Senin, 26 Desember 2011
karya GEREJA, sekali-sekali BWAT orang MISKIN lah
Pendidikan Hanya "Menyentuh" Mereka yang Mampu...
Inggried DW, Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 27 Desember 2011 | 09:41 WIB
... mungkin peran GEREJA juga bisa membantu KEHIDUPAN orang miskin dengan melakukan pemberdayaan orang miskin dengan mendirikan SEKOLAH MURAH bukan murahan
... mungkin peran GEREJA juga bisa TIDAK MELULU MENJADI BAGIAN KEHIDUPAN ORANG KAYA
... mungkin peran GEREJA JUGA bisa meningkatkan daya hidup orang miskin dan daya keberadaan orang miskin lewat pendidikan MURAH berkualitas SETARA SEKOLAH FAVORIT
... mungkin GEREJA bisa mulai dengan yang paling sederhana dulu, yaitu melalui pendidikan anak usia dini, karena AMAT VITAL peran GEREJA membantu proses belajar BERHITUNG, membaca dan menulis SEDERHANA para orang miskin
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Soedijarto mengatakan, pendidikan di Indonesia saat ini masih berada pada level pendidikan semesta. Pada level ini, menurutnya, pendidikan hanya untuk golongan mampu. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang bermutu, adil, dan bebas biaya.
Menurutnya, semua siswa berbagai latar belakang berhak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun yang dibiayai pemerintah, seperti diamanatkan UUD 1945.
Kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan disana sini? Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan, karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen
"Tetapi, kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan disana-sini. Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan, karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen," kata Soedijarto, Senin (26/12/2011), di Jakarta.
Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ ini menjelaskan, untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun, pemerintah seharusnya mengacu pada negara-negara maju seperti Amerika dan Jerman. Di negara tersebut, anak usia sekolah mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Jika ada anak usia sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada jam belajar, maka anak tersebut akan "ditangkap" dan dipanggil orangtuanya.
"Tapi wajib belajar di Indonesia ini lain. Masih banyak anak usia sekolah yang putus atau tidak melanjutkan dan bebas berkeliaran di jalan. Itulah mengapa saya sebut pendidikan kita adalah pendidikan semesta," ungkapnya.
Mengapa bisa terjadi?
Soedijarto berpendapat, semua yang terjadi dipicu karena pemerintah tidak mampu menghitung berapa dana pendidikan yang diperlukan, khususnya untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun. Ia menuding, selama ini pemerintah hanya sebatas melaksanakan UU untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pendidikan tanpa menghitung berapa yang diperlukan.
Dari alokasi 20 persen itu, kata dia, lebih dari setengahnya habis untuk menggaji guru. Hal tersebut berimbas pada kurangnya dana pendidikan yang dimiliki pemerintah, sehingga pendidikan menjadi tidak gratis, dan masyarakat ekonomi lemah tidak sanggup memenuhinya.
"Pemerintah jangan hanya menganggarkan 20 persen tanpa menghitung keperluan untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun," ungkapnya.
Tekan angka putus sekolah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, saat diwawancara Kompas.com, pekan lalu, mengungkapkan, kementerian memang menjadikan persoalan wajib belajar 9 tahun sebagai hal yang substantif dan harus diselesaikan.
Menurutnya, ada pergeseran paradigma bahwa di akhir abad 20, pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kekayaan alam akan bergeser ke pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu pendidikan.
"Akhirnya, disitulah mengapa urusan wajar 9 tahun harus dituntaskan," kata Nuh.
Ke depannya, dengan peningkatan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), ia mengatakan, tak boleh ada anak tidak mengenyam pendidikan.
"Intinya semua harus sekolah. Oleh karena itu, kita juga persiapkan wajar 12 tahun yang dirintis tahun 2012. Untuk itu kita siapkan semuanya, baik gurunya, sarana, dan prasarana," ujarnya.
Pada tahun 2012 mendatang, ada kenaikan unit cost, yaitu bagi siswa SD dari Rp 380 robu menjadi Rp 510 ribu. Sementara, bagi siswa SMP, dari Rp 580 ribu menjadi Rp 710 ribu. Kemdikbud juga akan merintis dana BOS bagi siswa SMA pada tahun 2012 mendatang.
GO Yasmin, go smoothly
Jemaat GKI Yasmin Tak Bisa Rayakan Natal di Gereja
Oleh: Dian Prima
Jabar - Minggu, 25 Desember 2011 | 18:15 WIB
INILAH.COM, Bogor - Dibawah pengawalan dan penjagaan petugas, jemaat GKI Yasmin menggelar perayaan natal di rumah salah seorang jemaat di Perumahan Yasmin Kota Bogor, Minggu (25/12/2011).
Awalnya, jemaat GKI Yasmin bersikukuh akan menggelar perayaan natal di lokasi bangunan gereja yang tengah menjadi kontroversi.
Namun petugas kepolisian beserta Satpol PP Kota Bogor, melakukan pendekatan persuasif dan meminta para jemaat tidak memaksakan merayakan natal di lokasi bangunan gereja.
Blokade petugas kepolisian yang memblokir pintu masuk bangunan gereja tidak bisa ditembus oleh jemaat. Akhirnya mereka pun melakuan perayaan natal di rumah salah seorang jemaat yang tidak jauh dari lokasi bangunan gereja. Sebelumnya, Pemkot Bogor memberikan alternatif dengan menyediakan Gedung Harmony Yasmin untuk digunakan jemaat GKI. Namun hal ini ditolak oleh jemaat GKI Yasmin.
Humas GKI Yasmin Bona Sigalingging mengatakan, jemaat tak mau menggunakan Gedung Harmoni, tempat alternatif yang disediakan Pemkot Bogor, karena bukan tempat ibadah. "Jadi kami tetap tidak akan menggunakan gedung Harmoni," katanya.
Perayaan Natal GKI Yasmin yang dipimpin Pdt Esakatri Parahita, ini berlangsung khidmat. Tampak hadir diantara jemaat, putri Gus Dur, Innayah Wahid yang duduk berdampingan dengan adik Gus Dur, Lily Wahid. Keduanya tampak khusyuk mengikuti perayaan natal bersama jemaat GKI.
Lily Wahid, sempat berbicara dihadapan jemaat GKI Yasmin, bahwa orang Indonesia adalah orang yang beriman. Dimana akan selalu menjaga kerukunan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. "Tidak ada satupun tekanan yang mampu menggoyahkan iman orang Indonesia. Seberapa berat pun tekanan yang datang, ibadah harus tetap dilakukan," tutur Lily.
Lily pun berkomentar, kerukunan beragama menjadi satu pelajaran inti di setiap agama. Dia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW hidup berdampingan dengan rukun dengan kaum nasrani dan yahudi di Madinah.[ang]
Senin, 19 Desember 2011
yang buka dan tutup PINTU
Kristenisasi Jelang Natal Resahkan Umat Budha
JAKARTA (voa-islam.com) – Tak hanya umat Islam yang keberatan dengan gerakan pemurtadan yang dilakukan oleh para misionaris Kristen secara membabi-buta kepada kaum Muslimin. Ternyata orang Budha juga resah dengan agresivitas kristenisasi.
Pengalaman menjadi target kristenisasi itu dialami oleh Budi (38) bukan nama sebenarnya. Saat berbelanja ke Mal Citraland Grogol, Jakarta Barat, sekelompok orang mendekatinya dan membagikan brosur propaganda natal. Tak hanya Budi, para pengunjung yang lewat, tak peduli apapun agamanya, semua diberikan brosur ajakan untuk mengikuti KKR Akbar (Kebaktian Kebangunan Rohani) Pendeta Stephen Tong yang dilaksanakan pada 8-11 Desember 2011 di Stadion Utama GBK.
“Di lorong depan Citraland di situ dua orang laki-laki membagi, dikasihkan ke saya seperti begini (sambil menunjukkan brosur tersebut). Lalu saya bilang, oh gereja ya? Maaf saya bukan orang Kristen, terus saya kembalikan lagi,” tutur Budi dengan logat Jawa kepada voa-islam.com, Ahad (11/12/2011).
Dengan enteng, kedua penginjil itu menjawab, “Oh nggak apa-apa pak.”
Jawaban itu memicu emosi Budi dan memprotes keras. “Ini kan acara Kebaktian kristiani, dan saya ini bukan orang Kristen! Anda nggak etis berlaku seperti ini, saya sudah bilang saya bukan Kristen anda tetap memberikan saya seperti ini!”
Mendengar protes Budi, kedua penginjil itu bukannya minta maaf, malah membela diri dengan kalimat yang menyinggung. “Berbuat seperti ini itu bebas aja pak. Bebas bukan cuma undangannya kepada siapa saja, tapi berbuat seperti itu pun bebas,” ujar Budi menirukan.
Tak maju berpolemik panjang, Budi pun meminta Satpam mall untuk mengusir kedua penginjil yang membabi-buta menyebarkan propaganda natal Kristen itu. “Akhirnya saya minta satpam di sekitar situ untuk mengusir dua orang laki-laki yang membagikan brosur itu,” ujar Budi.
Budi menceritakan, bahwa dirinya sangat kesal dengan ulah para misionaris Kristen yang tak kenal etika dalam penyebaran agama kepada orang lain yang sudah beragama. Pasalnya, pengalaman jadi target kristenisasi sudah berulang kali dialaminya. Sebelumnya, pria yang sehari-hari bekerja di sebuah percetakan buku itu, pernah memprotes aksi kristenisasi di sebuah tempat dan berakhir dengan pengeroyokan oleh orang-orang Kristen berlogat Batak.
Budi meminta aparat agar menindak tegas orang-orang Kristen yang melakukan kristenisasi seperti itu. “Menurut saya orang seperti ini ya harus ada jodohnya, yaitu ditindak tegas,” tuturnya kesal.
Misi kristenisasi itu, jelas Budi sangat bertentangan dengan ajaran Budha. Dalam agama Budha, aksi sosial seperti pembagian sembako yang sering dilakukan di wihara, sama sekali tidak ada unsur penyebaran agama Budha. Karenanya, dalam acara pembagian sembako di wihara-wihara Budha dilakukan secara terang-terangan dan bisa dipantau oleh siapapun.
“Ajaran Budha tidak seperti itu, saya juga pernah ikut, itu benar-benar dibagikan, sudah. Satu kali pun kita tidak pernah mengajak mereka berdoa, jadi kita murni kemanusiaan, boleh dicek,” jelasnya.
Menanggapi kasus kristenisasi kepada umat Budha itu, Ustadz Abu Al -Izz, menegaskan bahwa dirinya tidak heran jika bukan hanya umat Islam yang resah dengan maraknya kristenisasi, tapi juga umat lain seperti mereka yang beragama Budha.
“Realitas ini menunjukkan bahwa gerakan kristenisasi itu telah membabi buta terhadap setiap yang berbeda dengan keyakinan mereka. Sehingga yang terancam dengan masalah ini bukan hanya umat Islam tapi juga umat-umat yang lain,” tuturnya Ketua Umum Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) itu kepada voa-islam.com, Senin pagi (12/12/2011).
Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini menilai, dengan banyaknya kasus kristenisasi di lapangan, membuktikan bahwa para misionaris Kristen tidak menghargai pluralitas. “Umat Kristen ini tidak menghargai pluralitas, bahkan telah mencederainya. Sementara ketika mereka punya misi mereka minta kita untuk menghargai toleransi. Semua itu maknanya hanya sebuah kedok, sebuah tipuan karena mereka ingin melakukan pemberangusan terhadap perbedaan-perbedaan keyakinan yang ada itu,” tutupnya. [ahmed widad]
Minggu, 18 Desember 2011
kebahagiaan itu TIDAK SEMU
Jane-Alter Berakhir Bahagia
Andi Saputra - detikNews
Senin, 19/12/2011 10:52 WIB
Jakarta - Masih ingat kasus pernikahan Jane dan Alter? Baru saja Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi yang ditempuh jaksa dalam kasus pemalsuan surat dan keterangan palsu dengan terdakwa Alterina Hofan. Dengan penolakan kasus ini, maka kisah cinta Alterina Hofan-Jane Deviyanti Hadipoespito berakhir bahagia.
"Menolak kasasi jaksa," demikian bunyi putusan MA yang dilansir situs resmi MA, Senin, (19/12/2011)
Putusan ini di putus oleh ketua majelis hakim agung Mansur Kartayasa dan hakim agung anggota Sri Murwahyuni, dan R. Imam Harjadi. Putusan bernomor 704 K/PID/2011 di putus dalam sidang majelis pada 31 Mei 2011.
"Kasus ini terkait pasal keterangan palsu," terang Mansur.
Seperti diketahui, Alterina telah menikah dengan seorang perempuan bernama Jane Devianti di Amerika Serikat pada 9 September 2008. Sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Jane, dia mengaku bahagia hidup dengan Alterina. Lagipula, perubahan status kelamin Alterina menjadi laki-laki telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jayapura berdasarkan penetapan No 12/Pdt.P/2010/PN.JPR. tanggal 29 Maret 2010.
Namun pihak keluarga jane tidak terima dan melaporkan kasus tersebut ke polisi. Namun oleh PN Jaksel, Alterina divonis lepas dari segala tuntutan. Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Sudarwin menyatakan meskipun perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi apa yang dilakukan Alterina bukan tindak pidana.
(asp/anw)
Senin, 12 Desember 2011
STOP ramalan KIAMAT
William Miller is perhaps the most famous false prophet in history. In the 1840s he began to preach about the world's end, saying Jesus Christ would return for the long-awaited Second Coming and that Earth would be engulfed in fire sometime between March 21, 1843, and March 21, 1844. He circulated his message in public gatherings and by using the technologies of the day — posters, printed newsletters and charts. Moved by those messages, as many as 100,000 "Millerites" sold their belongings between 1840 and 1844 and took to the mountains to wait for the end. When that end didn't come, Miller changed the date to Oct. 22. When Oct. 23 rolled around, his loyal followers explained it away yet again and went on to form the Seventh-day Adventist movement.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072697,00.html #ixzz1gK4ZqW75
Harold Camping's prediction that the world will end Saturday, May 21, 2011, is not his first such prediction. In 1992, the evangelist published a book called 1994?, which proclaimed that sometime in mid-September 1994, Christ would return and the world would end. Camping based his calculations on numbers and dates found in the Bible and, at the time, said that he was "99.9% certain" that his math was correct. But the world did not end in 1994. Nor did it end on March 31, 1995 — another date Camping provided when September 1994 passed without incident. "I'm like the boy who cried wolf again and again and the wolf didn't come," Camping told the San Francisco Chronicle in 1995. "This doesn't bother me in the slightest."
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072703,00.html #ixzz1gK4gMDRb
The year 2012 means many things to many people, few of which bring good news. A New Age belief cites 2012 as the year humans will undergo a physical and spiritual transformation, while some people predict that sometime that year, Earth will collide with a black hole or a planet named Nibiru. But perhaps the most popular belief is attributed (falsely, many scholars argue) to the Mesoamerican Long Count calendar from the ancient Mayan civilization. Interpretations suggest that the fourth world, in which we live now, will end on Dec. 21, 2012. This belief inspired the disaster movie 2012 starring John Cusack, in which a tsunami tosses the aircraft carrier U.S.S. John F. Kennedy onto Washington, crushing the White House and killing the President (played by Danny Glover).
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072704,00.html #ixzz1gK4lnx9Q
Just before sunset on Feb. 28, 1963, residents of northwestern Arizona watched what the Arizona Republic called a "strikingly beautiful and mysterious cloud" glide across the desert. That same day, Pentecostal pastor William Branham — who founded the post–World War II faith-healing movement — climbed Sunset Mountain and claimed he met with seven angels who revealed to him the meaning of the seven seals from the Book of Revelation. Days later, Branham returned to his congregation at the Branham Tabernacle in Jeffersonville, Ind. He preached seven sermons in seven nights, explaining the meaning of the seals and the seven visions he had received, leading him to predict that Jesus would return to Earth in 1977. He did not live to see the day. In December 1965, as Branham was driving with his family in Texas, a drunk driver smashed into his car. Branham died six days later, on Christmas Eve.
View the full list for "Top 10 End-of-the-World Prophecies"
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072684,00.html #ixzz1gK4rpvwc
In the tumultuous years that followed the Protestant Reformation, myriad radical sects emerged, preaching an apocalyptic, millenarianist creed that perturbed even theological dissidents like Martin Luther. The Anabaptists derived their name from the Latin for "one who baptizes over again" and rejected most forms of political organization and social hierarchy in favor of an idealized theocratic commonwealth. In the 1530s, riding on a crest of peasant revolts, a clutch of Anabaptists assumed control of the German town of Munster and hailed it as a New Jerusalem awaiting the return of Christ.
But the situation in Munster was far from the ideal Christian commonwealth. Jan Bockelson, a tailor from the Dutch city of Leiden, declared himself the "Messiah of the last days," took multiple wives, issued coins that prophesied the coming apocalypse and in general made life hell for everyone in the city (except for a few fellow proselytizers who lived lavishly — and, according to some accounts, in a great state of debauch). The Anabaptists' hold over Munster ended in a bloody siege in 1535. Bockelson's genitals reportedly were nailed to the city's gates.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072746,00.html #ixzz1gK4xEBd5
If you follow Hal Lindsey, you've probably changed the "end of the world" date in your calendar several times. His Late Great Planet Earth, which was the best-selling nonfiction book of the 1970s, predicted that the world would end sometime before Dec. 31, 1988. He cited a host of world events — nuclear war, the communist threat and the restoration of Israel — as reasons the end times were upon mankind. His later books, though less specific, suggested that believers not plan on being on Earth past the 1980s — then the 1990s and, of course, the 2000s. But Lindsey did more than just wrongly predict the end of days; he popularized a genre of prophecy books.
Adding stock to Lindsey's original claim, Edgar Whisenant published a book in 1988 called 88 Reasons Why the Rapture Will Be in 1988, which sold some 4.5 million copies. Whisenant once famously said, "Only if the Bible is in error am I wrong." When 1989 rolled around, a discredited Whisenant published another book, saying the Rapture would occur that year instead. It did not sell as well, nor did later titles that predicted the world would end in 1993 and again in 1994. The genre's most popular tales are in the Left Behind series, written by Tim LaHaye and Jerry Jenkins, which, though they do not predict an end date, provide a vivid fictional account of how Earth's final days could go. The 16 novels have sold more than 63 million copies worldwide.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072696,00.html #ixzz1gK540diM
It was the day that was supposed to finally prove what Luddites and other tech haters had been saying for so long: computers — not sin or religious prophecy come true — will bring us down. For months before the stroke of midnight on Jan. 1, 2000, analysts speculated that entire computer networks would crash, causing widespread dysfunction for a global population that had become irreversibly dependent on computers to hold, disseminate and analyze its most vital pieces of information. The problem was that many computers had been programmed to record dates using only the last two digits of every year, meaning that the year 2000 would register as the year 1900, totally screwing with the collective computerized mind. But it just wasn't so. Aside from a few scattered power failures in various countries, problems in data-transmission systems at some of Japan's nuclear plants (which did not affect their safety) and a temporary interruption in receipt of data from the U.S.'s network of intelligence satellites, the new year arrived with nothing more than the expected hangover.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072599,00.html #ixzz1gK5A4sP3
David Koresh led his Branch Davidian sect, an unsanctioned offshoot of the Seventh-day Adventist Church, to its doom in a compound near Waco, Texas, in 1993. How did he do that? He convinced his followers that he was Christ and that they should hole up at what was called the Mount Carmel Center to prepare for the end of the world. Their ideas were based on the beliefs of an earlier Adventist splinter group.
When authorities learned that the Branch Davidians were allegedly holding a trove of weapons on the site and that there were possibly instances of abuse of women and children, the Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives executed a search on the compound in February 1993. The Davidians fought back; four agents were killed as well as six members of the sect. Koresh persuaded his followers to remain at Mount Carmel and refuse to surrender. For 50 days, a tense standoff ensued. On April 19, the FBI stormed the compound, a fire erupted (the source of which is still debated), and dozens of Davidians, including Koresh, died in the building.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072680,00.html #ixzz1gK5FlHdQ
The onset of World War I freaked a lot of people out. But it was especially trippy for the Zion's Watch Tower Tract Society, a group that's now called Jehovah's Witnesses. The society's founder, Charles Taze Russell, had previously predicted Christ's invisible return in 1874, followed by anticipation of his Second Coming in 1914. When WW I broke out that year, Russell interpreted it as a sign of armageddon and the upcoming end of days or, as he called it, the end of "Gentile times." History proved otherwise.
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072682,00.html #ixzz1gK5L8pSS
In the Christian tradition, the number 666 is described as the "mark of the beast" in the Bible's Book of Revelation. So it was no surprise that Europeans worried as the year 1666 approached. It didn't help that the year before, a plague had wiped out about 100,000 people, a fifth of London's population, leading many to predict the end of times. Then on Sept. 2, 1666, a fire broke out in a bakery on London's Pudding Lane. The fire spread and over three days burned more than 13,000 buildings and destroyed tens of thousands of homes. But in the end, fewer than 10 people perished in the blaze, which, while catastrophic, was not the end of the world
Read more: http://www.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2072678_2072683_2072707,00.html #ixzz1gK5WvPvR
Rabu, 07 Desember 2011
cerdaS, gauL ... $14L
Jumat, 09/12/2011 16:02 WIB
Tewas Ditusuk, Christopher Terus Genggam BlackBerry Pemberian Sang Ayah
Rivki - detikNews
Jakarta - BlackBerry tipe Onyx terus digenggam Christopher Melky Tanujaya meski dihujani tikaman dari Abdul Jalil (24). Peraih juara Olimpiade Matematika 2009 tingkat SMP ini mempertahankan HP pemberian ayahandanya, Sephanus Hans Tanujaya, hingga akhir hayatnya.
Kapolres Jakarta Utara, Kombes Pol Andap Budhi, menceritakan kejadian itu berawal saat Christopher turun dari Halte TransJakarta Penjaringan, Jakarta Utara pada Senin 5 Desember 2011 pukul 18.45 WIB.
Ia ingin mengunjungi rumah kakeknya yang tinggal di Pluit Barat III nomor 2. Christopher berjalan kaki sambil memainkan handphone BlackBerry tipe Onyx warna putih.
Bersamaan dengan itu, kata Andap, pelaku Abdul Jalil alias Adul alias Ayup membuntuti Christopher kurang lebih sekitar 200 meter di Jalan Pluit Selatan I, persis di depan SDN 01 Pluit. Situasi saat itu sepi dan jalanan gelap.
Abdul menepuk pundak Christopher dan meminta handphone Christopher. Namun, Christopher menolak dan berusaha keras menolak karena handphone tersebut dari ayahnya.
"Karena handphone tidak diberikan oleh Christopher, Abdul Jalil lalu mengeluarkan pisau dapur yang diselipkan di pinggang bagian kanan. Pisau langsung ditusukkan ke leher Christopher, lalu ke pinggang kanan, serta ke pundak kiri," kata Andap di Mapolres Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, Jumat (9/12/2011).
"Namun perbuatan merampas handphone tidak terlaksana karena tangan korban memegang erat BlackBerry tersebut. Berdasarkan pengakuan, pelaku cemas korban berteriak," ujar Andap.
Menurut dia, Abdul Jalil lalu lari menuju rumahnya dan Christopher dibawa ke RS Atma Jaya oleh saksi mata, Setyohadi (31). Christopher akhirnya meninggal dunia.
Abdul Jalil kini ditahan di Polres Jakarta Utara. "Pelaku sebelumnya sudah niat mau merampok tetapi secara random. Selasa, pelaku tidak keluar rumah," kata Andap.
Ia mengatakan Abdul Jalil mencoba menghilangkan barang bukti dengan merendam bajunya yang ada noda darah. "Sehabis itu, pelaku yang tadinya berambut ikal menggunting rambutnya menjadi lebih pendek," kata dia.
Abdul Jalil ditangkap di rumahnya Jalan Bakti RT 007 RW 007 nomor 23, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Kamis 8 Desember 2011 pukul 19.00 WIB. "Saat penangkapan pelaku tidak melakukan perlawanan," kata Andap.
(aan/vit)
Selain Cerdas, Ternyata Melky Juga Gaul
Fabian Januarius Kuwado | Tri Wahono | Rabu, 7 Desember 2011 | 22:44 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Selain dikenal sebagai anak yang cerdas dan berprestasi, Christopher Melky Tanujaya, korban penusukan di daerah Pluit, Jakarta Utara dikenal para sahabat sebagai sosok yang pandai bergaul. Perilakunya yang supel menjadi kenangan tersendiri bagi para sahabatnya.
"Dia baik banget, dia hebat di segala hal, pelajaran bagus, olahraga bagus, baik pula, Dia udah excellent pinternya, tapi dia masih bisa gaul, malah suka jahil," ujar Reynard (17), sahabat asrama Melky di Singapura.
Indra (16) seorang teman asrama Melky lainnya menceritakan contoh kejahilan Melky pada saat ulang tahun salah seorang temannya di Puri Indah, sesaat sebelum peristiwa penusukan terjadi. "Pas makan di Hanamasa, dia ambil tiga hati sapi, terus dimakan, dia bilang belom matang, akhirnya sisa hatinya dibiarin aja gitu sampe gosong," kenangnya.
Kenangan lain bersama Melky diungkapkan Indra pada saat bersama-sama di asrama St. Joseph, Singapura. "Udah gitu pas mandi di asrama, kan atasnya kebuka, dia suka siram pake air gitu," lanjutnya sambil tertawa.
Indra menambahkan bahwa dirinya kerap dibantu oleh Melky dalam hal pelajaran. "Kalau kita tanya-tanya dia mau bantu, walau kita masih enggak ngerti juga, dia terus ajarin kita sampai ngerti," tambahnya.
Meski hingga saat ini para sahabat masih tak percaya dengan kepergian Melky, mereka mengaku pasrah dan ikhlas dengan kejadian mengejutkan tersebut. "Ya masih nggak percaya, soalnya siang masih sama-sama malemnya udah begini, tapi ya mau gimana lagi serahin aja sama polisi karena pelakunya enggak bisa balikin dia lagi. Dia sudah seneng di sana, sudah ada tempat terbaik di sisi Tuhan," tutup Indra.
Christopher Melky Tanujaya adalah pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa di St. Joseph, Singapura karena berprestasi. Ia ditusuk orang tak dikenal saat berjalan ke rumah neneknya di daerah Pluit Barat, Jakarta Utara. Melky mendapat luka tiga tusukan di leher dan satu di pundak. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di RS Atmajaya, Jakarta Utara.
Langganan:
Postingan (Atom)