Jumat, 05 Maret 2010

pEmAkZulaN ala Indonesia @era amandemen UUD45

Demokrasi ala Partai Demokrat
Jumat, 5 Maret 2010 | 04:43 WIB

Syamsuddin Haris

Hiruk-pikuk politik di balik pengungkapan skandal penalangan Bank Century melalui pembentukan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century usai sudah. Melalui pemungutan suara secara terbuka, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyatakan sikapnya. Mengapa kubu Partai Demokrat kalah dan apa implikasi politik yang signifikan ke depan?

Meski didahului akrobat politik memalukan, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyatakan sikapnya terhadap skandal Century. Fraksi Partai Demokrat yang menjadi basis politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menerima fakta bahwa mayoritas anggota DPR, yakni 325 orang dari 537 anggota yang hadir, menilai adanya penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century sehing

Enam fraksi, yakni tiga dari partai politik koalisi (Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera/PKS, dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP) serta tiga parpol non-koalisi (PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura), mendukung penilaian tersebut berhadapan dengan tiga parpol koalisi lainnya (Demokrat, Partai Amanat Nasional/PAN, dan Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) yang menyatakan penalangan Century tidak bermasalah.

Pelajaran bagi Demokrat

Kendati kemenangan opsi C (penalangan Century bermasalah) sudah diduga sebelumnya, kejutan terjadi ketika PPP meninggalkan sikap Demokrat, PKB, dan PAN, serta tatkala Lily Chodijah Wahid (PKB), adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid, ”mbalelo” dari sikap fraksinya. Kekalahan kubu Partai Demokrat dalam pemungutan suara DPR merupakan pengalaman pahit yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi Presiden Yudhoyono.

Betapa tidak, melalui koalisi politik yang dibentuknya, Yudhoyono tentu berharap bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk pemberian dana talangan bagi Century, didukung penuh oleh enam parpol koalisi. Untuk memperluas dukungan DPR terhadap pemerintahannya, Yudhoyono bahkan akhirnya mengajak pesaingnya, Partai Golkar, turut bergabung ke dalam koalisi.

Harapan Presiden Yudhoyono ini jelas sangat wajar, tetapi tidak bertolak dari watak koalisi dalam skema presidensial berbasis multipartai yang hampir selalu cair, longgar, dan tidak pernah disiplin.

Pengalaman Presiden pada periode 2004-2009 sebenarnya sudah memperlihatkan bahwa koalisi politik melalui Kabinet Indonesia Bersatu I tidak pernah menjadi jaminan bagi dukungan parpol terhadap kebijakan pemerintah di DPR.

Persoalannya menjadi sangat krusial jika Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak pernah berusaha merawat, mengelola, dan membangun komunikasi politik yang intensif dengan parpol-parpol koalisi. Dalam kasus Bank Century, misalnya, tampak jelas bahwa berbagai upaya lobi yang dilakukan bukan hanya terlambat dilakukan, tetapi juga tidak terencana dan terkelola dengan benar.

Bahkan tidak jelas, mengapa untuk lobi politik dengan tokoh sekaliber Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, atau Akbar Tandjung; Yudhoyono hanya mengirim staf khusus Presiden bidang bencana, Andi Arief, atau Felix Wanggae, staf khusus yang mengurusi otonomi daerah.

Mabuk kemenangan

Fenomena Partai Demokrat, seperti direpresentasikan melalui pernyataan vulgar beberapa anggota DPR dan pimpinan parpol bergambar segitiga biru ini adalah fenomena ”mabuk kemenangan”. Politik dan demokrasi seolah-olah telah berakhir dengan kemenangan Demokrat dalam pemilu legislatif dan kemenangan Yudhoyono dalam pemilu presiden.

Padahal, politik justru baru dimulai seusai pemilu. Artinya, kesungguhan komitmen mereka seperti dijanjikan dalam pemilu baru diuji ketika pemerintahan hasil pemilu bekerja.

Oleh karena itu, pernyataan politik melalui media, baik oleh Presiden Yudhoyono maupun anggota dan pimpinan Partai Demokrat, bukanlah cara cerdas, apalagi efektif, dalam merawat dan mengelola koalisi politik.

Dalam skema presidensial berbasis multipartai seperti dianut bangsa kita, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat jelas tidak cukup merebut simpati dan dukungan publik, kecuali jika sistem politik kita mengenal mekanisme referendum ataupun plebisit yang sewaktu-waktu dapat mematahkan perlawanan DPR terhadap presiden melalui jajak pendapat rakyat.

Dalam sistem politik yang dianut konstitusi kita, dukungan politik riil bagi efektivitas pemerintahan pertama-tama datang dari DPR, bukan dari media ataupun publik. Karena itu, keberadaan koalisi parpol pendukung Yudhoyono semestinya tidak dipandang secara taken for granted.

Para politisi parpol koalisi yang memilih opsi C sadar betul bahwa kedudukan mereka di DPR setara dengan Presiden dan memiliki legitimasi yang sama kuatnya di hadapan rakyat. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Yudhoyono dan Demokrat kecuali harus pandai-pandai merawat dan mengelola koalisi politik yang telah dibentuk.

Implikasi ke depan?

Kekhawatiran berlebihan Presiden dan Partai Demokrat atas implikasi politik kasus Century sebenarnya tidak perlu. Secara substansi ataupun prosedur konstitusi, sangat sulit bagi Dewan mengarahkan dugaan kesalahan kebijakan Gubernur Bank Indonesia dalam kasus Century sebagai dasar pemakzulan Wakil Presiden Boediono.

Apalagi sejauh ini belum terdengar adanya agenda pemakzulan di balik sikap keras parpol koalisi, baik dari Golkar maupun PKS.

Karena itu, heboh skandal Century kemungkinan berakhir dengan usainya Rapat Paripurna DPR. Kalaupun proses hukum berlanjut atas sejumlah pejabat dan mantan pejabat publik yang dinilai bertanggung jawab, antusiasme media dan publik mungkin tidak akan sebesar ekspektasi mereka atas perseteruan parpol di DPR.

Itu artinya, soal Century pun bakal menguap bersamaan dengan bergulirnya isu-isu politik baru dalam relasi Presiden-DPR.

Lalu, apa yang diperoleh bangsa ini dari kisruh politik Century selama dua hingga tiga bulan terakhir? Bagi rakyat kita, hampir tidak ada yang substansial kecuali semakin terbukanya proses politik dalam relasi Presiden-DPR.

Namun, buat Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat, semua ini merupakan pelajaran bahwa demokrasi bukan sekadar memenangi pemilu, dan koalisi tidak identik dengan sikap ”yes man” terhadap pemerintah.

Karena itu, jika Presiden membuka mata dan hati serta mengakui ada kesalahan kebijakan dalam skandal Century, hampir tak ada alasan untuk mengocok ulang formasi koalisi.

Syamsuddin Haris Profesor Riest Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan

Hakim Konstitusi: DPR Ragu Boediono Lakukan Tindak Pidana
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Sabtu, 6 Maret 2010 | 13:11 WIB

(AFP/Bay Ismoyo)
Indonesian Vice President Boediono waves to journalists before the President, Susilo Bambang Yudhoyono, delivers his speech at palace in Jakarta. More than half the countrys lawmakers voted Wednesday for an investigation into Boediono and Finance Minister Sri Mulyani Indrawati for authorising a 724-million-dollar rescue package for Bank Century in 2008.
TERKAIT:
How Rich The Indonesian President and VP are
Petisi 28: Pidato SBY-Boediono Melawan Keputusan DPR
Boediono Pidato, IHSG Naik 0,51 Persen
Boediono Tak Sangka Bebani SBY dan Keluarga
Boediono: Saya Tidak Akan Mundur

JAKARTA, KOMPAS.com — Jalan panjang harus dihadapi untuk memproses hukum seorang Presiden atau Wakil Presiden. Meskipun dalam rekomendasi akhir DPR terkait Kasus Bank Century menyebut nama mantan Gubernur BI yang kini Wakil Presiden, Boediono, tetapi tak serta-merta dugaan pelanggaran yang dilakukannya bisa langsung diproses secara hukum.

DPR mungkin ragu, apakah pelanggaran yang dilakukan Boediono masuk kategori pelanggaran pidana. Kenapa tidak direkomendasikan hak menyatakan pendapat? Mungkin juga DPR ragu.
-- Hamdan Zoelva


Proses tersebut harus melalui hak menyatakan pendapat yang jika disetujui Paripurna DPR masih dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan kemudian diproses kembali di Parlemen. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, jika memang diketahui adanya unsur memenuhi tindak pidana seperti diatur dalam konstitusi maka proses yang berlangsung adalah pemakzulan.

Namun, melihat aksi DPR yang tak mengajukan hak menyatakan pendapat, Hamdan melihat ada keraguan DPR dalam rekomendasinya. "DPR mungkin ragu, apakah pelanggaran yang dilakukan Boediono masuk kategori pelanggaran pidana. Kenapa tidak direkomendasikan hak menyatakan pendapat? Mungkin juga DPR ragu," kata mantan politisi Partai Bulan Bintang ini, Sabtu (6/3/2010) di Jakarta.

Hak menyatakan pendapat setidaknya diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Jika usulan penggunaan hak ini disetujui, DPR akan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi.

Dijelaskan Hamdan, dalam rumusan yang diajukan ke MK, DPR harus bisa menjelaskan secara detail dugaan pelanggaran yang dilakukan.

"DPR harus membuat draf sespesifik mungkin. Kalau arahnya ke impeachment, harus dirumuskan sedemikian rupa. Ada dua kondisi yang harus dipenuhi, formil dan materiil. Harus dirumuskan dengan rinci dugaan pelanggaran sesuai konstitusi, yaitu korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, dan atau perbuatan tercela," paparnya.

Untuk proses ini, MK tak harus menunggu adanya kekuatan hukum yang mengikat di ranah hukum pidana. "Karena itu, saya melihat rekomendasi DPR biasa saja. Hanya memuaskan konstituen dan rakyat. Dengan atau tanpa rekomendasi DPR, sebenarnya penyidik di penegak hukum harus jalan," ungkap Hamdan.

Namun, rekomendasi DPR dinilai mampu meredam gejolak politik yang mencuat seiring kerja Pansus Angket Kasus Bank Century.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar