Senin, 27 Desember 2010

mendompleng citra, lagi

Dewan Pers Minta SBY Tak Salahkan Media
Dwi Afrilianti - Okezone
Selasa, 12 Juli 2011 10:47 wib


JAKARTA – Pemberitaan negatif soal Partai Demokrat (PD) belakangan ini membuat Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), angkat bicara. Media massa dituding kurang objektif dalam memberitakan konflik di tubuh PD.

SBY berpendapat, tidak sepantasnya media massa membuat berita yang bersumber dari pesan singkat (SMS) atau BlackBerry Messenger (BBM). Sebab, kata dia, data tersebut tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Pernyataan SBY itu bertentangan dengan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Menurut Bagir, tidak ada yang salah dengan media massa belakangan ini yang memberitakan kisruh di tubuh partai pemenang di 2009 tersebut. Kata Bagir, wartawan selama ini masih on the track.

“Kami berpendapat, pemberitaan soal Demokrat masih di dalam fungsi jurnalistik, karena berita itu semua berdasarkan fakta. Hanya barangkali ada perbedaan persepsi soal pengertian fakta,” kata Bagir Manan kepada wartawan di Gedung Dewan Pers, Selasa (12/7/2011).

Menurut Bagir, fakta jurnalistik itu tidak harus secara materil dibuktikan kebenarannya, seperti yang terjadi dengan BBM Nazaruddin atau SMS Marzuki Alie. Sebab, lanjut dia, yang bertugas untuk mencari tahu kebenaran pesan elektronik tersebut asli atau tidak bukanlah tugas jurnalis, melainkan pihak berwajib.

“Jurnalis juga tidak selalu harus ketemu dengan narasumbernya. Salah satu fungsi pers memang mengawasi politik seperti menyoroti kinerja wakil rakyat dan korupsi pejabat,” pungkas mantan Ketua Mahkamah Agung ini.

Menanti 'Mujizat Istanbul' di Senayan
Oleh Kwan Men Yon | 27 December 2010

BISNIS INDONESIA

AC Milan adalah cinta pertama saya kepada sepakbola. Kaka datang kemudian dan membikin saya makin cinta Rossoneri. Namun, apa mau dikata, cinta itu pula yang membuat pertandingan menentukan di Ataturk Stadium, Istanbul, pada sebuah Mei yang buram lima tahun silam menjadi terlalu traumatis untuk dikenang.

Saya harus akui, sulit sekali melupakan naik turun emosi yang tercipta sepanjang partai klasik itu. Antara Milan melawan Liverpool. Di Final Liga Champions.

Dalam 45 menit pertama, Milan seolah pasti juara karena keunggulan 3-0 yang tampak begitu mudah diraih. Saya ingat banget sudah jingkrakan merayakan kemenangan (sementara) di tengah nonton bareng teman-teman mahasiswa di Yogyakarta. Saya tertawa dan berteriak puas. “Milan juara!” seruku berulang-ulang.

Tak dinyana, situasi sukacita itu berubah jadi ketegangan teramat sangat tatkala pada babak kedua Liverpool tampil luar biasa bagus, solid, dan gigih. Mereka bermain bak dunia akan kiamat jika wasit meniup peluit akhir.

Bagaimana hal semacam ini mungkin di bawah langit: Liverpool mencetak tiga gol balasan dalam enam menit! Milan pun terkulai.

Hasil akhirnya, Anda tentu tahu juga, The Anfield Gang yang belum pernah lagi bermain di partai final Liga Champions sejak Heysel 1985, memenangkan game itu lewat adu tendangan penalti. Saya ingat betul, semua pemain Milan menangis sesenggukan seusai pertandingan sebagai tanda penyesalan mendalam.

Andry Shevchenko yang gagal mengeksekusi penalti bagi Milan benar-benar tak bisa kembali ke bentuk permainan terbaik sesudahnya, hingga akhirnya dilepas ke Chelsea pada 2007. Di kubu lain, malam itu merupakan memontum kemunculan kebintangan Steven Gerrard, salah satu kapten terbesar The Kop sepanjang masa.

Tak diragukan lagi, malam itu menyisakan luka yang bakal lama lekang oleh waktu bagi para Milanisti. Saking dramatisnya, kemenangan Liverpool di Turki selalu dirujuk sebagai Mujizat Istanbul.

Beri terbaik

Hari ini, ketika dalam hitungan jam, tim nasional Indonesia harus menghadapi partai hidup mati dengan pasukan Malaysia yang telah unggul 3-0 di pertemuan pertama, saya sungguh berharap Firman Utina dan kawan-kawan mengingat mujizat di Istanbul.

Kondisinya kurang lebih sama kok. Timnas Garuda ketinggalan 3-0 dengan separuh sisa waktu pertandingan. Saya membayangkan pemain Malaysia tengah jumawa, persis sama seperti Paolo Maldini dkk di ruang ganti Stadion Ataturk, karena berpikir piala sudah dalam genggaman.

Suporter tim Negeri Jiran pun pasti telah dilanda keyakinan membuncah akan kesuksesan merebut Piala AFF tahun ini. Mereka mungkin sadar berpeluang besar kalah pada leg kedua di Jakarta, tetapi asal selisihnya tak lebih dari tiga gol, maka Malaysia akan juara.

Bagaimana pun, sungguh berat bagi Indonesia untuk menjebol jala Khairul Fahmi Che Mat sampai tiga kali tanpa sekali pun gawang Merah Putih ditembus.

Namun, bila skenario ini yang terjadi, yaitu skor 3-0 untuk Indonesia, pertarungan bakal diteruskan dengan tos-tosan penalti. Malaysia pun kehilangan keunggulan yang mesti direnggut dengan susah payah, bahkan sampai menggunakan laser dari penonton yang curang!

Sekali lagi, tak akan mudah bagi tim asuhan Alfred Ridle melakukannya. Memang, kita menang 5-1 kala bersua di babak penyisihan. Namun, kita baru saja kalah 0-3 dengan level permainan yang harus diakui tidak sebaik sebelumnya. Pertahanan empat pemain sejajar di belakang terlalu mudah dieksploitasi lawan. Mampukah kita mengubah penampilan buruk tersebut?

Harapan masih ada. Liverpool telah mengajarkan bagaimana bermain bola dengan hati sebuas singa dan akal secerdik serigala. Bagi saya, sekarang tantangannya bagi Tim Garuda bukan lagi memenangkan pertandingan dan juara, tetapi tampil sebaik mungkin. Itu saja dulu.

Kita berharap 11 pemain kebanggaan Indonesia nanti mempertontonkan performa terbaik selama Piala AFF. Kita ingin mereka tampil dengan sepenuh hati, sebaik-baiknya, bukan untuk Pak Presiden, ketua parpol, politisi, atau pengurus PSSI yang tak becus mengurus kompetisi.

Sebaliknya, mereka tampil untuk diri sendiri dan keluarga. Tampil untuk 280 juta warga Indonesia yang akan mendukung hingga detik terakhir pertandingan.

Dus, soal hasil akhir, kita urus belakangan. Terlepas dari kekalahan Milan di Istanbul, saya lebih memilih mengenang permainan indah mereka pada paruh pertama: Kaka yang melesat lincah seperti kijang, Gattuso yang menyeruduk ibarat banteng luka, dan Pirlo yang menyihir dengan umpan dari surga. Bagi saya, Milan juga juara hari itu.

Begitulah saya ingin mengingat timnas pada Rabu malam nanti. Kalah atau menang, juara atau tidak, yang penting permainan indah nan memukau.

Anak-anak Garuda, you’ll never walk alone! (men.yon@bisnis.co.id)

Sabtu, 25 Desember 2010

saluran anugerah untuk yang terpinggirkan

25 December 2010 Last updated at 12:47 GMT


Archbishop urges rich to share pain in Christmas sermon


The archbishop says there is a "lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load"


The Archbishop of Canterbury has used his Christmas sermon to question whether the richest people are bearing their share of the economic downturn.

Dr Rowan Williams' comments amounted to a rebuke to the most prosperous in society, said BBC religious affairs correspondent Robert Pigott.

He also suggested Prince William's wedding in 2011 could help restore the popularity of life-long relationships.

The service took place at Canterbury Cathedral, in Kent.

Meanwhile in a sermon at York Minster, Archbishop of York Dr John Sentamu also referred to victims of the economic crisis, including "those who have lost their jobs, savings, pensions [and] homes".

In his service Dr Williams spoke of the importance of mutual dependence, fellowship and loyalty in current economic times, stressing the need to share the burdens of adversity.

He said society could only bear hardship "if we are confident that it is being fairly shared."
Continue reading the main story
“Start Quote

As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around”

End Quote Dr Rowan Williams Archbishop of Canterbury

"We shall have that confidence only if there are signs that everyone is committed to their neighbour, that no-one is just forgotten, that no interest group or pressure group is able to opt out.

"That confidence isn't in huge supply at the moment, given the massive crises of trust that have shaken us all in the last couple of years and the lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load," he added.

Citing Prime Minister David Cameron's "big society" concept, he said everyone had to be ready to meet that challenge, and to restore "mutual trust".

"It's no use being cynical about this; whatever we call the enterprise, the challenge is the same - creating confidence by sharing the burden of constructive work together," he said.
Royal celebration

The archbishop went on to refer to the upcoming wedding of Prince William and Kate Middleton, in April 2011, and stressed that the Christian bond of marriage was a symbol of hope.

Dr Williams said it was "cause for celebration" that any couple should want to "embark on the adventure of Christian marriage".

"Every Christian marriage is a sign of hope, since it is a sign and sacrament of God's own committed love."

"And it would be good to think that in this coming year, we, as a society, might want to think through, carefully and imaginatively, why lifelong faithfulness and the mutual surrender of selfishness are such great gifts," he told worshippers.
Prince William and Kate Middleton Kate Middleton and Prince William will marry in April

The Archbishop reflected on the trials of marriage and also the inspirational examples of partnerships he has seen.

"There will be times when we may feel stupid or helpless, when we don't feel we have the energy or resource to forgive and rebuild after a crisis or a quarrel, when we don't want our freedom limited by the commitments we've made to someone else.

"Yet many of us will know marriages where something extraordinary has happened because of the persistence of one of the parties, or where faithfulness has survived the tests of severe illness or disability or trauma."

He said he felt "deeply moved" when he met the families of servicemen and women and saw their particular "sense of solidarity... so generous and costly".
Continue reading the main story
“Start Quote

Let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan”

End Quote Dr John Sentamu Archbishop of York

"As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around, more than you might sometimes guess from the chatter of our culture," he added.

Dr Williams concluded by urging people to remember Christians around the world, including in Zimbabwe and Iraq, who "suffer repression and persecution" for their faith.

He spoke of the "harassment, beatings and arrests" of Zimbabweans and encouraged the congregation to find time to join letter-writing campaigns for "all prisoners of conscience", organised by groups such as Amnesty International and Christian Solidarity Worldwide.

The "downtrodden" of Zimbabwe were also featured in Dr Sentamu's address.

He asked people to reflect on the "suffering in our world" in his Christmas sermon, and mentioned the parents of missing girl Madeleine McCann and the family of missing chef Claudia Lawrence.

Dr Sentamu told the congregation: "With joy in our response to God's message of deliverance, let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan.

"And then go and be God's new song: to the parents of Madeleine McCann, [missing woman] Claudia Lawrence; the downtrodden of Zimbabwe; the children and women brutalised in Eastern Congo, and Darfur; the people... losing their lives violently through suicide bombings in Afghanistan and Iraq; prisoners of conscience; Israel and Palestine."

He added to the list members of the armed forces, abused children, those who had suffered through the downturn and subsequent cuts, plus "the hungry, the homeless, the sick, the housebound, and the suffering in our world".

Jumat, 24 Desember 2010

kekuasaan bicara (1)

Jemaat St Joannes Beribadah Sejak 2004
Sabtu, 25 Desember 2010 | 12:06 WIB
shutterstock

PARUNG, KOMPAS.com - Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, mengatakan bahwa jemaat gereja tersebut sudah beribadah di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008 dan tetap bertiup kencang hingga misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam tadi sampai Sabtu (25/12/2010) ini.
Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja.
-- Alex

Diberitakan sebelumnya, jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di gerejanya sendiri. Untuk sementara, jemaat hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.

"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex, Wakil Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/12/2010) siang.

Alex menuturkan, jemaat St Joannes sudah beribadah di tanah tersebut sejak 2004. Bahkan, kata Alex, sejak 12 tahun silam tanah tersebut sudah dibeli untuk pembangunan gereja.

"Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja," ujarnya.

Selanjutnya, pada 2007, pihaknya bahkan sudah mengajukan izin pembangunannya.

"Tapi belum ditanggapi dan belum juga tandatangi oleh warga sekitar. Jadi, semua izin dan birokrasi pembangunan gereja ini sedang kami proses, tapi kenapa ibadahnya dilarang," ujar Alex.
Jemaat di Parung Dilarang Misa di Gereja
Sabtu, 25 Desember 2010 | 10:37 WIB
LEO SUNU


PARUNG, KOMPAS.com — Pelarangan beribadah kembali terjadi. Pelarangan tersebut kali ini menimpa jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat. Mereka tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di tanah gerejanya sendiri.
Untuk sementara, kami hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.
-- Alex

"Ya, memang benar bahwa kami tidak diizinkan melakukan Misa Natal di sini. Untuk sementara kami hanya diperbolehkan melakukan Misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung," ujar Alex, Wakil Dewan Paroki St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu.

Alex mengungkapkan, jemaat sudah beribadat di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008.

"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex.

Sampai berita ini dilaporkan, jemaat Gereja St Joannes Baptista tetap melaksanakan Misa Natal di lapangan parkir SD Marsudirini, Kahuripan.

yang terbunuh dan tidak pusing

Mubarok: Kalau Terbunuh, Itu Bukan Politisi
Jum'at, 24 Desember 2010 - 20:33 wib
Susi Fatimah - Okezone


JAKARTA - Kekhawatiran dari sejumlah politikus dari partai gurem bakal "terbunuh" dengan rencana kenaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary treshold (PT) mendapat cibiran dari Wasekjen Partai Demokrat Ahmad Mubarok.

Menurut dia, seorang politisi itu harus kreatif dan cerdas kalau perlu jadi "kutu loncat" dengan pindah ke partai yang lebih besar. Sebab itu, dia mengatakan, anggapan kenaikkan PT 5 persen akan membunuh politisi tidak berdasar. "Politisi itu tidak terbunuh. Politisi bisa kreatif, kalau yang terbunuh itu bukan politisi," jelas dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/12/2010).

Seharusnya, kata Mubarok, politisi mencontoh dari agama Kristen di Indonesia. "Walaupun minoritas tapi tidak pusing karena mereka tidak bergantung pada partai agama," ujarnya.

Pernyataannya ini menyindir politikus dari partai kecil yang khawatir tidak bisa masuk DPR dengan jika PT ditetapkan 5 persen. Misalnya, diutarakan putri mendiang KH Abdurrahman Wahid, Zanuba Arifah Hafsah alias Yenny Wahid, yang menilai wacana kenaikkan PT akan membahayakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Menurut Yenny, kegelisahan juga dirasakan oleh kiai-kiai NU di daerah terkait usulan kenaikan PT tersebut. Bila PKB sampai memenuhi syarat ambang batas itu, lanjut Yenny, akan dibawa kemana suara NU di daerah. Sebagaimana diketahui, wacana peningkatan syarat PT dimaksudkan untuk menyederhanakan partai agar tidak gemuk seperti pada pemilu 2009 lalu. Partai-partai besar hampir semuanya sepakat dengan pembatasan itu.

Jika wacana pembatasan ini disepakati, maka hanya akan ada sedikit partai yang bisa menempatkan kadernya di DPR. Jika mengacu pada hasil Pemilu 2009 lalu, jika PT ditetapkan 5 persen maka hanya enam partai partai yang lolos, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN dan PPP. Sementara PKB yang hanya 4,9 persen bakal tidak bisa menempatkan kadernya di DPR.

(ram)

Selasa, 21 Desember 2010

mendompleng citra (2)

Mana Riedl dan Gonzales Kita?
Selasa, 21 Desember 2010 | 03:40 WIB
kompas
Radhar Panca Dahana

Kegembiraan atas kemenangan timnas Indonesia dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 melawan Filipina tidak sebatas ruang lengkung Gelora Bung Karno, tetapi juga ruang fisik dan imajiner bangsa, membuat haru sekaligus cemas.

Keharuan menyeruak saat menyadari betapa rakyat negeri ini begitu rindu dengan emosi kolektif di mana rasa bangga dan kehormatan bersama, sebagai sebuah negeri sebuah bangsa, dapat dipulihkan.

Sudah terlalu lama emosi kolektif dari rasa kebangsaan kita kehilangan alasan untuk berbangga dan mendapatkan rasa hormat dari bangsa lain. Seakan negeri besar ini hanya pariah dalam pergaulan internasional, hanya obyek penderita menghadapi perlakuan bangsa lain.

Dalam situasi inferior yang mengenaskan itu, rakyat seperti subyek yang tidak berdaya melihat pemerintah—pengemban amanah dan tanggung jawab utama—justru invalid menunaikan tugas. Pemerintah terlalu sering absen dalam urusan yang menyangkut kepentingan publik. Pemerintah bahkan justru sering melawan rakyatnya sendiri.

Semua itu terlihat dari pelbagai demo, konflik petugas dan rakyat, hingga kasus-kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai pesakitan, lebih dari seorang koruptor besar atau pengkhianat negara. Pengurus serikat usaha berkelas UKM bahkan berkata, ”Sejak kapan pemerintah membina dan memberdayakan UKM, sepertinya UKM kita berjuang sendiri. Kalau memperdaya dan memeras, ya, mungkin.” (Kompas, 22/10/2010)

Menanggapi banyak kecelakaan kereta api, Suyono Dikun, Ketua Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian, menyatakan di harian yang sama, ”Pemerintah tak pernah serius perhatikan kereta api.”

Musikus Jockie Soerjoprajogo dari Mufakat Kebudayaan berulang kali mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim keberhasilan musikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebagai hasil kerja mereka. ”Itu hasil usaha para pemusik kita sendiri.”

Pemerintah hanya melayani kepentingan dan prestise diri sendiri, dengan mengatasnamakan dan menggunakan fasilitas rakyat. Kekecewaan atas absensi itu bertambah akut dengan penyelesaian yang tak cukup terhormat pada berbagai persoalan: masalah perbatasan, TKI, ”pencurian” klaim budaya, dan sebagainya.

Akal sehat rakyat berulang kali dikhianati oleh perilaku abnormal dan deviatif, dari nafsu purba dan hedon, penguasa.

Rasa cemas itu

Semua kenyataan psikologis rakyat Indonesia itu adalah ironi dalam kemeriahan penonton di leg satu dan dua semifinal AFF. Sukses timnas tidak serta-merta menjadi pengakuan pada prestasi organisasi terutama pemimpinnya. Teriakan ”Nurdin turun,” tetap membahana.

Ejekan dan cemoohan juga muncul di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. ”Ingat, ini Timnas Indonesia, bukan Timnas PSSI,” ujar pengguna Twitter. Di Youtube muncul tayangan yang mempertontonkan potongan adegan di mana ”Indonesia menang, Nurdin malah menunduk mencium tangan SBY.” Rasa muak jelas terlihat terhadap perilaku penguasa yang terus mengeksploitasi kemampuan publik untuk kepentingan sendiri.

Kita pun dapat menyaksikan sendiri bagaimana hampir seratus ribu penonton dan jutaan pemirsa teve lainnya hampir tidak mengaitkan sukses timnas Indonesia dengan kinerja pemimpin, juga tidak pada Presiden SBY, walaupun ia hadir dan turut bersorak di stadion. Seolah publik, seperti dalam banyak contoh kasus di atas, tidak rela jika sukses sepak bola itu diklaim sebagai prestasi pemerintah.

Di sini rasa cemas itu muncul. Ketika ketidakpercayaan publik kepada pemerintah dan para pemimpin tergerus, usaha negara untuk survive dan berdaulat di dunia mendapat ancaman serius. Absensi dan ketidakpercayaan membuat masyarakat semakin tidak peduli kepada pemerintah dan pada akhirnya juga tidak peduli—baca membangkang—semua kebijakannya.

”Tidak peduli pada negara (cq pemerintah)” akan menjadi semangat yang meluas, yang pada titik ekstremnya akan melahirkan kerancuan dan kekacauan pada semua tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran dan cara mengatur hidup akan berlangsung secara komunal atau sektarianistik. Klaim horizontal akan bertaburan, dan perpecahan seperti tinggal menunggu susut sumbu bom waktu.

Pemimpin zuhud

Di bagian lain, semangat ”tidak peduli negara” itu sesungguhnya juga dapat berdampak sangat positif ketika semangat itu dipilin menjadi tekad dan kerja untuk tegaknya kemandirian. Hal ini sungguh akan menciptakan kekuatan luar biasa, bahkan mungkin lebih hebat ketimbang yang diinisiasi oleh pemerintah.

Keberdayaan publik yang mandiri akan menjadi kunci eksplorasi kemampuan dari potensi-potensi terbaik bangsa yang masih terpendam. Inilah mungkin inti wahyu Tuhan dalam Islam yang menyatakan, ”Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum bila bukan kaum itu sendiri yang melakukan.” Kata ”kaum” dalam wahyu ini merujuk pada suatu kolektiva, bukan persona atau katakanlah pemimpin.

Dalam kasus timnas Indonesia, pemain naturalisasi Cristian Gonzales berperan vital. Namun, dengan segala hormat dan terima kasih kepadanya, kerja Gonzales tidak akan berarti tanpa kerja sama 10 orang pribumi dalam timnas. Tanpa mereka, Gonzales tak akan memperoleh umpan untuk menciptakan gol-gol cantik.

Namun, lebih dari itu, ada seorang Alfred Riedl, yang dengan dingin melatih dan mengawasi setiap detik pertandingan. Tak ada luapan emosi berlebihan. Sebuah sikap yang memperlihatkan keprihatinan—semacam asketisme—meditatif, bahwa capaian temporer tidaklah berarti bagi tujuan akhir yang diinginkan. Inilah satu sikap zuhud dari kepemimpinan yang hilang di kalangan pemimpin dan elite kita. Sukses publik tidak begitu saja dipelintir untuk menyelebrasi diri sendiri, seperti yang dilakukan para pejabat lewat iklan.

Sukses dari masyarakat atau bangsa yang mandiri adalah justru stimulator bagi sikap yang lebih prihatin dari seorang pemimpin. Karena ia menyadari betapa tugasnya menjadi lebih berat, dan euforia yang berlebihan justru menyimpan ancaman yang lebih mengerikan.

Tetapi di mana Riedl dalam segelintir elite kita? Di mana Gonzales yang menjadi avant garde semua usaha perbaikan ini? Radhar Panca

Dahana Budayawan

Senin, 20 Desember 2010

MENDOMPLENG citra

komentar soal foto cewek indon dan cowok english pasca indon mengalahkan filipino:
Keluarga Azhari hanya punya satu modal saja untuk jadi public figur, ya body n seksualitas performancenya. Talenta akting BIG ZERO, kecuali utuk blue film, its okey

Winarno, 21/12/2010 19:54:36 wib

Boleh ngelantur komentarnya...
Philipina Kalah itu karena di "sogok" dengan rahma oleh Indonesia...wkwkwkwk

Assyarkhan, 21/12/2010 19:33:04 wib
Sejam Bersama Pelatih Malaysia: Kami Satu-satunya Tim Yang Tak Pakai Naturalisasi
Selasa, 21 Desember 2010 | 14:02 WIB


TEMPO Interaktif, Kualumpur - Minggu, 26 Desember mendatang, Indonesia akan melawan Malaysia dalam final piala AFF. Pertandingan bakal dilangsungkan di Bukit Jalil, Malaysia.

Bagaimana persiapan tim Malaysia melawan Indonesia, Pelatih Timnas Malaysia K. Rajagobal menerima wartawan Tempo, Masrur untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya, Lantai I Wisma FAM (Football Association of Malaysia). Selama hampir satu jam, pelatih kelahiran Selangor 10 Juli 1956 tampak santai menjawab pertanyaan Tempo. Petikannya:

Bagaimana persiapan menghadapi Indonesia di final?
Kami belum membuat persiapan untuk partai final. Karena sepulang dari Vietnam, saya beri mereka waktu libur. Rencananya kami baru mulai berlatih sore ini. Ini adalah latihan pertama kali sepulang dari Vietnam.

Penampilan Malaysia cukup mengejutkan karena bisa masuk final. Tanggapan Anda?
Memang banyak orang yang bertanya tentang keberanian saya menurunkan pemain muda di bawah usia 23 tahun. Satu hal yang mereka tak faham, bahwa saya menurunkan pemain muda ini karena hampir semua pemain utama Timnas Malaysia cedera.

Karenanya, saya tak menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada mereka. Saya hanya meminta mereka untuk bermain baik dan menunjukkan kemampuan optimal.

Apakah ini berarti pemain Timnas Malaysia sekarang adalah tim kelas dua?
Bukan begitu maksud saya. Saya ingin tekankan bahwa Timnas Malaysia sekarang adalah skuad Timnas Malaysia di bawah usia 23 tahun. Saya kenal mereka satu persatu, saya paham mereka luar dalam. Bahkan saya beri kepercayaan kepada mereka untuk menghadapi Manchester United saat MU melakuakn Tour Asia 2009 lalu. Jadi mereka bukan pemain kelas dua.

Poin pernyataan saya tadi adalah ini adalah skuad U-23 Malaysia. Andaikan kami bisa memainkan pemain senior kami. Timnas Malaysia pasti lebih bagus lagi.

Berapa orang Timnas Senior Malaysia yang cedera?
10 orang. Termasuk penjaga gawang Sharbinee Alawie

Anda mempercayakan penuh kepada skuad muda ini?
Ya, inilah skuad terbaik yang kami miliki sekarang. Saya tak pernah membebani mereka dengan target. Karena mereka masih muda, saya hanya minta mereka memberikan permainan terbaik. Toh usia mereka masih antara 19 hingga 21 tahun. Artinya usia emas mereka sekitar empat hingga tahun lagi.

Anda puas dengan penampilan pemain muda Malaysia?
Saya cukup puas dengan permainan mereka. Karena dalam turnamen AFF kali ini cuma Malaysia yang tak menggunakan pemain naturalisasi. Dan ingat, pelatihnya juga asli Malaysia (sambil tertawa).

Maksudnya?
Di tengah maraknya naturalisasi pemain dan pelatih asing yang dilakukan beberapa Timnas lainnya, kami ingin membuktikan bahwa pemain dan pelatih lokal jika diberi kesempatan, akan memberikan hasil yang baik pula. Intinya berikan kepercayaan penuh kepada mereka, jangan direcoki dan jangan dicampuradukkan dengan masalah apapun.
Saya lihat di Asia Tenggara ini sepakbola sering dicampur-campur dengan banyak hal. Kepentingan bisnis-lah, politik-lah. Padahal sepak bola itu suatu olah raga, kita cari kesehatan dan kesenangan.

Penilain tentang Timnas Indonesia?
Indonesia adalah tim yang bagus, mereka punya Gonzales dan Irfan di depan, serta Okto di tengah, juga Maman di belakang. Dalam kejuaraan AFF kali ini mereka juga selalu menang. Cuma semua pertandingan itu selalu di Jakarta. Pembuktiannya sekarang, ketika mereka bermain di luar Jakarta. Apakah mereka juga akan menang seperti halnya bermain dihadapan pendukungnya?


Msrur (Kualalumpur)


Asyik dengan Timnas, Ical Lupa Korban Lumpur Lapindo
Rabu, 22 Desember 2010 - 06:06 wib
Amir Tejo - Okezone


SIDOARJO - Bantuan uang Rp2,5 miliar dan hibah tanah seluas 25 hektare bagi pemain Tim Nasional (Timnas) Indonesia rupanya membuat 'cemburu' korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Mereka kecewa, bos Bakrie Group yang biasa disapa Ical itu tidak memprioritaskan ganti rugi yang belum lunas untuk warga yang berada dalam area terdampak lumpur Lapindo.

"Kami merasa disakiti dengan ulah Bakrie tersebut. Oh, dia ternyata tidak mau lagi bertanggungjawab dengan korban lumpur. Dia sedang asyik dengan sepakbola," kata Saman, warga Desa Jatirejo, Selasa, 21 Desember.

Tak hanya kepada Ical, kekesalan juga ditujukan kepada Andi Darussalam Tabusala, Presiden Direktur PT Liga Indonesia yang sekaligus menjadi Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menjadi juru bayar Lapindo Brantas.

Warga kecewa karena Senin, 13 Desember lalu mereka berunjuk rasa mewakili sekira 12 ribu warga korban lumpur dari empat desa yakni Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo.

Mereka berunjukrasa di kantor Minarak Lapindo Jaya di Jalan Juanda Sidoarjo. Tuntutannya, agar Minarak Lapindo Jaya segera membayar cicilan yang tertunggak selama dua bulan.

"Pada saat itu, Minarak Lapindo Jaya menjanjikan jika Kamis (17 Desember) kemarin sudah ada transferan. Namun kenyataannya hingga kini belum ada. Melihat kelakuan Bakrie tersebut, kami akan kembali mendatangi PT Minarak untuk menagih janji mereka," kata Saman.

Saman mengaku ulah PT Minarak menunggak pembayaran sisa ganti rugi ini bukan kali pertama terjadi. Sebelum Idul Fitri kemarin, bahkan PT Minarak Lapindo Jaya sempat menunggak hingga lima bulan.

"Kami sudah tidak kuat lagi dengan keadaan seperti ini. Saya sudah mempunyai hutang hingga Rp13 juta. Yang parah ada janda tua bernama Solati yang usianya sudah 65 tahun yang harus ditampung di posko korban lumpur. Dia ditampung di posko karena dia hidup sebatang kara. Sedangkan uang 20persennya sudah habis," kata Saman bercerita.
(fer)
Selasa, 21/12/2010 07:35 WIB
Nurdin Halid Dikenal Sebagai 'Tangan Kanan' Ical di Wilayah Timur
Laurencius Simanjuntak - detikNews




Jakarta - Spekulasi adanya maksud politis di balik jamuan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie terhadap timnas sepakbola Indonesia dinilai semakin kuat mengingat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid juga adalah kader partai beringin. Nurdin bahkan dikenal sebagai 'tangan kanan' Ical di wilayah Timur Indonesia.

"Nurdin Halid itu Koordinator Wilayah Sulawesi DPP Partai Golkar. Dia berjasa buat Golkar di bawah kepemimpinan Pak Ical, memenangkan 60 persen Pilkada di Sulawesi," kata pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).

"Jadi Nurdin memang dikenal sebagai 'tangan kanan' Aburizal Bakrie di wilayah Timur," imbuh Burhan.

Karena itu, lanjut Burhan, sulit untuk memungkiri adanya maksud politis di balik jamuan makan pagi tersebut.

"Nurdin mau tidak mau punya hidden agenda dengan posisi sebagai ketua umum PSSI dan pada saat yang sama sebagai 'tangan kanan' Ical. Dia juga ingin membantu Ical juga untuk mempopulerkan Golkar di kalangan penggemar bola," kata Burhan.

Hal itu, kata Burhan, lantas membuat kredit poin Nurdin di mata Ical semakin tinggi. Tidak hanya berjasa memenangkan jago Golkar di Pilkada, tetapi juga mulai meniti kebangkitan timnas sejak 7 tahun terakhir.

"Lepas dari kontroversi kepemimpinan Nurdin, kita tidak bisa menolak bahwa secara de jure dia adalah ketum saat timas bangkit sekarang," ujar Burhan.

Ical mengundang timnas sepakbola Indonesia bersama jajaran PSSI, termasuk Nurdin Halid, dalam jamuan makan pagi di rumahnya, kawasan Menteng, kemarin.

Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.

"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu yang mengatakan pertemuan diinisiasi oleh PSSI.

(lrn/ddt)

Selasa, 21/12/2010 07:05 WIB
Waktu Timnas Sering Kalah, Kok Tak Ada Pengusaha/Parpol yang Ngundang?
Laurencius Simanjuntak - detikNews




Jakarta - Jamuan pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, terhadap timnas sepakbola Indonesia di rumahnya, menimbulkan spekulasi adanya maksud politis di balik undangan tersebut. Sebab, saat prestasi timnas terpuruk, tidak ada penguasaha atau parpol yang mengundang Tim Garuda tersebut.

"Kalau waktu timnas sering kalah, kok tidak ada pemimpin partai dan pengusaha yang mengundang untuk memeberi nasihat dan semangat," kata anggota Komisi X (bidang olahraga), Dedi S Gumelar, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).

Namun demikian, Miing, sapaan akrabnya, mengatakan jamuan itu sah-sah saja selama dilakukan atas dasar kepedulian terhadap timnas. Namun, mengingat yang mengundang adalah ketua umum parpol, nuansa politis itu sulit dilepaskan.

Miing menyebut hal itu adalah sebagai kecerdasan elite politik dalam memanfaatkan momentum yang tengah menjadi perhatian publik.

"Numpang beken boleh kali ye," sindir mantan pelawak yang kini politisi PDI Perjuangan itu.

Lebih jauh, Miing juga menilai kehadiran para elite politik dalam pertandingan timnas di Gelora Bung Karno sebagai cara 'mengkapitalisasi' momentum perhatian 80 ribu penonton langsung dan jutaan pasang mata penonton televisi.

"Seperti kehadiran SBY, belum terukur kehadiran SBY menghadirkan semangat yang kuat bagi timnas atau tidak," kata Miing.

Seperti diketahui sejumlah elite politik hadir dalam pertandingan semifinal Piala AFF Suzuki Cup 2010 antara Indonesia dan Filipina. Mereka antara lain Presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan sejumlah elite parpol yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.

"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu

(lrn/ddt)

Pemersatu Bangsa Itu Bernama Sepakbola
TB Ardi Januar
Senin, 20 Desember 2010 - 13:48 wib

MERINDING… Itulah ungkapan yang dapat diutarakan saat berada di tengah kerumunan massa di Stadion Utama Gelora Bung Karno ketika Timnas Indonesia berlaga di ajang Piala AFF 2010 saat ini.

Duduk bersama puluhan ribu orang yang mengenakan warna baju sama merah, teriakan yel-yel kebersamaan yang diiringi brumband atau sekadar botol air mineral kosong membuat jiwa ini seakan bergetar. Terlebih saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, mata pun refleks berkaca-kaca. Sebuah pemandangan yang langka dirasakan.

Apa yang saya rasakan kala itu, mungkin tak jauh beda dengan yang lainnya. Ratusan juta pasang mata mulai menatap kebangkitan Timnas sepakbola Indonesia. Mereka yang sebelumnya awam dengan nama-nama seperti Christian Gonzales, Firman Utina, Oktavianus Maniani, dan Irfan Bachdim, kini mendadak ramai diperbincangkan. Bahkan hingga tayangan infotainment sekalipun.

Gemilangnya prestasi Timnas saat ini seakan membawa angin segar bagi dunia persepakbolaan Tanah Air yang sudah lama puasa gelar. Bayangkan, sejak dihelatnya turnamen Piala AFF (dulu Piala Tiger), Timnas Indonesia tidak pernah keluar menjadi juara satu kali pun. Paling bagus, Timnas hanya bisa menjadi runner up saja.

Padahal, potret sepakbola Tanah Air sebelumnya kerap tercoreng dengan perkelahian antarpemain, penganiayaan kepada wasit, hingga tawuran antarsupporter. Belum lagi, sejumlah klub telah menyedot habis anggaran daerah demi lancarnya roda kompetisi.

Selain itu, cemerlangnya prestasi Timnas Indonesia di AFF 2010 juga telah melahirkan persatuan bangsa. El Loco yang sebelumnya dicap sebagai bintang Persib Bandung, Bambang Pamungkas dari Persija, dan Firman Utina dari Sriwijaya FC, kini menjadi bersatu padu untuk satu nama yakni Indonesia.

Hal ini juga berimbas kepada para supporter di stadion ataupun di luar stadion. Mereka seakan tidak memperdulikan dari mana asal mereka, yang jelas hanya ada satu tujuan yakni mendukung Timnas Indonesia. Pemandangan ini disadari betul oleh Presiden SBY. Seakan tak mau kalah, SBY beserta sejumlah anak buahnya pun hadir langsung ke stadion mendukung Timnas.

Aksi Firman Utina dkk juga menjadi penawar luka dan penghibur lara bagi rakyat Indonesia. Di tahun 2010 ini, Indonesia telah dihantam sederet musibah dan bencana alam. Baik itu gempa bumi di Padang, banjir bandang di Wasior, gelombang tsunami di Mentawai, hingga gunung meletus di Merapi.

Di bidang politik dan hukum, potret Indonesia juga tengah carut marut. Berita soal Gayus Tambunan, soal korupsi pejabat dan wakil rakyat, serta soal pertikaian antara pemerintah pusat dengan rakyat Yogyakarta seperti menjenuhkan pikiran masyarakat. Bayangkan, hampir setiap hari kita dihadapkan dengan hal-hal demikian tanpa diselingi hiburan.

Dengan sepakbola, tidak berlebihan rasanya jika rakyat ingin melupakan sejenak kepenatan yang ada di Tanah Air. Selain itu, memang sudah saatnya pula Indonesia keluar dari keterpurukan, diawali dengan prestasi Timnas Indonesia di ajang AFF 2010.

Dalam waktu dekat, Timnas Indonesia akan tampil dalam laga final melawan “musuh bebuyutan” Malaysia. Mari bersama kita terus dukung Timnas Indonesia dan kita kawal Burung Garuda menuju puncak prestasi. Sudah saatnya Ibu Pertiwi unjuk gigi di muka bumi.

Kamis, 16 Desember 2010

Maarif yang arif

Syafii Maarif: Pemimpin Harus Bekerja dengan Hati
Senin, 6 Desember 2010 - 13:24 wib


DI usianya yang sudah 75 tahun, aktivitas dan konsistensi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif nyaris tidak berkurang. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (2000–2005) ini tetap fasih melahirkan gagasan segar, lantang melontarkan kritik, dan bersemangat dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran baru.

Ini yang ditangkap ketika lebih dari dua jam berbincang dengan cendekiawan muslim itu di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta, awal pekan kemarin. Mulai dari masalah demokrasi dan pemerintahan, penegakan hukum, pluralisme hingga tentang rencana film yang mengangkat kisah perjalanan hidupnya.

Berikut ini petikannya. Assalamualaikum Buya. Apa kabar?

Waalaikumsalam. Alhamdulillahkabar baik dan sehat.

Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktivitas Buya masih tetap padat seperti dulu. Tidakkah merasa kewalahan?

Aktivitas saya memang boleh dibilang masih padat. Tapi sebenarnya banyak juga yang sudah dikurangi dan dipilah-pilah meski tetap saja rasanya sangat padat. Banyak undangan mengisi seminar, sebagai dosen, dan lain-lain yang saya kurangi. Usia menyesuaikan dengan beban aktivitas, makanya kehidupan saya kelihatan tetap berjalan normal.

Buya dikenal sebagai salah satu tokoh yang kritis terhadap pemerintahan, bagaimana Buya melihat pemerintahan saat ini?

Saya selalu mengikuti perkembangan pemerintahan dan tetap mengkritisi pemerintahan Indonesia kalau memang salah menurut pandangan saya. Tapi yang menjadi masalah apakah masih ada yang mau mendengarkan saya. Mudah-mudahan masih ada yang mau mendengar. Saya memberi kritik untuk membangun. Sekarang tanpa disadari, kita sudah demokratis benar-benar.

Pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemerdekaan pers dan sebagainya. Tapi sayangnya kondisi ini tidak diikuti sikap kepemimpinan bangsa yang tegas dan cepat mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih langsung dan memiliki legitimasi kuat, tapi ini tidak dijawab atau diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Saya katakan hampir 76% kebijakan pemerintah yang diarahkan SBY tidak jalan.

Mengapa hal ini terjadi?

Ya karena pembantu-pembantu SBY ikut-ikutan tidak sigap. Banyak sekali pembantu dan orang sekeliling SBY yang tidak jelas kerjaannya. Sekarang dibentuk Satgas (Mafia Hukum), lalu ada Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada menteri-menteri, juga ada wakil menteri. Untuk apa banyak-banyak seperti ini, hanya menghabiskan uang saja saya lihat.

Seharusnya bagaimana?

Pemerintah, khususnya SBY sebagai pemimpin, harusnya bisa menempatkan diri sebagai pemimpin dan negarawan. Harus bersikap tegas dan cermat dalam mengambil keputusan agar diikuti pembantu-pembantunya. Perlu kearifan yang dikawinkan dengan ketegasan. Kalau sudah begini baru bisa jalan agenda bangsa. Membangun perekonomian, taat hukum, dan semuanya. Sekarang kan hanya seperti memperlihatkan kearifan saja, tapi praktiknya banyak yang tidak jalan.

Bagaimana dengan kepemimpinan nasional ke depan?

Yang jelas diperlukan seorang pemimpin bangsa yang negarawan, inilah kenapa kemarin saya mendukung Jusuf Kalla (JK). Saya rasa Pak JK cocok memimpin negeri ini. Lihat saja PMI sekarang, dengan masuknya beliau menjadi semakin bagus. Kinerjanya kelihatan dan ada geliat yang membuat masyarakat bersemangat.

Soal ketidaktegasan pemerintah ini, apakah Buya melihat kekecewaan rakyat juga?

Saya bisa merasakan bahwa rakyat kecewa pada pemerintah. Rakyat kita kuat, bisa berbesar hati, dan tabah menghadapi cobaan. Pernah saya saat makan di warung, ada bapak-bapak petani mengatakan bahwa pemerintah kok lembek dan seperti terlalu menikmati jabatan saja. Saya melihat ucapan ini tulus sehingga bisa saya dengar dengan hati. Artinya rakyat juga banyak kecewa.

Membicarakan eksekutif tidak bisa dipisahkan dengan legislatif. Apakah dalam pandangan Buya DPR sudah menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya?

Yah... politisi kita sama saja.Tidak mau belajar untuk memosisikan diri sebagai negarawan. Malah aneh-aneh saja kelakuannya. Pergi ke Yunani belajar etika, ke Austria atau ke mana lagi. Padahal kan zaman sekarang sudah canggih. Buka internet saja sudah keluar semua ilmu-ilmu etika dari Yunani. Mau etika Aristoteles, Socrates juga ada.

Bila dikaji, sebenarnya apa yang mendasari perilaku sebagian besar politisi seperti itu?

Ya karena politisi kita terlalu berpikir pragmatis. Ini mungkin ada kaitan juga dengan sistem demokrasi kita melalui pilkada dan pemilu. Biayanya kan mahal sekali untuk itu. Kemudian soal partai kadang juga berpikir pragmatis saja. Memikirkan kepentingan sesaat.

Berarti pemimpin dan pejabat kita harus dirombak?

Sikap dan gaya memimpinnya yang harus diubah. Kita, Indonesia, butuh pemimpin yang lebih cerdas dan memimpin dengan hati. Kita butuh sosok negarawan yang pintar dan berani. Memadukan kecerdasan dan hati serta ketegasan. Pemimpin dan pejabat yang mengambil keputusan harus peka terhadap segalanya.

Termasuk soal penegakan hukum yang masih amburdul, perlukah perombakan radikal?

Lihat saja mafia hukum merajalela. Korupsi seperti penyakit kambuhan yang makin parah. Tapi ya itu tadi, tidak ada langkah maju dari pemerintah dan DPR untuk mengatasi ini. Dulu tahun 2002 KPK dibentuk untuk mengambil alih penegakan hukum korupsi yang tidak bisa dijalankan kepolisian dan kejaksaan. Tapi saya tidak mengerti kenapa sekarang lembaga KPK malah mau dilemahkan kewenangannya. Jadi kesimpulan saya, tidak ada konsistensi terhadap pembangunan bangsa kita ini.

Tapi kan banyak juga pengambil kebijakan kita yang berasal dari kalangan partai-partai Islam?

Partai-partai Islam tidak ada bedanya dengan partai lain, terutama terkait kelakuan anggota partainya. Ini terjadi karena proses internalisasi nilai agama kepada para anggota dan kader partai Islam tidak ada. Ini harus dievaluasi. Masalah negara kita sudah parah sekali. Belum selesai ini, muncul penganiayaan TKI di negara lain. Rasanya sakit hati kita karena bangsa kita seperti tidak punya martabat.

Sebagai tokoh agama yang dikenal pluralis, bagaimana Buya melihat banyaknya kekerasan dalam beragama atau yang mengatasnamakan agama?

Itu memang PR kita sebagai negara demokratis. Kita sudah sepakat melihat dan menghormati perbedaan sebagai kekayaan negara. Seharusnya semua pihak menjadikan pemahaman agama sebagai rahmatan lil alamiin.Tidak merusak, tidak anarkistis. Kita harus bertoleransi terhadap sesama dan hidup berdampingan tanpa saling melecehkan. Pemahaman ini yang ingin selalu saya sampaikan.

Tapi kondisi ideal tak selalu terjadi. Misalnya, kasus Ahmadiyah?

Itu menurut saya karena belum ada keputusan tegas dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah ini. Menteri Agama bilang dibubarkan, tapi yang lain bilang tidak. Selain itu, kasus Ahmadiyah ini kan memiliki dimensi internasional juga seperti tekanan dari Kerajaan Arab Saudi, kemudian pengaruh India juga ada. Cukup kompleks memang.

Ahmadiyah itu sebenarnya bagaimana?

Teologi Ahmadiyah saya tidak mengerti benar ya. Saya tidak suka teologi mereka. Tapi asal mereka tidak mengganggu, kenapa harus dikerasi? Di sisi lain mereka (Ahmadiyah) juga salah karena terlalu eksklusif. Tidak mau terbuka dalam pergaulan sehingga banyak juga pihak yang marah karena itu. Saya meminta agar ada ketegasan saja dari pemerintah, Kementerian Agama terutama. Bagaimana status Ahmadiyah ini. Kalau jelas kan masyarakat tidak akan main hakim sendiri.

Buya sering dikatakan sebagai penganut Islam liberal. Bagaimana merespons ini?

Haha… saya biasa dibilang liberal, bahkan ada yang bilang antek Zionis. Saya tidak masalah karena saya sendiri tahu apa yang saya sampaikan. Sebab dalam pandangan sebagian orang, mungkin saya memang liberal dalam hal agama. Tapi saya tentu memiliki dasar dan landasan untuk memandang Islam sebagai rahmatan lil alamiin.

Berarti soal perdebatan pemikiran biasa terjadi seperti itu?

Memang begitu. Kalau soal tuduhan liberal akibat pemikiran dan pandangan saya, itu tidak ada masalah dan biasa saya alami. Tapi yang tidak bisa diterima adalah kalau saya dituduh melakukan kejahatan. Seperti korupsi, misalnya. Sekarang kan aneh-aneh orang dan kadang tega menuduh seperti itu, padahal ini menyangkut kredibilitas orang lain.

Buya tentu mencermati perdebatan tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta yang terus menghangat sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana sisi keistimewaan Yogya tersebut?

Saya menilai Presiden SBY kurang arif dan bijaksana saat melontarkan pernyataan terkait keistimewaan Yogyakarta. Apalagi wacana ini muncul pada waktu yang tidak tepat. Karena masih banyak masalah bangsa yang lebih penting, kenapa ini disinggung? Jika permasalahan ini terus dibahas, maka hanya akan menimbulkan pro-kontra yang akhirnya akan menguras tenaga.

Soal monarki atau demokrasi?

Kekuasaan Sultan kan hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur kan Sultan juga perwakilan pemerintah pusat yang juga harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?

Soal serentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia, bagaimana menurut Buya?

Negara kita memang dihantam bencana alam bertubi-tubi, ada gempa bumi, longsor, letusan gunung. Itu semua secara intens disiarkan di televisi dan diberitakan di koran-koran.Tapi secara bersamaan juga banyak bencana kasus yang dilakukan manusia. Ada penggelapan pajak, korupsi, yang tidak mau kalah dan tidak habis-habisnya. Pemerintah dan pejabat sepertinya tidak bisa merespons bencana-bencana ini dengan mencari jalan keluar secara cepat.

Dengan berbagai faktor itu, yakinkah Indonesia dapat segera keluar dari berbagai masalah?

Saya orang yang optimistis. Tapi syaratnya ya itu tadi. Semua perubahan dan perbaikan harus dimulai dari pucuk pimpinan. Kalau pimpinan masih tidak tegas dan tangkas bekerja dan memberi arahan, maka masalah bangsa juga lambat selesainya. Kita semua berharap masalah-masalah bangsa cepat selesai.

Kembali ke soal pemikiran-pemikiran Buya, itu tidak lepas dari perjalanan panjang dari tempat kelahiran hingga ke tanah perantauan. Bisa sedikit dikisahkan?

Di kampung, sejak kecil saya termasuk banyak mendapat gemblengan agama Islam yang kuat. Sekolah saya pertama Ibtidaiyah Sumpurkudus (Sumatera Barat). Kemudian merantau ke Yogyakarta, sekolah saya di madrasah muallimin pertama kali merantau. Itu masa-masa rakyat Indonesia susah dan saya merasakan benar bagaimana saat susah itu. Pada zaman penjajahan Belanda juga saya sudah tahu, tapi masih di kampung.

Apakah karena tekad dan keberanian ini yang akhirnya banyak orang Minang sukses?

Kata orang, kan ada tiga tujuan orang Minang merantau, pertama, mencari harta dengan menjadi pedagang, kemudian mencari ilmu, dan ketiga mencari pekerjaan dan menjadi pejabat. Di setiap tujuan. Ini pasti ada yang sukses dan ada juga yang gagal. Nah dalam perantauan ini, memang banyak orang Minang yang berhasil, misalnya menjadi saudagar, pedagang, menjadi pejabat, atau intelektual. Tapi kan tidak sedikit juga yang bisa dibilang tidak berhasil. Jadi sopir angkot, menjadi pencopet juga ada orang Minang. Tergantung nasib.

Hingga saat ini, apakah ada cita-cita yang belum kesampaian? Atau mungkin waktu kecil Buya punya cita-cita berbeda dengan yang sekarang diraih?

Saya ini anak desa.T erpencil pula. Saya lahir di Sumpurkudus , Kabupaten Sijunjung. Ini desa yang terpencil, tidak ada listrik, jalan sulit dan berliku-liku dan itu pada zaman-zaman Indonesia belum merdeka dan negara kita masih muda. Jangankan cita-cita besar, nonton TV atau baca koran saja mungkin tidak tahu saya dulu. Orang dari kampung, menjadi pedagang di tingkat kecamatan saja mungkin sudah prestasi besar dalam pikiran saya waktu kecil.

Kabarnya, kisah liku-liku hidup Buya ini akan dibuat film. Kisahnya menarik, termasuk seperti cerita buku “si anak panah”?

Kalau soal ini (film) saya tidak tahu, makanya saya tidak bisa berkomentar. Itu kerjaannya teman-teman di Maarif Institute. Tanya kepada mereka saja. Saya tidak ikut soal film.

Aktivitas keseharian sekarang ini lebih banyak di mana?

Kadang saya di Yogyakarta. Rumah saya kan di sana dan banyak kegiatan saya di sana. Di Jakarta juga sering. Bahkan dalam seminggu saya sering bolak-balik Yogya– Jakarta. Makanya, poin bayaran saya kalau mau dipikir untuk di pesawat Garuda sangat banyak. Hahaha….

Lebih senang di Jakarta atau Yogyakarta?

Kalau soal kenyamanan, Yogya tentu masih lebih segar. Kalau Jakarta sudah banyak polusi, macet. Malah saya kira lama-lama sudah tidak layak Ibu Kota kalau terus begini. Karena itu saya cenderung melihat bahwa peluang jika Ibu Kota dipindah sangat besar. Tentunya secara bertahap dan pelan-pelan. Beda kalau di Yogya, rumah saya memang di sana yang saya tempati sejak merantau dulu, di daerah Nogotirto, Gamping.

Punya rencana pensiun dari semua aktivitas?

Saya biasa bekerja mengalir saja.Nanti kalau sudah saatnya kan pasti berhenti juga. Kalau sekarang kanmulai mengurangi dulu. Banyak sekali undangan dan permintaan mengisi seminar, mengajar. Tapi banyak yang saya tolak. Pengurangan seperti itu yang saya lakukan.

Terakhir, bagaimana agar Indonesia segera berubah?

Saya berharap pemerintah bekerja dengan baik, tegas, dan benar- benar demi kebaikan bangsa. Bekerja dengan pikiran dan hati. Kemudian rakyat Indonesia juga harus mengabdi dengan jalan apa saja.Pengabdian itu kan bisa dilakukan dengan profesi apa saja. Niatkan ibadah dan ikhlas.

Nama : Prof Dr Syafii Maarif
Lahir : Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Agama : Islam
Istri : Hajjah Nurkholifah
Pendidikan :
1. SR Sumpurkudus 1947
2. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpurkudus
3. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau
4. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta 1956
5. Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto, Surakarta, 1964
6. Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta, 1968
7. Jurusan Sejarah Ohio University, Amerika Serikat, MA, 1980
8. Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, Ph.D, 1983(Koran SI/Koran SI/mbs)

Jumat, 10 Desember 2010

martir kristiani menangis

Inilah Derita Warga Kristen Irak
Sabtu, 11 Desember 2010 | 06:55 WIB
CNN


BAGHDAD, KOMPAS.com — Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu, ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia tidak juga ke gereja.

Pada hari itu kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera, lalu menewaskan 51 umat dan 2 imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang pastor Katolik berusia 27 tahun, tidak.

Butros, Kamis (9/12/2010), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan tersebut, masa berkabung yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.

Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang, katanya, sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini. Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang tewas dan terluka dalam serangan itu.

Keamanan sangat ketat di tempat tersbeut, Kamis, yang diserbu para penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera umat yang hadir selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh banyak orang Kristen.

Jendela-jendela, yang hancur karena tiga pengeboman bunuh diri meledakkan rompi mereka saat dikepung pasukan keamanan, tetap rusak. Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja yang hangus itu. Bercak darah juga masih menodai langit-langit.

Sebuah poster besar berisi foto-foto para korban tergantung di luar. Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocah berusia tiga tahun ada di antara mereka.

Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya. Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi. Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.

Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya yang masih hidup. "Putri saya menolak masuk perguruan tinggi. Dia takut terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak," katanya.

Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak pengepungan dan serangkaian pengeboman dan pembunuhan yang terjadi, yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, melainkan juga di rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.

Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi target dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Ke mana kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60 tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis.

Sabtu, 27 November 2010

asal usul : BATAK

Dicetuskan Misionaris Jerman, Dipakai Kolonial Belanda


Batak sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak 1860-an. Demikian hasil penelitian Sejarahwan Universitas Negeri Medan (Unimed), Phill Ichwan Azhari. Selanjutnya?

KORANBOGOR.COM,

Hasil Penelitian Sejarahwan Unimed Asal-usul Kata Batak

Batak sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak 1860-an. Demikian hasil penelitian Sejarahwan Universitas Negeri Medan (Unimed), Phill Ichwan Azhari. Selanjutnya?

Rahmad Sazaly, Medan

Penelitian yang dilakukannya berdasarkan sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak.

“Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar,” terangnya kepada wartawan, Minggu (14/11).

Apa yang diungkapkannya merupakan hasil penelitian Ichwan selama dua bulan pada arsip misionaris di Wuppertal, Jerman, atas biaya Dinas Pertukaran Akademis (DAAD) Jerman.

Selain meneliti arsip misionaris Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya ke arsip sejumlah lembaga di Belanda, mewawancarai sejumlah pakar ahli.

Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner. Menurut Ichwan, kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatra dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. “Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif,” jelasnya.

Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusuri Ichwan, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, Belanda, juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. “Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks disebut, Masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu,” paparnya.

Tidak hanya di Malaysia, lanjut Ichwan, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip Batak. “Untuk itu, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mingingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu,” katanya.

Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakannya menjadi nama etnik mereka. Di Sumatra Utara label itu terus dipakai. Menurut Ichwan karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu. Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak September 2010, Ichwan melihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu-raguan untuk menggunakan kata Batak sebagai nama etnik. “Hal ini dikarenakan kata Batak itu tidak dikenal oleh orang Batak ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku,” jelas Ichwan.

Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu arsip berisi informasi penting berkaitan dengan aktifitas dan pemikiran di tanah batak sejak pertengahan abad 19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman terkenal bernama Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.

Peta-peta yang diteliti Ichwan memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan lepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya.

Dalam peta-peta kuno itu kata Bata Lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo dimana nama batak tidak ada sama sekali. Dalam satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.
Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata batak itu.

Kata Batak yang semula berkonotasi negatif oleh penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman dan kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatra Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.

Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Bahkan dalam penelitiannya Ichwan menemukan nama Batak digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam. Dalam sebuah majalah yang diterbitkan di Kotanopan, Tapanuli Selatan, tahun 1922 oleh pemimpin orang-orang Mandailing seperti Sutan Naposo, Gunung Mulia, dan lain-lain, mereka menggunakan kata Batak sebagai identitas. Bahkan nama media mereka diberi nama Organ dari Bataksche-Studiefonds. Dan, uniknya mereka tidak menggunakan marga Mandailing mereka di belakang nama.

Saat Keresidenan Tapanuli yang dibentuk pemerintah Belanda berjalan, identitas Batak antara Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan memasuki atmosfir baru, dimana Batak diidentikkan oleh orang-orang Tapanuli Selatan sebagai orang Tapanuli yang beragama Kristen dan mereka yang di selatan menolak untuk disebut sebagai bagian dari Batak.
Tapi penolakan yang berlatar agama dan politik itu tidak menghilangkan konstruksi misionaris Jerman dan kolonial Belanda yang lebih dulu masuk dan menyebut mereka bagian dari Batak. Di Tapanuli Utara sendiri, di kalangan orang Batak juga terjadi pergumulan pemikiran berkaitan dengan identitas kata Batak ini. Di arsip misionaris Jerman Ichwan juga menemukan tulisan-tulisan tangan dan penerbitan pemikir awal Batak yang mencoba merumuskan apa itu Batak menurut orang Batak sendiri. Tapi bias misionaris dan kolonial nampak dalam pergumulan orang Batak ini.


Konsep dari misionaris Jerman yang semula menggunakan kata Batak untuk kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan Tapanuli Utara saja, menurut Ichwan, dipakai Belanda lebih lanjut untuk menguatkan cengkraman ideologi kolonial mereka. Perlahan-lahan konsep Batak itu mulai meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda juga kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak. Menurut Ichwan, konstruksi Belanda ini sama sekali tidak diperkenalkan apa lagi dipakai para misionaris Jerman selama lebih 50 tahun keberadaan mereka di tanah batak.

Dalam antropologi di Indonesia moderen konsep sub suku Batak made in Belanda itu kemudian dikopi Payung Bangun dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang diedit Koentjaraningrat. Konsep sub suku batak merupakan konstruksi konsep kolonial yang dalam perjalanan sejarah berikutnya terbukti tidak tepat dan ditolak sendiri oleh kelompok-kelompok etnik yang dikenakan label Batak tersebut.

Kini orang Karo, Pak Pak, Simalungun serta Mandailing menolak disebut Batak yang dikonstruksi antropologi kolonial. Peneliti dari generasi baru Perancis, Daniel Perred yang baru-baru ini menerjemahkan disertasinya dalam bahasa Indonesia (2010), menurut Ichwan juga melihat adanya kesulitan dalam menggunakan konsep Batak sebagai nama etnik. Untuk itu jalan yang dipakai Perred adalah menggunakan kata Batak sebagai konsep kultural atau budaya ketimbang nama kelompok etnik. Boleh jadi menurut Ichwan ini juga merupakan konstruksi baru yang dirumuskan Perred.

Ichwan menyimpulkan, kata Batak baik sebagai sebuah pernyataan dan ekspresi identitas, sebagai nama suku dalam konsep antropologi ataupun sebagai nama kawasan kultural dan geografis akan terus mengalami perubahan makna dan interpretasi baik dikalangan akademisi maupun dikalangan mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai Batak. (hsp)

Senin, 15 November 2010

sang juru damai, sang no-name

Myanmar democracy activist Suu Kyi is free
The Nobel Peace Prize laureate makes a brief appearance before a cheering crowd and promises to speak at greater length Sunday. Her future is uncertain in the repressive nation.

By a Times Staff Writer

November 14, 2010

Reporting from Yangon, Myanmar
Advertisement
clear pixel

At 5:15 p.m., soldiers armed with rifles and tear-gas launchers pushed aside the barbed-wire barriers blocking University Avenue, and a swarm of supporters dashed the final 100 yards to the villa's gate. Twenty minutes later, a slight 65-year-old woman popped her head over her red spiked fence.

Aung San Suu Kyi was free.

The jubilant crowd roared, and chants of "Long Live Suu Kyi" filled the air Saturday night as her supporters greeted the Nobel Peace Prize laureate and democracy activist who had defied Myanmar's military leaders and paid a monumental price that robbed her of her family and a normal life.

"I'm very happy to see the people," she said, barely audible over the chanting. "It's been a very long time since I've seen you."

Suu Kyi (pronounced Sue Chee), who has been detained for 15 of the last 21 years under brutal military rule, promised to speak at greater length Sunday at the headquarters of her political party.

"I'll have a loudspeaker then," she said, to laughter. "I won't say anything more now, since you can't hear me anyway."

But the charismatic opposition leader's future was uncertain. If she pushes her activism too far in a country that has just seen elections widely decried as making a mockery of democracy, she could be arrested again by the regime.

In the past, she's been barred from leaving Yangon, the former capital also known as Rangoon, or forced to gain approval from the military for trips. Eleven years ago, she faced a terrible choice: fly to her dying husband's side in London, or remain in the country whose people's rights she had spent decades defending.

She remained in her homeland.

Those principles, and her enormous sacrifice, have won her global acclaim, including the 1991 Nobel Peace Prize. On Saturday, President Obama praised the freed activist, and had harsh words for the regime.

"Whether Aung San Suu Kyi is living in the prison of her house, or the prison of her country, does not change the fact that she, and the political opposition she represents, has been systematically silenced, incarcerated, and deprived of any opportunity to engage in political processes," he said in a statement.

But Suu Kyi has also earned criticism at home among some who are no fans of the regime but believe her desire to score political points by advocating international sanctions against the military government has taken a big toll on impoverished Burmese.

Suu Kyi's party, the National League for Democracy, won by a landslide in 1990, but the results weren't honored by the regime. And the opposition party was forced to disband recently after deciding to boycott last weekend's controversial elections.

Full election results have not been released, but officials of the Union Solidarity and Development Party, which is backed by the regime, have indicated that it has won close to 80% of the parliamentary seats.

That has sparked allegations by opposition parties in Myanmar, also known as Burma, and by governments and human rights groups abroad of widespread fraud centered on the use of advance ballots. Obama accused the regime last week of "stealing" the elections.

As darkness settled Saturday over 54 University Ave. and Suu Kyi's lakeside neighborhood, supporters rejoiced.

"I'm so happy she's free," said a 24-year old student who identified himself as Bositt and wore a "We stand with Aung San Suu Kyi" T-shirt. "She's our leader, our mother. I've been waiting since 9 a.m. for this, but it's more than worth it."

The conditions of her release weren't immediately clear. She had vowed to remain in detention, where she had no telephone, TV or Internet and her mail was heavily censored, unless given an unconditional release.

"I don't think they'll try and rearrest her quickly," said a former political prisoner who spoke on condition of anonymity. "She will be given some leeway, and if she stays within that, it will be OK. But I don't think they'll let her give public speeches."

Close aides said she will spend the next few weeks meeting with party members, journalists, diplomats, speaking by telephone with world leaders, getting back in touch with her family — she hasn't seen her two sons in a decade — and possibly working to open a dialogue with the regime.

She's also expected to try to reconcile divisions within Myanmar's pro-democracy community after some members of her party disagreed with her decision to boycott last week's elections and fielded candidates under the banner of the National Democratic Force.

Those who boycotted may be tempted to say "I told you so" because of the allegations of fraud, while many of those who opted to work within the system now feel disenchanted.

"It's especially hurtful for someone like me, given that I supported the election," said activist Khin Zaw Win. "The scale of the cheating and fraud boggles the mind."

Suu Kyi, however, has been one of the few people in Myanmar able to unify the diverse pro-democracy movement, ethnic parties and the public. That's one reason the regime fears her so much.

"We will all come back together," said Thant Zin, a National Democratic Force candidate in the recent election who lost to a pro-regime candidate because of what he called cheating. "She must lead us strongly. We must combine for Burmese democracy against our common foe."

Insiders say vote fraud provides an ideal platform to gain traction quickly.

"The regime was foolish," one person said. "They gave her a huge gift with the cheating."

Still unknown is the mood of the people, and how they'll respond to her. Although many Burmese who participated in the vote feel angry and disenchanted after believing change was possible, election day itself was largely quiet, suggesting that people had few illusions to start with.

Her release is not expected to have any immediate bearing on U.S. and European sanctions against Myanmar for its repression, including its jailing of more than 2,000 political prisoners.

For two days before her release, security officials photographed those waiting near her house as riot police officers lingered, wearing red scarves to symbolize combat readiness.

But this failed to intimidate Burmese of all ages, many of whom had her picture pinned to their lapels or affixed to their hats.

"Aung San Suu Kyi is now able to speak for herself, and we need to let her do that," said Andrew Heyn, the British ambassador to Myanmar, who joined the crowd to "witness history." "You can see from people's reactions here how excited everyone is."

Others said change can come to Myanmar only incrementally.

"My government is very powerful. You can't fight the army," said Aye Ko, an artist imprisoned in the early 1990s as a student protester. "If Aung San Suu Kyi wants to make a revolution, big demonstrations, that's a problem. You need to go slowly or you'll be arrested again."

The writer is unidentified to protect those who work with him.

Minggu, 14 November 2010

golongan putih SEMAKIN BERGIGI

Pilkada Tangerang Selatan
“Pemenang Pilkada Tangerang Selatan Adalah Golput"
Sabtu, 13 November 2010 | 18:47 WIB
Besar Kecil Normal Empat pasang Calon Walikota Tangerang Selatan dan wakilnya yang akan bertarung pada 13 November 2010. ANTARA/Muhammad Iqbal

TEMPO Interaktif, Tangerang--Tingkat partisipasi masyarakat Tangerang Selatan terhadap pemilihan wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan sangat rendah,hanya 45 hingga 50 persen dari 7.29195 Daftar Pemilih Tetap.” Tinggi sekali,”ujar Sekretaris Jaringan Pemilih Tangerang Selatan Ali Irvan, sore ini.


Sehingga, menurut JPTS, pemenang dalam pilkada Tangerang Selatan yang digelar hari ini adalah golongan putih (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya).” Pemenangnya adalah golput,”kata Irvan. Data yang dihimpun oleh JPTS dari 729 195 pemilih yang masuk dalam DPT, yang menggunakan suaranya adalah 50-55 persen.


Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada Tangerang Selatan ini, menurut Ali, karena sejumlah faktor. Antara lain masyarakat Tangerang Selatan yang merasa tidak berkepentingan dalam PIlkada ini sehingga mereka memilih untuk tidak menggunakan hal pilihnya. Selain itu, buruknya kinerja KPUD dan tim sukses para kandidat dalam sosialisasi juga dituding menjadi penyebab.

JONIANSYAH

Kamis, 11 November 2010

RIP Des Alwi

Des Alwi, Anak Angkat Sjahrir yang Jago Diplomasi
Jum'at, 12 November 2010 | 10:35 WIB
(TEMPO/ Nickmatulhuda)

TEMPO Interaktif, Jakarta - Des Alwi, baru saja berpulang pagi tadi. Indonesia kehilangan lagi satu tokoh sejarah yang mengalami secara langsung perjalanan bangsa ini. Ia adalah putra Banda Naira, tempat yang juga bersejarah bagi para pembesar negara ini. Des Alwi lahir di Desa Nusantara, Naira, pada 17 November 1927 dengan nama lengkap Des Alwi Abubakar.

Di sana, Des Alwi pertama kali bertemu dengan tokoh seperti Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, di masa pembuangan mereka. Saat bertemu Hatta dan Sjahrir, Des Alwi baru berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua ELS (Europeesche Lagere School).

Dari pertemuan pertama di dermaga itu, ia segera tahu bahwa keduanya adalah orang yang dibuang ke Boven Digul, karena wajah mereka pucat. Des Alwi menduga, orang yang dibuang ke sana kekurangan makan dan banyak yang menderita malaria.

Pertemuan itu tak pernah lepas dari ingatan Des Alwi. Ia bahkan menganggap pertemuan itu menjadi arah hidupnya hingga kini. Berkat kecerdikan dan kepandaiannya, Bung Hatta, --yang dipanggil Om Kacamata oleh Des—mengambilnya sebagai anak angkat. Sementara, “dari Oom Sjahrir, saya mendapat banyak wawasan dan pengertian,” kata Des Alwi.

Selain menjadi anak angkat Hatta, Gunawan Mohammad, budayawan, menyebut, Des Alwi juga menjadi anak angkat Syahrir. Des menjadi bagian hidup kedua tokoh yang mencintai anak-anak Banda tersebut.

Barangkali karena ‘pengaruh’ pendidikan Hatta dan Sjahrir, Des Alwi kemudian memiliki ‘kelebihan’ dalam berdiplomasi, hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi. Des juga banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, dan Mr. Iwa Kusumah Sumantri, serta beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.

Maka, dalam perjalanan karier selanjutnya, ia pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan kedutaan besar republik Indonesia seperti KBRI Bern, KBRI Austria, dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia–Malaysia tahun 1965-1975, ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Des berhasil menjadi perantara ‘sulit’. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya, disebut-sebut mendekati almarhum mantan PM Tun Abdul Rahman dan almarhum mantan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.

Di usianya yang ke-83 tahun, Des Alwi berpulang. Menurut cucunya, Sharem (25 tahun), Des pernah berpesan agar dikebumikan di kampung halamannya di Banda Neira, Maluku. Ia rupanya ingin kembali beristrahat dengan tenang di kampung nan indah itu. Selamat jalan, Pak!

HAYATI MAULANA NUR | TOKOH INDONESIA
Des Alwi Berpulang
Jum'at, 12 November 2010 | 09:29 WIB
(TEMPO/ Nickmatulhuda)

TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah seorang tokoh nasional, Des Alwi Abubakar, meninggal dunia Jumat (12/11) sekitar pukul 5 dini hari di kediamannya Jalan Taman Biduri Blok N 1/7 Permata Hijau, Jakarta Barat.

Menurut cucunya, Sharem, 25 tahun, almarhum masih mengobrol dengan keluarga semalam dan sempat bangun beberapa kali, sebelum didapati meninggal sekitar pukul 5 pagi tadi.

Des Alwi, kata Sharem, baru pulang dari menjalani operasi by pass jantung di Rumah Sakit Cinere sekitar tiga minggu lalu. Dia pulang ke rumah kemarin untuk menjalani masa penyembuhan.

Tadi malam, Des sempat diberi obat penenang agar dapat tidur. Menurut susternya, kata Sharem, obat itu sesuai resep dari dokter.

Pihak keluarga saat ini sedang mengupayakan agar Des Alwi dapat dikebumikan di kampung halamannya di Banda Neira, Maluku. Hal itu sesuai dengan pesan almarhum sebelumnya.

Des Alwi lahir di Banda Naira, 17 Nopember 1927. Di Jakarta, ia terkenal sebagai pelobi tingkat tinggi dan simbol masyarakat Banda.

Sebagian orang menilai, kepiawaian Des Alwi dalam hal melobi, hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi, dari petinggi nasional hingga internasional itu salah satunya hasil dari kebiasaannya bergaul dengan tokoh-tokoh tahanan politik yang dibuang ke Banda.

Des banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr. Muhammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.

ERWIN Z

emang elo SIAPA

BAR 36:06, Nov/Dec 2010
The Bible In the News: Answers to Cain’s Question
By Leonard J. Greenspoon

“Am I my brother’s keeper?” The first person to utter this question, Cain (in Genesis 4:9), more than likely expected, or at least hoped for, an answer in the negative. It is clear, though, that readers of the Bible are intended to respond in the positive: Yes, I am my brother’s (and sister’s) keeper.
In contemporary society, at least as based on reports in major newspapers worldwide, the appropriate response to this eternal query is decidedly more mixed. For example, advice columnists tend to proffer resounding “hands-off” responses. A Canadian asks, “My brother is a lifelong heavy smoker. He’s now 29, married for two years, and the very proud father of a beautiful baby girl ... I’ve nagged and at times pleaded with him to stop [smoking]. Where do my ethical obligations to ‘be my brother’s keeper’ begin and end on this matter?” According to the expert (in the Toronto Star), the inquiring writer “should get off your brother’s case ... Your intentions are noble, but all you’re accomplishing is distancing yourself from him and making him feel guiltier than he already feels ... Your brother, in this case, has to be his own keeper.” Something, I suppose, like “physician, heal thyself.”
Such pragmatic negations of “keeping” our brothers are countered elsewhere in the press. For example, a correspondent in Malaysia’s New Straits Times writes (in a piece titled “Life Means Little Without the Sharing and Caring”): “I am my brother’s keeper. I say it not out of some misplaced sense of responsibility or schmaltzy sentimentality. I say it as it is part of some higher calling. It is a question of duty.”
Even more expansive is the definition of brother that encompasses those to whom we have no blood relationship, as in a Newsday story titled “My Brother’s Keeper: A Long Island Veteran Makes Sure a Brother in Arms Is Buried with Dignity.” This account narrates the efforts of veterans to provide an appropriate burial for a Korean War-era veteran who had died “penniless and long separated from his family.”
And it can even cross species: “There is a deep beyond-its-years wisdom in Suma’s eyes—a look that speaks of a shared understanding between keeper and orangutan about the animal’s precarious existence, and the lifelong dedication of zoo staff to help.” These efforts, playing out in Borneo and Melbourne, are the subject of a story in Australia’s Herald Sun titled “They Are My Brothers’ Keepers.”
Returning to the realm of humans, we discover that overcoming adversity is often the stimulus for positive attitudes and actions toward others. Thus, we read (in USA Today) of Michigan State basketball player Kalin Lucas, who had to overcome considerable personal tragedy as he grew up. Now a leader, Lucas, along with teammate Durrell Summers, sport “the same tattoo inscribed on their right forearms, the letters BFSG. What the letters stand for is private and sacred, Lucas says, but he sums up their significance this way: ‘I am my brother’s keeper.’”
Alas, “I am my brother’s keeper” does not always equate with the positive sentiments we tend to associate with the expression. As reported in the Herald Sun, the same words are part of the insignia of the Bandidos, an “outlaw motorcycle gang” in Australia. Their definition of “brother” and “keeper” is decidedly less expansive than others, as also seen in another of their slogans: “Real power can’t be given—it must be taken.”
As always, I want to conclude on a higher note: a story from Glasgow’s Herald with the title “‘Going Green’ Is a Moral Duty for Scots Christians.” As part of his argument, the Right Reverend William Hewitt, moderator of the General Assembly, stated: “There’s a moral and ethical argument to [environmental issues]. It’s absolutely basic to the teachings of the Bible. Am I my brother’s keeper? Yes, you are your brother’s keeper.” I couldn’t have said it better myself.

STOP rekayasa PEMBEDAAN

Jumat, 12/11/2010 08:52 WIB
Amnesty International Minta Pemerintah Stop Tes Keperawanan

Irna Gustia - detikHealth

Jakarta, Amnesty International (AI) mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan upaya diskriminatif terhadap siswa di beberapa sekolah dengan melakukan tes keperawanan dan kehamilan.

AI menyoroti aksi yang dilakukan pihak Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) I Magetan, Jawa Timur pada 10 Nopember 2010 yang menggelar tes kehamilan terhadap 300 siswi yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.

Alasan pihak sekolah melakukan tes kehamilan untuk mencegah adanya seks bebas. Tes dilakukan kepada siswa kelas XI yang habis mengikuti praktik kerja industri.

"Tes ini tidak hanya mengganggu dan merendahkan tetapi jelas diskriminatif," kata Isabelle Arradon peneliti Amnesty International Indonesia dalam siaran pers yang dilansir dari situsnya, Jumat (12/11/2010).

AI melihat upaya-upaya melakukan tes keperawanan dan tes kehamilan telah mencoreng hak-hak dasar anak perempuan Indonesia.

"Ini adalah satu lagi contoh bagaimana stereotip jender dan diskriminasi bisa membuat perempuan Indonesia tidak dapat mengakses hak-hak dasar mereka," kata Isabelle Arradon.

Sebelumnya, AI juga mengecam wacana untuk melakukan tes keperawanan pada calon siswa di Jambi yang dilontarkan anggota Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno pada September 2010.

Dalam laporan terbarunya 4 November 2010, AI menyoroti tentang hambatan kesehatan reproduksi di Indonesia yang masih diskriminatif. AI juga banyak menemukan praktik-praktik yang menolak perempuan Indonesia yang hamil di luar nikah serta minimnya akses mereka untuk perawatan ibu dan kesehatan reproduksi.

Perempuan Indonesia sangat dirugikan terhadap pembatasan ini, karena pandangan stereotip jender tentang seksualitas. Kehamilan di luar perkawinan dapat diartikan sebagai bukti kejahatan.

Adanya pembatasan hak-hak seksual dan reproduksi di Indonesia juga menempatkan perempuan dan anak perempuan berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Jika itu terjadi maka dapat membuat mereka mengalami masalah kesehatan dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti dipaksa untuk kawin muda atau keluar sekolah.



(ir/ir)

Rabu, 10 November 2010

TRADISI Maria Magdalena

The Bible and Biblical Figures Reviews
Bible Women
Gospels of Mary

The Gospels of Mary: The Secret Tradition of Mary Magdalene, the Companion of Jesus

by Marvin Meyer with Esther A. de Boer

San Francisco: HarperSanFrancisco, 2004, 128 pp.
$17.95 (hardback)



Women in Mark’s Gospel

Women in Mark’s Gospel

by Susan Miller

London: T & T Clark, 2004) 228 pp.
$39.95 (softcover)



The Last Week

Mary’s Mother: Saint Anne in Late Medieval Europe

by Virginia Nixon

University Park, PA: Penn State Univ. Press, 2004, 36 b&w illus., 215 pp.
$35.00 (hardcover)


Was Mary Magdalene a repentant whore? Marvin Meyer, a professor of Bible and Christian studies at Chapman University in Orange, California, provides us with the relevant Biblical and extrabiblical texts. According to Meyer, Mary was the disciple whom Jesus loved above all others.

Meyer introduces us to several Gnostic manuscripts, including the Gospel of Mary, known from a fifth-century Coptic copy (Papyrus Berolinensis 8502); the gospels of Thomas and Philip, as well as the Dialogue of the Savior, both found at Nag Hammadi, Egypt, in 1945; and the Pistis Sophia, a fourth-century collection of Gnostic revelations and teachings that purports to contain Mary Magdalene’s teachings on Wisdom.

These texts portray Mary as Jesus’ closest companion and a “pure spiritual woman.” Whatever the facts, these texts illustrate the role of women in the early Christian Church.

Each of the canonical Gospels tells a different version of the life of Jesus. Mark’s Gospel has survived with two different endings. In the other Gospels, the resurrection is witnessed and announced by women, either Mary Magdalene alone or with others. In Mark in the shorter ending (which most scholars agree is the more original ending), the women see, but they do not tell.

Susan Miller, a professor at the University of Glasgow, surveys the role of the women in Mark in terms of discipleship. Mark’s emphasizes the women’s service, a word not used for the men. They are the anointers, the witnesses, the servants. They are with Jesus in Galilee, and are the only ones present at the crucifixion. They are the ones who go to the tomb and they are the first to see it empty. And although they are silent in the end, Mark knows that future discipleship is dependent on their witness.

Jesus’ maternal grandmother is not mentioned in the Bible, but she is nevertheless an important character in understanding the way the Bible has been studied. Anne is first named in the second-century Protoevangelium of James, which lists her in the genealogy of Jesus. By the late Middle Ages, there was a veritable cult of St. Anne.

Virginia Nixon, an art historian at Concordia University in Montreal, has studied hundreds of images of Anne in an attempt to understand her and her popularity.

Farisi, siapa seh mereka

The Bible And Biblical Figures Reviews
In Quest of the Historical Pharisees
Historical Pharisees

Edited by Jacob Neusner and Bruce Chilton

Baylor Univ. Press, 2007, 548 pp.
$39.95 (paperback)

Reviewed by John Merrill

Talkback Add Your Comment

Who were the Pharisees? The New Testament Gospels portray them as opponents of the Jesus movement, but their identity and motives are at best opaque. The Book of Acts and Paul add little concerning their beliefs or socioeconomic status.

The Dead Sea Scrolls allude metaphorically to a group called “Seekers after Smooth Things” (cf. Isaiah 11), or “Ephraim,” that scholars sometimes identify as the Pharisees; but apart from the fact that the sectarian authors of the scrolls disliked the Pharisees, little more can be gleaned about them here. The Jewish historian Flavius Josephus has much to say about the Pharisees, but what he says is often ambivalent, elusive or downright contradictory, reflecting the fact that Josephus was both a self-described former member of the sect, but also a proud descendant of their bitter Hasmonean rivals.

Finally, the Mishnah and Tosefta, rabbinic musings of the third and fourth centuries C.E., although containing many references to Pharisees, are inward-looking and inscrutable and of little historical value.

The 17 contributions (by 11 authors) to the volume under review, edited by Jacob Neusner and Bruce Chilton of Bard College, analyze the varying sources and different aspects of information about this ancient and enigmatic group. As if these limitations of the sources were not enough of a handicap, the contributors are further constrained by the scholarly impulse to avoid conjecture. As editor Neusner has admonished: “What we cannot show, we do not know.”

On the other hand, experience teaches that scholarly progress often requires educated guesswork—that is, the application of generalized knowledge and common sense to incomplete and often contradictory information. In short, I wish the authors had speculated more.

A few of the puzzles that call for educated speculation:

“Pharisee” seems to be derived from the term “perishim,” meaning “separatists.”

But from whom or what did the Pharisees separate themselves?

The Dead Sea Scrolls used the term “seekers after smooth things” which has a degree of self-evident meaning. The designation “Ephraim” does not. But what were these “smooth things” and why did the sectarian authors of the scrolls label their opponents “Ephraim”?

Luke tells us that the Pharisees were members of the urban elite and “lovers of money” (Luke 16:14). In the Gospel of John we learn of Nicodemus who appears to be a wealthy and politically influential Pharisee. The implication is that there are others. But wealthy and influential groups do not pluck this status out of thin air. Nor is wealth the product of ritual purity. At this time wealth was acquired by some combination of money-lending, tax farming, agricultural monopolies or mercantile franchises—most of which required some form of symbiotic relationship with those in control of government. A lot could be said, one imagines, about how the Pharisees supported Herod’s overthrow of their Hasmonean antagonists, and how that support served to consolidate their position as wealthy aristocrats.

To add to the confusion, another chapter in the book tells us that the Pharisees were a “nonaristocratic group.”

I wish the learned authors had speculated more even though they lack conclusive proof. I would have liked more educated guesswork.

That said, there is still much of value in this volume. It contains a detailed inventory of everything the New Testament and the rabbinic writings have to say about the Pharisees. The materials from Josephus and the Dead Sea Scrolls are less comprehensive, but nevertheless a good starting point. And there is an extremely thought-provoking commentary by Bruce Chilton on the dialogue between James (the brother of Jesus), Peter and Paul on how Gentiles were to be treated within the Jesus movement. In Chilton's view, it was James’ decision that Gentiles could be saved without converting to Judaism (and without being circumcised) that eventually outraged the Pharisees and resulted in James' execution by stoning. An alternative interpretation, based on Eusebius, might be that James was stoned because he insisted that no one could be saved, including Jews, without believing that Jesus was their savior. Either way, James’ execution illustrates the degree of emotional power that can be unleashed by the belief that a particular group will be saved and eternally rewarded, while all others not part of that group are to be eternally damned and punished forever. Much of the world is still in the grip of such beliefs, and it is useful to remind ourselves of the context in which they originated.

John Merrill is a contributing editor of BAR.

Selasa, 09 November 2010

isu TAK TERHINGGA

Israel Antiquities Authority vs. Conspiracy of (Alleged) Forgers
Judge Considers Verdict in 5-Year-Long Jesus Forgery Trial
October 7, 2010



After five years, the “forgery trial of the century” has concluded in a Jerusalem courtroom. Now the only remaining defendants, antiquities collector Oded Golan and antiquities dealer Robert Deutsch, await the judge’s verdict. So does the rest of the world.

According to Jerusalem journalist Matthew Kalman, the only journalist who has attended the trial daily for five years, the judge has expressed grave doubts about the government’s case. After the prosecution and Golan presented their evidence, the judge remarked to the government’s lawyer, “Have you really proved beyond a reasonable doubt that these artifacts are fakes as charged in the indictment?”

Matthew Kalman’s report from The Jerusalem Post appears below.
Putting the case to rest
By Matthew Kalman
10/07/2010
The Jerusalem Post
The judge considers his verdict in the five-year-long Jesus forgery trial.
The discovery in 2002 of a limestone burial box with the Hebrew inscription “James son of Joseph brother of Jesus” electrified the world of archeology. If genuine, the burial box, or ossuary, would be the only archeological artifact found with a possible direct link to Jesus of Nazareth.
Amid international fanfare, the ossuary went on display at Toronto’s Royal Ontario Museum and swiftly spawned numerous articles, scholarly studies, several documentary movies and at least four books.
But experts at the Israel Antiquities Authority declared it a modern-day forgery. Israeli police seized the burial box and arrested its owner, Tel Aviv collector Oded Golan. In December 2004 he was charged with faking the ossuary and dozens of other items, including an inscribed tablet linked to King Joash, which, if authentic, would be the only physical evidence from the Temple of Solomon.
The indictment leveled 44 charges of forgery, fraud and deception against Golan and 13 lesser counts against a codefendant, antiquities dealer Robert Deutsch. The trial of Golan, Deutsch and three others opened in Jerusalem District Court in September 2005.
On Sunday, the defense ended its summing-up with just two men left in the dock, bringing to an end five years of court proceedings that spanned 116 sessions, 133 witnesses, 200 exhibits and nearly 12,000 pages of witness testimony. The prosecution summation alone ran to 653 pages.
Yet despite the flood of strong scientific testimony, the feeling in the tiny courtroom, where fewer than a dozen people (including only one reporter) have followed the proceedings, was that the prosecution had failed to prove the items were forgeries or that Golan and Deutsch had faked them.
Judge Aharon Farkash, the wheelchair-bound polymath who has overseen the marathon trial, wondered aloud on several occasions how he could be expected to deliver a legal ruling on what was essentially a scientific question that the experts themselves could not resolve.
In October 2008, just three years into the proceedings, Farkash pointedly asked whether the trial should continue after the prosecution and Golan had presented their evidence.
“Have you really proved beyond a reasonable doubt that these artifacts are fakes as charged in the indictment? The experts disagreed among themselves,” Farkash told the prosecutor.
Summing up last March, lead prosecutor Dan Bahat made a startling admission. “If the ossuary had been the only thing on trial, we probably would not have carried on with the process,” he said.
Bahat was not even in court to hear the judge wrap up the trial and retire to consider his verdict.
Scientists and lawyers have spent months arguing over the patina—a thin crust of material formed by microorganisms that covers all ancient objects. The prosecution accuses Golan of creating a fake patina, which he applied to new inscriptions on ancient objects. Defense experts say there is patina inside the grooves of the inscriptions that could not have been formed in the past two centuries.
Golan said he had never faked anything.
“I feel that I succeeded to prove that the most important items should be at least 200 years old.
They could not be forged because there is ancient, authentic, natural patina which has been developed gradually over at least 200 years in both the James ossuary and the Joash tablet,” Golan said.
“They lost the case, there’s no question. On the main issues they were completely wrong. They are not forgeries. It’s not only that they could not prove there was a forgery. With the James ossuary and the Joash tablet, I believe that we proved their authenticity with experts in patina, in geology, in stone, in engraving,” he said.
At times, the courtroom has seemed more like a doctoral seminar than a legal proceeding. The world’s leading experts on archeology, biblical history, Semitic languages, ancient stones and inscriptions, geology, isotopes (both stable and carbon-14), biology, chemistry, microscopy and glue have participated in an often fascinating and sometimes embarrassing collision of scholarship and criminal law.
The court has heard from grave robbers, dealers in the shady antiquities market, billionaire collectors and tireless investigators who spend freezing nights in the desert waiting to catch tomb raiders.
There have been stories of mysterious Egyptian forgers, cash payments of thousands of dollars in parked cars on West Bank back roads, sting operations at airport customs and warehouses crammed full of priceless ancient artifacts.
Judge Farkash said Sunday he would try to plow through all that material and deliver a verdict as soon as possible. It could take several months.
The criminal, scholarly and scientific implications of his verdict are immense. If genuine, the artifacts are of historic importance and worth millions. An acquittal would be a severe setback for the Israel Antiquities Authority and its special investigators, who accused Golan and his codefendants of making millions of dollars as part of an international chain of forgers planting sophisticated fakes in the world’s museums. It would also be an acute embarrassment for the isotope experts at the Israel Geological Survey and Prof. Yuval Goren of Tel Aviv University, who spent many days on the stand defending scientific tests they said showed the items must be fakes.
A guilty verdict, on the other hand, would destroy the reputation of one of the world’s leading collectors of biblical antiquities and drive the entire Israeli market underground. The Israel Antiquities Authority has made no secret of its desire to shut down the trade in Bible-era artifacts, which it believes encourages grave robbers, who spirit the choicest finds out of the country.
Government officials and many scholars say the market is riddled with forgeries, and they are skeptical of any item that does not come from a licensed, supervised excavation where its provenance can be proved. But Golan said he had never seen a forgery that wasn’t immediately obvious and pointed out that some of Israel’s greatest archeological treasures came from dealers. Indeed, the most striking example is one of the most important biblical finds ever: the Dead Sea Scrolls, which a Beduin shepherd sold to an Israeli professor more than half a century ago.