08 MARET 2010
Mafia di Sekitar KPK
BAHWA korupsi sudah lama menye-linap ke dalam tubuh kepolisian dan kejaksaan, kita mafhum ada-nya. Tapi, jika penyakit ini dite-ngarai mulai bersemi di sekitar Komisi Pemberantasan Korupsi-lembaga yang dibangun karena polisi dan jaksa dianggap tak mampu melawan kanker ini-komisi antikorupsi itu dan publik wajib waspada.
Sejumlah indikasi buruk muncul. Beberapa orang yang beperkara dengan Komisi mengaku didekati makelar. Para penghubung itu menjanjikan bisa membantu menghentikan kasus atau "membeli" hukuman ringan asalkan para tertuduh membayar uang sogok. Sang calo mengklaim punya kenalan "orang dalam". Dalam uraian biaya yang mereka ajukan kepada kliennya disebutkan bahwa uang itu akan disetor kepada pejabat Komisi: dari pimpinan, penyidik, sampai pegawai ren-dahan.
Nama-nama makelar sebelumnya sudah ramai dibicarakan di media massa. Di antaranya Ary Muladi dan Eddy Sumarsono-dua orang yang terlibat dalam rencana suap Anggodo Widjojo kepada pimpinan Komisi. Anggodo adalah adik Anggoro Widjojo, pemimpin PT Masaro Radiokom, yang kasusnya sedang disidik komisi antikorupsi. Kasus suap ini meledak akhir tahun lalu dan memunculkan konflik Komisi dan kepolisian-se-suatu yang belakangan terkenal dengan sebutan "Cicak versus Buaya".
Yang juga diduga beraksi sebagai makelar adalah Yudi Prianto. Ini yang gawat: Yudi adalah anak Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tahun lalu, bersama pemimpin Komisi lainnya, Chandra M. Hamzah, Bibit ditahan aparat karena dituduh menerima suap Anggodo-sesuatu yang belakangan tidak terbukti.
Bermodal status sebagai anak Bibit, Yudi beraksi. Uang kabarnya mengalir ke kantongnya. Dugaan kedekatan Yudi dan Ary Muladi menimbulkan spekulasi bahwa Yudi sebenarnya adalah Yulianto-orang yang disebut Ary sebagai perantara dia dan pimpinan Komisi dalam kasus suap Anggodo. Ketika itu, banyak yang percaya Yulianto hanyalah tokoh rekaan Ary agar ia lepas dari jerat hukum. Sampai sekarang, Yulianto yang asli tak kunjung ditemukan.
Belum ada bukti Bibit memberikan restu atas aksi anaknya. Juga tak ada fakta Bibit kecipratan fulus haram. Yudi memang pernah mengeluh kepada kliennya tentang bapaknya yang sakit dan butuh uang. Tapi belum bisa disimpulkan Yudi bergerak atas permintaan sang bapak. Sejauh ini, klien yang mengaku membayar suap ternyata tidak bebas dari tuduhan komisi antikorupsi.
Tapi potensi konflik kepentingan harus dicegah. Korupsi harus dihadapi dengan semacam "wasangka" agar setiap kemungkinan penyelewengan bisa dieli-minasi sejak awal. Bibit tak pernah punya "cacat" di Komisi. Ia harus menjaga prestasi itu, dengan cara tidak membiarkan siapa pun mencatut namanya. Ia tak boleh menjadi faktor penghalang bagi Komisi untuk menindak kasus anaknya. Untuk mencegah konflik kepentingan, apa boleh buat, Bibit disarankan mundur dari jabatannya. Kredibilitas Komisi perlu diletakkan di atas segalanya, dengan pengorbanan apa pun. Yudi harus diperiksa lagi.
Tak perlu pula menunda-nunda menetapkan makelar lain sebagai tersangka. Jika bukti sudah cukup, segera cokok mereka dan kirim ke tahanan. Tindakan Komisi menangkap Anggodo Widjojo dengan tuduhan percobaan penyuapan layak dipuji. Hal yang sama mestinya diterapkan untuk Ary Muladi dan kawan-kawan. Membiarkan Ary tetap bebas hanya membuat publik curiga: jangan-jangan ada sesuatu antara Ary dan Komisi.
Komisi Pemberantasan Korupsi perlu melakukan investigasi internal untuk menelisik kebocoran informasi di lembaga itu. Para makelar nyata-nyata memiliki informasi seputar kasus para tersangka. Mereka tahu persis harta kekayaan sang klien, jadwal pemeriksaan, dan konstruksi kasus yang tengah dihadapi. Informasi dari "dalam" itulah yang membuat klien percaya para makelar memang punya koneksi orang penting. Sistem internal Komisi ini harus diperbaiki.
Dalam sejarahnya, Komisi memang tak selalu menda-patkan personel yang terbaik-salah satu hal yang diharapkan bisa menjamin lembaga itu bebas dari perselingkuhan. Terlibatnya polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut di Komisi banyak dikeluhkan sebagai titik lemah lembaga antikorupsi ini.
Karena itu, ide agar Komisi memiliki penyidik sendi-ri layak dibicarakan kembali. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebetulnya memberikan peluang kepada Komisi untuk secara independen merekrut penyidik. Dengan personel yang dibina dari bawah, diharapkan lembaga ini lebih imun terhadap "musuh dalam selimut".
Komisi Pemberantasan Korupsi mesti tetap bersih agar punya legitimasi kuat untuk menggempur korupsi. Karena itu, makelar kasus di sekitar KPK harus ditumpas sejak masih kecambah. Jangan biarkan mereka tumbuh, apalagi sampai berurat dan berakar.
Senin, 08/03/2010 21:38 WIB
Bibit Sangkal Anaknya Jadi Markus di KPK
Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Jakarta - Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto tegas-tegas membantah isu tak sedap yang menimpa keluarganya. Putranya yang bernama Yudi Prianto sempat disebut-sebut ikut terlibat menjadi makelar kasus (markus).
"Ya ini karena ngerjai ayahnya gak bisa, ya anaknya yang dikerjai," kata Bibit dalam acara diskusi Jakarta Lawyers Club yang disiarkan TV One, Senin (8/3/2010) malam.
Bibit menegaskan hal itu menjawab pertanyaan dari pengacara OC Kaligis, yang meminta kejelasan Bibit perihal berita yang ditulis Majalah Tempo edisi 8-14 Maret 2010.
Dalam berita itu Tempo menulis tentang 'Mafia di Sekitar KPK'. Di dalamnya ada juga wawancara dengan putra Bibit, Yudi yang juga aktivis Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Banten.
Kepada Tempo, Yudi mengaku dirinya tidak pernah memberikan bantuan, hanya menyarankan perihal kuasa hukum kepada pihak yang berkasus di KPK. Namun dia menegaskan ayahnya tidak terlibat.
"Tapi biasanya Bapak bilang 'Ngapain kamu ikut urusin?" terang Yudi dalam wawancara Majalah Tempo.
(ndr/asy)
08 MARET 2010
Yudi Prianto:
Aku Tahu Bakal Dikaitkan dengan Yulianto
Ada dua status yang erat melekat pada sosok Yudi Prianto. Pertama, dia putra Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, dia aktivis di Lumbung Informasi Rakyat, organisasi yang berafiliasi ke lingkaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski baru setahun bergabung, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta ini telah dipercaya menjadi Wakil Gubernur Lira Banten. Kini -namanya terseret ke dalam lingkaran makelar kasus korupsi. Sejumlah tersangka mengaku ditawari "bantuan" oleh pria 35 tahun itu.
Akhir Februari lalu, Yudi -bersedia -diwawancarai Tempo di sebu-ah restoran di Bintaro, Tangerang, Banten.- -Selama dua jam, dengan suara lirih, ia menjawab tudingan-tudingan itu. "Ini upaya mencari-cari kesalahan Bapak," kata ayah dua anak ini.
Benarkah Anda menghubungi Hariadi Sadono, tersangka kasus Perusahaan Listrik Negara?
Pak Hariadi Sadono minta bantuan. Tapi dia percaya diri tak bersalah. Jadi saya enjoy saja. Hanya, orang-orang Pak Hariadi, seperti Pak Agung Kuswarjanto, rekanan PLN, yang meminta agar tetap "dibantu".
Anda dekat dengan Hariadi?
Tidak juga. Yang dekat itu Joseph Kapoyos, aktivis Lira. Saya kenal Pak Joseph karena kami memiliki teman yang sama: orang-orang dalam lingkar Cikeas. Mereka juga aktif di Partai Demokrat. Pak Joseph yang mengajak saya bertemu dengan Pak Hariadi.
Soal "bantuan" itu, apakah Anda di-minta menjadi pengacara?
Kalau yang aku tangkap, lebih dari itu. Tapi aku bilang tak bisa. Paling saya bisa membantu pengacara. Sebenarnya pengacara banyak yang bagus, tapi mereka bilang butuh link ke KPK.
Karena Anda anak Pak Bibit?
Iya. Tapi Pak Hariadi sih tidak terlalu. Pak Agung yang aktif meminta bantuan saya.
Informasi yang kami dapat, justru Anda yang aktif menawarkan bantuan....
Aku hanya menawarkan Pak Edi-son van Bullo sebagai peng-acara. Dia dosen pembimbingku di Universitas Bhayangkara. Beliau minta fee Rp 1,5 miliar, Pak Agung menawar Rp 500 juta. Edison tak mau. Akhirnya tak jadi pakai Edison karena ada beda pandangan dari Pak Agung dan keluarga Hariadi. Ya sudah, tak jadi. Besoknya, Hariadi ditahan. Satu atau dua hari sebelumnya, aku memang ke rumah Pak Hariadi. Ngobrol sebentar.
Bagaimana detail perhitungan angka Rp 1,5 miliar?
Dari pengacara, aku tak tahu. Pak Edison yang nawarin.
Ini informasi kami: setelah angka itu ditolak, Anda minta Rp 150 juta untuk biaya berobat ayah Anda?
Sebenarnya pinjam, cuma bunyinya memang untuk biaya berobat. Kalau aku minta, ya enggak.
Permintaan itu dipenuhi?
Sepuluh ribu saja enggak. Itu permintaanku pribadi ke Mas Agung. Bukan untuk Bapak.
Agung bilang Anda meminta biaya lain untuk biaya ke KPK. Benar?
(Terdiam.) Kan, nanti ada interaksi dengan orang KPK segala macam....
Jadi ada biaya untuk KPK?
(Terdiam lama.) Kayaknya enggak...
Anda juga mendekati tersangka seperti Wali Kota Manado dan Direktur Bank Jabar. Itu informasi yang kami dapat. Ada komentar?
Wali Kota Manado? (Terdiam lama. Matanya berkaca-kaca.) Ooh, iya ya.... Waktu itu dia mau pindah tahanan, dari (Kepolisian Resor) Jakarta Utara ke Rumah Tahanan Brimob di Kelapa Dua. Tapi kan aku bilang itu mesti dari kuasa hukumnya. Nah, kuasa hukumnya sudah mengajukan, tapi gagal.
Anda menemui Wali Kota Manado di tahanan bersama Joseph?
Ya. Aku cuma ngomong bisa bantu kuasa hukum saja. Sebelumnya memang pernah ketemu, tapi konteksnya rencana pembentukan Lira Manado. Pak Joseph kan asalnya dari sana.
Kabarnya, dia telah menyetor Rp 500 juta....
Wow...!
Kalau Direktur Bank Jabar?
Hmm.... (Tidak menjawab.)
Jadi, para tersangka yang aktif minta bantuan Anda?
Kalau saya kasih sinyal negatif, biasanya mereka mundur. Tapi selalu saya sarankan bantuan kuasa hukum.
Anda punya akses ke KPK?
Dari Bapak. Tapi biasanya Bapak bilang, "Ngapain kamu ikut urusin?"
Anda mengenal Ary Muladi?
Boro-boro. Itu coba disambung-sambungin aja....
Ary Muladi menyebutkan ciri-ciri Yulianto. Anda memiliki ciri yang mirip.
Saya sudah lama dengar. Bahkan sebelum Bapak jadi tersangka.
Lo, sebelum ayah Anda menjadi tersangka, Ary Muladi kan belum menyebut Yulianto?
Itu informasi yang aku dapat.
Dari mana?
Ada pokoknya... kurang-lebih begitu. Aku cuma ngomong sama Bapak.
Jadi, Anda Yulianto atau bukan?
Istriku juga bertanya: sebenarnya seperti apa...
Anda menyesal terlibat lingkaran makelar kasus?
Menyesal banget. Saya tak menyangka bakal begini....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar