Selasa, 16/03/2010 18:52 WIB
Gus Muh Takkan Berhenti Tulis Buku Sampai Kejagung Bosan Melarang
Irwan Nugroho - detikNews
Jakarta - Dua kali buku karangan Muhidin M Dahlan atau Gus Muh dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, ia mengaku tidak akan pernah berhenti untuk menelurkan gagasan-gagasannya melalui buku.
"Cara melawan (pelarangan buku) adalah dengan terus menulis. Nggak boleh surut, nyalinya menciut. Harus digempur terus dengan buku sampai Kejagung bosan," kata Gus Muh yang disambut tepuk tangan pengunjung.
Hal itu dikatakan dia dalam seri diskusi 'Saatnya Penulis dan Pembaca Menolak Pelarangan Buku' di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (16/3/2010).
Gus Muh adalah penulis buku berjudul "Penulis Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965". Buku karya bersamanya dengan Rhoma Dwi Aria Yuliantri itu dilarang Kejagung pada 2009 kemarin karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dikatakan pria berpenampilan sederhana ini, buku karangannya itu baru sempat
beredar dua hari di toko buku. Namun, tanpa surat dan pemberitahuan kepadanya selaku penulis, buku itu langsung menghilang dari etalase.
Menurut Gus Muh, tujuannya menulis buku itu adalah untuk memberikan versi lain mengenai Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra seperti digambarkan oleh Taufik Ismail. Selama 15 tahun lebih, orang-orang selalu merujuk buku Taufik Ismail saat bicara mengenai organisasi kebudayaan berhaluan kiri di zaman Presiden Soekarno itu.
"Sebuah buku harusnya didebat daripada menangis-nangis di depan dewan dan
meminta agar buku itu ditarik. Saya mendengarnya seperti itu," kata Gus Muh
tanpa menjelaskan siapa yang dimaksudkannya.
Lebih lanjut Gus Muh mempertanyakan mengapa pemerintah pusat tidak mau mengakui eksistensi sejarah Lekra. Padahal, Pemerintah Daerah
Yogyakarta telah mengabadikan nama salah seorang aktivis Lekra, pelukis Affandi, menjadi nama jalan.
"Rekonsiliasi itu kini telah ada di jalan-jalan Yogya," ujarnya.
Gara-gara pelarangan bukunya itu, Gus Muh mengaku sempat didera kesulitan untuk 'bergerak'. Dia tidak bisa lagi menulis di media massa karena tulisannya selalu ditolak. Namun, dia tidak pantang menyerah dan kembali akan meluncurkan buku lagi dengan tema yang kontroversial.
"Sekarang sudah ada di kepala, tinggal menuliskan," pungkasnya.
(irw/mad)
Selasa, 16/03/2010 19:16 WIB
Pelarangan Buku Cuma Untungkan Pembajak
Irwan Nugroho - detikNews
Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai tidak mempunyai sistem yang jelas soal
pelarangan buku-buku yang dinilai menyimpang. Sebab, tiap kali sebuah buku
dilarang, menjamurnya versi bajakan yang dijual di jalan-jalan bahkan dengan
harga lebih mahal.
"Yang diuntungkan (dari pelarangan buku) itu adalah pembajak. Karena sekali
dilarang, besok muncul di mana-mana. Harganya bisa dua kali lipat," ujar
Direktur YLBHI, Patra M Zen.
Hal itu dikatakan dia dalam seri diskusi "Kajian Kritis Tentang Pelarangan Buku" di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (16/3/2010).
"Itu fakta bahwa pelarangan buku itu tidak serius karena sistemnya tidak
dibangun," lanjut Patra.
Menurut Patra, bahkan di negara dengan pemerintahan otoriter, sekali buku
dilarang, baik asli maupun bajakannya dibredel. Namun, di Indonesia, pembajak mendapatkan berkah dari pelarangan buku itu.
Selain itu, lanjut Patra, UU No 16/2004 Tentang Kejaksaan tidak menyebutkan
secara jelas mengenai kriteria buku yang masuk daftar merah. Kejagung pun
dinilainya tidak mampu menunjukkan patokan-patokan mengenai materi buku yang
dilarang dibaca oleh masyarakat.
"Ditanya soal paragraf mana yang dilarang, dijawab pokoknya sudah diperiksa. Ya, Jaka Sembung namanya (tidak nyambung)," kata Patra.
Ia meminta Kejagung lebih berfokus untuk mengurusi uang pengganti dari para
koruptor. Sebab, hal itu lebih penting daripada melarang buku-buku yang beredar di pasaran.
"Itu saja yang dilakukan, bukan pelarangan buku," tandasnya.
(irw/mad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar