nilai kebajikan moral dan etika yang diajarkan agama, dapat diaplikasikan dalam dunia sosial politik. Semua pemimpin politik, pemimpin agama dan tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama mendewasakan kehidupan politik dan demokrasi.
"Saya percaya etika politik dan ajaran tentang kebaikan dan moral akan membantu kita menemukan jalan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang kita hadapi. Kita adalah bangsa yang besar dan telah teruji oleh berbagai tantangan sejarah. Kita percaya dengan persatuan kebersamaan dan kerukunan kita sebagai bangsa kita akan mampu menghadapi tantangan apapun menuju masa depan yang lebih baik," tambahnya.
Selain itu, Presiden RI ke-6 itu menyatakan, nilai-nilai universal yang dianut dan diajarkan oleh setiap agama yaitu damai dan kasih sayang. Agama, kata SBY, mengajarkan rumahnya berbagi kasih dan persaudaraan dengan yang lain. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk saling membenci, memusuhi, menyakiti, menghina, menindas, dan melakukan kekerasan.
"Setiap agama mencintai kedamaian, ketentraman dan hidup berdampingan secara harmonis. Agama senantiasa mengajarkan persaudaraan sejati, diantara umat manusia. Setiap agama senantiasa mendorong umatnya untuk saling mengasihi, berbudi luhur berakhlak mulia, saling mencintai dan penuh toleransi. Saling menyayangi dan saling mengasihi menjadi ajaran utama setiap penganut agama, sekaligus sebagai filosofi dan solusi dalam merekatkan hubungan antar umat beragama," kata SBY.
Acara Natal Nasional Partai Demokrat ini, dihadiri oleh sekitar 2000 orang. Adapun diantara yang hadir yakni pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor pemilihan 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan dan jajaran petinggi Partai Demokrat.



Feriawan Hidayat/FER

BeritaSatu.com
👮

TEMPO.COBogor - Presiden Joko Widodo akhirnya menanggapi keluhan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di media sosial Twitter mengenai banyaknya berita bohong atau hoax. Menurut Presiden Joko Widodo, tidak seharusnya masalah hoax atau berita bohong dikeluhkan. 


"Semua negara juga menghadapi (hoax). Gak perlu banyak keluhanlah, menurut saya," kata Presiden Joko Widodo setelah mengikuti Kejuaraan Panahan Terbuka 2017 di Bogor, Ahad, 22 Januari 2017. 

Baca:
SBY Prihatin Juru Fitnah Berkuasa, Politikus Demokrat: WajarCuitan SBY di Twitter, Hinca: Jaga Media Sosial dari Hoax 

Sebagaimana ditampilkan di Twitter, SBY mengeluhkan Indonesia yang saat ini banjir hoax. Tanpa memberikan solusi, ia hanya menyampaikan, "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar 'hoax' berkuasa dan merajalela. Kapan rakyat dan yang lemah menang? *SBY*."

Cuitan itu pun langsung ditanggapi beragam. Beberapa netizen bahkan merisak SBY dengan menuding ia sebenarnya juga berada di balik berita hoax yang beredar. 

Presiden Joko Widodo melanjutkan komentarnya akan cuitan SBY bahwa Indonesia sesungguhnya pun sedang berperang melawan hoax. Namun, kata ia, hasilnya tak bisa instan. 

Baca juga: 
SBY: Ya Allah Negara Kok Jadi Begini, Juru Fitnah Berkuasa Kicauan SBY Soal Hoax, Wasekjen Demokrat: Hanya ...

Menurut Presiden Joko Widodo, penyebaran hoax baru bisa dibabat habis jika masyarakat sudah benar-benar menerapkan budaya baru dalam berkomunikasi, baik di kenyataan maupun di dunia maya. Budaya baru itu salah satunya adalah mulai membangun nilai-nilai kesopanan dan kesantunan dalam berucap serta menyampaikan ujaran-ujaran di media sosial. 

"Jangan menghasut, jangan memfitnah, jangan menyebarkan kabar bohong, jangan menyebarkan ujaran kebencian. Itu yang selalu saya sampaikan di mana-mana kan," ujar Presiden Joko Widodo. 

Ditanyai apakah dia menganggap cuitan SBY sebagai serangan kepada rezim pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tidak memberikan jawaban konkret. Ia hanya berkata, "Kalau saya bekerja itu membangun sebuah optimisme. Bekerja itu mendorong setiap masyarakat untuk optimis."

ISTMAN M.P.


RMOLJabar. Cuitan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang seakan menyidir Presiden Joko Widodo (Jokowi) disesalkan banyak pihak.

Salah satunya oleh mantan politikus Partai Demokrat Tri Dianto. Ia menilai ocehan SBY itu tidak mencerminkan sikap seorang negarawan.

Menurut dia, lewat cuitan itu, SBY berusaha mencitrakan sebagai pihak yang lemah dan dizalimi.

Kemudian seolah-olah berpihak kepada rakyat merupakan strategi lama SBY. Kata Tri, rakyat sudah cukup paham dengan permainan SBY.

"Sebagai mantan kadernya Pak SBY, saya makin heran dan malu. Kok mantan Presiden begitu," sesal Tri, Sabtu (21/1).

Karenanya, pernyataan SBY lewat akun Twitter itu perlu diberikan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan polemik.

"Kan sekarang yang sedang berkuasa adalah Pak Jokowi. Kenapa dibilang bahwa juru fitnah dan penyebar hoax berkuasa? Biar tidak jadi fitnah dan sumber konflik baru," kata Tri.[gun/jpnn]

👺

Jakarta, Warta.co - Ikrar Nusa Bhakti selaku pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mempertanyakan sikap Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di rumah dinas di Jalan Diponegoro, Menteng, pada Selasa malam, 1 November 2016. 

"Kalau mau lebih bijak, mengapa tidak ke Istana Negara langsung menemui Presiden?" kata Ikrar saat dihubungi, Rabu, 2 November 2016.

Ikrar juga mempertanyakan tindakan Yudhoyono yang juga memilih bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, ketimbang bertemu dengan Jokowi. Yudhoyono menemui Wiranto sebelum bertemu dengan Kalla. Padahal, menurut Ikrar, masyarakat akan menanggapi positif tindakan Yudhoyono bila mau menemui Jokowi. "Saya melihat tujuan dua pertemuan itu sebagai upaya klarifikasi," ujarnya.

Klarifikasi itu diperlukan, menurut Ikrar, lantaran muncul isu keterlibatan Yudhoyono di balik rencana demonstrasi organisasi massa Islam pada 4 November mendatang. Ikrar menuturkan ada sejumlah pengakuan dari organisasi massa tentang kucuran dana hingga Rp 10 miliar untuk demo tersebut.

"Ada berita yang mengungkapkan soal uang yang katanya dari Yudhoyono, sehingga klarifikasi itu dianggap perlu," tuturnya.

Ikrar menyarankan Yudhoyono tetap menemui Jokowi untuk membina hubungan baik dan menjalin komunikasi politik. Ikrar membandingkan Yudhoyono dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, yang menjadi oposisi pemerintah saat ini, yang mau menerima kunjungan Jokowi. Selain Prabowo, Presiden RI ketiga, B.J. Habibie, mau menemui Jokowi.

"Yudhoyono lebih banyak mengomentari Jokowi melalui Twitter," ucapnya.

Via Nasional Tempo.co
👀👀


Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Di saat ribuan umat Islam marah atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal surat al Maidah, seharusnya negarawan bisa ikut menenangkan situasi. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atau yang akrab dipanggil SBY.
Dalam pernyataannya di kediamannya, Cikeas Jawa Barat, Rabu lalu (2/11), SBY menurut peneliti dari Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, SBY tidak ikut menenangkan situasi, ketika ia memberikan pernyataannya soal kasus tersebut.
"Pak SBY sebagai mantan presiden kita, mestinya lebih meredam situasi ketegangan Politik. Lebih mendinginkan, kalau beliau sungguh-sungguh sebagai negarawan,"ujar syamsuddin Haris saat dihubungi wartawan, Minggu (4/12/2016).
Dalam pernyataannya di Cikeas, SBY memaparkan soal tudingan bahwa ia adalah dalang dibalik aksi oleh ribuan umat Islam pada hari Jumat ini (4/11), atau aksi yang akrab disebut sebagai aksi 4 November. Padahal sebelumnya masyarakat juga tidak tahu ada tuduhan tersebut.
Syamsuddin Haris menilai SBY emosional. Seharusnya SBY sadar bahwa dirinya adalah orang yang pernah memimpin pemerintahan, selain itu SBY juga harus sadar bahwa dirinya adalah ayah dari Agus Harimurti Yudoyono, yang maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta sebagai saingan Ahok.
"Kalau (jadi) saya, (saya akan mengatakan) kita percayakan pada pemerintah untuk menegakkan hukum terkait penistaan agama. Biarkan hukum yang bekerja," ujarnya.
💪
JAKARTA (Pos Kota) – Forum Komunikasi Kader Partai Demokrat Seluruh indonesia (FORKODEMSI) melaporkan pengamat politik dan intelijen Boni Hargens terkait fitnah dan pencemaran nama baik mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ke Polda Metro Jaya.
Ketua FORKODEMSI, Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan Boni Hargens telah memfitnah atas pernyataanya yang diungah ke media sosial.”Dia menuduh ketua umum kami dalang dari aksi 411 dan dia mengatakan bahwa itu merupakan hasil korupsi selama 10 tahun,” kata Didi, Kamis (1/12).
Didi menjelaskan, itu merupakan sebuah fitnah keji yang ditujukan kepada mantan Presiden RI.”Dia mengatakan itu di berbagai forum yang diadakan diskusi pada 11 November,” ucapnya.
Selain itu, Didi menambahkan pihaknya membawa sejumlah barang bukti.”Bukti rekaman dan di media sosial juga masih ada,” tambahnya.

Boni Hargens dikenakan pasal 310 ayat (1) jo pasal 311 KUHP jo pasal 27 (3) UU ITE jo pasal 28 ayat (2) UU ITE jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.(M4/ilham)
💪
Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan mengerahkan 50 bus untuk membantu para peserta aksi damai 4 November 2016 yang menginap di DPR RI kembali ke daerah masing-masing.
Kasubbag Humas Kemenhub‎ Pitra Setiawan mengatakan pengerahan 50 bus yang merupakan bus PPD tersebut langsung dikoordinir oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Pudji Hartanto. Hal ini dilaksanakan atas perintah Menteri Perhubungan agar tetap menjadi pelayan masyarakat.




























"Pengerahan bus ini atas instruksi langsung Bapak Menteri Perhubungan, agar negara tetap melayani publik walaupun itu pengunjuk rasa,” ungkap Pudji‎ dalam rilis, Sabtu (5/11).
Dia menambahkan sebanyak 15 bus PPD dikerahkan untuk memulangkan para pengunjuk rasa kembali ke wilayah JABODETABEK, 5 Bus PPD untuk ke daerah lainnya seperti Cirebon dan Lampung serta 30 bus PPD disiagakan di kantor Kementerian Perhubungan.
Layanan ini diberikan secara gratis tanpa di pungut bayaran. Pihaknya meminta awak pengemudi mengutamakan keselamatan dalam perjalanan dengan disiplin lalu lintas dan menjaga kondisi fisiknya.
"Saya tegaskan dilarang memungut biaya, dan lapor kepada petugas bila ada permasalahan,” ujarnya. ‎



Liputan6.com, Jakarta - Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyayangkan demo 4 November yang semula damai, berujung ricuh. Dia pun meminta warga jangan mudah terprovokasi kepentingan politik.
"Hati-hati dengan para penumpang gelap, mereka yang akan memanfaatkan demo itu untuk kepentingan pribadi dan politiknya," ujar Djarot di kawasan Jelambar, Jakarta Barat, Sabtu (5/11/2016).
Menurut dia, demonstrasi kemarin tidak hanya bertujuan mendemo pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dia menilai sebagian pihak ingin menjatuhkan pemerintahan Jokowi-JK melalui kericuhan semalam.
"Kalau kita lihat ekskalasinya demo. Kemudian saya mendengarkan pidato Pak SBY sampai dengan tadi malam dengan berbagai macam statement dari berbagai elite politik. Ini arahnya bukan hanya menuju pada Pak Ahok. Arahnya ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah, pemerintahan Pak Jokowi. Ini yang patut kami sayangkan," tegas Djarot.
Dia juga menilai demo kemarin bukan hanya ingin menuntut percepatan pengusutan dugaan penistaan agama oleh Ahok. Unjuk rasa tersebut juga bertujuan agar Ahok batal maju di Pilkada DKI 2017.
"Masalahnya bukan hanya menyangkut masalah kasus hukumnya Pak Ahok, tapi lebih menyangkut masalah kalau bisa Pak Ahok jangan sampai maju dalam pilgub. Ini karena kasus seperti ini," ucap Djarot.
Dia pun meminta pesaing politik Ahok-Djarot agar bertanding secara adil. Lebih baik bersaing dengan mengadu gagasan dan program untuk DKI Jakarta.
"Ayolah kalau mau bertanding bersaing yang fair. Katanya kita mau adu gagasan, adu ide, ya adu program, mari yang fair, sudah. Lepaskan saja kami, ini masalah Pilkada DKI. Pilpres nanti 2019, saya minta tolonglah jangan korbankan ambisi-ambisi politik jangka pendek sesaat dengan mengorbankan masyarakat kita, dengan mengorbankan ekonomi kita," tandas Djarot.

DETIK Jakarta - Sekjen Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan menegaskan kalau partainya tidak akan menjegal pemerintahan Jokowi-JK lewat suara mayoritas di parlemen. Menurutnya, pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang berniat menghambat Jokowi tidak perlu dibesar-besarkan

"Itu pendapat Pak Hashim. Enggak usah dibesar-besarkan. Kami sampai saat ini tidak ada rencana untuk jegal atau hambat Pak Jokowi," ujar Taufik saat dihubungi, Rabu (8/10/2014) malam.

Taufik menegaskan, KMP dan khususnya PAN mendukung kebijakan pemerintah Jokowi-JK selama mendapat dukungan dari rakyat.

"Eksekutif dan legislatif itu kan mitra yang harus saling mendukung. Lagian, negara kita juga sistem presidensial," katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengatakan kalau pihaknya punya niat untuk menjegal pemerintahan Jokowi. Adik dari Prabowo Subianto ini menyindir kasus korupsi pembelian bus TransJakarta buatan Tiongkok saat Jokowi masih aktif menjadi Gubernur DKI.

"Kami akan menggunakan kekuatan kami untuk menginvestigasi dan menghambat," kata Hashim kepada Reuters di kantornya, Selasa kemarin.



DETIK Jakarta - PDIP mengucapkan selamat kepada Koalisi Merah Putih yang berhasil menduduki posisi pimpinan MPR. Partai berlambang banteng moncong putih itu pun berpesan agar pimpinan MPR selalu amanah dalam menjadi pemimpin.

"Kami ucapkan selamat ke Pak Zulkifli Hasan dan kawan-kawan sudah memenangkan voting yang demokratis. Semoga Pak Zulkifli amanah, jaga marwah MPR," kata Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo di Gedung DPR, Senayan, Rabu (8/10/2014).

Meski gigit jari karena tidak mendapat satu pun posisi pimpinan di DPR dan MPR, PDIP mengaku tidak kecewa. Tjahjo menuturkan bahwa kontribusi bisa diberikan lewat cara lain.

"Menang kalah biasa. Sebagai anggota kan masih bisa ikut berpartisipasi," ucapnya.

Tjahjo pun enggan menunjuk satu pihak sebagai biang kekalahan Koalisi Indonesia Hebat. "Kami tidak bisa menunjuk siapa-siapa, kan votingnya tertutup," tegasnya.

KMP berhasil menang voting paket pimpinan MPR dengan 347 suara. Pimpinan MPR 2014-2019 adalah Zulkifli Hasan (PAN/Ketua), Mahyuddin (Golkar), Hidayat Nur Wahid (PKS), EE Mangindaan (PD) dan Oesman Sapta (DPD).


Liputan6.com, Jakarta - Jumat 26 September 2014 pukul 02.00 dini hari, sebuah keputusan mahapenting dikeluarkan DPR lewat RUU Pilkada: mengembalikan pemilihan kepala daerah -- gubernur, walikota, bupati -- ke para legislator. Mengambil hak itu dari rakyat yang sebelumnya bisa memilih langsung pemimpinnya.

Oleh pendukungnya, keputusan tersebut dianggap bisa menghemat biaya pemilihan langsung dan meminimalisasi konflik. Bagi penentangnya, itu pengkhianatan demokrasi. Matinya kedaulatan rakyat.

Tak hanya jadi perdebatan panas di Indonesia, keputusan kontroversial tersebut juga jadi sorotan di dunia.

Situs berita Amerika Serikat, CNN hari ini memuat artikel berjudul 'Indonesians lose right to directly elect governors, mayors' -- 'Rakyat Indonesia kehilangan hak untuk memilih langsung gubernur, walikota'. Juga The New York Times yang memuat artikel, "Parliament in Indonesia Rolls Back Election Rights".

Pun dengan situs berita Inggris, Guardian, dengan artikel berjudul 'Indonesian parliament scraps direct elections, undermining Joko Widodo'

"Pemungutan suara didukung oleh Prabowo, yang dikalahkan Joko Widodo dalam pemilihan presiden. Mengembalikan sistem pemilu kembali ke era Soeharto," demikian dimuat Guardian, Jumat (26/9/2014).

Pemilihan walikota, bupati, dan gubernur secara langsung dimulai tahun 2005. Proses itu dilihat sebagai bagian penting  transisi demokrasi setelah kejatuhan rezim Soeharto.

Situs berita Wall Street Journal, dalam artikelnya yang berjudul 'Indonesia Lawmakers Vote to End Direct Regional Elections'  memuat kalimat awal (lead) yang menohok.

"Anggota dewan di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia melakukan pemungutan suara, yang akibatnya justru membuat negaranya menjadi kurang demokratis." Ironis.

Sementara, situs Bloomberg menyoroti salah satu dampak dibatalkannya pemilihan langsung. "Parlemen meloloskan RUU yang menghapus pemilihan langsung, yang mengakhiri sistem yang berlaku selama 1 dekade -- demokrasi daerah yang menghasilkan pemimpin seperti Joko Widodo.

"Sulit untuk tidak melihat RUU ini sebagai manuver politik -- untuk mengambil alih kembali hak dalam pemilu dari rakyat ke para pemimpin dan elit partai -- terkait kekalahan dalam pemilihan presiden," kata Andrew Thornley, direktur program pemilu The Asia Foundation seperti dimuat Bloomberg.

Media di Benua Asia juga tak ketinggalan menyoroti putusan tersebut. Yakni The Straits Times dan The Malay Online.

Situs Australia, Sydney Morning Herald menyoroti sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengumumkan pihaknya akan menggugat keputusan DPR tersebut dari  Willard Hotel di Washington DC, Amerika Serikat.
urusan agama, bukan urusan politik, pak

"Meskipun partainya sendiri sebagian besar bertanggung jawab untuk meloloskannya," demikian dimuat Sydney Morning Herald.

Sikap SBY yang adalah ketua umum Partai Demokrat juga mendapat kritik dari penasihat senior dari International Crisis Group (ICG), Sydney Jones. Ia menyoroti rencana penyelenggaraan Bali Democracy Forum yang akan digelar awal Oktober mendatang dengan 'pertunjukan' yang terjadi di dewan dini hari tadi.

"Was your cherished Bali Democracy Forum all for show, Mr President? #ShameOnYouSBY" -- demikian ditulisnya dalam Twitter.

Pemungutan suara terkait RUU Pilkada di DPR menghasilkan 135 suara memilih pilkada langsung dan 226 suara menghendaki pilkada melalui DPRD dari 361 anggota DPR yang bertahan hingga Jumat dini hari. (Yus)


PKS Anggap Hasil Survei 'Kompas' Peringatan Dini Penulis : Imanuel More | Selasa, 24 Juli 2012 | 23:23 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq

menyatakan akan memperhatikan hasil survei Litbang Kompas yang memprediksikan anjloknya suara PKS dalam Pemilu/Pilpres 2012. Hasil survei tersebut dianggap sebagai peringatan dini bagi partainya. "Itu early warning (peringatan dini) jika itu benar. Kita siap melakukan perubahan. Masih ada dua tahun untuk mengubah paradigma," kata Luthfi Hasan Ishaaq dalam acara Buka Bersama di kediaman Hidayat Nur Wahid, di Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2012) malam. Survei Litbang Kompas memprediksikan melorotnya suara PKS pada 2014. PKS ditempatkan di bawah Partai Gerindra, bahkan Partai Nasional Demokrat yang notabene adalah parpol pendatang baru. Karena itu, Luthfi menjanjikan akan mengkaji kebenaran dari hasil survei tersebut. Bila memang dibutuhkan, pihaknya siap melakukan perubahan internal. Presiden PKS juga menyatakan belum menyiapkan calon presiden untuk Pilpres mendatang. Ia menjelaskan, partainya memiliki karakteristik berbeda dibandingkan parpol lainnya. "Kita belum berbicara soal Pilpres. Bagi partai lain, capres adalah lokomotif yang akan merekrut suara. Kalau PKS, partainya sendiri sudah jadi lokomotif, mesin pengangkut suara. Jadi last minute (menit terakhir) baru akan kita ajukan tokoh nanti," ujar Luthfi. Ia mengutarakan, PKS akan mengusung tokoh yang potensial dalam Pilpres nanti. Pihaknya pun belum memikirkan koalisi dengan parpol untuk mengusung nama calon tertentu. Editor : Tri Wahono

👮

Indonesian leader Susilo Bambang Yudhoyono will end his 10-year presidency in coming days. The retired general, popularly called SBY, won Indonesia’s first direct presidential election in 2004 and secured a second term in 2009. Indonesian law allows only two presidential terms in a row. Former Jakarta governor Joko Widodo, who won this year’s presidential election contest over Prabowo Subianto, will replace SBY on Monday.
SBY was re-elected for his many promises on national politics, the economy and foreign policy. He promised to increase regional autonomy, protect democracy, respect human rights, reform the bureaucracy and eradicate corruption.
SBY targeted 7% annual economic growth. He aimed to reduce poverty and unemployment rates by 8-10% and 5-6% respectively. He promised better health care, free education and cheap housing. He pledged to improve the country’s decaying infrastructure: notably transportation sectors, public works, clean water, information technology and agricultural sector.
On foreign policy, SBY promised to modernise the military and to play a more active role in international affairs, especially in safeguarding the global peace.
But looking back, what is the legacy of SBY’s decade in power?

Years of political indecisiveness

In the last weeks of SBY’s presidency, the Red and White coalition led by the party of defeated presidential candidate Prabowo Subianto scrapped direct elections of local leaders. Analysts view this as a retrograde step for Indonesia’s democracy.
It will seem unfair to judge the entire presidency of SBY by this latest episode in Indonesian politics. But his inaction during the deliberation of the controversial law, followed by suddenly releasing a regulation in lieu of a law to annul it, were typical of how SBY has run things in the last 5 years.
The public uproar at Indonesians having their rights to elect governors, mayors and regents taken away is a culmination of years of pent-up frustration and anger. Most of the Indonesian public perceive SBY as indecisive and lacking in principle.
I can live w an image-driven presidency but to cowardly walk away as Prabowo and his gang try to kill democracy? unacceptable 
This is not the only example of SBY’s unreliability. He has repeatedly complained about the poor performance of his ministers, yet he replaced few of them. He promised to rid the country of entrenched corruption but his trusted ministers were indicted by the Corruption Eradication Commission.
In fact, his Democratic Party was involved in many corruption scandals. SBY is now party chairman because the former chair, Anas Urbaningrum, is serving time in jail for corruption.
SBY was re-elected by winning 67% of the popular vote, yet he seemed to act as if he had won by a slim margin. Fearful of alienating Muslim voters, he stood by as religious thugs such as the Islamic Defenders Front (FPI) persecuted religious minorities. He seems not to realise that FPI is widely unpopular among the majority moderate Muslims in Indonesia.
Regardless of all SBY’s blunders, we cannot deny Indonesia has moved forward from the days of Suharto. SBY’s presidency is marked by greater freedom of speech and expression compared to the New Order era.
Back then, criticising the president openly in public would mean getting a knock on the door from the Special Forces in the middle of the night. With all the vitriol thrown at SBY on social media, no-one has ever been arrested for hurting the president’s feelings.

Politics over economy

In the past 10 years, Indonesia’s economy has consistently grown at a respectable rate of 5-7%. It is among the top-performing economies in the G20. Indonesia survived the global financial crisis between 2007 and 2009.
SBY tried to open up Indonesia’s economy by encouraging foreign investment, cutting red tape, cracking down on corruption and improving transportation infrastructure. However, he put his popularity ahead of Indonesia’s economy by politicising fuel subsidies. As a result, in the last 10 years the government has done very little to build roads, ports and bridges. This was basic infrastructure needed to help business.
According to the World Bank, in 2012 Indonesia spent less than 1% of its GDP on infrastructure. As a result of poor infrastructure, it is very expensive to transport goods in Indonesia. According to the World Bank’s State of Logistics Indonesia 2013 report, Indonesian logistics costs are among the highest in the region, reaching 27% of the GDP.
Just before the 2009 presidential election, SBY lowered the fuel price three times. He was re-elected and the Democrats increased their total number of seats in the parliament from 57 in 2004 to 150 in 2009.

The political gains came at the expense of much-needed money for infrastructure spending. Indonesia spends one-fifth of its national budget on fuel subsidies. Without subsidies, the government could have doubled its spending on infrastructure and social welfare.
When SBY finally tried to reduce the subsidies he faced so much opposition to higher fuel prices that it was only after months of negotiations that he managed to do so on in June 2013.

No muscle to back Indonesia’s foreign policy

On foreign policy, SBY’s administration is a mixed bag. Indonesia does have a greater positive international exposure. With its “thousand friends, zero enemies” policy, Indonesia shows more leadership in ASEAN while improving relationship with other key players in region, notably the United States, Australia, China, Japan and India.
At times, however, Indonesian foreign policy seems to lack direction. It remains unsure of how to settle the dispute in the South China Seas.
Also, even though SBY has increased military spending in the last two years, the Indonesian military remains underfunded, unable to provide muscle to back up foreign policy. That makes Indonesia look to be mostly talk with little substance.

Wasted opportunities

More could have been done during SBY’s reign. While it may not be reasonable to expect the president to fulfil all his promises, such as demanding Indonesia maintain a constant 7% economic growth, in many cases SBY simply messed up due to his inability to act decisively.

It is a shame that in the end this administration will be remembered as one of years of wasted opportunities. SBY had so much power and public support — more than his successor Joko Widodo has now. He was actually in a position to adopt unpopular but much-needed policies. Yet he fumbled due to his unwillingness to break some eggs.