Mana Riedl dan Gonzales Kita?
Selasa, 21 Desember 2010 | 03:40 WIB
kompas
Radhar Panca Dahana
Kegembiraan atas kemenangan timnas Indonesia dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 melawan Filipina tidak sebatas ruang lengkung Gelora Bung Karno, tetapi juga ruang fisik dan imajiner bangsa, membuat haru sekaligus cemas.
Keharuan menyeruak saat menyadari betapa rakyat negeri ini begitu rindu dengan emosi kolektif di mana rasa bangga dan kehormatan bersama, sebagai sebuah negeri sebuah bangsa, dapat dipulihkan.
Sudah terlalu lama emosi kolektif dari rasa kebangsaan kita kehilangan alasan untuk berbangga dan mendapatkan rasa hormat dari bangsa lain. Seakan negeri besar ini hanya pariah dalam pergaulan internasional, hanya obyek penderita menghadapi perlakuan bangsa lain.
Dalam situasi inferior yang mengenaskan itu, rakyat seperti subyek yang tidak berdaya melihat pemerintah—pengemban amanah dan tanggung jawab utama—justru invalid menunaikan tugas. Pemerintah terlalu sering absen dalam urusan yang menyangkut kepentingan publik. Pemerintah bahkan justru sering melawan rakyatnya sendiri.
Semua itu terlihat dari pelbagai demo, konflik petugas dan rakyat, hingga kasus-kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai pesakitan, lebih dari seorang koruptor besar atau pengkhianat negara. Pengurus serikat usaha berkelas UKM bahkan berkata, ”Sejak kapan pemerintah membina dan memberdayakan UKM, sepertinya UKM kita berjuang sendiri. Kalau memperdaya dan memeras, ya, mungkin.” (Kompas, 22/10/2010)
Menanggapi banyak kecelakaan kereta api, Suyono Dikun, Ketua Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian, menyatakan di harian yang sama, ”Pemerintah tak pernah serius perhatikan kereta api.”
Musikus Jockie Soerjoprajogo dari Mufakat Kebudayaan berulang kali mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim keberhasilan musikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebagai hasil kerja mereka. ”Itu hasil usaha para pemusik kita sendiri.”
Pemerintah hanya melayani kepentingan dan prestise diri sendiri, dengan mengatasnamakan dan menggunakan fasilitas rakyat. Kekecewaan atas absensi itu bertambah akut dengan penyelesaian yang tak cukup terhormat pada berbagai persoalan: masalah perbatasan, TKI, ”pencurian” klaim budaya, dan sebagainya.
Akal sehat rakyat berulang kali dikhianati oleh perilaku abnormal dan deviatif, dari nafsu purba dan hedon, penguasa.
Rasa cemas itu
Semua kenyataan psikologis rakyat Indonesia itu adalah ironi dalam kemeriahan penonton di leg satu dan dua semifinal AFF. Sukses timnas tidak serta-merta menjadi pengakuan pada prestasi organisasi terutama pemimpinnya. Teriakan ”Nurdin turun,” tetap membahana.
Ejekan dan cemoohan juga muncul di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. ”Ingat, ini Timnas Indonesia, bukan Timnas PSSI,” ujar pengguna Twitter. Di Youtube muncul tayangan yang mempertontonkan potongan adegan di mana ”Indonesia menang, Nurdin malah menunduk mencium tangan SBY.” Rasa muak jelas terlihat terhadap perilaku penguasa yang terus mengeksploitasi kemampuan publik untuk kepentingan sendiri.
Kita pun dapat menyaksikan sendiri bagaimana hampir seratus ribu penonton dan jutaan pemirsa teve lainnya hampir tidak mengaitkan sukses timnas Indonesia dengan kinerja pemimpin, juga tidak pada Presiden SBY, walaupun ia hadir dan turut bersorak di stadion. Seolah publik, seperti dalam banyak contoh kasus di atas, tidak rela jika sukses sepak bola itu diklaim sebagai prestasi pemerintah.
Di sini rasa cemas itu muncul. Ketika ketidakpercayaan publik kepada pemerintah dan para pemimpin tergerus, usaha negara untuk survive dan berdaulat di dunia mendapat ancaman serius. Absensi dan ketidakpercayaan membuat masyarakat semakin tidak peduli kepada pemerintah dan pada akhirnya juga tidak peduli—baca membangkang—semua kebijakannya.
”Tidak peduli pada negara (cq pemerintah)” akan menjadi semangat yang meluas, yang pada titik ekstremnya akan melahirkan kerancuan dan kekacauan pada semua tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran dan cara mengatur hidup akan berlangsung secara komunal atau sektarianistik. Klaim horizontal akan bertaburan, dan perpecahan seperti tinggal menunggu susut sumbu bom waktu.
Pemimpin zuhud
Di bagian lain, semangat ”tidak peduli negara” itu sesungguhnya juga dapat berdampak sangat positif ketika semangat itu dipilin menjadi tekad dan kerja untuk tegaknya kemandirian. Hal ini sungguh akan menciptakan kekuatan luar biasa, bahkan mungkin lebih hebat ketimbang yang diinisiasi oleh pemerintah.
Keberdayaan publik yang mandiri akan menjadi kunci eksplorasi kemampuan dari potensi-potensi terbaik bangsa yang masih terpendam. Inilah mungkin inti wahyu Tuhan dalam Islam yang menyatakan, ”Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum bila bukan kaum itu sendiri yang melakukan.” Kata ”kaum” dalam wahyu ini merujuk pada suatu kolektiva, bukan persona atau katakanlah pemimpin.
Dalam kasus timnas Indonesia, pemain naturalisasi Cristian Gonzales berperan vital. Namun, dengan segala hormat dan terima kasih kepadanya, kerja Gonzales tidak akan berarti tanpa kerja sama 10 orang pribumi dalam timnas. Tanpa mereka, Gonzales tak akan memperoleh umpan untuk menciptakan gol-gol cantik.
Namun, lebih dari itu, ada seorang Alfred Riedl, yang dengan dingin melatih dan mengawasi setiap detik pertandingan. Tak ada luapan emosi berlebihan. Sebuah sikap yang memperlihatkan keprihatinan—semacam asketisme—meditatif, bahwa capaian temporer tidaklah berarti bagi tujuan akhir yang diinginkan. Inilah satu sikap zuhud dari kepemimpinan yang hilang di kalangan pemimpin dan elite kita. Sukses publik tidak begitu saja dipelintir untuk menyelebrasi diri sendiri, seperti yang dilakukan para pejabat lewat iklan.
Sukses dari masyarakat atau bangsa yang mandiri adalah justru stimulator bagi sikap yang lebih prihatin dari seorang pemimpin. Karena ia menyadari betapa tugasnya menjadi lebih berat, dan euforia yang berlebihan justru menyimpan ancaman yang lebih mengerikan.
Tetapi di mana Riedl dalam segelintir elite kita? Di mana Gonzales yang menjadi avant garde semua usaha perbaikan ini? Radhar Panca
Dahana Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar