Minggu, 31 Oktober 2010

merapi dan Solo

Kawah Baru Merapi Volumenya 1,6 Juta Meter Kubik
Kamis, 11 November 2010 | 04:06 WIB


TEMPO/Arif Wibowo

TEMPO Interaktif, Yogayakarta - Gunung Merapi sudah membentuk kawah baru dengan volume 1,6 juta meter kubik. Kecepatan pertumbuhan kawah di Merapi tersebut sebesar 48 meter kubik per detik. Sementara kandungan gas S02 (sulfur dioksida) juga masih sangat tinggi yakni 180 kilo ton perhari.

Dua data ini diperoleh Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMB) Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, dari beberapa tenaga ahli asal Perancis dan Inggis yang datang ke Indonesia untuk memantau Gunung Merapi. Lantaran alat pemantau tidak berfungsi karena tertutup mendung, maka Surono meminta agar Merapi difoto satelit.

Hasil ini rupanya mengejutkan seorang ahli dari Inggris. Pertumbuhan kawah yang begitu cepat dan kandungan gas yang tinggi dinilai membahayakan. “Itu yang membuat takut kawan saya dari Cambrigde, SO2-nya kok begini naiknya dari 40, 80, sampai 180 kilo ton perhari. Itu bahaya,” kata Surono usai jumpa pers di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rabu malam, (10/11).

Surono mengakui, kandungan SO2 pada tanggal 1 November lalu, masih dibawah angka 100. Dengan demikian, jika hasilnya 180 kilo liter perhari, maka jumlahnya besar. Jika kandungan gas masih tinggi, maka praktis letusan yang akan dihasilkan lebih hebat. Itu pula yang terjadi pada letusan Merapi pada 26 Oktober dan 4 November lalu.

Surono tak menampik jika gas ini juga akan mempengaruhi tekanan magma yang membuat letusan besar. “Mudah-mudahan, tidak kebumpet lagi, dan lancar. Kalau dampak gempa tektonik quisera sera kita lihat saja nanti,” ujarnya.

Data melalui satelit itu rupanya membuat takut ahli dari Inggris itu. Meski sudah meyakinkan bahwa letusan aman dalam radius 20 kilometer, rupanya si ahli tetap mengungsi ke Semarang. “Ia ngumpet dulu ke Semarang. Kalau rasa aman saya nggak punya, kalau aman saya punya di kantor ini. Tetapi ternyata dia masih deg-degan,” ujar Surono sembari tertawa lebar. Si ahli mengatakan akan ke Yogyakarta lagi jika kandungan SO2 turun di angka yang normal. Meski begitu, mereka tetap memberikan informasi hari per hari melalui telepon.



BERNADA RURIT

Senin, 08/11/2010 18:40 WIB
Merapi Meletus
Kiprah Marinir, dari Mengevakuasi Korban, Memasak hingga Mengasuh Anak foto
Parwito - detikNews


Magelang - Bencana letusan Gunung Merapi menyatukan banyak pihak untuk saling membantu. Tak terkecuali para prajurit Marinir TNI AL. Mereka turut berjibaku memberikan bantuan. Mulai dari mengevakusi korban dari wilayah rawan bencana, memasak hingga mengasuh anak-anak di tenda-tenda pengungsian.

Setidaknya hal itu terlihat di barak pengungsian Lapangan Tembak Akademi Militer (Akmil), Desa Plempungan, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di tempat itu ratusan anggota pasukan elit TNI AL itu sigap dengan tugasnya masing-masing.

Ada yang sibuk hilir mudik melakukan penjemputan atau evakuasi korban dari berbagai tempat berbahaya. Mereka membawa korban selamat ke pengungsian. Bagi korban luka atau meninggal dibawa ke tempat khusus lainnya.

Sementara yang lainnya, sibuk memasak di dapur umum. Mereka meracik sejumlah bahan makanan menjadi makanan siap saji bagi para ribuan pengungsi.

"Wah baru tahu saya, ternyata tentara bisa masak," ujar Siti Umairoh (40), salah satu pengungsi dari Desa Keiren, Kecamatan Srumbung kepada detikcom. Sudah tiga hari ini dia berada di barak pengungsian itu.

Di bagian lainnya, para anggota Marinir terlihat asyik bercanda dengan sejumlah bocah. Ada saja ulah dan perkataan mereka yang membuat anak-anak itu tertawa. Kesan tegas atau garang seorang prajurit militer serasa tidak berbekas.

"Aku senang banget main bola sama bapak tentara," ujar Andri Sulistiyo (11), asal Desa Ngargosuko, Kecamatan Dukun.

Pakai Hati dan Kemanusiaan

Wakil Komandan (Wadan) Satgas Penanggulangan Bencana Merapi Korps Marinir TNI-AL, Mayor Marinir Idha Muhamad Basri menyatakan, pihaknya menerjunkan 450 personel untuk membantu para korban letusan Merapi. Mereka yang ditugaskan memang diminta untuk mengedepankan hati nurani dan perasaan kemanusiaan dalam menjalankan tugas.

"Terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk kita. Dan itu semua harus dilakukan dari hati ke hati," ungkap Basri.

450 Personel Marinir itu diterjunkan di wilayah Magelang dan Klaten. Mereka bertugas mengendalikan penduduk, mencari korban, serta melakukan kegiatan sosial lainnya, seperti pengadaan barak pengungsi, pengobatan pengungsi, distribusi logistik, serta penyiapan dapur umum.

"Pesan saya kepada anggota, rebutlah hati rakyatmu yang sedang kesusahan dengan hatimu sendiri yang juga sebagai rakyat," tutur Basri.

(djo/djo)
Awan Panas Merapi Masih Keluar Beruntun
Letusan Merapi yang diiringi gemuruh masih terjadi dan terlihat asap setinggi 3-4 km.
Senin, 8 November 2010, 08:23 WIB
Arry Anggadha
MERAPI MELETUS LAGI (AP Photo/Gembong Nusantara)


VIVAnews - Gunung Merapi masih menunjukkan aktivitasnya sejak meletus hebat pekan lalu. Pagi ini, Merapi masih mengeluarkan awan panas dan guguran lava pijar secara beruntun.

Berdasarkan laporan dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak Senin 8 November 2010, pukul 00.00-06.00 WIB guguran dan awan panas itu terus terjadi secara beruntun.

Sementara itu, letusan juga kerap terjadi. Pengamat Gunung Merapi dari Ketep melaporkan, terlihat asap setinggi 1 kilometer dan menimbulkan suara gemuruh keras. Di Ketep terjadi hujan abu dengan arah angin ke barat dan barat laut.

Pengamat dari Klaten melaporkan, terlihat kolom setinggi 3-4 km, tekanan kuat, warna abu-abu muda dengan arah condong ke barat daya, diiringi suara gemuruh yang keras. Aliran awan panas teramati mengalir ke Kali Gendol dan Kali Woro.

Badan ini juga melaporkan, hingga saat ini berdasarkan hasil pemantauan instrumentasi dan visual menunjukkan aktivitas Gunung Merapi pada tingkat Awas (level 4). Ancaman bahaya Gunung Merapi dapat berupa awan panas dan lahar. Wilayah yang aman bagi para pengungsi adalah di luar radius 20 km dari puncak Merapi.

Saat ini, endapan material hasil erupsi di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi semakin besar. Endapan tersebut berpotensi menjadi lahar, apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi. (art)
• VIVAnews

Warga Tak Resah Soal Ramalan 1 Kliwon
Senin, 8 November 2010 - 05:10 wib

Misbahol Munir - Okezone


YOGYAKARTA - Prediksi akan terjadinya letusan Gunung Merapi yang lebih dahsyat, santer dibicarakan oleh sebagian warga Yogyakarta.

Letusan tersebut diprediksi akan tejadi pada tanggal 8 November 2010 atau bertepatan dengan tanggal 1 Kliwon penanggalan Jawa. Sebagaimana diketahui ramalan ini sempat ramai menjadi gunjingan pembicaraan masyarakat.

Apalagi isu tersebut juga ramai disiarkan oleh beberapa stasiun televisi. Namun, hingga kini masyarakat tidak terlalu panik dengan ramalan tersebut. Menurut salah satu warga Banguntapan, Bantul, Edwin Ristianto, warga sempat panik dengan menyebarnya pesan singkat (SMS) dan siaran telivisi yang menyebutkan akan terjadi letusan yang lebih dahsyat.

"Warga sempat panik dengan siaran TV dan SMS yang menyebar, bahwa bakal terjadi letusan lebih besar," ungkap Edwin kepada Okezone, Senin, (8/11/2010).

Kata Edwin, ramalan tersebut bisa saja terjadi. Menurut ramalan itu, akan terjadi letusan lebih besar bertepatan dengan 1 Kliwon atau pada malam bulan purnama. Sebab dalam teori ilmiah terjadinya ombak besar atau badai laut pada tanggal 1 Kliwon atau bulan purnama dikarenakan medan magnet bumi tersebut tersedot oleh medan magnet bulan.

"Tanggal 8 November yang bertepatan dengan satu Kliwon atau bulan baru atau lebih tepatnya bulan purnama. Ketika purnama, kalau prediksi ilmiahnya ada kemungkinan Merapi kesedot oleh magnet bulan," kata dia.

Kendati demikian, warga saat ini sudah mulai kondusif dan tidak mengalami kepanikan. "Warga tidak begitu panik akibat pemberitaan di sejumlah media TV dan pesan singkat yang menyebar luas di kalangan masyarakat," kisahnya.

Edwin mengakui, sebagian besar warga memang masih percaya dengan ramalan tersebut. "Sebagian warga masih percaya dengan hal tersebut dan warga masih ramai membicarakannya. Namun, tidak menunjukkan keresahan," pungkasnya.(ram)
Relawan Merapi, Pengabdian hingga Akhir Hayat
Headline
inilah.com/Wirasatria
Oleh: Irfan Fikri
Nasional - Senin, 8 November 2010 | 04:13 WIB


INILAH.COM, Jakarta - Lima orang tim relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) tewas diterjang awan panas. Mereka bertahan sampai detik terakhir menjaga rumah warga dan gudang logistik dari penjarahan.

Slamet Ngatiran relawan pertama yang tewas saat Merapi pertama kali 26 Oktober 2010. Slamet relawan terlatih warga asli Glagaharjo, Cangkringan Sleman dan masih kerabat dengan mbah Maridjan.

Slamet meninggalkan seorang istri dan satu orang anak.Andi Hanindito Komandan Tagana bercerita, kalau istri slamet nampak tegar saat mendengar suaminya meninggal saat tugas. "Anaknya juga harus tahu. Kalau bapaknya meninggal saat menunaikan tugas mulia," ucap Andi.

Empat orang lainnya tewas saat merapi erupsi pada Jumat (6/11/2010). Supriyadi dan Jupriyanto belum ditemukan jenazahnya. Sedangkan Ariyanto, Samiyo sudah dimakamkan Minggu siang.

"Sebetulnya saya sudah melarang, karena kondisi lapangan yang tidak terprediksi. Namun rasa solidaritas mereka sangat tinggi, akhirnya mereka tetap ke atas," kata Andi seperti dilansir dari siaran tvOne, Minggu petang kemarin.

Alasan mereka ke atas adalah untuk menjaga gudang logistik warga. Serta menjaga rumah warga sekaligus mengevakuasi warga yang masih terjebak di atas. Mengingat saat itu erupsi Merapi terjadi tengah malam secara tiba-tiba.

Empat orang ini memang sangat mengerti kondisi Merapi, karena tumbuh dan besar di kaki gunung Merapi di Cangkringan, Sleman. Mereka terlatih menjadi relawan sejak Merapi "batuk" pada 2006 silam.

Namun tiba-tiba awan panas datang menerjang. Tak dikira kecepatan awan langsung megarah ke lokasi meraka. Dua orang terjebak di dalam gudang logisik, dua orang lainnya tidak ketahuan, karena sedang keliling mencari korban Merapi.

Diduga kedua korban ini tertimbun debu vulkanik. Namun teman-teman mereka tak putus asa untuk mencari dua jenazah. "Kita akan terus berusaha. Siapa tahu dengan mukjizat tuhan, siapa tahu mereka selamat," harap Andi.

Andi mengatakan, saat ini ada sekitar 1.800 relawan yang tersebar di Boyolali, Sleman, Magelang untuk membantu korban Merapi. Tak terkikis sehelai pun semangat mereka meski lima rekan mereka tewas. Tetap semangat Kawan! [hid]

Minggu, 07/11/2010 22:42 WIB
Detik-detik Saat 4 Relawan Tagana Tewas Terkena Wedhus Gembel
Irwan Nugroho - detikNews
Jakarta - "Keempat orang ini anak-anak Glagaharjo. Mereka mempunyai motivasi yang sama
untuk menyelamatkan para pengungsi di desanya. Kinerjanya bagus sekali. Tapi
Tuhan berkehendak lain. Kami merasa sangat kehilangan."

Itulah kesan yang disampaikan oleh Komandan relawan Taruna Siaga Bencana
(Tagana) Andi Anindito, terhadap 4 relawan Tagana yang gugur saat bertugas di Gunung Merapi. Dua jenazah, Ariatno dan Samiyo, kini telah dievakuasi ke Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta. Sedangkan dua lainnya, Supriyadi dan Supriyanto, masih terkubur material panas Gunung Merapi sedalam 3 meter.

"Keluarga sudah meminta agar segera ditemukan. Tapi bagaimana lagi. Jenazah
tertimbun 3 meter oleh material merapi. Lagi pula material itu masih sangat
panas," kata Andi ketika dihubungi detikcom, Minggu (7/11/2010).

Andi menceritakan, pada saat terjadi letusan terdahsyat Merapi pada Kamis 4 November 2010 hingga Jumat keesokan harinya, keempat relawan itu berjaga di dusunnya, Glagaharjo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Lokasi itu berjarak sekitar 12 Km dari puncak Merapi.

Supriyadi dan Supriyanto menjaga gudang logistik bantuan. Sementara Ariatno dan Samiyo berjaga di tempat lain, namun masih berada di wilayah Glagaharjo.

Ketika Merapi menunjukkan tanda-tanda memburuk pada Jumat pukul 01.00 WIB,
Supriyadi dan Supriyanto mendengar adanya sejumlah penduduk yang terancam oleh awan panas. Di sisi lain, keduanya harus menjaga logistik pengungsi.

"Namun, mereka tetap mendekati para pengungsi dan membujuk turun. Akhirnya malah nggak selamat," ucapnya.

Sebelum wedhus gembel turun menggulung, menurut Andi, Supriyadi dan Supriyanto sempat menelepon posko yang berada di bawah. Komandan lapangan saat itu meminta agar keduanya segera turun dan menyelamatkan diri. Namun, mereka memilih untuk menjemput para pengungsi.

Begitu pula dengan Ariatno dan Samiyo. Kedua relawan ini tetap bertahan untuk mengevakuasi warga meski wedhus gembel kian dekat. Mereka sebenarnya menunggu kendaraan susulan yang akan melarikannya ke tempat aman, namun terlambat.

Menurut Andi, keempat relawan yang meninggal itu adalah orang-orang terakhir
yang berada di zona bahaya ketika Merapi meletus. Sebagai warga setempat, mereka mempunyai tingkat emosional dan rasa pengorbanan yang besar bagi para warga Glagaharjo.

Sebagai relawan, mereka tidak hanya mengenal peta Gunung Merapi secara detil. Mereka memiliki kompetensi untuk penanggulangan bencana. Setiap anggota tim Tagana juga dibekali dengan latihan, rencana aksi, dan kemampuan untuk tanggap darurat.

"Tapi situasi seperti kemarin memang tidak kita duga sebelumnya. Sangat cepat. Semua orang tidak mengira," tutupnya.

(irw/nwk)
Relawan Tagana yang Hilang Sempat Miscall
Headline
inilah.com/Wirasatria
Oleh: Irfan Fikri
Nasional - Senin, 8 November 2010 | 00:47 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Dua orang relawan yang hilang dari Taruna Siaga Bencana (Tagana) sampai saat ini belum ditemukan. Diduga keduanya tertimbum debu vulkanik setinggi 3 meter dan sempat mengirim miscall.

Komandan tim Tagana Andi Hanindito menjelaskan, sampai saat ini pihaknya masih mencari dua anggotanya yang hilang, yaitu Supriyadi dan Jupriyanto yang bertugas menjaga gudang logistik di Glagaharjo, Cangkringan Sleman.

"Salah satu dari mereka sempat miscall ke teman-teman yang ada di bawah. Namun seperskian detik ketika akan ditelepon kembali langsung tidak aktif," ujar Andi, seperti dilansir dari siaran tvOne Minggu petang. Diduga keduanya langsung diterjang wedhus gembel dengan cepat sekali dan di luar perkiraan.

Kejadian ini terjadi pada Jumat (5/11/2010). Setelah salat jumat tim penyelamat mengirim empat relawan untuk menjaga logistik di gudang. Mereka adalah Ariyanto, Samiyo, Supriyadi Juprianto.

Keempat orang adalah warga asli Glagaharjo Cangkringan, Sleman. Terlatih menjadi tim relawan dan sangat mengerti medan Merapi, terutama sejak Merapi erupsi pada 2006 lalu. "Dua orang bertugas di dalam gudang ditemukan jenazahnya. Namun dua orang menyisir lokasi sulit. Kabarnya mereka sempat lari dan menyelamatkan diri, namun diduga tidak mencapai titik aman," ucap Andi. Tim Tegana Senin hari ini akan tetap mencari dua rekannya yang hilang.

Andi menjelaskan, sebelumnya ada relawan yang tewas, yaitu Slamet Ngatiran. Dia adalah korban pertama saat letusan 26 Oktober 2010 lalu. Berbarengan dengan Mbah Maridjan meninggal, Slamet juga masih kerabat dari mbah Maridjan. [hid]
Jumat, 05/11/2010 20:09 WIB
Mbah Rono: Mbah Maridjan Meninggal Bukan karena Awan Panas
Febrina Ayu Scottiati - detikNews




Jakarta - Banyak yang meyakini kalau Mbah Maridjan juru kunci Gunung Merapi meninggal dunia karena terkena awan panas. Tapi Kepala Mitigasi Bencana dan Vulkanologi Surono atau akrab disapa Mbah Rono punya penilaian lain.

"Mbah Maridjan enggak langsung kena awan panas," kata Mbah Rono di RS Sardjito, Yogyakarta, Jumat (5/11/2010).

Dia menjelaskan, Mbah Maridjan hanya terkena pinggiran awan panas, meski demikian panasnya mencapai 300 derajat celcius.

"Cuma pinggiran udara panas, awan panas waktu itu 800 derajat. Mbah Maridjan kena pinggiran suhunya 300 derajat," terangnya.

Dia melanjutkan, tentu bila melihat suhu setinggi itu, makhluk hidup pun tidak akan mungkin bertahan, termasuk Mbah Maridjan.

"Siapa yang bisa hidup sama suhu 300 derajat. Jadi sebelum awan panas datang ya menyingkir dahulu," tutupnya.

Mbah Maridjan ditemukan dengan luka bakar sambil bersujud menghadap ke selatan di dapur rumahnya di Kinahrejo, Cangkringan pada 26 Oktober pagi. Rumah Mbah Maridjan hanya berjarak 4 Km dari Merapi.

(ndr/gah)
*
01 November 2010
Sujud Terakhir Gareng Kinahrejo

Selasa, 17.02
Pusat Vulkanologi mencatat: Merapi mengeluarkan awan panas 9 menit.

Di Kinahrejo: Mbah Maridjan bercengkerama dengan keluarganya di rumah.

Mbah Maridjan telah bertekad tak akan pergi, apa pun kondisi Gunung Merapi. Ia tak mau mengecewakan tamu yang datang ke rumahnya di Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. "Lha, saya di sini kerasan," kata juru kunci Merapi itu kepada Tempo, yang bertamu Senin pekan lalu.

Jumat pekan sebelumnya, Maridjan pergi ke Bandung. Besannya, mertua anak nomor empat, meninggal di sana. Ditinggal tiga hari hingga Ahad, tetamu terus datang. Rumahnya memang selalu ramai, terutama oleh para pendaki gunung.

17.18
Merapi menyemburkan awan panas 4 menit.

Empat mobil, satu di antaranya bertulisan "Perusahaan Listrik Negara", tiba di rumah Mbah Maridjan. Agus Wiyarto, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul, datang. Ia tiba bersama Tutur Priyanto, relawan Palang Merah Indonesia, dan wartawan Yuniawan Wahyu Nugroho.

Kepada Tempo, sehari sebelumnya, Maridjan menggambarkan pribadinya. "Kulo niki Gareng, wong cacat. Yen ngomong clemang-clemong, wong cilik tur goblok," katanya. Ia mengibaratkan dirinya Gareng, salah satu punakawan dalam pewayangan, yang digambarkan cacat dan suka bicara ceplas-ceplos. Pria 83 tahun ini ditunjuk Keraton Yogyakarta menjadi juru kunci Merapi pada 1982, ia bergelar Mas Penewu Surakso Hargo. Ketika ditemui, ia bercelana pendek hitam, berkemeja batik hijau, berpeci hitam. Ia banyak berkelakar.

Selasa sore itu, Merapi semakin bergejolak. Mbah Maridjan tak beranjak.

17.23
Merapi menghamburkan lagi awan panas 5 menit.

Mbah Maridjan masih menerima tamu. Langit di ufuk barat merah bara.

17.30
Merapi memuntahkan awan panas 2 menit.

Asih, putra Mbah Maridjan, menyerukan azan magrib lewat pengeras suara masjid di samping rumah.

17.37:
Merapi mengeluarkan awan panas 2 menit.

Asih memimpin salat. Baru mengancik rakaat pertama, sirene meraung-raung. Tamu Mbah Maridjan dan keluarganya dievakuasi dengan dua mobil ke Umbulharjo, sekitar dua kilometer dari Kinahrejo. Maridjan bertahan.

17.42
Merapi mengeluarkan awan panas besar 33 menit.

Tutur Priyanto dan Yuniawan balik lagi buat menjemput Mbah Maridjan.

18.00
Merapi menggemuruh hingga 45 menit.

Tak ada kabar dari Kinahrejo. Dari pos Umbulharjo, Agus Wiyarto menelepon Tutur tapi tak dijawab.

18.16
Merapi menyemburkan awan panas 38 menit.

Tetap tak ada kabar dari Kinahrejo.

18.54
Awan panas Merapi reda.

Mbah Maridjan belum diketahui nasibnya.

Cemas menyergap. Anggota tim penyelamat yang kebanyakan mengenal Mbah Maridjan khawatir pada keselamatannya.�Setelah aksi Merapi mereda, 20 anggota tim berangkat menuju Kinahrejo. Sekitar 800 meter dari tujuan, rombongan tak bisa masuk. Banyak pohon tumbang melintang. Mereka meminta bantuan posko SAR di Gondang, satu kilometer dari situ, untuk membawakan gergaji mesin. "Setelah jalan terbuka, kami bergerak," kata Ferry Ardyanto, anggota tim SAR.

Baru jalan beberapa meter, tim menemukan satu jenazah pria. Tim bergerak lagi dan menemukan dua orang selamat. Satu di antaranya mereka kenali: Udi Sutrisno, adik Mbah Maridjan. Ia akhirnya meninggal di rumah sakit karena luka bakar parah. Bergerak beberapa meter lagi, mereka menemukan pria renta selamat. Tim terus bergerak di jalan menanjak. Di perempatan jalan sebelum rumah Mbah Maridjan, mereka menemukan tiga mayat.

Mereka naik. Di situ bertemu dua orang yang masih hidup. Dari tempat itu, terdengar suara, "Tulung..., tulung...." Ternyata seorang perempuan yang seluruh bajunya terbakar, kulitnya melepuh. Mereka terus bergerak. Di satu rumah yang hancur, tim menjumpai, ya Tuhan..., jasad seorang ibu muda dalam posisi menyusui bayi yang baru berusia 35 hari. Dua makhluk tak bernyawa. Kelabu oleh debu. Di rumah itu, tim juga menemukan suami wanita itu ikut tewas. Juga orang tua dan kakek si perempuan.

Di depan pekarangan rumah Mbah Maridjan, anggota tim SAR, Martono Arbi Wibisono, mengucap salam dengan histeris. "Assalamualaikum," teriaknya berulang-ulang. Martono menangis. Ia terenyuh menyaksikan rumah si Mbah hancur. Pria 46 tahun ini mengenal sang juru kunci sejak remaja, ketika menjadi pencinta alam. "Hati saya bicara, Mbah sudah wafat," katanya. Tapi ia segera bisa menguasai diri.

Sebelum turun ke rumah Mbah Maridjan, yang lebih rendah dari jalan, tim dibagi jadi dua kelompok. Satu kelompok dipimpin Capung Indrawan, bertugas menyisir masjid di depan rumah. Mereka ingat letusan 2006, Mbah sedang di masjid. Ternyata ia tak ditemukan di sana. Perpustakaan masjid juga kosong.

Mereka menemukan jenazah Sarno Utomo, yang biasa menyerukan azan, dan Slamet Adi, adiknya. Mereka tinggal tak jauh dari masjid. Menurut Asih, anak Mbah Maridjan, Sarno dan Slamet, menjadi anggota jemaahnya pada petang itu. "Mereka tak terangkut karena mobil sudah penuh," katanya.

Satu kelompok lagi dipimpin Martono menyisir rumah. Tiba di halaman, mereka menemukan mayat di belakang mobil Suzuki APV. Mesin mobil tetap hidup, semua pintunya terbuka. Mayat ini langsung mereka kenali sebagai Yuniawan, sang wartawan. Di sebelah jenazah ada tas, di dalamnya tiket pesawat Sriwijaya Air Jakarta-Yogya atas namanya. Dalam tiket tertera, ia tiba dari Jakarta pukul 13.30 siang harinya.

Menurut Agus Wiyarto, sebelum terbang ke Yogya, Yuniawan menghubunginya. Wartawan itu minta tumpangan untuk berangkat bareng ke Kinahrejo. Rupanya, pesawat Yuniawan telat. Baru sekitar pukul empat sore tiba. Agus dan Yuniawan bertemu di Jalan Kaliurang, Yogyakarta, utara kampus Universitas Gadjah Mada. Agus, Tutur, dan Yuniawan berangkat bersama ke Kinahrejo.

Tim menemukan lagi dua mayat di dalam rumah Mbah Maridjan. Satu di antaranya Tutur, relawan PMI. Tutur punya pengalaman menjadi relawan ketika tsunami Aceh, gempa Yogya, dan gempa Padang. Ketika tim sedang berusaha keras mencari Mbah Maridjan, Asih tiba. Ia tak kuasa menahan tangis melihat rumah yang ia tinggali bersama ayah, ibu, juga anak dan istrinya sudah tak berbentuk. Mbah Maridjan belum diketahui nasibnya.

Asih mengatakan Selasa malam itu sebenarnya ingin menyampaikan titipan Keraton Yogyakarta agar Mbah Maridjan menyembelih kambing hitam. Buat melengkapi sesaji, ia diminta menyediakan kelapa, pisang, dan bunga tiga warna. Hingga di depan rumah, Asih kelu. Ia berpikir, ayahnya sudah meninggal.

Larut malam, tim menghentikan pencarian. Mereka bekerja lagi Rabu subuh. Rumah Mbah Maridjan ditelusuri kembali. Sebagian anggota tim melakukan penyisiran di sekitar rumah. Tiba-tiba Martono berteriak. Ia memanggil semua anggota tim mendekat. Ia berdiri dekat kamar 5 x 3 meter di belakang dapur. Menurut Asih, kamar ini dibangun beberapa tahun lalu, agar jika anak-cucu berkumpul tak kekurangan ruang tidur.

Di kamar itu jenazah dalam posisi sujud, menghadap selatan-arah pusat Kota Yogyakarta. Jenazahnya tertutup rangka rumah dan batang pinus yang menimpa tembok kamar. Pecahan asbes dan abu membuat badannya memutih. Pintu kamar masih berdiri. Martono mengenalinya sebagai Mbah Maridjan dari tengkuk dan kepalanya. Setelah semua penghalang disingkirkan, tim membersihkan abu yang menempel di jenazah. Syahadat, salawat, dan tahlil digumamkan. Setelah bersih, jenazahnya dibawa ke Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. "Saya lihat telapak tangannya masih halus utuh karena menempel ke lantai," kata Martono.

Keganasan awan panas Merapi malam itu merenggut 36 nyawa, termasuk Mbah Maridjan. Awan panas 600 derajat Celsius membakar tubuh mereka. Petaka pada Selasa malam itu juga membuat sejumlah dusun yang semula rimbun menjadi mirip padang pasir, tandus terbakar. Awan panas-penduduk sekitar menyebutnya wedhus gembel atau domba-merusak Desa Umbulharjo dan Kepuharjo. Belum ada identifikasi pasti jumlah rumah rusak, hewan ternak mati, dan harta benda lain yang ludes.

Sabtu dinihari pekan lalu, gunung yang tingginya hampir 3.000 meter ini masih beraksi. Gunung teraktif di dunia itu menyemburkan awan panas, abu, dan menimbulkan suara gemuruh. Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilanda hujan abu.

Sehari sebelumnya, awan panas menyembur kembali hingga tiga kali. Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Subandrio mengatakan bahwa krisis baru berakhir jika sudah terbentuk kubah baru disertai muntahnya lava pijar. "Ancaman Merapi masih serius," katanya.

Merapi mulai menggeliat sejak September lalu. Gemuruh dari perutnya makin kerap terdengar. Status awas atau "kritis hampir meletus" ditetapkan tiga hari sebelum semburan yang menewaskan Mbah Maridjan dan 35 orang lainnya.

Kini Mbah Maridjan menghuni "rumah" barunya di pemakaman Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Sang Gareng dikuburkan, Kamis pekan lalu, persis di sebelah barat pusara kakeknya. "Nyuwun donganipun, mugi Mbah dipun tampi Gusti Allah, nggih," kata Ponirah, istrinya.

Sunudyantoro, M. Syaifullah, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)


Solo Hujan Abu
Laporan wartawan KOMPAS.com Kristianto Purnomo
Minggu, 31 Oktober 2010 | 19:45 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO



KLATEN, KOMPAS.com - Erupsi Gunung Merapi yang terjadi sore ini (Minggu, 31/10/2010) mengakibatkan hujan abu yang bisa dirasakan hingga di Kota Solo. Hal ini dipantau dari komunikasi handy talkie pos pemantauan visual Gunung Merapi, Balerante, Klaten, Jawa Tengah.

Menurut relawan pemantauan visual Gunung Merapi Balerante, Agus, munculnya awan panas skala besar dipicu longsornya dua kubah lava di kepundan Gunung Merapi.

Pasca letusan hebat Gunung Merapi listrik di kawasan Kaliurang pun padam.
Surono, si Penjaga "Asli" Merapi
Kamis, 04 November 2010 | 12:45 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Suaranya bariton. Pembawannya tenang. Gaya bicara lugas. Rambutnya beruban. Itulah Surono. Sosok yang sepekan terakhir ini identik dengan Gunung Merapi.

Pernyataannya selalu menjadi rujukan siapapun. Keakuratan informasi yang diberikan ini membuat dia menjadi buruan para wartawan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mengunjungi pengungsi Rabu (03/11), tak mau meramalkan sampai kapan pengungsi harus bertahan di barak pengungsian.

“Kalau saya ditanya, kapan masyarakat bisa pulang, saya bilang kalau yang menentukan adalah Pak Surono (Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana),” kata SBY di posko utama Pakem usai menerima paparan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X dan Surono, Rabu (3/11).“Saya pun patuh dan tunduk pada Pak Surono.”

Surono memang menjadi figur central dikala gunung berapi bergejolak. Surono bukan Maridjan. Surono selalu memegang data-data ilmiah sedangkan Maridjan hanya mempercayai pada "kepercayaan". Surono ditunjuk pemerintah, Maridjan pilihan keraton.

Karenanya, sejak status Merapi dinyatakan awas, Surono memang tak pernah bisa tidur nyenyak. Sama seperti Merapi yang terus meletup-letup.

Kepada Tempo ia bercerita, lima hari sebelum Merapi meluncurkan wedhus gembel saat itu dirinya berada di Menado. "Pada tanggal 21 Oktober itu saya langsung meluncur ke Yogya," ujarnya.

Saat itulah detik demi detik ia amati sendiri gejolak yang terjadi di Gunung Merapi. "Apa berani menyuruh orang lain mengetik?" katanya, Kamis (04/11). "Untuk status awas semuanya saya ketik dewe (sendiri), saya telepon sendiri bupatinya."

Siapa Surono? Lahir di Cilacap, 8 Juli 1955 pria ini menyelesaikan S1-nya dari Institut Teknologi Bandung (1982). Pada 1989 ia kemudian melanjutkan S2 Bidang Geofisika di Universitas Grenoble, Prancis dan melanjutkan S3 Bidang Geofisika di universitas yang sama pada 1992.

Sebelum mencapai posisi puncak di dunia Vulkanologi, bapak dua anak ini, memang merintis karir di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen ESDM.

Di Kementerian ESDM, awalnya Surono menjadi staf Divisi Pengamatan Gunung Api di PVMBG sejak 1982 hingga akhirnya dipercaya menjadi Kepala PVMBG mulai 2006.

Keahliannya tentang kegunungapian dikontonginya dari berbagai lembaga dunia. Seperti dari Unesco (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan USGS (sebuah lembaga Survei Geologi AS). Begitu pun tulisan-tulisannya tentang kegunungapian.

BERNADA RURIT | FAJAR WH | EVAN

Biodata:
Nama: Surono
Lahir: Cilacap, Jawa Tengah, 8 Juli 1955
Istri: Sri Surahmani (46)
Anak:
1. Amy Rahmawati (28)
2. Bestri Aprilia (21)
Pendidikan:
- S-1 Institut Teknologi Bandung,
Jurusan Fisika (1982)
- S-2 dan S-3 Université Joseph Furier, Gronable, Perancis, Programe Mechanique Mileux Geophysique et Enveronment
(1986-1992)
Pekerjaan:
- Bekerja di lingkungan PVMBG (dulu Direktorat Vulkanologi) Departemen ESDM sejak 1982.
- Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi (2003)- Kepala PVMBG (2006)

Arti Posisi Sujud sebagai Pesan Mbah Maridjan
Headline
beritajatim.com
Oleh: Irvan Ali Fauzi
Nasional - Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:01 WIB


INLAH.COM, Jakarta- Menurut mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi, posisi sujud Mbah Maridjan saat wafat mengandung pesan terakhir Mbah Maridjan.

"Mbah Maridjan menyerahkan diri kepada Allah dalam keadaan sujud, seakan memberitahu kita bahwa hanya sujud kepada Allah yang bisa dan harus kita siapkan menghadapi segalanya, karena tak mungkin melalui rekayasa kita," ujar Hasyim kepada INILAH.COM, Rabu (27/10/2010).

Dengan wafatnya Mbah Maridjan yang juga pengurus NU itu, Hasyim teringat pesan juru kunci Gunung Merapi itu saat ditemui pada 2006 yang dia sampaikan dalam bahasa Jawa. "Panjenengan sak konco poro piageng, kedah 'temen lan sak temene' mugi ndonyane tenterem. (Anda dan para pembesar harus benar dan bertindak sebenarnya agar alam tenteram)," kata Hasyim mengenang.

Hasyim kemudian mengenang sewaktu Mbah Maridjan mengucapkan itu saat Hasyim berkunjung ke rumahnya. "Beliau sangat sederhana. Karena beliau Ketua Ranting NU desa setempat, saya memberi beliau jaket bertuliskan NU, serta seperangkat alat salat dan beliau sangat gembira," kenang Hasyim lagi.

Mbah Maridjan memang dikenal sebagai orang yang sangat sederhana. "Bahkan rumahnya pun baru diperbaiki setelah beliau jadi bintang iklan jamu kuku bima dan itupun digunakan membangun masjid," kata Hasyim yang juga pengasuh pondok pesantren Al-Hikam Malang dan Depok itu.[nic]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar