Senin, 30 Juli 2012

Yth. PARA TERSANDERA

Polri Minta Barang Bukti KPK Dititipkan Penulis : Hindra Liauw | Selasa, 31 Juli 2012 | 07:36 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dipastikan tidak dapat membawa keluar barang bukti kasus dugaan korupsi simulator kemudi motor dan mobil yang ditemukan di Gedung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Barang bukti tersebut termasuk daliran dana yang mengarah pada pimpinan Korlantas. "Kita akhirnya menyita (barang bukti), tetapi dititipkan di Korlantas. Mereka bersikeras untuk menahan barang bukti di gedung mereka. Benar-benar aneh," kata seorang sumber di lingkungan penyidik KPK kepada Kompas.com, Selasa (31/7/2012). Saat berita ini diturunkan, penyidik KPK dan anggota Polri tengah melakukan pengecekan bersama barang bukti tersebut. Sumber tersebut belum dapat memastikan jumlah barang bukti yang dititipkan. Sebelumnya, penyidik KPK juga tidak diperkenankan keluar dari Gedung Korlantas seusai melakukan penggeledahan. Setidaknya 10 penyidik tersandera belasan jam. Pantauan Kompas.com di lapangan, Gedung Korlantas Polri masih dijaga ketat oleh beberapa polisi. Pagar gedung tersebut tampak masih digembok rapat dan para wartawan yang ingin meliput penggeledahan oleh KPK itu masih belum diizinkan masuk. Selain itu, tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Ketua KPK Abraham Samad, dan dua wakil ketua, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, juga mendampingi penyidik KPK yang tersandera. "Sejak jam 11 kami menemani tim ledah di sini," kata Busyro melalui pesan singkat kepada wartawan, Selasa. Editor : Kistyarini

Yang Dicari-cari: PRD

Rabu, 25 Juli 2012 08:32:09 Klandestin PRD, rapat di hutan sampai kamuflase pengajian Merdeka.com Reporter: Laurencius Simanjuntak Berdiri pada 22 Juli 1996 atau saat Orde Baru sedang buas-buasnya, tentu bukan perkara mudah bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Apalagi, ketika itu partai berhaluan sosialis-demokrat tersebut dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. "30 Tahun, delapan bulan dan 22 hari kekuasaan Orde baru," cetus Ketua Umum PRD, Budiman Sudjatmiko, menghitung usia kekuasaan Soehato saat itu. Pidato Budiman tersebut kemudian dikenal sebagai Manifesto Partai yang dibacakan tepat 22 Juli 1996 atau 16 tahun yang lalu. Deklarasi PRD di Kantor YLBHI itu jelas bukan gerakan sporadis karena Orba kelewat bengis. Tapi cita-cita revolusi PRD saat itu sungguh-sungguh serius. Lama sebelum akhirnya dideklarasikan menjadi partai, PRD yang semula bernama Persatuan Rakyat Demokratik, sudah bergerak secara klandestin. "Kami biasanya melakukan konsolidasi berpindah-pindah tempat untuk menghindari penciuman aparat intelijen," kata Budiman saat berbincang dengan merdeka.com di Jakarta, Rabu (25/7). Semua tahu, di era kekuasaannya, Soeharto menempatkan aparat intelijen sampai ke desa-desa untuk mencium indikasi-indikasi gerakan pembangkangan terhadap pemerintahan otoriternya. 'Sehelai rambut jatuh pun Soeharto tahu,' demikian hiperbola bagi sang penguasa saat itu. Untuk mengindar dari 'radar' Soeharto itulah, PRD kerap menjauhi keramaian saat hendak berdiskusi atau menggelar rapat-rapat konsolidasi. Tepi hutan atau lereng gunung akhirnya menjadi pilihan. "Kita pernah rapat di sebuah hutan tembakau di ujung timur laut Jakarta, di mana kami harus naik perahu berjam-jam," kisah Budiman yang sekarang menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun dari sekian banyak, kata Budiman, paling sering rapat dilakukan di pesantren atau seminari. "Karena kebetulan banyak aktivis-aktivis PRD yang berasal dari kalangan pesantren atau calon-calon pastur yang gagal," kata Budiman sambil tertawa. Untuk urusan kamuflase pengajian, Faisol Riza adalah jagonya. Berlatar belakang pesantren, pria kurus yang kini menjadi Staf Khusus Menakertrans itu, kerap menggunakan jaringannya para kiai di pesantren Nahdlatul Ulama (NU) untuk tempat mengumpat. Sementara untuk seminari, PRD sering menggunakan jejaring kadernya, Fransisca Ria Susanti. "Pernah saat aparat memaksa masuk, kita langsung menaruh Alquran di depan dan menyembunyikan dokumen-dokumen kongres di bawah pantat kita," ujarnya. Agar gampang disembunyikan, kata Budiman, dokumen atau diktat bahan diskusi dicetak dalam bentuk brosur-brosur kecil. "Jadi hurufnya pun sangat kecil-kecil," kata Budiman sambil mengernyitkan dahi. Namun, tak semua kamuflase acara rohani itu berjalan mulus. Jika sudah tercium intelijen, kata dia, biasanya para kiai pondok pesantren atau pastor-pastor yang mengasuh seminari menggunakan otoritasnya untuk mencegah aparat masuk. "Alasannya bahwa yang di dalam itu adalah santri-santri yang mengaji atau mahasiswa-mahasiwa yang sedang retret rohani," ujarnya. Semua gerakan klandestin yang menyerempet bahaya itu, kata Budiman, menunjukkan perjuangan untuk demokratisasi melawan kediktatoran Orba bukan cuma perjuangan fisik atau praktik. "Tapi juga perjuangan teori," katanya. Artinya, lanjut Budiman, PRD menuntut kader-kadernya tidak hanya pintar mengorganisir aksi massa, menghadapi moncong senapan atau gas air mata, tetapi juga wajib membaca dan menulis artikel untuk menjelaskan argumentasi sikap politik mereka. "Mereka harus siap berlatih semuanya tanpa fasilitas. Harus siap dalam situasi apa pun, di kebun, di hutan, di pantai, di pesantren, kampus atau seminari-seminari," ujarnya. Meski cita-cita revolusi akhirnya gagal, gerakan bawah tanah PRD sekian tahun itu membawa hasil yang tidak terlalu mengecewakan. PRD mampu membangun tak kurang dari 14 pengurus di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten/kota. Pada Pemilu 1999, partai bernomor urut 16 yang baru seumur jagung itu berhasil mengumpulkan 78 ribu suara. Diaspora kader-kader PRD pun kini beragam. Ada yang menjadi anggota dewan, staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis handal, ideolog serikat buruh, pembela petani tembakau, pimpinan parpol di daerah-daerah, dan sebagainya. Ini semua tak akan mungkin tanpa perlawanan. [did]

Selasa, 24 Juli 2012

Kebebasan ETNIS@kota WALI

Denyut Toleransi di Kota Wali Penulis : | Sabtu, 21 Juli 2012 | 21:33 WIB Oleh Rini Kustiasih Beberapa meter dari Pasar Jagasatru, Kota Cirebon, Jawa Barat, Nur Hayati (64), alias Tjiang Kwa, duduk di tepi jalan, dengan meja kecil, menjajakan aneka pepesan. Lewat pepesan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika melebur bersama denyut warga ”Kota Wali” ini. Tidak susah mengenali Tjiang Kwa. Parasnya ayu dan putih di usianya yang senja, mudah ditemukan di antara pelanggan yang pada sore pekan lalu membeli pepesan buatannya. ”Yah bagenlah, nemratusan bae ya (Ya sudahlah, Rp 600 saja, ya),” kata Tjiang Kwa, sambil menyerahkan lima pepesan oncom terakhir yang tersisa dalam plastik. Dagangannya pun ludes terjual. Perempuan yang murah senyum ini bersukacita menceritakan Cirebon, tanah kelahirannya. Menurut Tjiang Kwa, warga kotanya terbuka, tak usil, dan bertoleransi tinggi. ”Dengan tetangga sekitar, saya tak pernah bertengkar hanya karena saya keturunan Tionghoa. Semua tidak ada bedanya,” ujarnya. Tjiang Kwa tinggal di Kampung Purwasari, Kelurahan Pulasaren, sekitar 1 kilometer arah barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Tak jauh dari sana ada Jalan Petratean dan Pekalipan sebagai pusat perdagangan hasil bumi. Kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa. Kehangatan relasi sosial, seperti dirasakan Tjiang Kwa, sejatinya dibangun sejak abad ke-14 oleh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melalui dialog kebudayaan, Gunung Jati mengakomodasi tradisi lama dengan napas keislaman yang damai dan percaya diri. Seperti diterangkan R Achmad Opan Safari Hasyim, pengajar Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, yang meneliti naskah kuno dan Babad Cirebon. Opan mencatat, dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon, yang ditulis sekitar abad ke-17, disebutkan asal kata Cirebon adalah sarumban, yang berkembang menjadi caruban, yang artinya campuran. Orang dari berbagai etnis dan agama campur baur di kota pelabuhan ini. Banyak pendatang singgah mengisi perbekalan atau berdagang. Kompleks keraton, kini ada tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta satu perguruan Kaprabonan, pun kaya akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak dari Hindu. Tembok dihiasi keramik dari China. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan juga dibangun dengan atap limasan dan pintu gerbang menyerupai pura berwarna merah. Saat Belanda masuk ke Cirebon pada abad ke-16, unsur Kristen mewarnai peradaban Kota Wali. Ruang Prabayaksa di Keraton Kasepuhan, misalnya, dindingnya dihiasi porselen Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setiap keramik menggambarkan cerita nabi dalam Injil Perjanjian Lama. Interaksi harmonis Pola interaksi sosial antarwarga yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan merujuk pada keraton dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol. Terjadi pula zonasi tempat tinggal yang alamiah di antara dua komunitas besar pendatang, yakni Tionghoa dan Arab, dengan keraton sebagai sentral. Komunitas Tionghoa tinggal di pecinan yang dekat dengan keraton. Pecinan berada di daerah Lemahwungkuk, tempat pertama kali Kerajaan Pakungwati (sekitar tahun 1430) didirikan Pangeran Walangsungsang, putra mahkota Kerajaan Padjadjaran sekaligus paman Syarif Hidayatullah dari garis keturunan Sunda. Lebih jauh ke utara-barat, sekitar 1,5 kilometer dari keraton, ada Kauman, yakni kampung keturunan Arab di sekitar Masjid Panjunan. Masjid ini dibangun oleh Syekh Abdurrahman dari Baghdad, Irak, tahun 1480. Kholid bin Zou (62), tokoh keturunan Arab, menuturkan, sebagian besar orang Arab di kota itu berasal dari Yaman. Ada juga dari Arab Saudi, tetapi jumlahnya sedikit. Mereka merantau ke Cirebon lantaran kondisi di negaranya serba sulit. ”Ayah saya tiba di Cirebon tahun 1917. Ketika itu Kesultanan Cirebon masih kuat. Keluarga kami sering diundang keraton untuk mengikuti berbagai acara,” kenang Kholid menirukan cerita ayahnya yang memiliki 12 anak. Semua anak Zou lahir di Cirebon, tetapi cuma Kholid yang bertahan di kota kelahirannya. ”Ibu yang asli Tegal mencegah saya berangkat ke Yaman,” katanya. Umumnya, keturunan Arab generasi pertama, seperti ayah Kholid, membuka usaha pertenunan kain sarung dan berdagang hasil bumi. Keturunan mereka menyebar di Kecamatan Kejaksan dan Lemahwungkuk. Kini mereka banyak memiliki toko di Jalan Panjunan dan Kolektoran. Keharmonisan Arab-Tionghoa itu juga masih bisa ditemui dari rumah bergaya Hokkian yang tersisa di daerah Panjunan. Sedikitnya ada lima rumah bergaya Hokkian di Kauman, dicirikan dengan atap melengkung, banyak jendela di loteng, dan pintu di bawah untuk berdagang. Dalam hubungan dengan kelompok yang terlebih dahulu ada di Cirebon, seperti warga Sunda dan Jawa, Sunan Gunung Jati tidak membeda-bedakan perlakuan. Bahkan, untuk urusan penyebaran agama dan penyelesaian konflik, dia yang adalah salah satu penyebar Islam di Jawa mengutamakan cara damai sesuai adat setempat. Editor : Desk Multimedia

56 Tahun dst @Kebebasan BERIBADAH

Masjid-Gereja di Tanjung Priok Cermin Toleransi Beragama Penulis : Galih Prasetyo | Rabu, 25 Juli 2012 | 05:11 WIB JAKARTA, KOMPAS.com -- Ada pemandangan menarik di Jalan Enggano No.52 Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masjid dan Gereja berdampingan. Masjid Al-Muqarrabin persis berdempetan dengan Gereja Protestan Mahanaim. Ketua Jemaat Gereja Mahanaim Pendeta Nyonya Tatalede Barakati menjelaskan bangunan gereja sudah berdiri sejak tahun 1957. Menurutnya, masjid Al-Muqarrabin berdiri dua tahun setelah gereja berdiri. "Gereja ini (usianya, red) sudah masuk ke-55 tahun, dibangun dari tahun 1957. Sedangkan masjidnya baru ada sekitar dua tahun setelah gereja berdiri. Satu tembok, satu dinding," kata Pendeta Tatalede Barakati saat ditemui Kompas.com di Gereja Mahanaim, Jakarta Utara, Selasa (24/7/2012). Tatalede mengatakan, hubungan yang sudah terjalin antara pengurus gereja dan masjid tidak pernah menemui masalah. Apabila ada acara keagamaan, seperti bulan suci Ramadhan, Lebaran atau Natal mereka saling mendukung. Meskipun pihak gereja mengaku belum pernah membuat acara bersama. "Kalau acara bersama sih belum ada. Tetapi kita saling mendukung. Kami memberikan bantuan juga. Kalau mereka (pihak pengurus masjid) butuh apa, mereka biasanya memberi tahu kami. Begitu pula sebaliknya," tutur Tatalede. Di bulan Ramadhan ini, pihak gereja menjadwalkan akan menggelar buka puasa dengan menyediakan tajil. Sebab, kegiatan serupa juga pernah digelar pada Ramadhan tahun kemarin. Namun hingga kini Tatalede mengaku masih menunggu kabar dari pihak masjid untuk acara buka bersama itu. Biasanya, kata Tatalede, buka puasa bersama dilakukan pertengahan Ramadhan yang diorganisir pihak masjid dan melibatkan warga sekitar. Tahun lalu buka puasa bersama diadakan di sekitar Jalan Melur I, Koja, Jakarta Utara, tak jauh dari lokasi gereja-masjid. "Pada bulan puasa lalu kami membagikan santapan berbuka, seperti kolak. Biasanya dilakukan pertengahan Ramadhan. Kita menunggu kabar dari mereka (pihak masjid)," kata Tatalede. Saat Lebaran pun, kata Tatalade, pihak gereja turut membantu mempersiapkan untuk shalat Idul Fitri. Misalnya, jika shalat Ied bertepatan pada Minggu, pengurus gereja bersedia mengalah dengan cara meniadakan acara mereka. Sementara apabila pihak gereja menggelar ibadah, maka pihak pengurus masjid mempersilakan lahan parkirnya digunakan jemaat gereja. "Selama 55 tahun itu ya hubungan kita akrab. Kami saling mengunjungi. Kami saling perhatian. Kami anggap saudara," ujar Tatalede. Namun kini masjid dan gereja yang berdiri harmonis itu akan direlokasi dengan alasan pelebaran jalan. Gereja akan direlokasi ke Jalan Melur No.5, RT.006 RW 013, Kelurahan Rawa Badak Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Gereja baru sedang dalam proses pembangunan. Sedangkan masjid Al-Muqarrabin belum diketahui akan dipindah kemana. Editor : Farid Assifa