Selasa, 05 Juli 2011

kotbah BERHIKMAH doktoral

Teliti Khotbah Jumat, Pria Ini Raih Gelar Doktor
Selasa, 05 Juli 2011 | 16:25 WIB


TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kundaru Saddhono, meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada gara-gara meneliti khotbah salat Jumat.

"Lingkungan sosial masjid mempengaruhi penggunaan bahasa, kosakata, dan diksi dalam tuturan khotbah Jumat," kata Saddhono dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Selasa, 5 Juli 2011. Faktor sosial inilah, kata Saddhono, yang menjadikan corak khotbah Jumat di lingkungan masjid berbeda-beda.

Saddhono melakukan penelitian di masjid-masjid Surakarta. Secara umum, isi tuturan yang ada dalam khotbah tidak lain merupakan ajaran khatib (penutur) kepada jemaahnya untuk menjadi orang yang bertakwa.

Tapi, yang menarik, bahasa pangantar khotbah Jumat biasa disampaikan dalam berbagai bahasa. Di Surakarta, misalnya, ada tiga bahasa pengantar, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Bahkan, ketiga bahasa ini sering disampaikan secara bersamaan.

Tapi, topik dalam khotbah tetap menyampaikan firman Allah, sabda Nabi, kisah nabi, kisah sahabat nabi, kisah sejarah, dan kisah masa kini. "“Penutur punya kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri, tetapi tepat pada aturan yang berlaku,” katanya.

Bertindak selaku promotor dalam ujian ini adalah Profesor I Dewa Putu Wijana dan Profesor Soepomo Poedjosoedarmo.
Teliti Khotbah Jumat, Dosen UNS Raih Gelar Doktor
Penulis : Agus Utantoro
Selasa, 05 Juli 2011 21:42 WIB


YOGYAKARTA--MICOM: Khotbah Jumat, merupakan bagian penting dalam ritual Islam. Khutbah selalu dilakukan khatib menjelang salat Jumat di masjid-masjid.

Secara umum isi khotbah adalah ajakan khatib kepada jamaah untuk meningkatkan kualitas takwa dan kualitas iman seseorang. Khotbah itu sendiri bisa dilakukan dengan berbagai bahasa.

Di Surakarta, khotbah sering dilakukan dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Bahkan, sering pula dilakukan bersamaan.

Menurut Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kundaru Saddhono, SS, MHum, bahasa Jawa disampaikan di daerah perdesaaan dan sebagian kecil di daerah perkotaan. Bahasa Indonesia digunakan di daerah perkotaan.

"Di perkotaan, jamaah salat Jumat berasal dari berbagai latar belakang, baik pendidikan, budaya profesi, dan sebagianya," kata Kundaru dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Selasa (5/7).

Bertindak selaku promotor Prof Dr I Dewa Putu Wijana, SU, MA, dan Kopromotor Prof Dr Soepomo Poedjosoedarmo.

Dia menambahkan, bahasa Arab disampaikan dalam khotbah di masjid-masjid tertentu, misalnya, di Masjid Lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII). (OL-11)
Teliti Khotbah Jumat, Dosen UNS Raih Doktor di UGM
Selasa, 05 Juli 2011 16:46:00

YOGYA (KRjogja.com) - Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum., berhasil meraih gelar doktor dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Selasa (5/7). Memaparkan penelitian mengenai Khotbah Jumat, Kundaru berhasil mempertahankan penelitiannya didepan promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., dan Ko-promotor Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo.

Dalam paparannya disampaikan, Khotbah jumat (KJ) sebagai salah satu ritual dalam agama Islam, secara umum memiliki isi tuturan ajaran khatib kepada jemaahnya untuk menjadi orang yang bertakwa. Tidak jarang, bahasa pangantar KJ disampaikan dalam berbagai bahasa. Di Surakarta, misalnya, KJ disampaikan dalam tiga bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Arab dan bahkan sering disampaikan secara bersamaan.

"Bahasa Jawa disampaikan di daerah pedesaaan dan sebagian kecil di daerah perkotaan. Sementara bahasa Indonesia digunakan di daerah perkotaan. Di perkotaan sendiri, jamaah salat jumat berasal dari berbagai latar belakang, baik pendidikan, budaya profesi, dan sebagianya,” paparnya.

Dia menambahkan, bahasa arab disampaikan dalam KJ di masjid-masjid tertentu, misalnya di masjid lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII). Namun demikian, setelah salat jumat selesai ada penjelasan mengenai isi khotbah dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.

"Meski dalam bahasa yang berbeda, topik dalam KJ tetap menyampaikan pengutipan yang terdiri firman Allah, sabda Nabi, kisah dialog, perkataan seseorang. Terdapat juga penceritaan yang terdiri dari kisah nabi, kisah sahabat nabi, kisah sejarah dan kisah masa kini," katanya.

Diakui Saddhono, pemilihan topik lebih didominasi berdasarkan lingkungan sosial masjid, terdiri lingkungan keluarga, lingkungan keagamaan, lingkungan pendidikan, lingkungan jaringan dan lingkungan sosial. Menurutnya, di dalam setiap lingkungan sosial masjid mempengaruhi penggunaan bahasa, kosakata, dan diksi dalam tuturan Khotbah Jumat.

“Faktor sosial inilah yang menjadikan corak Khotbah Jumat antara masjid di lima lingkungan masjid tersebut berbeda. Selain itu, faktor penutur, mitra tutur, tindak tutur berpengaruh pada pemakaian bahasa dan kosakatanya. Kendati KJ mempunyai aturan yang jelas. Namun dalam tuturannya dipengaruhi oleh faktor penutur. Penutur atau khotib mempunyai kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri tetapi tepa pada aturan yang berlaku,” imbuhnya. (Ran)
LITIGASI VS NON-LITIGASI

LITIGASI VS NON LIGASI BAB I & II

litigasik-1.jpg

ABSTRAK

Dalam masyarakat bisnis terdapat 2 (dua) pendekatan umum yang sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. pendekatan pertama, yaitu menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi (Paradigma litigasi/PLg). Pendekatan ini murupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. sementara itu, pendekatan kedua, menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi(paradigma non-litigasi atau PnLg). Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapakan hasil penyelesaian sengketa win-win solution. Di Indonesia, yang mempunyai budaya musyawarah, Paradigma Non-Litigasi ternyata tidak berkembang. Fenomena yang terpotrat di masyarakan justru munculnya budaya gugat menggugat yang demikian tinggi, yang menyebabkan munculnya peluhan ribu tumpukan perkara di lembaga peradilan. Derasnya arus perkara yang masuk melalui jalur litigasi menimbulkan kinerja pengadilan tidak bisa optimal, juga menjadikan masyarakat tidak lagi mencari keadilan tapi mencari kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Kondisi kejiwaan masyarakat tersebut menemukan suatu habitat yang cocok di dalam lembaga peradilan Indonesia, di mana sebagian kalangan hakim mudah tergoda untuk melakukan jual beli keadilan. Lembaga peradilan yang seharusnya menjalankan amanah untuk mendistribusikan keadilan bagi masyarakat ternyata menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan ‘permainan kotor’. Sehingga lembaga peradilan tidak semata-mata sebagai tempat mencari keadilan tetapi juga bisa menjadi ajang ‘jual beli’ putusan, hal ini berakibat putusan hakim seringkali sulit untuk diramalkan (unpredictable) dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Bagi masyarakat bisnis, yang segala sesuatu mendasarkan pada efektivitas , efisiensi dan velocity, kondisi tersebut jelas tidak menciptakan situasi kondusif untuk menunjang kegiatan mereka. sedangkan bagi investior asing hal ini akan menyurutkan minat mereka untuk melakukan inverstasi di Indonesia, karena tidak adanya kepastian hukum bila terjadi sengketa. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara melakukan pembangunan paradigma non-litigasi, yang diharapkan mampu menggeser dominasi paradigma litigasi, sehingga masyarakat Indonesia tidah hanya mengandalkan jalur litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126



REFORMASI HUKUM EKONOMI INDONESIA

REFORMASI HUKUM EKONOMI DI INONESIA BAB I & II

reformasiekonpmi-1.jpg

ABSTRAK

Kehadiran buku ini akan membuka cakrawala baru bagi pembaca berkaitan dengan posisi hukum ekonomi di Indonesia. Reformasi hukum ekonomi dalam era globalisasi ekonomi tidak hanya sekedar mengganti, menyesuaikan atau membuat peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi. Reformasi hukum ekonomi adalah perombakan hukum ekonomi secara mendasar yang mempunyai kualitas ‘paradigmatik’. Ada dua hal utama yang menyebabkan berubahnya paradigma yang lama ke yang baru, yaitu disepakatinya GATT_PU oleh Indonesia dan orientasi pembangunan ekonomiyang diarahkan pada ekonomi kerakyatan. Agar reformasi tersebut sesuai dengan arah yang benar maka harus berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, dengan tetap mengindahkan norma-norma internasional yang diakui masyarakat dunia yang beradab. Dalam kondisi yang demikian itulah diperlukan para pemikir hukum ekonomi yang mampu menyelaraskan antara aturan-aturan yang terdapat dalam GATT-PU dengan kepentingan nasional, sehingga secara internasional kita bisa memainkan peranan dan secara nasional kita bisa menjaga kedaulatan negara serta menciptakan keadilan ekonomi bagi masyarakat. Buku ini setidaknya bisa memberikan stimulasi bagi para pemikiran hukum, profesi hukum, mahasiswa hukum, dan masyarakat pecinta keadilan untuk lebih giat berjuang melakukan reformasi sehingga hukum ekonomi mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum pada masyarakat dan investor.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126

NEGARA HUKUM : KEKUASAAN, KONSEP, DAN PARADIGMA MORAL

NEGARA HUKUM : KEKUASAAN, KONSEP, DAN PARADIGMA MORAL BAB I & II

paradigma-moral-1.jpg

ABSTRAK

Merenungkan dan menggagas lebih lanjut mengenai kaitan antara hukum dan kekuasaan ternyata membawa kepada pemahaman dalam suatu medan permasalahan yang tidak sederhana. Kalau secara sepintas hubungan antara keduanya hanya saling memberi, menolak, dan meniadakan, maka dalam pengamatan lebih jauh, hukum dan kekuasaan menampilkan kompleksitas perbaruan yang lebih kaya. Semenjak hukum itu menjadi saluran pengimplementasian putusan-putusan politik dan sejak hukum itu mempunyai aspek birokrasi yang kuat, maka secara diam-diam sebenarnya hukum juga sudah berubah menjadi pusat-pusat kekuasaan dan kekuatan. Hukum tidak lagi hanya menjadi pembatas kekuasaan, akan tetapi juga menjadi ‘bumper’ kekuasaan. Maka, tidak heran ketika kemudian muncul ‘kejahatan yang dilakukan oleh hukum (crime by law)’. Ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan dan di bungkus dengan ‘samak’ hukum, maka ia menentukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Ketika kejahatan menyembunyikan dirinya di balik kekuasaan Negara (State power) dan terbungkus oleh hukum yang dirancang oleh orang-orang yang tak bermoral, maka tapal batas di antara keduanya lebar dan kabur. Tidak lagi ada batas antara penguasa dan penjahat oleh karana kejahatan itu dilakukan oleh penguasa itu sendiri. Di tengah-tangah paradigm Negara hukum yang sudah banyak mengalami distorsi seperti sekarang ini, maka perlu ada alternatif yang mampu menyegarkan dan mereposisi kembali konsep Negara hukum, yaitu paradigma moral.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126



EKSISTENSI DAN PENYELESAIAN SENGKETA HAKI (HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL)

EKSISTENSI DAN PENYELESAIAN SENGKETA HAKI (HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL)

haki.jpg

ABSTRAK

Gelombang sengketa HaKI tinggal menunggu waktu saja, karena sebagian besar porduk-produk yang dipasarkan di Indonesia dari Negara asing, yang dilindungi HaKI, banyak sekali yang dibajak secara masal di Indonesia. Bila pemilik HaKI tersebut melakukan aksi penegakan hukum di Indonesia, bisa dibayangkan besarnya jumlah pihak-pihak yang terkena gugatan atau sanksi pidana dari pemilik resmi. Mekanisme penyelesaian sengketa HaKI sengaja dipilih untuk menjadi objek khusus dalam pembahasan karena beberapa alasan. Pertama, HaKI telah masuk dalam lampiran Final act.GATT-Putaran Uruguay. Hal ini mengandung makna bahwa bidang HaKI tidak lagi menjadi masalah nasional suatu bangsa, tetapi telah menjadi salah satu ‘isu internasional’ yang harus mendapat perhatian serius semua Negara, khususnya memasuki mellenium tiga. Dengan masuknya bidang HaKI dalam GATT-PU menyebabkan cakupan dan permasalahan HaKI dari waktu ke waktu semakin kompleks, yang tidak hanya berkaitan dengan bidang hukum atau ekonomi saja, tetapi telah masuk dalam masalah sosial bahkan telah melibatkan bidang politik. kedua, banyak pelaku bisnis di Indonesia yang masih melakukan pelanggaran di bidang HaKI. oleh karena itu perlu dikembangkan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa tanpa jalur litigasi agar bisa memberikan keadilan pada pihak-pihak yang dirugikan tanpa harus menempuh prosedur yang panjang dan mahal. Ketiga, hakim-hakim di Indonesia banyak yang belum paham tentang HaKI, apalagi bila dikaitkan dengan konstelasi perdagangan internasional. Kondisi ini bisa menambah citra buruk negara Indonesia di dunia internasional, khususnya dalam hal penanganan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Keempat, sebagian besar masyarakat Indonesia belum atau tidak mengetahui adanya hukum di bidang HaKI. Padahal bidang ini akan menjadi salah satu bidang yang penting dan strategi pada abad XXI. Pembajakan dan jual beli bajakan, yang dilindungi HaKI, yang sering dilakukan secara masal oleh masyarakat, dapat menyebabkan negara Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional atau terkena sanksi dari WTO (World Trade Organitation). Pembahasan mekanisme penyelesaian sengketa HaKI mencakup 5 (lima) hal, yaitu : eksistensi HaKI dalam sistem hukum; masuknya HaKI dalam sistem hukum di Indonesia; Penyelesaian sengketa HaKI dalam forum internasional dan nasional; dan penggunaan paradigma non-litigasi untuk penyelesaian sengketa HaKI. penyelesaian-sengketa-hak-kekayaan-intelektual

Selengkapnya hub. Email Penulis/adisulistiyono.staff.uns.ac.id (kunsultasi hukum)

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126





“MENGGUGAT”

DOMINASI POSITIVISME DALAM ILMU HUKUM

Abstrak

Positivisme hukum merupakan aliran yang telah mendomonasi pemikiran hukum di berbagai Negara sejak abad XIX sampai sekarang, dengan tokoh-tokoh seperti hart, john austinm dan hans kelsen. Pahan ini menekankan bahwa hukum menemukan bentuk positif dari instansi berwenang yang harus ditaati dan bersifat otonomi, hukum hanya di pandang dari segi formal, isi hukum (material) bukan bahan ilmu hukum. Penganut paham ini, yang dipelopori proposional hukum (jaksa, hakim, dan pengacara), cenderung mengagung-agungkan hukum positif dan menginginkan dilepaskanya pemikiran metayuridis (bacalah undang-undang dan pakailah logika hukum). Penganut paham ini senantuasa akan bekerja seperti “Robot” dalam memberikan keputusan tanpa mendasarkan pada moral, nilai-nilai kemanusian pada masyarakat, serta cenderung mangabaikan fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan terpuruknya hukum di Indonesia dan menjadi salah satu system hukum yang terburuk di dunia. Usaha untuk “menggugat” dominasi tersebut sebenarnya telah dicoba oleh pengikut aliran hukum realism pragmatis, critical legal studies, dan feminist yurisprudence. Walaupun usaha tersebut sempat menimbulkan kegoncangan eksistensal yang hebat, tetapi tidak berakibat merosotnya dominasi tersebut. Semoga dengan adanya gerakan Hukum Progresif yang “dikomandani” oleh Prof. Satjipto Rahardjo akan mampu mengurangi dominasi positivism.

Penulis : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH

Editor : Isharyanto, SH, M.Hum

Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum.

Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd

Penerbit : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan

UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah Indinesia 57126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar