Selasa, 24 Juli 2012
Kebebasan ETNIS@kota WALI
Denyut Toleransi di Kota Wali
Penulis : | Sabtu, 21 Juli 2012 | 21:33 WIB
Oleh Rini Kustiasih
Beberapa meter dari Pasar Jagasatru, Kota Cirebon, Jawa Barat, Nur Hayati (64), alias Tjiang Kwa, duduk di tepi jalan, dengan meja kecil, menjajakan aneka pepesan. Lewat pepesan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika melebur bersama denyut warga ”Kota Wali” ini.
Tidak susah mengenali Tjiang Kwa. Parasnya ayu dan putih di usianya yang senja, mudah ditemukan di antara pelanggan yang pada sore pekan lalu membeli pepesan buatannya. ”Yah bagenlah, nemratusan bae ya (Ya sudahlah, Rp 600 saja, ya),” kata Tjiang Kwa, sambil menyerahkan lima pepesan oncom terakhir yang tersisa dalam plastik. Dagangannya pun ludes terjual.
Perempuan yang murah senyum ini bersukacita menceritakan Cirebon, tanah kelahirannya. Menurut Tjiang Kwa, warga kotanya terbuka, tak usil, dan bertoleransi tinggi. ”Dengan tetangga sekitar, saya tak pernah bertengkar hanya karena saya keturunan Tionghoa. Semua tidak ada bedanya,” ujarnya.
Tjiang Kwa tinggal di Kampung Purwasari, Kelurahan Pulasaren, sekitar 1 kilometer arah barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Tak jauh dari sana ada Jalan Petratean dan Pekalipan sebagai pusat perdagangan hasil bumi. Kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa.
Kehangatan relasi sosial, seperti dirasakan Tjiang Kwa, sejatinya dibangun sejak abad ke-14 oleh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melalui dialog kebudayaan, Gunung Jati mengakomodasi tradisi lama dengan napas keislaman yang damai dan percaya diri. Seperti diterangkan R Achmad Opan Safari Hasyim, pengajar Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, yang meneliti naskah kuno dan Babad Cirebon.
Opan mencatat, dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon, yang ditulis sekitar abad ke-17, disebutkan asal kata Cirebon adalah sarumban, yang berkembang menjadi caruban, yang artinya campuran. Orang dari berbagai etnis dan agama campur baur di kota pelabuhan ini. Banyak pendatang singgah mengisi perbekalan atau berdagang.
Kompleks keraton, kini ada tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta satu perguruan Kaprabonan, pun kaya akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak dari Hindu. Tembok dihiasi keramik dari China. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan juga dibangun dengan atap limasan dan pintu gerbang menyerupai pura berwarna merah.
Saat Belanda masuk ke Cirebon pada abad ke-16, unsur Kristen mewarnai peradaban Kota Wali. Ruang Prabayaksa di Keraton Kasepuhan, misalnya, dindingnya dihiasi porselen Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setiap keramik menggambarkan cerita nabi dalam Injil Perjanjian Lama.
Interaksi harmonis
Pola interaksi sosial antarwarga yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan merujuk pada keraton dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol. Terjadi pula zonasi tempat tinggal yang alamiah di antara dua komunitas besar pendatang, yakni Tionghoa dan Arab, dengan keraton sebagai sentral.
Komunitas Tionghoa tinggal di pecinan yang dekat dengan keraton. Pecinan berada di daerah Lemahwungkuk, tempat pertama kali Kerajaan Pakungwati (sekitar tahun 1430) didirikan Pangeran Walangsungsang, putra mahkota Kerajaan Padjadjaran sekaligus paman Syarif Hidayatullah dari garis keturunan Sunda.
Lebih jauh ke utara-barat, sekitar 1,5 kilometer dari keraton, ada Kauman, yakni kampung keturunan Arab di sekitar Masjid Panjunan. Masjid ini dibangun oleh Syekh Abdurrahman dari Baghdad, Irak, tahun 1480.
Kholid bin Zou (62), tokoh keturunan Arab, menuturkan, sebagian besar orang Arab di kota itu berasal dari Yaman. Ada juga dari Arab Saudi, tetapi jumlahnya sedikit. Mereka merantau ke Cirebon lantaran kondisi di negaranya serba sulit.
”Ayah saya tiba di Cirebon tahun 1917. Ketika itu Kesultanan Cirebon masih kuat. Keluarga kami sering diundang keraton untuk mengikuti berbagai acara,” kenang Kholid menirukan cerita ayahnya yang memiliki 12 anak. Semua anak Zou lahir di Cirebon, tetapi cuma Kholid yang bertahan di kota kelahirannya. ”Ibu yang asli Tegal mencegah saya berangkat ke Yaman,” katanya.
Umumnya, keturunan Arab generasi pertama, seperti ayah Kholid, membuka usaha pertenunan kain sarung dan berdagang hasil bumi. Keturunan mereka menyebar di Kecamatan Kejaksan dan Lemahwungkuk. Kini mereka banyak memiliki toko di Jalan Panjunan dan Kolektoran.
Keharmonisan Arab-Tionghoa itu juga masih bisa ditemui dari rumah bergaya Hokkian yang tersisa di daerah Panjunan. Sedikitnya ada lima rumah bergaya Hokkian di Kauman, dicirikan dengan atap melengkung, banyak jendela di loteng, dan pintu di bawah untuk berdagang.
Dalam hubungan dengan kelompok yang terlebih dahulu ada di Cirebon, seperti warga Sunda dan Jawa, Sunan Gunung Jati tidak membeda-bedakan perlakuan. Bahkan, untuk urusan penyebaran agama dan penyelesaian konflik, dia yang adalah salah satu penyebar Islam di Jawa mengutamakan cara damai sesuai adat setempat.
Editor :
Desk Multimedia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar