KOMPAS.com —Untunglah Presiden Joko Widodo tidak jadi mengumumkan kabinetnya di Terminal III, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 23 Oktober yang lalu. Waktu itu wartawan sudah pergi ke lokasi dengan bus yang disediakan panitia. Rencana mengumumkan kabinet di Tanjung Priok, bukan di gedung pemerintahan, seperti biasa dilakukan presiden-presiden sebelumnya, tentu dimaksudkan untuk memantapkan konsepsi program Presiden Jokowi yang memberi perhatian besar pada kemaritiman. Simbolisme seperti ini pernah dilakukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika mereka menyampaikan pidato kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa, 22 Juli.
Setelah menunggu enam hari, Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya di Istana Kepresidenan, Minggu (26/10/2014). Cara mengumumkan masih dalam balutan simbolisme. Pengumuman digelar dengan informal, berfoto di halaman rumput Istana. Tidak memakai jas rapi dan mahal, semua menteri diminta Jokowi mengenakan baju putih, celana hitam. Pakaian lengan panjang para menteri digulung setengah. Ketika Jokowi memperkenalkan satu per satu pembantunya tersebut, bekas Wali Kota Solo itu berteriak, ”Lari, Pak, lari….” Semua menyiratkan makna.
Batalnya pengumuman di Tanjung Priok juga memberi berkah tersendiri. Jokowi mengintroduksi model baru seleksi menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Melalui dua lembaga antikorupsi ini, Jokowi berkeyakinan mendapatkan orang-orang terpilih dan bersih.
Dalam pidato kenegaraan seusai dilantik menjadi Presiden, Jokowi berjanji akan mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. ”Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ’Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya.” Diksi puitis yang juga sarat simbol.
Sebagai bukti pertama dari isi pidato tersebut, Jokowi meningkatkan perhatian kelautan dengan tetap mempertahankan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dipegang Susi Pudjiastuti ditambah dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo. Dari segi postur secara keseluruhan, Kabinet Kerja, demikian sebutannya, terdiri atas 34 menteri. Ini sama dengan jumlah kabinet era Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua periode kepresidenan (2004-2009, 2009-2014).
Gagasan perampingan kabinet untuk menekan biaya operasional dan efektivitas pemerintahan tak bisa dijalankan. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) lebih berhasil ketimbang Jokowi dalam menampilkan postur kabinet yang ramping dengan hanya mengangkat 30 menteri. Yang menonjol untuk sekarang ini, dari jumlah itu, ada 8 menteri perempuan dan 26 laki-laki. Ini merupakan proporsi yang sangat berpihak kepada emansipasi perempuan dibandingkan dengan periode kepresidenan sebelum Jokowi.
Simbolisme untuk Jokowi bukan aksesori tanpa makna. Bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, pesan simbolis yang gencar dinyatakan merupakan refleksi etos kerja keras dan kesederhanaan hidup yang tidak dibuat-buat serta dilakukan dengan konsisten. Bukan pencitraan. Jokowi sudah membuktikan. Permasalahannya sekarang, apakah para pembantunya tersebut akan mampu berbuat secara nyata dalam tindakan, bukan dalam simbolisme? Waktu yang akan membuktikan. ()
bambang.sigap@kompas.com