Dewan Pers Minta SBY Tak Salahkan Media
Dwi Afrilianti - Okezone
Selasa, 12 Juli 2011 10:47 wib
JAKARTA – Pemberitaan negatif soal Partai Demokrat (PD) belakangan ini membuat Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), angkat bicara. Media massa dituding kurang objektif dalam memberitakan konflik di tubuh PD.
SBY berpendapat, tidak sepantasnya media massa membuat berita yang bersumber dari pesan singkat (SMS) atau BlackBerry Messenger (BBM). Sebab, kata dia, data tersebut tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Pernyataan SBY itu bertentangan dengan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Menurut Bagir, tidak ada yang salah dengan media massa belakangan ini yang memberitakan kisruh di tubuh partai pemenang di 2009 tersebut. Kata Bagir, wartawan selama ini masih on the track.
“Kami berpendapat, pemberitaan soal Demokrat masih di dalam fungsi jurnalistik, karena berita itu semua berdasarkan fakta. Hanya barangkali ada perbedaan persepsi soal pengertian fakta,” kata Bagir Manan kepada wartawan di Gedung Dewan Pers, Selasa (12/7/2011).
Menurut Bagir, fakta jurnalistik itu tidak harus secara materil dibuktikan kebenarannya, seperti yang terjadi dengan BBM Nazaruddin atau SMS Marzuki Alie. Sebab, lanjut dia, yang bertugas untuk mencari tahu kebenaran pesan elektronik tersebut asli atau tidak bukanlah tugas jurnalis, melainkan pihak berwajib.
“Jurnalis juga tidak selalu harus ketemu dengan narasumbernya. Salah satu fungsi pers memang mengawasi politik seperti menyoroti kinerja wakil rakyat dan korupsi pejabat,” pungkas mantan Ketua Mahkamah Agung ini.
Menanti 'Mujizat Istanbul' di Senayan
Oleh Kwan Men Yon | 27 December 2010
BISNIS INDONESIA
AC Milan adalah cinta pertama saya kepada sepakbola. Kaka datang kemudian dan membikin saya makin cinta Rossoneri. Namun, apa mau dikata, cinta itu pula yang membuat pertandingan menentukan di Ataturk Stadium, Istanbul, pada sebuah Mei yang buram lima tahun silam menjadi terlalu traumatis untuk dikenang.
Saya harus akui, sulit sekali melupakan naik turun emosi yang tercipta sepanjang partai klasik itu. Antara Milan melawan Liverpool. Di Final Liga Champions.
Dalam 45 menit pertama, Milan seolah pasti juara karena keunggulan 3-0 yang tampak begitu mudah diraih. Saya ingat banget sudah jingkrakan merayakan kemenangan (sementara) di tengah nonton bareng teman-teman mahasiswa di Yogyakarta. Saya tertawa dan berteriak puas. “Milan juara!” seruku berulang-ulang.
Tak dinyana, situasi sukacita itu berubah jadi ketegangan teramat sangat tatkala pada babak kedua Liverpool tampil luar biasa bagus, solid, dan gigih. Mereka bermain bak dunia akan kiamat jika wasit meniup peluit akhir.
Bagaimana hal semacam ini mungkin di bawah langit: Liverpool mencetak tiga gol balasan dalam enam menit! Milan pun terkulai.
Hasil akhirnya, Anda tentu tahu juga, The Anfield Gang yang belum pernah lagi bermain di partai final Liga Champions sejak Heysel 1985, memenangkan game itu lewat adu tendangan penalti. Saya ingat betul, semua pemain Milan menangis sesenggukan seusai pertandingan sebagai tanda penyesalan mendalam.
Andry Shevchenko yang gagal mengeksekusi penalti bagi Milan benar-benar tak bisa kembali ke bentuk permainan terbaik sesudahnya, hingga akhirnya dilepas ke Chelsea pada 2007. Di kubu lain, malam itu merupakan memontum kemunculan kebintangan Steven Gerrard, salah satu kapten terbesar The Kop sepanjang masa.
Tak diragukan lagi, malam itu menyisakan luka yang bakal lama lekang oleh waktu bagi para Milanisti. Saking dramatisnya, kemenangan Liverpool di Turki selalu dirujuk sebagai Mujizat Istanbul.
Beri terbaik
Hari ini, ketika dalam hitungan jam, tim nasional Indonesia harus menghadapi partai hidup mati dengan pasukan Malaysia yang telah unggul 3-0 di pertemuan pertama, saya sungguh berharap Firman Utina dan kawan-kawan mengingat mujizat di Istanbul.
Kondisinya kurang lebih sama kok. Timnas Garuda ketinggalan 3-0 dengan separuh sisa waktu pertandingan. Saya membayangkan pemain Malaysia tengah jumawa, persis sama seperti Paolo Maldini dkk di ruang ganti Stadion Ataturk, karena berpikir piala sudah dalam genggaman.
Suporter tim Negeri Jiran pun pasti telah dilanda keyakinan membuncah akan kesuksesan merebut Piala AFF tahun ini. Mereka mungkin sadar berpeluang besar kalah pada leg kedua di Jakarta, tetapi asal selisihnya tak lebih dari tiga gol, maka Malaysia akan juara.
Bagaimana pun, sungguh berat bagi Indonesia untuk menjebol jala Khairul Fahmi Che Mat sampai tiga kali tanpa sekali pun gawang Merah Putih ditembus.
Namun, bila skenario ini yang terjadi, yaitu skor 3-0 untuk Indonesia, pertarungan bakal diteruskan dengan tos-tosan penalti. Malaysia pun kehilangan keunggulan yang mesti direnggut dengan susah payah, bahkan sampai menggunakan laser dari penonton yang curang!
Sekali lagi, tak akan mudah bagi tim asuhan Alfred Ridle melakukannya. Memang, kita menang 5-1 kala bersua di babak penyisihan. Namun, kita baru saja kalah 0-3 dengan level permainan yang harus diakui tidak sebaik sebelumnya. Pertahanan empat pemain sejajar di belakang terlalu mudah dieksploitasi lawan. Mampukah kita mengubah penampilan buruk tersebut?
Harapan masih ada. Liverpool telah mengajarkan bagaimana bermain bola dengan hati sebuas singa dan akal secerdik serigala. Bagi saya, sekarang tantangannya bagi Tim Garuda bukan lagi memenangkan pertandingan dan juara, tetapi tampil sebaik mungkin. Itu saja dulu.
Kita berharap 11 pemain kebanggaan Indonesia nanti mempertontonkan performa terbaik selama Piala AFF. Kita ingin mereka tampil dengan sepenuh hati, sebaik-baiknya, bukan untuk Pak Presiden, ketua parpol, politisi, atau pengurus PSSI yang tak becus mengurus kompetisi.
Sebaliknya, mereka tampil untuk diri sendiri dan keluarga. Tampil untuk 280 juta warga Indonesia yang akan mendukung hingga detik terakhir pertandingan.
Dus, soal hasil akhir, kita urus belakangan. Terlepas dari kekalahan Milan di Istanbul, saya lebih memilih mengenang permainan indah mereka pada paruh pertama: Kaka yang melesat lincah seperti kijang, Gattuso yang menyeruduk ibarat banteng luka, dan Pirlo yang menyihir dengan umpan dari surga. Bagi saya, Milan juga juara hari itu.
Begitulah saya ingin mengingat timnas pada Rabu malam nanti. Kalah atau menang, juara atau tidak, yang penting permainan indah nan memukau.
Anak-anak Garuda, you’ll never walk alone! (men.yon@bisnis.co.id)
Senin, 27 Desember 2010
Sabtu, 25 Desember 2010
saluran anugerah untuk yang terpinggirkan
25 December 2010 Last updated at 12:47 GMT
Archbishop urges rich to share pain in Christmas sermon
The archbishop says there is a "lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load"
The Archbishop of Canterbury has used his Christmas sermon to question whether the richest people are bearing their share of the economic downturn.
Dr Rowan Williams' comments amounted to a rebuke to the most prosperous in society, said BBC religious affairs correspondent Robert Pigott.
He also suggested Prince William's wedding in 2011 could help restore the popularity of life-long relationships.
The service took place at Canterbury Cathedral, in Kent.
Meanwhile in a sermon at York Minster, Archbishop of York Dr John Sentamu also referred to victims of the economic crisis, including "those who have lost their jobs, savings, pensions [and] homes".
In his service Dr Williams spoke of the importance of mutual dependence, fellowship and loyalty in current economic times, stressing the need to share the burdens of adversity.
He said society could only bear hardship "if we are confident that it is being fairly shared."
Continue reading the main story
“Start Quote
As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around”
End Quote Dr Rowan Williams Archbishop of Canterbury
"We shall have that confidence only if there are signs that everyone is committed to their neighbour, that no-one is just forgotten, that no interest group or pressure group is able to opt out.
"That confidence isn't in huge supply at the moment, given the massive crises of trust that have shaken us all in the last couple of years and the lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load," he added.
Citing Prime Minister David Cameron's "big society" concept, he said everyone had to be ready to meet that challenge, and to restore "mutual trust".
"It's no use being cynical about this; whatever we call the enterprise, the challenge is the same - creating confidence by sharing the burden of constructive work together," he said.
Royal celebration
The archbishop went on to refer to the upcoming wedding of Prince William and Kate Middleton, in April 2011, and stressed that the Christian bond of marriage was a symbol of hope.
Dr Williams said it was "cause for celebration" that any couple should want to "embark on the adventure of Christian marriage".
"Every Christian marriage is a sign of hope, since it is a sign and sacrament of God's own committed love."
"And it would be good to think that in this coming year, we, as a society, might want to think through, carefully and imaginatively, why lifelong faithfulness and the mutual surrender of selfishness are such great gifts," he told worshippers.
Prince William and Kate Middleton Kate Middleton and Prince William will marry in April
The Archbishop reflected on the trials of marriage and also the inspirational examples of partnerships he has seen.
"There will be times when we may feel stupid or helpless, when we don't feel we have the energy or resource to forgive and rebuild after a crisis or a quarrel, when we don't want our freedom limited by the commitments we've made to someone else.
"Yet many of us will know marriages where something extraordinary has happened because of the persistence of one of the parties, or where faithfulness has survived the tests of severe illness or disability or trauma."
He said he felt "deeply moved" when he met the families of servicemen and women and saw their particular "sense of solidarity... so generous and costly".
Continue reading the main story
“Start Quote
Let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan”
End Quote Dr John Sentamu Archbishop of York
"As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around, more than you might sometimes guess from the chatter of our culture," he added.
Dr Williams concluded by urging people to remember Christians around the world, including in Zimbabwe and Iraq, who "suffer repression and persecution" for their faith.
He spoke of the "harassment, beatings and arrests" of Zimbabweans and encouraged the congregation to find time to join letter-writing campaigns for "all prisoners of conscience", organised by groups such as Amnesty International and Christian Solidarity Worldwide.
The "downtrodden" of Zimbabwe were also featured in Dr Sentamu's address.
He asked people to reflect on the "suffering in our world" in his Christmas sermon, and mentioned the parents of missing girl Madeleine McCann and the family of missing chef Claudia Lawrence.
Dr Sentamu told the congregation: "With joy in our response to God's message of deliverance, let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan.
"And then go and be God's new song: to the parents of Madeleine McCann, [missing woman] Claudia Lawrence; the downtrodden of Zimbabwe; the children and women brutalised in Eastern Congo, and Darfur; the people... losing their lives violently through suicide bombings in Afghanistan and Iraq; prisoners of conscience; Israel and Palestine."
He added to the list members of the armed forces, abused children, those who had suffered through the downturn and subsequent cuts, plus "the hungry, the homeless, the sick, the housebound, and the suffering in our world".
Archbishop urges rich to share pain in Christmas sermon
The archbishop says there is a "lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load"
The Archbishop of Canterbury has used his Christmas sermon to question whether the richest people are bearing their share of the economic downturn.
Dr Rowan Williams' comments amounted to a rebuke to the most prosperous in society, said BBC religious affairs correspondent Robert Pigott.
He also suggested Prince William's wedding in 2011 could help restore the popularity of life-long relationships.
The service took place at Canterbury Cathedral, in Kent.
Meanwhile in a sermon at York Minster, Archbishop of York Dr John Sentamu also referred to victims of the economic crisis, including "those who have lost their jobs, savings, pensions [and] homes".
In his service Dr Williams spoke of the importance of mutual dependence, fellowship and loyalty in current economic times, stressing the need to share the burdens of adversity.
He said society could only bear hardship "if we are confident that it is being fairly shared."
Continue reading the main story
“Start Quote
As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around”
End Quote Dr Rowan Williams Archbishop of Canterbury
"We shall have that confidence only if there are signs that everyone is committed to their neighbour, that no-one is just forgotten, that no interest group or pressure group is able to opt out.
"That confidence isn't in huge supply at the moment, given the massive crises of trust that have shaken us all in the last couple of years and the lasting sense that the most prosperous have yet to shoulder their load," he added.
Citing Prime Minister David Cameron's "big society" concept, he said everyone had to be ready to meet that challenge, and to restore "mutual trust".
"It's no use being cynical about this; whatever we call the enterprise, the challenge is the same - creating confidence by sharing the burden of constructive work together," he said.
Royal celebration
The archbishop went on to refer to the upcoming wedding of Prince William and Kate Middleton, in April 2011, and stressed that the Christian bond of marriage was a symbol of hope.
Dr Williams said it was "cause for celebration" that any couple should want to "embark on the adventure of Christian marriage".
"Every Christian marriage is a sign of hope, since it is a sign and sacrament of God's own committed love."
"And it would be good to think that in this coming year, we, as a society, might want to think through, carefully and imaginatively, why lifelong faithfulness and the mutual surrender of selfishness are such great gifts," he told worshippers.
Prince William and Kate Middleton Kate Middleton and Prince William will marry in April
The Archbishop reflected on the trials of marriage and also the inspirational examples of partnerships he has seen.
"There will be times when we may feel stupid or helpless, when we don't feel we have the energy or resource to forgive and rebuild after a crisis or a quarrel, when we don't want our freedom limited by the commitments we've made to someone else.
"Yet many of us will know marriages where something extraordinary has happened because of the persistence of one of the parties, or where faithfulness has survived the tests of severe illness or disability or trauma."
He said he felt "deeply moved" when he met the families of servicemen and women and saw their particular "sense of solidarity... so generous and costly".
Continue reading the main story
“Start Quote
Let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan”
End Quote Dr John Sentamu Archbishop of York
"As the prince and his fiancee get ready for their new step into solidarity together, they will have plenty of inspiration around, more than you might sometimes guess from the chatter of our culture," he added.
Dr Williams concluded by urging people to remember Christians around the world, including in Zimbabwe and Iraq, who "suffer repression and persecution" for their faith.
He spoke of the "harassment, beatings and arrests" of Zimbabweans and encouraged the congregation to find time to join letter-writing campaigns for "all prisoners of conscience", organised by groups such as Amnesty International and Christian Solidarity Worldwide.
The "downtrodden" of Zimbabwe were also featured in Dr Sentamu's address.
He asked people to reflect on the "suffering in our world" in his Christmas sermon, and mentioned the parents of missing girl Madeleine McCann and the family of missing chef Claudia Lawrence.
Dr Sentamu told the congregation: "With joy in our response to God's message of deliverance, let us leave the Minster this morning in a pure state, confident of our future in God's plan.
"And then go and be God's new song: to the parents of Madeleine McCann, [missing woman] Claudia Lawrence; the downtrodden of Zimbabwe; the children and women brutalised in Eastern Congo, and Darfur; the people... losing their lives violently through suicide bombings in Afghanistan and Iraq; prisoners of conscience; Israel and Palestine."
He added to the list members of the armed forces, abused children, those who had suffered through the downturn and subsequent cuts, plus "the hungry, the homeless, the sick, the housebound, and the suffering in our world".
Jumat, 24 Desember 2010
kekuasaan bicara (1)
Jemaat St Joannes Beribadah Sejak 2004
Sabtu, 25 Desember 2010 | 12:06 WIB
shutterstock
PARUNG, KOMPAS.com - Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, mengatakan bahwa jemaat gereja tersebut sudah beribadah di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008 dan tetap bertiup kencang hingga misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam tadi sampai Sabtu (25/12/2010) ini.
Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja.
-- Alex
Diberitakan sebelumnya, jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di gerejanya sendiri. Untuk sementara, jemaat hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.
"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex, Wakil Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/12/2010) siang.
Alex menuturkan, jemaat St Joannes sudah beribadah di tanah tersebut sejak 2004. Bahkan, kata Alex, sejak 12 tahun silam tanah tersebut sudah dibeli untuk pembangunan gereja.
"Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja," ujarnya.
Selanjutnya, pada 2007, pihaknya bahkan sudah mengajukan izin pembangunannya.
"Tapi belum ditanggapi dan belum juga tandatangi oleh warga sekitar. Jadi, semua izin dan birokrasi pembangunan gereja ini sedang kami proses, tapi kenapa ibadahnya dilarang," ujar Alex.
Jemaat di Parung Dilarang Misa di Gereja
Sabtu, 25 Desember 2010 | 10:37 WIB
LEO SUNU
PARUNG, KOMPAS.com — Pelarangan beribadah kembali terjadi. Pelarangan tersebut kali ini menimpa jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat. Mereka tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di tanah gerejanya sendiri.
Untuk sementara, kami hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.
-- Alex
"Ya, memang benar bahwa kami tidak diizinkan melakukan Misa Natal di sini. Untuk sementara kami hanya diperbolehkan melakukan Misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung," ujar Alex, Wakil Dewan Paroki St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu.
Alex mengungkapkan, jemaat sudah beribadat di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008.
"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex.
Sampai berita ini dilaporkan, jemaat Gereja St Joannes Baptista tetap melaksanakan Misa Natal di lapangan parkir SD Marsudirini, Kahuripan.
Sabtu, 25 Desember 2010 | 12:06 WIB
shutterstock
PARUNG, KOMPAS.com - Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, mengatakan bahwa jemaat gereja tersebut sudah beribadah di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008 dan tetap bertiup kencang hingga misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam tadi sampai Sabtu (25/12/2010) ini.
Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja.
-- Alex
Diberitakan sebelumnya, jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat, tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di gerejanya sendiri. Untuk sementara, jemaat hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.
"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex, Wakil Dewan Paroki Gereja St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/12/2010) siang.
Alex menuturkan, jemaat St Joannes sudah beribadah di tanah tersebut sejak 2004. Bahkan, kata Alex, sejak 12 tahun silam tanah tersebut sudah dibeli untuk pembangunan gereja.
"Sertifikat tanahnya hak milik atas nama Yayasan Dana Papa Gereja," ujarnya.
Selanjutnya, pada 2007, pihaknya bahkan sudah mengajukan izin pembangunannya.
"Tapi belum ditanggapi dan belum juga tandatangi oleh warga sekitar. Jadi, semua izin dan birokrasi pembangunan gereja ini sedang kami proses, tapi kenapa ibadahnya dilarang," ujar Alex.
Jemaat di Parung Dilarang Misa di Gereja
Sabtu, 25 Desember 2010 | 10:37 WIB
LEO SUNU
PARUNG, KOMPAS.com — Pelarangan beribadah kembali terjadi. Pelarangan tersebut kali ini menimpa jemaat katolik di Gereja St Joannes Baptista, Parung, Bogor, Jawa Barat. Mereka tidak diperbolehkan menggelar Misa Natal pertama, Jumat (24/12/2010) malam dan Misa Natal pada Sabtu (25/12/2010) di tanah gerejanya sendiri.
Untuk sementara, kami hanya diperbolehkan melakukan misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung.
-- Alex
"Ya, memang benar bahwa kami tidak diizinkan melakukan Misa Natal di sini. Untuk sementara kami hanya diperbolehkan melakukan Misa Natal di lapangan parkir sekolah Marsudirini, Kahuripan, Parung," ujar Alex, Wakil Dewan Paroki St Joannes Baptista, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu.
Alex mengungkapkan, jemaat sudah beribadat di tanah miliknya sendiri sejak 2004. Isu pelarangan baru mulai ramai pada 2007-2008.
"Tahun 2008, kami sempat didemo. Padahal, kalau di Katolik itu gereja berdiri atas pertimbangan umat yang ada. Bukan gereja dulu dibangun, baru umat datang beribadah. Umat kami saat ini 3.000 jiwa," papar Alex.
Sampai berita ini dilaporkan, jemaat Gereja St Joannes Baptista tetap melaksanakan Misa Natal di lapangan parkir SD Marsudirini, Kahuripan.
yang terbunuh dan tidak pusing
Mubarok: Kalau Terbunuh, Itu Bukan Politisi
Jum'at, 24 Desember 2010 - 20:33 wib
Susi Fatimah - Okezone
JAKARTA - Kekhawatiran dari sejumlah politikus dari partai gurem bakal "terbunuh" dengan rencana kenaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary treshold (PT) mendapat cibiran dari Wasekjen Partai Demokrat Ahmad Mubarok.
Menurut dia, seorang politisi itu harus kreatif dan cerdas kalau perlu jadi "kutu loncat" dengan pindah ke partai yang lebih besar. Sebab itu, dia mengatakan, anggapan kenaikkan PT 5 persen akan membunuh politisi tidak berdasar. "Politisi itu tidak terbunuh. Politisi bisa kreatif, kalau yang terbunuh itu bukan politisi," jelas dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/12/2010).
Seharusnya, kata Mubarok, politisi mencontoh dari agama Kristen di Indonesia. "Walaupun minoritas tapi tidak pusing karena mereka tidak bergantung pada partai agama," ujarnya.
Pernyataannya ini menyindir politikus dari partai kecil yang khawatir tidak bisa masuk DPR dengan jika PT ditetapkan 5 persen. Misalnya, diutarakan putri mendiang KH Abdurrahman Wahid, Zanuba Arifah Hafsah alias Yenny Wahid, yang menilai wacana kenaikkan PT akan membahayakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menurut Yenny, kegelisahan juga dirasakan oleh kiai-kiai NU di daerah terkait usulan kenaikan PT tersebut. Bila PKB sampai memenuhi syarat ambang batas itu, lanjut Yenny, akan dibawa kemana suara NU di daerah. Sebagaimana diketahui, wacana peningkatan syarat PT dimaksudkan untuk menyederhanakan partai agar tidak gemuk seperti pada pemilu 2009 lalu. Partai-partai besar hampir semuanya sepakat dengan pembatasan itu.
Jika wacana pembatasan ini disepakati, maka hanya akan ada sedikit partai yang bisa menempatkan kadernya di DPR. Jika mengacu pada hasil Pemilu 2009 lalu, jika PT ditetapkan 5 persen maka hanya enam partai partai yang lolos, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN dan PPP. Sementara PKB yang hanya 4,9 persen bakal tidak bisa menempatkan kadernya di DPR.
(ram)
Jum'at, 24 Desember 2010 - 20:33 wib
Susi Fatimah - Okezone
JAKARTA - Kekhawatiran dari sejumlah politikus dari partai gurem bakal "terbunuh" dengan rencana kenaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary treshold (PT) mendapat cibiran dari Wasekjen Partai Demokrat Ahmad Mubarok.
Menurut dia, seorang politisi itu harus kreatif dan cerdas kalau perlu jadi "kutu loncat" dengan pindah ke partai yang lebih besar. Sebab itu, dia mengatakan, anggapan kenaikkan PT 5 persen akan membunuh politisi tidak berdasar. "Politisi itu tidak terbunuh. Politisi bisa kreatif, kalau yang terbunuh itu bukan politisi," jelas dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/12/2010).
Seharusnya, kata Mubarok, politisi mencontoh dari agama Kristen di Indonesia. "Walaupun minoritas tapi tidak pusing karena mereka tidak bergantung pada partai agama," ujarnya.
Pernyataannya ini menyindir politikus dari partai kecil yang khawatir tidak bisa masuk DPR dengan jika PT ditetapkan 5 persen. Misalnya, diutarakan putri mendiang KH Abdurrahman Wahid, Zanuba Arifah Hafsah alias Yenny Wahid, yang menilai wacana kenaikkan PT akan membahayakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menurut Yenny, kegelisahan juga dirasakan oleh kiai-kiai NU di daerah terkait usulan kenaikan PT tersebut. Bila PKB sampai memenuhi syarat ambang batas itu, lanjut Yenny, akan dibawa kemana suara NU di daerah. Sebagaimana diketahui, wacana peningkatan syarat PT dimaksudkan untuk menyederhanakan partai agar tidak gemuk seperti pada pemilu 2009 lalu. Partai-partai besar hampir semuanya sepakat dengan pembatasan itu.
Jika wacana pembatasan ini disepakati, maka hanya akan ada sedikit partai yang bisa menempatkan kadernya di DPR. Jika mengacu pada hasil Pemilu 2009 lalu, jika PT ditetapkan 5 persen maka hanya enam partai partai yang lolos, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN dan PPP. Sementara PKB yang hanya 4,9 persen bakal tidak bisa menempatkan kadernya di DPR.
(ram)
Selasa, 21 Desember 2010
mendompleng citra (2)
Mana Riedl dan Gonzales Kita?
Selasa, 21 Desember 2010 | 03:40 WIB
kompas
Radhar Panca Dahana
Kegembiraan atas kemenangan timnas Indonesia dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 melawan Filipina tidak sebatas ruang lengkung Gelora Bung Karno, tetapi juga ruang fisik dan imajiner bangsa, membuat haru sekaligus cemas.
Keharuan menyeruak saat menyadari betapa rakyat negeri ini begitu rindu dengan emosi kolektif di mana rasa bangga dan kehormatan bersama, sebagai sebuah negeri sebuah bangsa, dapat dipulihkan.
Sudah terlalu lama emosi kolektif dari rasa kebangsaan kita kehilangan alasan untuk berbangga dan mendapatkan rasa hormat dari bangsa lain. Seakan negeri besar ini hanya pariah dalam pergaulan internasional, hanya obyek penderita menghadapi perlakuan bangsa lain.
Dalam situasi inferior yang mengenaskan itu, rakyat seperti subyek yang tidak berdaya melihat pemerintah—pengemban amanah dan tanggung jawab utama—justru invalid menunaikan tugas. Pemerintah terlalu sering absen dalam urusan yang menyangkut kepentingan publik. Pemerintah bahkan justru sering melawan rakyatnya sendiri.
Semua itu terlihat dari pelbagai demo, konflik petugas dan rakyat, hingga kasus-kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai pesakitan, lebih dari seorang koruptor besar atau pengkhianat negara. Pengurus serikat usaha berkelas UKM bahkan berkata, ”Sejak kapan pemerintah membina dan memberdayakan UKM, sepertinya UKM kita berjuang sendiri. Kalau memperdaya dan memeras, ya, mungkin.” (Kompas, 22/10/2010)
Menanggapi banyak kecelakaan kereta api, Suyono Dikun, Ketua Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian, menyatakan di harian yang sama, ”Pemerintah tak pernah serius perhatikan kereta api.”
Musikus Jockie Soerjoprajogo dari Mufakat Kebudayaan berulang kali mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim keberhasilan musikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebagai hasil kerja mereka. ”Itu hasil usaha para pemusik kita sendiri.”
Pemerintah hanya melayani kepentingan dan prestise diri sendiri, dengan mengatasnamakan dan menggunakan fasilitas rakyat. Kekecewaan atas absensi itu bertambah akut dengan penyelesaian yang tak cukup terhormat pada berbagai persoalan: masalah perbatasan, TKI, ”pencurian” klaim budaya, dan sebagainya.
Akal sehat rakyat berulang kali dikhianati oleh perilaku abnormal dan deviatif, dari nafsu purba dan hedon, penguasa.
Rasa cemas itu
Semua kenyataan psikologis rakyat Indonesia itu adalah ironi dalam kemeriahan penonton di leg satu dan dua semifinal AFF. Sukses timnas tidak serta-merta menjadi pengakuan pada prestasi organisasi terutama pemimpinnya. Teriakan ”Nurdin turun,” tetap membahana.
Ejekan dan cemoohan juga muncul di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. ”Ingat, ini Timnas Indonesia, bukan Timnas PSSI,” ujar pengguna Twitter. Di Youtube muncul tayangan yang mempertontonkan potongan adegan di mana ”Indonesia menang, Nurdin malah menunduk mencium tangan SBY.” Rasa muak jelas terlihat terhadap perilaku penguasa yang terus mengeksploitasi kemampuan publik untuk kepentingan sendiri.
Kita pun dapat menyaksikan sendiri bagaimana hampir seratus ribu penonton dan jutaan pemirsa teve lainnya hampir tidak mengaitkan sukses timnas Indonesia dengan kinerja pemimpin, juga tidak pada Presiden SBY, walaupun ia hadir dan turut bersorak di stadion. Seolah publik, seperti dalam banyak contoh kasus di atas, tidak rela jika sukses sepak bola itu diklaim sebagai prestasi pemerintah.
Di sini rasa cemas itu muncul. Ketika ketidakpercayaan publik kepada pemerintah dan para pemimpin tergerus, usaha negara untuk survive dan berdaulat di dunia mendapat ancaman serius. Absensi dan ketidakpercayaan membuat masyarakat semakin tidak peduli kepada pemerintah dan pada akhirnya juga tidak peduli—baca membangkang—semua kebijakannya.
”Tidak peduli pada negara (cq pemerintah)” akan menjadi semangat yang meluas, yang pada titik ekstremnya akan melahirkan kerancuan dan kekacauan pada semua tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran dan cara mengatur hidup akan berlangsung secara komunal atau sektarianistik. Klaim horizontal akan bertaburan, dan perpecahan seperti tinggal menunggu susut sumbu bom waktu.
Pemimpin zuhud
Di bagian lain, semangat ”tidak peduli negara” itu sesungguhnya juga dapat berdampak sangat positif ketika semangat itu dipilin menjadi tekad dan kerja untuk tegaknya kemandirian. Hal ini sungguh akan menciptakan kekuatan luar biasa, bahkan mungkin lebih hebat ketimbang yang diinisiasi oleh pemerintah.
Keberdayaan publik yang mandiri akan menjadi kunci eksplorasi kemampuan dari potensi-potensi terbaik bangsa yang masih terpendam. Inilah mungkin inti wahyu Tuhan dalam Islam yang menyatakan, ”Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum bila bukan kaum itu sendiri yang melakukan.” Kata ”kaum” dalam wahyu ini merujuk pada suatu kolektiva, bukan persona atau katakanlah pemimpin.
Dalam kasus timnas Indonesia, pemain naturalisasi Cristian Gonzales berperan vital. Namun, dengan segala hormat dan terima kasih kepadanya, kerja Gonzales tidak akan berarti tanpa kerja sama 10 orang pribumi dalam timnas. Tanpa mereka, Gonzales tak akan memperoleh umpan untuk menciptakan gol-gol cantik.
Namun, lebih dari itu, ada seorang Alfred Riedl, yang dengan dingin melatih dan mengawasi setiap detik pertandingan. Tak ada luapan emosi berlebihan. Sebuah sikap yang memperlihatkan keprihatinan—semacam asketisme—meditatif, bahwa capaian temporer tidaklah berarti bagi tujuan akhir yang diinginkan. Inilah satu sikap zuhud dari kepemimpinan yang hilang di kalangan pemimpin dan elite kita. Sukses publik tidak begitu saja dipelintir untuk menyelebrasi diri sendiri, seperti yang dilakukan para pejabat lewat iklan.
Sukses dari masyarakat atau bangsa yang mandiri adalah justru stimulator bagi sikap yang lebih prihatin dari seorang pemimpin. Karena ia menyadari betapa tugasnya menjadi lebih berat, dan euforia yang berlebihan justru menyimpan ancaman yang lebih mengerikan.
Tetapi di mana Riedl dalam segelintir elite kita? Di mana Gonzales yang menjadi avant garde semua usaha perbaikan ini? Radhar Panca
Dahana Budayawan
Selasa, 21 Desember 2010 | 03:40 WIB
kompas
Radhar Panca Dahana
Kegembiraan atas kemenangan timnas Indonesia dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 melawan Filipina tidak sebatas ruang lengkung Gelora Bung Karno, tetapi juga ruang fisik dan imajiner bangsa, membuat haru sekaligus cemas.
Keharuan menyeruak saat menyadari betapa rakyat negeri ini begitu rindu dengan emosi kolektif di mana rasa bangga dan kehormatan bersama, sebagai sebuah negeri sebuah bangsa, dapat dipulihkan.
Sudah terlalu lama emosi kolektif dari rasa kebangsaan kita kehilangan alasan untuk berbangga dan mendapatkan rasa hormat dari bangsa lain. Seakan negeri besar ini hanya pariah dalam pergaulan internasional, hanya obyek penderita menghadapi perlakuan bangsa lain.
Dalam situasi inferior yang mengenaskan itu, rakyat seperti subyek yang tidak berdaya melihat pemerintah—pengemban amanah dan tanggung jawab utama—justru invalid menunaikan tugas. Pemerintah terlalu sering absen dalam urusan yang menyangkut kepentingan publik. Pemerintah bahkan justru sering melawan rakyatnya sendiri.
Semua itu terlihat dari pelbagai demo, konflik petugas dan rakyat, hingga kasus-kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai pesakitan, lebih dari seorang koruptor besar atau pengkhianat negara. Pengurus serikat usaha berkelas UKM bahkan berkata, ”Sejak kapan pemerintah membina dan memberdayakan UKM, sepertinya UKM kita berjuang sendiri. Kalau memperdaya dan memeras, ya, mungkin.” (Kompas, 22/10/2010)
Menanggapi banyak kecelakaan kereta api, Suyono Dikun, Ketua Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian, menyatakan di harian yang sama, ”Pemerintah tak pernah serius perhatikan kereta api.”
Musikus Jockie Soerjoprajogo dari Mufakat Kebudayaan berulang kali mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim keberhasilan musikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebagai hasil kerja mereka. ”Itu hasil usaha para pemusik kita sendiri.”
Pemerintah hanya melayani kepentingan dan prestise diri sendiri, dengan mengatasnamakan dan menggunakan fasilitas rakyat. Kekecewaan atas absensi itu bertambah akut dengan penyelesaian yang tak cukup terhormat pada berbagai persoalan: masalah perbatasan, TKI, ”pencurian” klaim budaya, dan sebagainya.
Akal sehat rakyat berulang kali dikhianati oleh perilaku abnormal dan deviatif, dari nafsu purba dan hedon, penguasa.
Rasa cemas itu
Semua kenyataan psikologis rakyat Indonesia itu adalah ironi dalam kemeriahan penonton di leg satu dan dua semifinal AFF. Sukses timnas tidak serta-merta menjadi pengakuan pada prestasi organisasi terutama pemimpinnya. Teriakan ”Nurdin turun,” tetap membahana.
Ejekan dan cemoohan juga muncul di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. ”Ingat, ini Timnas Indonesia, bukan Timnas PSSI,” ujar pengguna Twitter. Di Youtube muncul tayangan yang mempertontonkan potongan adegan di mana ”Indonesia menang, Nurdin malah menunduk mencium tangan SBY.” Rasa muak jelas terlihat terhadap perilaku penguasa yang terus mengeksploitasi kemampuan publik untuk kepentingan sendiri.
Kita pun dapat menyaksikan sendiri bagaimana hampir seratus ribu penonton dan jutaan pemirsa teve lainnya hampir tidak mengaitkan sukses timnas Indonesia dengan kinerja pemimpin, juga tidak pada Presiden SBY, walaupun ia hadir dan turut bersorak di stadion. Seolah publik, seperti dalam banyak contoh kasus di atas, tidak rela jika sukses sepak bola itu diklaim sebagai prestasi pemerintah.
Di sini rasa cemas itu muncul. Ketika ketidakpercayaan publik kepada pemerintah dan para pemimpin tergerus, usaha negara untuk survive dan berdaulat di dunia mendapat ancaman serius. Absensi dan ketidakpercayaan membuat masyarakat semakin tidak peduli kepada pemerintah dan pada akhirnya juga tidak peduli—baca membangkang—semua kebijakannya.
”Tidak peduli pada negara (cq pemerintah)” akan menjadi semangat yang meluas, yang pada titik ekstremnya akan melahirkan kerancuan dan kekacauan pada semua tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran dan cara mengatur hidup akan berlangsung secara komunal atau sektarianistik. Klaim horizontal akan bertaburan, dan perpecahan seperti tinggal menunggu susut sumbu bom waktu.
Pemimpin zuhud
Di bagian lain, semangat ”tidak peduli negara” itu sesungguhnya juga dapat berdampak sangat positif ketika semangat itu dipilin menjadi tekad dan kerja untuk tegaknya kemandirian. Hal ini sungguh akan menciptakan kekuatan luar biasa, bahkan mungkin lebih hebat ketimbang yang diinisiasi oleh pemerintah.
Keberdayaan publik yang mandiri akan menjadi kunci eksplorasi kemampuan dari potensi-potensi terbaik bangsa yang masih terpendam. Inilah mungkin inti wahyu Tuhan dalam Islam yang menyatakan, ”Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum bila bukan kaum itu sendiri yang melakukan.” Kata ”kaum” dalam wahyu ini merujuk pada suatu kolektiva, bukan persona atau katakanlah pemimpin.
Dalam kasus timnas Indonesia, pemain naturalisasi Cristian Gonzales berperan vital. Namun, dengan segala hormat dan terima kasih kepadanya, kerja Gonzales tidak akan berarti tanpa kerja sama 10 orang pribumi dalam timnas. Tanpa mereka, Gonzales tak akan memperoleh umpan untuk menciptakan gol-gol cantik.
Namun, lebih dari itu, ada seorang Alfred Riedl, yang dengan dingin melatih dan mengawasi setiap detik pertandingan. Tak ada luapan emosi berlebihan. Sebuah sikap yang memperlihatkan keprihatinan—semacam asketisme—meditatif, bahwa capaian temporer tidaklah berarti bagi tujuan akhir yang diinginkan. Inilah satu sikap zuhud dari kepemimpinan yang hilang di kalangan pemimpin dan elite kita. Sukses publik tidak begitu saja dipelintir untuk menyelebrasi diri sendiri, seperti yang dilakukan para pejabat lewat iklan.
Sukses dari masyarakat atau bangsa yang mandiri adalah justru stimulator bagi sikap yang lebih prihatin dari seorang pemimpin. Karena ia menyadari betapa tugasnya menjadi lebih berat, dan euforia yang berlebihan justru menyimpan ancaman yang lebih mengerikan.
Tetapi di mana Riedl dalam segelintir elite kita? Di mana Gonzales yang menjadi avant garde semua usaha perbaikan ini? Radhar Panca
Dahana Budayawan
Senin, 20 Desember 2010
MENDOMPLENG citra
komentar soal foto cewek indon dan cowok english pasca indon mengalahkan filipino:
Keluarga Azhari hanya punya satu modal saja untuk jadi public figur, ya body n seksualitas performancenya. Talenta akting BIG ZERO, kecuali utuk blue film, its okey
Winarno, 21/12/2010 19:54:36 wib
Boleh ngelantur komentarnya...
Philipina Kalah itu karena di "sogok" dengan rahma oleh Indonesia...wkwkwkwk
Assyarkhan, 21/12/2010 19:33:04 wib
Sejam Bersama Pelatih Malaysia: Kami Satu-satunya Tim Yang Tak Pakai Naturalisasi
Selasa, 21 Desember 2010 | 14:02 WIB
TEMPO Interaktif, Kualumpur - Minggu, 26 Desember mendatang, Indonesia akan melawan Malaysia dalam final piala AFF. Pertandingan bakal dilangsungkan di Bukit Jalil, Malaysia.
Bagaimana persiapan tim Malaysia melawan Indonesia, Pelatih Timnas Malaysia K. Rajagobal menerima wartawan Tempo, Masrur untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya, Lantai I Wisma FAM (Football Association of Malaysia). Selama hampir satu jam, pelatih kelahiran Selangor 10 Juli 1956 tampak santai menjawab pertanyaan Tempo. Petikannya:
Bagaimana persiapan menghadapi Indonesia di final?
Kami belum membuat persiapan untuk partai final. Karena sepulang dari Vietnam, saya beri mereka waktu libur. Rencananya kami baru mulai berlatih sore ini. Ini adalah latihan pertama kali sepulang dari Vietnam.
Penampilan Malaysia cukup mengejutkan karena bisa masuk final. Tanggapan Anda?
Memang banyak orang yang bertanya tentang keberanian saya menurunkan pemain muda di bawah usia 23 tahun. Satu hal yang mereka tak faham, bahwa saya menurunkan pemain muda ini karena hampir semua pemain utama Timnas Malaysia cedera.
Karenanya, saya tak menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada mereka. Saya hanya meminta mereka untuk bermain baik dan menunjukkan kemampuan optimal.
Apakah ini berarti pemain Timnas Malaysia sekarang adalah tim kelas dua?
Bukan begitu maksud saya. Saya ingin tekankan bahwa Timnas Malaysia sekarang adalah skuad Timnas Malaysia di bawah usia 23 tahun. Saya kenal mereka satu persatu, saya paham mereka luar dalam. Bahkan saya beri kepercayaan kepada mereka untuk menghadapi Manchester United saat MU melakuakn Tour Asia 2009 lalu. Jadi mereka bukan pemain kelas dua.
Poin pernyataan saya tadi adalah ini adalah skuad U-23 Malaysia. Andaikan kami bisa memainkan pemain senior kami. Timnas Malaysia pasti lebih bagus lagi.
Berapa orang Timnas Senior Malaysia yang cedera?
10 orang. Termasuk penjaga gawang Sharbinee Alawie
Anda mempercayakan penuh kepada skuad muda ini?
Ya, inilah skuad terbaik yang kami miliki sekarang. Saya tak pernah membebani mereka dengan target. Karena mereka masih muda, saya hanya minta mereka memberikan permainan terbaik. Toh usia mereka masih antara 19 hingga 21 tahun. Artinya usia emas mereka sekitar empat hingga tahun lagi.
Anda puas dengan penampilan pemain muda Malaysia?
Saya cukup puas dengan permainan mereka. Karena dalam turnamen AFF kali ini cuma Malaysia yang tak menggunakan pemain naturalisasi. Dan ingat, pelatihnya juga asli Malaysia (sambil tertawa).
Maksudnya?
Di tengah maraknya naturalisasi pemain dan pelatih asing yang dilakukan beberapa Timnas lainnya, kami ingin membuktikan bahwa pemain dan pelatih lokal jika diberi kesempatan, akan memberikan hasil yang baik pula. Intinya berikan kepercayaan penuh kepada mereka, jangan direcoki dan jangan dicampuradukkan dengan masalah apapun.
Saya lihat di Asia Tenggara ini sepakbola sering dicampur-campur dengan banyak hal. Kepentingan bisnis-lah, politik-lah. Padahal sepak bola itu suatu olah raga, kita cari kesehatan dan kesenangan.
Penilain tentang Timnas Indonesia?
Indonesia adalah tim yang bagus, mereka punya Gonzales dan Irfan di depan, serta Okto di tengah, juga Maman di belakang. Dalam kejuaraan AFF kali ini mereka juga selalu menang. Cuma semua pertandingan itu selalu di Jakarta. Pembuktiannya sekarang, ketika mereka bermain di luar Jakarta. Apakah mereka juga akan menang seperti halnya bermain dihadapan pendukungnya?
Msrur (Kualalumpur)
Asyik dengan Timnas, Ical Lupa Korban Lumpur Lapindo
Rabu, 22 Desember 2010 - 06:06 wib
Amir Tejo - Okezone
SIDOARJO - Bantuan uang Rp2,5 miliar dan hibah tanah seluas 25 hektare bagi pemain Tim Nasional (Timnas) Indonesia rupanya membuat 'cemburu' korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Mereka kecewa, bos Bakrie Group yang biasa disapa Ical itu tidak memprioritaskan ganti rugi yang belum lunas untuk warga yang berada dalam area terdampak lumpur Lapindo.
"Kami merasa disakiti dengan ulah Bakrie tersebut. Oh, dia ternyata tidak mau lagi bertanggungjawab dengan korban lumpur. Dia sedang asyik dengan sepakbola," kata Saman, warga Desa Jatirejo, Selasa, 21 Desember.
Tak hanya kepada Ical, kekesalan juga ditujukan kepada Andi Darussalam Tabusala, Presiden Direktur PT Liga Indonesia yang sekaligus menjadi Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menjadi juru bayar Lapindo Brantas.
Warga kecewa karena Senin, 13 Desember lalu mereka berunjuk rasa mewakili sekira 12 ribu warga korban lumpur dari empat desa yakni Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo.
Mereka berunjukrasa di kantor Minarak Lapindo Jaya di Jalan Juanda Sidoarjo. Tuntutannya, agar Minarak Lapindo Jaya segera membayar cicilan yang tertunggak selama dua bulan.
"Pada saat itu, Minarak Lapindo Jaya menjanjikan jika Kamis (17 Desember) kemarin sudah ada transferan. Namun kenyataannya hingga kini belum ada. Melihat kelakuan Bakrie tersebut, kami akan kembali mendatangi PT Minarak untuk menagih janji mereka," kata Saman.
Saman mengaku ulah PT Minarak menunggak pembayaran sisa ganti rugi ini bukan kali pertama terjadi. Sebelum Idul Fitri kemarin, bahkan PT Minarak Lapindo Jaya sempat menunggak hingga lima bulan.
"Kami sudah tidak kuat lagi dengan keadaan seperti ini. Saya sudah mempunyai hutang hingga Rp13 juta. Yang parah ada janda tua bernama Solati yang usianya sudah 65 tahun yang harus ditampung di posko korban lumpur. Dia ditampung di posko karena dia hidup sebatang kara. Sedangkan uang 20persennya sudah habis," kata Saman bercerita.
(fer)
Selasa, 21/12/2010 07:35 WIB
Nurdin Halid Dikenal Sebagai 'Tangan Kanan' Ical di Wilayah Timur
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Spekulasi adanya maksud politis di balik jamuan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie terhadap timnas sepakbola Indonesia dinilai semakin kuat mengingat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid juga adalah kader partai beringin. Nurdin bahkan dikenal sebagai 'tangan kanan' Ical di wilayah Timur Indonesia.
"Nurdin Halid itu Koordinator Wilayah Sulawesi DPP Partai Golkar. Dia berjasa buat Golkar di bawah kepemimpinan Pak Ical, memenangkan 60 persen Pilkada di Sulawesi," kata pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).
"Jadi Nurdin memang dikenal sebagai 'tangan kanan' Aburizal Bakrie di wilayah Timur," imbuh Burhan.
Karena itu, lanjut Burhan, sulit untuk memungkiri adanya maksud politis di balik jamuan makan pagi tersebut.
"Nurdin mau tidak mau punya hidden agenda dengan posisi sebagai ketua umum PSSI dan pada saat yang sama sebagai 'tangan kanan' Ical. Dia juga ingin membantu Ical juga untuk mempopulerkan Golkar di kalangan penggemar bola," kata Burhan.
Hal itu, kata Burhan, lantas membuat kredit poin Nurdin di mata Ical semakin tinggi. Tidak hanya berjasa memenangkan jago Golkar di Pilkada, tetapi juga mulai meniti kebangkitan timnas sejak 7 tahun terakhir.
"Lepas dari kontroversi kepemimpinan Nurdin, kita tidak bisa menolak bahwa secara de jure dia adalah ketum saat timas bangkit sekarang," ujar Burhan.
Ical mengundang timnas sepakbola Indonesia bersama jajaran PSSI, termasuk Nurdin Halid, dalam jamuan makan pagi di rumahnya, kawasan Menteng, kemarin.
Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.
"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu yang mengatakan pertemuan diinisiasi oleh PSSI.
(lrn/ddt)
Selasa, 21/12/2010 07:05 WIB
Waktu Timnas Sering Kalah, Kok Tak Ada Pengusaha/Parpol yang Ngundang?
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Jamuan pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, terhadap timnas sepakbola Indonesia di rumahnya, menimbulkan spekulasi adanya maksud politis di balik undangan tersebut. Sebab, saat prestasi timnas terpuruk, tidak ada penguasaha atau parpol yang mengundang Tim Garuda tersebut.
"Kalau waktu timnas sering kalah, kok tidak ada pemimpin partai dan pengusaha yang mengundang untuk memeberi nasihat dan semangat," kata anggota Komisi X (bidang olahraga), Dedi S Gumelar, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).
Namun demikian, Miing, sapaan akrabnya, mengatakan jamuan itu sah-sah saja selama dilakukan atas dasar kepedulian terhadap timnas. Namun, mengingat yang mengundang adalah ketua umum parpol, nuansa politis itu sulit dilepaskan.
Miing menyebut hal itu adalah sebagai kecerdasan elite politik dalam memanfaatkan momentum yang tengah menjadi perhatian publik.
"Numpang beken boleh kali ye," sindir mantan pelawak yang kini politisi PDI Perjuangan itu.
Lebih jauh, Miing juga menilai kehadiran para elite politik dalam pertandingan timnas di Gelora Bung Karno sebagai cara 'mengkapitalisasi' momentum perhatian 80 ribu penonton langsung dan jutaan pasang mata penonton televisi.
"Seperti kehadiran SBY, belum terukur kehadiran SBY menghadirkan semangat yang kuat bagi timnas atau tidak," kata Miing.
Seperti diketahui sejumlah elite politik hadir dalam pertandingan semifinal Piala AFF Suzuki Cup 2010 antara Indonesia dan Filipina. Mereka antara lain Presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan sejumlah elite parpol yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.
"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu
(lrn/ddt)
Pemersatu Bangsa Itu Bernama Sepakbola
TB Ardi Januar
Senin, 20 Desember 2010 - 13:48 wib
MERINDING… Itulah ungkapan yang dapat diutarakan saat berada di tengah kerumunan massa di Stadion Utama Gelora Bung Karno ketika Timnas Indonesia berlaga di ajang Piala AFF 2010 saat ini.
Duduk bersama puluhan ribu orang yang mengenakan warna baju sama merah, teriakan yel-yel kebersamaan yang diiringi brumband atau sekadar botol air mineral kosong membuat jiwa ini seakan bergetar. Terlebih saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, mata pun refleks berkaca-kaca. Sebuah pemandangan yang langka dirasakan.
Apa yang saya rasakan kala itu, mungkin tak jauh beda dengan yang lainnya. Ratusan juta pasang mata mulai menatap kebangkitan Timnas sepakbola Indonesia. Mereka yang sebelumnya awam dengan nama-nama seperti Christian Gonzales, Firman Utina, Oktavianus Maniani, dan Irfan Bachdim, kini mendadak ramai diperbincangkan. Bahkan hingga tayangan infotainment sekalipun.
Gemilangnya prestasi Timnas saat ini seakan membawa angin segar bagi dunia persepakbolaan Tanah Air yang sudah lama puasa gelar. Bayangkan, sejak dihelatnya turnamen Piala AFF (dulu Piala Tiger), Timnas Indonesia tidak pernah keluar menjadi juara satu kali pun. Paling bagus, Timnas hanya bisa menjadi runner up saja.
Padahal, potret sepakbola Tanah Air sebelumnya kerap tercoreng dengan perkelahian antarpemain, penganiayaan kepada wasit, hingga tawuran antarsupporter. Belum lagi, sejumlah klub telah menyedot habis anggaran daerah demi lancarnya roda kompetisi.
Selain itu, cemerlangnya prestasi Timnas Indonesia di AFF 2010 juga telah melahirkan persatuan bangsa. El Loco yang sebelumnya dicap sebagai bintang Persib Bandung, Bambang Pamungkas dari Persija, dan Firman Utina dari Sriwijaya FC, kini menjadi bersatu padu untuk satu nama yakni Indonesia.
Hal ini juga berimbas kepada para supporter di stadion ataupun di luar stadion. Mereka seakan tidak memperdulikan dari mana asal mereka, yang jelas hanya ada satu tujuan yakni mendukung Timnas Indonesia. Pemandangan ini disadari betul oleh Presiden SBY. Seakan tak mau kalah, SBY beserta sejumlah anak buahnya pun hadir langsung ke stadion mendukung Timnas.
Aksi Firman Utina dkk juga menjadi penawar luka dan penghibur lara bagi rakyat Indonesia. Di tahun 2010 ini, Indonesia telah dihantam sederet musibah dan bencana alam. Baik itu gempa bumi di Padang, banjir bandang di Wasior, gelombang tsunami di Mentawai, hingga gunung meletus di Merapi.
Di bidang politik dan hukum, potret Indonesia juga tengah carut marut. Berita soal Gayus Tambunan, soal korupsi pejabat dan wakil rakyat, serta soal pertikaian antara pemerintah pusat dengan rakyat Yogyakarta seperti menjenuhkan pikiran masyarakat. Bayangkan, hampir setiap hari kita dihadapkan dengan hal-hal demikian tanpa diselingi hiburan.
Dengan sepakbola, tidak berlebihan rasanya jika rakyat ingin melupakan sejenak kepenatan yang ada di Tanah Air. Selain itu, memang sudah saatnya pula Indonesia keluar dari keterpurukan, diawali dengan prestasi Timnas Indonesia di ajang AFF 2010.
Dalam waktu dekat, Timnas Indonesia akan tampil dalam laga final melawan “musuh bebuyutan” Malaysia. Mari bersama kita terus dukung Timnas Indonesia dan kita kawal Burung Garuda menuju puncak prestasi. Sudah saatnya Ibu Pertiwi unjuk gigi di muka bumi.
Keluarga Azhari hanya punya satu modal saja untuk jadi public figur, ya body n seksualitas performancenya. Talenta akting BIG ZERO, kecuali utuk blue film, its okey
Winarno, 21/12/2010 19:54:36 wib
Boleh ngelantur komentarnya...
Philipina Kalah itu karena di "sogok" dengan rahma oleh Indonesia...wkwkwkwk
Assyarkhan, 21/12/2010 19:33:04 wib
Sejam Bersama Pelatih Malaysia: Kami Satu-satunya Tim Yang Tak Pakai Naturalisasi
Selasa, 21 Desember 2010 | 14:02 WIB
TEMPO Interaktif, Kualumpur - Minggu, 26 Desember mendatang, Indonesia akan melawan Malaysia dalam final piala AFF. Pertandingan bakal dilangsungkan di Bukit Jalil, Malaysia.
Bagaimana persiapan tim Malaysia melawan Indonesia, Pelatih Timnas Malaysia K. Rajagobal menerima wartawan Tempo, Masrur untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya, Lantai I Wisma FAM (Football Association of Malaysia). Selama hampir satu jam, pelatih kelahiran Selangor 10 Juli 1956 tampak santai menjawab pertanyaan Tempo. Petikannya:
Bagaimana persiapan menghadapi Indonesia di final?
Kami belum membuat persiapan untuk partai final. Karena sepulang dari Vietnam, saya beri mereka waktu libur. Rencananya kami baru mulai berlatih sore ini. Ini adalah latihan pertama kali sepulang dari Vietnam.
Penampilan Malaysia cukup mengejutkan karena bisa masuk final. Tanggapan Anda?
Memang banyak orang yang bertanya tentang keberanian saya menurunkan pemain muda di bawah usia 23 tahun. Satu hal yang mereka tak faham, bahwa saya menurunkan pemain muda ini karena hampir semua pemain utama Timnas Malaysia cedera.
Karenanya, saya tak menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada mereka. Saya hanya meminta mereka untuk bermain baik dan menunjukkan kemampuan optimal.
Apakah ini berarti pemain Timnas Malaysia sekarang adalah tim kelas dua?
Bukan begitu maksud saya. Saya ingin tekankan bahwa Timnas Malaysia sekarang adalah skuad Timnas Malaysia di bawah usia 23 tahun. Saya kenal mereka satu persatu, saya paham mereka luar dalam. Bahkan saya beri kepercayaan kepada mereka untuk menghadapi Manchester United saat MU melakuakn Tour Asia 2009 lalu. Jadi mereka bukan pemain kelas dua.
Poin pernyataan saya tadi adalah ini adalah skuad U-23 Malaysia. Andaikan kami bisa memainkan pemain senior kami. Timnas Malaysia pasti lebih bagus lagi.
Berapa orang Timnas Senior Malaysia yang cedera?
10 orang. Termasuk penjaga gawang Sharbinee Alawie
Anda mempercayakan penuh kepada skuad muda ini?
Ya, inilah skuad terbaik yang kami miliki sekarang. Saya tak pernah membebani mereka dengan target. Karena mereka masih muda, saya hanya minta mereka memberikan permainan terbaik. Toh usia mereka masih antara 19 hingga 21 tahun. Artinya usia emas mereka sekitar empat hingga tahun lagi.
Anda puas dengan penampilan pemain muda Malaysia?
Saya cukup puas dengan permainan mereka. Karena dalam turnamen AFF kali ini cuma Malaysia yang tak menggunakan pemain naturalisasi. Dan ingat, pelatihnya juga asli Malaysia (sambil tertawa).
Maksudnya?
Di tengah maraknya naturalisasi pemain dan pelatih asing yang dilakukan beberapa Timnas lainnya, kami ingin membuktikan bahwa pemain dan pelatih lokal jika diberi kesempatan, akan memberikan hasil yang baik pula. Intinya berikan kepercayaan penuh kepada mereka, jangan direcoki dan jangan dicampuradukkan dengan masalah apapun.
Saya lihat di Asia Tenggara ini sepakbola sering dicampur-campur dengan banyak hal. Kepentingan bisnis-lah, politik-lah. Padahal sepak bola itu suatu olah raga, kita cari kesehatan dan kesenangan.
Penilain tentang Timnas Indonesia?
Indonesia adalah tim yang bagus, mereka punya Gonzales dan Irfan di depan, serta Okto di tengah, juga Maman di belakang. Dalam kejuaraan AFF kali ini mereka juga selalu menang. Cuma semua pertandingan itu selalu di Jakarta. Pembuktiannya sekarang, ketika mereka bermain di luar Jakarta. Apakah mereka juga akan menang seperti halnya bermain dihadapan pendukungnya?
Msrur (Kualalumpur)
Asyik dengan Timnas, Ical Lupa Korban Lumpur Lapindo
Rabu, 22 Desember 2010 - 06:06 wib
Amir Tejo - Okezone
SIDOARJO - Bantuan uang Rp2,5 miliar dan hibah tanah seluas 25 hektare bagi pemain Tim Nasional (Timnas) Indonesia rupanya membuat 'cemburu' korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Mereka kecewa, bos Bakrie Group yang biasa disapa Ical itu tidak memprioritaskan ganti rugi yang belum lunas untuk warga yang berada dalam area terdampak lumpur Lapindo.
"Kami merasa disakiti dengan ulah Bakrie tersebut. Oh, dia ternyata tidak mau lagi bertanggungjawab dengan korban lumpur. Dia sedang asyik dengan sepakbola," kata Saman, warga Desa Jatirejo, Selasa, 21 Desember.
Tak hanya kepada Ical, kekesalan juga ditujukan kepada Andi Darussalam Tabusala, Presiden Direktur PT Liga Indonesia yang sekaligus menjadi Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menjadi juru bayar Lapindo Brantas.
Warga kecewa karena Senin, 13 Desember lalu mereka berunjuk rasa mewakili sekira 12 ribu warga korban lumpur dari empat desa yakni Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo.
Mereka berunjukrasa di kantor Minarak Lapindo Jaya di Jalan Juanda Sidoarjo. Tuntutannya, agar Minarak Lapindo Jaya segera membayar cicilan yang tertunggak selama dua bulan.
"Pada saat itu, Minarak Lapindo Jaya menjanjikan jika Kamis (17 Desember) kemarin sudah ada transferan. Namun kenyataannya hingga kini belum ada. Melihat kelakuan Bakrie tersebut, kami akan kembali mendatangi PT Minarak untuk menagih janji mereka," kata Saman.
Saman mengaku ulah PT Minarak menunggak pembayaran sisa ganti rugi ini bukan kali pertama terjadi. Sebelum Idul Fitri kemarin, bahkan PT Minarak Lapindo Jaya sempat menunggak hingga lima bulan.
"Kami sudah tidak kuat lagi dengan keadaan seperti ini. Saya sudah mempunyai hutang hingga Rp13 juta. Yang parah ada janda tua bernama Solati yang usianya sudah 65 tahun yang harus ditampung di posko korban lumpur. Dia ditampung di posko karena dia hidup sebatang kara. Sedangkan uang 20persennya sudah habis," kata Saman bercerita.
(fer)
Selasa, 21/12/2010 07:35 WIB
Nurdin Halid Dikenal Sebagai 'Tangan Kanan' Ical di Wilayah Timur
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Spekulasi adanya maksud politis di balik jamuan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie terhadap timnas sepakbola Indonesia dinilai semakin kuat mengingat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid juga adalah kader partai beringin. Nurdin bahkan dikenal sebagai 'tangan kanan' Ical di wilayah Timur Indonesia.
"Nurdin Halid itu Koordinator Wilayah Sulawesi DPP Partai Golkar. Dia berjasa buat Golkar di bawah kepemimpinan Pak Ical, memenangkan 60 persen Pilkada di Sulawesi," kata pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).
"Jadi Nurdin memang dikenal sebagai 'tangan kanan' Aburizal Bakrie di wilayah Timur," imbuh Burhan.
Karena itu, lanjut Burhan, sulit untuk memungkiri adanya maksud politis di balik jamuan makan pagi tersebut.
"Nurdin mau tidak mau punya hidden agenda dengan posisi sebagai ketua umum PSSI dan pada saat yang sama sebagai 'tangan kanan' Ical. Dia juga ingin membantu Ical juga untuk mempopulerkan Golkar di kalangan penggemar bola," kata Burhan.
Hal itu, kata Burhan, lantas membuat kredit poin Nurdin di mata Ical semakin tinggi. Tidak hanya berjasa memenangkan jago Golkar di Pilkada, tetapi juga mulai meniti kebangkitan timnas sejak 7 tahun terakhir.
"Lepas dari kontroversi kepemimpinan Nurdin, kita tidak bisa menolak bahwa secara de jure dia adalah ketum saat timas bangkit sekarang," ujar Burhan.
Ical mengundang timnas sepakbola Indonesia bersama jajaran PSSI, termasuk Nurdin Halid, dalam jamuan makan pagi di rumahnya, kawasan Menteng, kemarin.
Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.
"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu yang mengatakan pertemuan diinisiasi oleh PSSI.
(lrn/ddt)
Selasa, 21/12/2010 07:05 WIB
Waktu Timnas Sering Kalah, Kok Tak Ada Pengusaha/Parpol yang Ngundang?
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Jamuan pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, terhadap timnas sepakbola Indonesia di rumahnya, menimbulkan spekulasi adanya maksud politis di balik undangan tersebut. Sebab, saat prestasi timnas terpuruk, tidak ada penguasaha atau parpol yang mengundang Tim Garuda tersebut.
"Kalau waktu timnas sering kalah, kok tidak ada pemimpin partai dan pengusaha yang mengundang untuk memeberi nasihat dan semangat," kata anggota Komisi X (bidang olahraga), Dedi S Gumelar, saat dihubungi detikcom, Selasa (21/12/2010).
Namun demikian, Miing, sapaan akrabnya, mengatakan jamuan itu sah-sah saja selama dilakukan atas dasar kepedulian terhadap timnas. Namun, mengingat yang mengundang adalah ketua umum parpol, nuansa politis itu sulit dilepaskan.
Miing menyebut hal itu adalah sebagai kecerdasan elite politik dalam memanfaatkan momentum yang tengah menjadi perhatian publik.
"Numpang beken boleh kali ye," sindir mantan pelawak yang kini politisi PDI Perjuangan itu.
Lebih jauh, Miing juga menilai kehadiran para elite politik dalam pertandingan timnas di Gelora Bung Karno sebagai cara 'mengkapitalisasi' momentum perhatian 80 ribu penonton langsung dan jutaan pasang mata penonton televisi.
"Seperti kehadiran SBY, belum terukur kehadiran SBY menghadirkan semangat yang kuat bagi timnas atau tidak," kata Miing.
Seperti diketahui sejumlah elite politik hadir dalam pertandingan semifinal Piala AFF Suzuki Cup 2010 antara Indonesia dan Filipina. Mereka antara lain Presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan sejumlah elite parpol yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Juru Bicara Keluarga Bakrie, Lalu Mara, meminta jangan ada politisasi kunjungan timnas Indonesia ke kediaman Ical. Lalu menegaskan kunjungan sepenuhnya hanya silaturahmi Timnas dengan keluarga Bakrie.
"Itu silaturahmi, jangan dipolitisir, seolah-olah ada niatan politik. Buat kami Belanda masih jauh, mari kita berkarya untuk negeri ini," kata Lalu
(lrn/ddt)
Pemersatu Bangsa Itu Bernama Sepakbola
TB Ardi Januar
Senin, 20 Desember 2010 - 13:48 wib
MERINDING… Itulah ungkapan yang dapat diutarakan saat berada di tengah kerumunan massa di Stadion Utama Gelora Bung Karno ketika Timnas Indonesia berlaga di ajang Piala AFF 2010 saat ini.
Duduk bersama puluhan ribu orang yang mengenakan warna baju sama merah, teriakan yel-yel kebersamaan yang diiringi brumband atau sekadar botol air mineral kosong membuat jiwa ini seakan bergetar. Terlebih saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, mata pun refleks berkaca-kaca. Sebuah pemandangan yang langka dirasakan.
Apa yang saya rasakan kala itu, mungkin tak jauh beda dengan yang lainnya. Ratusan juta pasang mata mulai menatap kebangkitan Timnas sepakbola Indonesia. Mereka yang sebelumnya awam dengan nama-nama seperti Christian Gonzales, Firman Utina, Oktavianus Maniani, dan Irfan Bachdim, kini mendadak ramai diperbincangkan. Bahkan hingga tayangan infotainment sekalipun.
Gemilangnya prestasi Timnas saat ini seakan membawa angin segar bagi dunia persepakbolaan Tanah Air yang sudah lama puasa gelar. Bayangkan, sejak dihelatnya turnamen Piala AFF (dulu Piala Tiger), Timnas Indonesia tidak pernah keluar menjadi juara satu kali pun. Paling bagus, Timnas hanya bisa menjadi runner up saja.
Padahal, potret sepakbola Tanah Air sebelumnya kerap tercoreng dengan perkelahian antarpemain, penganiayaan kepada wasit, hingga tawuran antarsupporter. Belum lagi, sejumlah klub telah menyedot habis anggaran daerah demi lancarnya roda kompetisi.
Selain itu, cemerlangnya prestasi Timnas Indonesia di AFF 2010 juga telah melahirkan persatuan bangsa. El Loco yang sebelumnya dicap sebagai bintang Persib Bandung, Bambang Pamungkas dari Persija, dan Firman Utina dari Sriwijaya FC, kini menjadi bersatu padu untuk satu nama yakni Indonesia.
Hal ini juga berimbas kepada para supporter di stadion ataupun di luar stadion. Mereka seakan tidak memperdulikan dari mana asal mereka, yang jelas hanya ada satu tujuan yakni mendukung Timnas Indonesia. Pemandangan ini disadari betul oleh Presiden SBY. Seakan tak mau kalah, SBY beserta sejumlah anak buahnya pun hadir langsung ke stadion mendukung Timnas.
Aksi Firman Utina dkk juga menjadi penawar luka dan penghibur lara bagi rakyat Indonesia. Di tahun 2010 ini, Indonesia telah dihantam sederet musibah dan bencana alam. Baik itu gempa bumi di Padang, banjir bandang di Wasior, gelombang tsunami di Mentawai, hingga gunung meletus di Merapi.
Di bidang politik dan hukum, potret Indonesia juga tengah carut marut. Berita soal Gayus Tambunan, soal korupsi pejabat dan wakil rakyat, serta soal pertikaian antara pemerintah pusat dengan rakyat Yogyakarta seperti menjenuhkan pikiran masyarakat. Bayangkan, hampir setiap hari kita dihadapkan dengan hal-hal demikian tanpa diselingi hiburan.
Dengan sepakbola, tidak berlebihan rasanya jika rakyat ingin melupakan sejenak kepenatan yang ada di Tanah Air. Selain itu, memang sudah saatnya pula Indonesia keluar dari keterpurukan, diawali dengan prestasi Timnas Indonesia di ajang AFF 2010.
Dalam waktu dekat, Timnas Indonesia akan tampil dalam laga final melawan “musuh bebuyutan” Malaysia. Mari bersama kita terus dukung Timnas Indonesia dan kita kawal Burung Garuda menuju puncak prestasi. Sudah saatnya Ibu Pertiwi unjuk gigi di muka bumi.
Kamis, 16 Desember 2010
Maarif yang arif
Syafii Maarif: Pemimpin Harus Bekerja dengan Hati
Senin, 6 Desember 2010 - 13:24 wib
DI usianya yang sudah 75 tahun, aktivitas dan konsistensi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif nyaris tidak berkurang. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (2000–2005) ini tetap fasih melahirkan gagasan segar, lantang melontarkan kritik, dan bersemangat dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran baru.
Ini yang ditangkap ketika lebih dari dua jam berbincang dengan cendekiawan muslim itu di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta, awal pekan kemarin. Mulai dari masalah demokrasi dan pemerintahan, penegakan hukum, pluralisme hingga tentang rencana film yang mengangkat kisah perjalanan hidupnya.
Berikut ini petikannya. Assalamualaikum Buya. Apa kabar?
Waalaikumsalam. Alhamdulillahkabar baik dan sehat.
Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktivitas Buya masih tetap padat seperti dulu. Tidakkah merasa kewalahan?
Aktivitas saya memang boleh dibilang masih padat. Tapi sebenarnya banyak juga yang sudah dikurangi dan dipilah-pilah meski tetap saja rasanya sangat padat. Banyak undangan mengisi seminar, sebagai dosen, dan lain-lain yang saya kurangi. Usia menyesuaikan dengan beban aktivitas, makanya kehidupan saya kelihatan tetap berjalan normal.
Buya dikenal sebagai salah satu tokoh yang kritis terhadap pemerintahan, bagaimana Buya melihat pemerintahan saat ini?
Saya selalu mengikuti perkembangan pemerintahan dan tetap mengkritisi pemerintahan Indonesia kalau memang salah menurut pandangan saya. Tapi yang menjadi masalah apakah masih ada yang mau mendengarkan saya. Mudah-mudahan masih ada yang mau mendengar. Saya memberi kritik untuk membangun. Sekarang tanpa disadari, kita sudah demokratis benar-benar.
Pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemerdekaan pers dan sebagainya. Tapi sayangnya kondisi ini tidak diikuti sikap kepemimpinan bangsa yang tegas dan cepat mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih langsung dan memiliki legitimasi kuat, tapi ini tidak dijawab atau diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Saya katakan hampir 76% kebijakan pemerintah yang diarahkan SBY tidak jalan.
Mengapa hal ini terjadi?
Ya karena pembantu-pembantu SBY ikut-ikutan tidak sigap. Banyak sekali pembantu dan orang sekeliling SBY yang tidak jelas kerjaannya. Sekarang dibentuk Satgas (Mafia Hukum), lalu ada Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada menteri-menteri, juga ada wakil menteri. Untuk apa banyak-banyak seperti ini, hanya menghabiskan uang saja saya lihat.
Seharusnya bagaimana?
Pemerintah, khususnya SBY sebagai pemimpin, harusnya bisa menempatkan diri sebagai pemimpin dan negarawan. Harus bersikap tegas dan cermat dalam mengambil keputusan agar diikuti pembantu-pembantunya. Perlu kearifan yang dikawinkan dengan ketegasan. Kalau sudah begini baru bisa jalan agenda bangsa. Membangun perekonomian, taat hukum, dan semuanya. Sekarang kan hanya seperti memperlihatkan kearifan saja, tapi praktiknya banyak yang tidak jalan.
Bagaimana dengan kepemimpinan nasional ke depan?
Yang jelas diperlukan seorang pemimpin bangsa yang negarawan, inilah kenapa kemarin saya mendukung Jusuf Kalla (JK). Saya rasa Pak JK cocok memimpin negeri ini. Lihat saja PMI sekarang, dengan masuknya beliau menjadi semakin bagus. Kinerjanya kelihatan dan ada geliat yang membuat masyarakat bersemangat.
Soal ketidaktegasan pemerintah ini, apakah Buya melihat kekecewaan rakyat juga?
Saya bisa merasakan bahwa rakyat kecewa pada pemerintah. Rakyat kita kuat, bisa berbesar hati, dan tabah menghadapi cobaan. Pernah saya saat makan di warung, ada bapak-bapak petani mengatakan bahwa pemerintah kok lembek dan seperti terlalu menikmati jabatan saja. Saya melihat ucapan ini tulus sehingga bisa saya dengar dengan hati. Artinya rakyat juga banyak kecewa.
Membicarakan eksekutif tidak bisa dipisahkan dengan legislatif. Apakah dalam pandangan Buya DPR sudah menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya?
Yah... politisi kita sama saja.Tidak mau belajar untuk memosisikan diri sebagai negarawan. Malah aneh-aneh saja kelakuannya. Pergi ke Yunani belajar etika, ke Austria atau ke mana lagi. Padahal kan zaman sekarang sudah canggih. Buka internet saja sudah keluar semua ilmu-ilmu etika dari Yunani. Mau etika Aristoteles, Socrates juga ada.
Bila dikaji, sebenarnya apa yang mendasari perilaku sebagian besar politisi seperti itu?
Ya karena politisi kita terlalu berpikir pragmatis. Ini mungkin ada kaitan juga dengan sistem demokrasi kita melalui pilkada dan pemilu. Biayanya kan mahal sekali untuk itu. Kemudian soal partai kadang juga berpikir pragmatis saja. Memikirkan kepentingan sesaat.
Berarti pemimpin dan pejabat kita harus dirombak?
Sikap dan gaya memimpinnya yang harus diubah. Kita, Indonesia, butuh pemimpin yang lebih cerdas dan memimpin dengan hati. Kita butuh sosok negarawan yang pintar dan berani. Memadukan kecerdasan dan hati serta ketegasan. Pemimpin dan pejabat yang mengambil keputusan harus peka terhadap segalanya.
Termasuk soal penegakan hukum yang masih amburdul, perlukah perombakan radikal?
Lihat saja mafia hukum merajalela. Korupsi seperti penyakit kambuhan yang makin parah. Tapi ya itu tadi, tidak ada langkah maju dari pemerintah dan DPR untuk mengatasi ini. Dulu tahun 2002 KPK dibentuk untuk mengambil alih penegakan hukum korupsi yang tidak bisa dijalankan kepolisian dan kejaksaan. Tapi saya tidak mengerti kenapa sekarang lembaga KPK malah mau dilemahkan kewenangannya. Jadi kesimpulan saya, tidak ada konsistensi terhadap pembangunan bangsa kita ini.
Tapi kan banyak juga pengambil kebijakan kita yang berasal dari kalangan partai-partai Islam?
Partai-partai Islam tidak ada bedanya dengan partai lain, terutama terkait kelakuan anggota partainya. Ini terjadi karena proses internalisasi nilai agama kepada para anggota dan kader partai Islam tidak ada. Ini harus dievaluasi. Masalah negara kita sudah parah sekali. Belum selesai ini, muncul penganiayaan TKI di negara lain. Rasanya sakit hati kita karena bangsa kita seperti tidak punya martabat.
Sebagai tokoh agama yang dikenal pluralis, bagaimana Buya melihat banyaknya kekerasan dalam beragama atau yang mengatasnamakan agama?
Itu memang PR kita sebagai negara demokratis. Kita sudah sepakat melihat dan menghormati perbedaan sebagai kekayaan negara. Seharusnya semua pihak menjadikan pemahaman agama sebagai rahmatan lil alamiin.Tidak merusak, tidak anarkistis. Kita harus bertoleransi terhadap sesama dan hidup berdampingan tanpa saling melecehkan. Pemahaman ini yang ingin selalu saya sampaikan.
Tapi kondisi ideal tak selalu terjadi. Misalnya, kasus Ahmadiyah?
Itu menurut saya karena belum ada keputusan tegas dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah ini. Menteri Agama bilang dibubarkan, tapi yang lain bilang tidak. Selain itu, kasus Ahmadiyah ini kan memiliki dimensi internasional juga seperti tekanan dari Kerajaan Arab Saudi, kemudian pengaruh India juga ada. Cukup kompleks memang.
Ahmadiyah itu sebenarnya bagaimana?
Teologi Ahmadiyah saya tidak mengerti benar ya. Saya tidak suka teologi mereka. Tapi asal mereka tidak mengganggu, kenapa harus dikerasi? Di sisi lain mereka (Ahmadiyah) juga salah karena terlalu eksklusif. Tidak mau terbuka dalam pergaulan sehingga banyak juga pihak yang marah karena itu. Saya meminta agar ada ketegasan saja dari pemerintah, Kementerian Agama terutama. Bagaimana status Ahmadiyah ini. Kalau jelas kan masyarakat tidak akan main hakim sendiri.
Buya sering dikatakan sebagai penganut Islam liberal. Bagaimana merespons ini?
Haha… saya biasa dibilang liberal, bahkan ada yang bilang antek Zionis. Saya tidak masalah karena saya sendiri tahu apa yang saya sampaikan. Sebab dalam pandangan sebagian orang, mungkin saya memang liberal dalam hal agama. Tapi saya tentu memiliki dasar dan landasan untuk memandang Islam sebagai rahmatan lil alamiin.
Berarti soal perdebatan pemikiran biasa terjadi seperti itu?
Memang begitu. Kalau soal tuduhan liberal akibat pemikiran dan pandangan saya, itu tidak ada masalah dan biasa saya alami. Tapi yang tidak bisa diterima adalah kalau saya dituduh melakukan kejahatan. Seperti korupsi, misalnya. Sekarang kan aneh-aneh orang dan kadang tega menuduh seperti itu, padahal ini menyangkut kredibilitas orang lain.
Buya tentu mencermati perdebatan tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta yang terus menghangat sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana sisi keistimewaan Yogya tersebut?
Saya menilai Presiden SBY kurang arif dan bijaksana saat melontarkan pernyataan terkait keistimewaan Yogyakarta. Apalagi wacana ini muncul pada waktu yang tidak tepat. Karena masih banyak masalah bangsa yang lebih penting, kenapa ini disinggung? Jika permasalahan ini terus dibahas, maka hanya akan menimbulkan pro-kontra yang akhirnya akan menguras tenaga.
Soal monarki atau demokrasi?
Kekuasaan Sultan kan hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur kan Sultan juga perwakilan pemerintah pusat yang juga harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?
Soal serentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia, bagaimana menurut Buya?
Negara kita memang dihantam bencana alam bertubi-tubi, ada gempa bumi, longsor, letusan gunung. Itu semua secara intens disiarkan di televisi dan diberitakan di koran-koran.Tapi secara bersamaan juga banyak bencana kasus yang dilakukan manusia. Ada penggelapan pajak, korupsi, yang tidak mau kalah dan tidak habis-habisnya. Pemerintah dan pejabat sepertinya tidak bisa merespons bencana-bencana ini dengan mencari jalan keluar secara cepat.
Dengan berbagai faktor itu, yakinkah Indonesia dapat segera keluar dari berbagai masalah?
Saya orang yang optimistis. Tapi syaratnya ya itu tadi. Semua perubahan dan perbaikan harus dimulai dari pucuk pimpinan. Kalau pimpinan masih tidak tegas dan tangkas bekerja dan memberi arahan, maka masalah bangsa juga lambat selesainya. Kita semua berharap masalah-masalah bangsa cepat selesai.
Kembali ke soal pemikiran-pemikiran Buya, itu tidak lepas dari perjalanan panjang dari tempat kelahiran hingga ke tanah perantauan. Bisa sedikit dikisahkan?
Di kampung, sejak kecil saya termasuk banyak mendapat gemblengan agama Islam yang kuat. Sekolah saya pertama Ibtidaiyah Sumpurkudus (Sumatera Barat). Kemudian merantau ke Yogyakarta, sekolah saya di madrasah muallimin pertama kali merantau. Itu masa-masa rakyat Indonesia susah dan saya merasakan benar bagaimana saat susah itu. Pada zaman penjajahan Belanda juga saya sudah tahu, tapi masih di kampung.
Apakah karena tekad dan keberanian ini yang akhirnya banyak orang Minang sukses?
Kata orang, kan ada tiga tujuan orang Minang merantau, pertama, mencari harta dengan menjadi pedagang, kemudian mencari ilmu, dan ketiga mencari pekerjaan dan menjadi pejabat. Di setiap tujuan. Ini pasti ada yang sukses dan ada juga yang gagal. Nah dalam perantauan ini, memang banyak orang Minang yang berhasil, misalnya menjadi saudagar, pedagang, menjadi pejabat, atau intelektual. Tapi kan tidak sedikit juga yang bisa dibilang tidak berhasil. Jadi sopir angkot, menjadi pencopet juga ada orang Minang. Tergantung nasib.
Hingga saat ini, apakah ada cita-cita yang belum kesampaian? Atau mungkin waktu kecil Buya punya cita-cita berbeda dengan yang sekarang diraih?
Saya ini anak desa.T erpencil pula. Saya lahir di Sumpurkudus , Kabupaten Sijunjung. Ini desa yang terpencil, tidak ada listrik, jalan sulit dan berliku-liku dan itu pada zaman-zaman Indonesia belum merdeka dan negara kita masih muda. Jangankan cita-cita besar, nonton TV atau baca koran saja mungkin tidak tahu saya dulu. Orang dari kampung, menjadi pedagang di tingkat kecamatan saja mungkin sudah prestasi besar dalam pikiran saya waktu kecil.
Kabarnya, kisah liku-liku hidup Buya ini akan dibuat film. Kisahnya menarik, termasuk seperti cerita buku “si anak panah”?
Kalau soal ini (film) saya tidak tahu, makanya saya tidak bisa berkomentar. Itu kerjaannya teman-teman di Maarif Institute. Tanya kepada mereka saja. Saya tidak ikut soal film.
Aktivitas keseharian sekarang ini lebih banyak di mana?
Kadang saya di Yogyakarta. Rumah saya kan di sana dan banyak kegiatan saya di sana. Di Jakarta juga sering. Bahkan dalam seminggu saya sering bolak-balik Yogya– Jakarta. Makanya, poin bayaran saya kalau mau dipikir untuk di pesawat Garuda sangat banyak. Hahaha….
Lebih senang di Jakarta atau Yogyakarta?
Kalau soal kenyamanan, Yogya tentu masih lebih segar. Kalau Jakarta sudah banyak polusi, macet. Malah saya kira lama-lama sudah tidak layak Ibu Kota kalau terus begini. Karena itu saya cenderung melihat bahwa peluang jika Ibu Kota dipindah sangat besar. Tentunya secara bertahap dan pelan-pelan. Beda kalau di Yogya, rumah saya memang di sana yang saya tempati sejak merantau dulu, di daerah Nogotirto, Gamping.
Punya rencana pensiun dari semua aktivitas?
Saya biasa bekerja mengalir saja.Nanti kalau sudah saatnya kan pasti berhenti juga. Kalau sekarang kanmulai mengurangi dulu. Banyak sekali undangan dan permintaan mengisi seminar, mengajar. Tapi banyak yang saya tolak. Pengurangan seperti itu yang saya lakukan.
Terakhir, bagaimana agar Indonesia segera berubah?
Saya berharap pemerintah bekerja dengan baik, tegas, dan benar- benar demi kebaikan bangsa. Bekerja dengan pikiran dan hati. Kemudian rakyat Indonesia juga harus mengabdi dengan jalan apa saja.Pengabdian itu kan bisa dilakukan dengan profesi apa saja. Niatkan ibadah dan ikhlas.
Nama : Prof Dr Syafii Maarif
Lahir : Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Agama : Islam
Istri : Hajjah Nurkholifah
Pendidikan :
1. SR Sumpurkudus 1947
2. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpurkudus
3. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau
4. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta 1956
5. Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto, Surakarta, 1964
6. Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta, 1968
7. Jurusan Sejarah Ohio University, Amerika Serikat, MA, 1980
8. Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, Ph.D, 1983(Koran SI/Koran SI/mbs)
Senin, 6 Desember 2010 - 13:24 wib
DI usianya yang sudah 75 tahun, aktivitas dan konsistensi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif nyaris tidak berkurang. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (2000–2005) ini tetap fasih melahirkan gagasan segar, lantang melontarkan kritik, dan bersemangat dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran baru.
Ini yang ditangkap ketika lebih dari dua jam berbincang dengan cendekiawan muslim itu di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta, awal pekan kemarin. Mulai dari masalah demokrasi dan pemerintahan, penegakan hukum, pluralisme hingga tentang rencana film yang mengangkat kisah perjalanan hidupnya.
Berikut ini petikannya. Assalamualaikum Buya. Apa kabar?
Waalaikumsalam. Alhamdulillahkabar baik dan sehat.
Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktivitas Buya masih tetap padat seperti dulu. Tidakkah merasa kewalahan?
Aktivitas saya memang boleh dibilang masih padat. Tapi sebenarnya banyak juga yang sudah dikurangi dan dipilah-pilah meski tetap saja rasanya sangat padat. Banyak undangan mengisi seminar, sebagai dosen, dan lain-lain yang saya kurangi. Usia menyesuaikan dengan beban aktivitas, makanya kehidupan saya kelihatan tetap berjalan normal.
Buya dikenal sebagai salah satu tokoh yang kritis terhadap pemerintahan, bagaimana Buya melihat pemerintahan saat ini?
Saya selalu mengikuti perkembangan pemerintahan dan tetap mengkritisi pemerintahan Indonesia kalau memang salah menurut pandangan saya. Tapi yang menjadi masalah apakah masih ada yang mau mendengarkan saya. Mudah-mudahan masih ada yang mau mendengar. Saya memberi kritik untuk membangun. Sekarang tanpa disadari, kita sudah demokratis benar-benar.
Pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemerdekaan pers dan sebagainya. Tapi sayangnya kondisi ini tidak diikuti sikap kepemimpinan bangsa yang tegas dan cepat mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih langsung dan memiliki legitimasi kuat, tapi ini tidak dijawab atau diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Saya katakan hampir 76% kebijakan pemerintah yang diarahkan SBY tidak jalan.
Mengapa hal ini terjadi?
Ya karena pembantu-pembantu SBY ikut-ikutan tidak sigap. Banyak sekali pembantu dan orang sekeliling SBY yang tidak jelas kerjaannya. Sekarang dibentuk Satgas (Mafia Hukum), lalu ada Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada menteri-menteri, juga ada wakil menteri. Untuk apa banyak-banyak seperti ini, hanya menghabiskan uang saja saya lihat.
Seharusnya bagaimana?
Pemerintah, khususnya SBY sebagai pemimpin, harusnya bisa menempatkan diri sebagai pemimpin dan negarawan. Harus bersikap tegas dan cermat dalam mengambil keputusan agar diikuti pembantu-pembantunya. Perlu kearifan yang dikawinkan dengan ketegasan. Kalau sudah begini baru bisa jalan agenda bangsa. Membangun perekonomian, taat hukum, dan semuanya. Sekarang kan hanya seperti memperlihatkan kearifan saja, tapi praktiknya banyak yang tidak jalan.
Bagaimana dengan kepemimpinan nasional ke depan?
Yang jelas diperlukan seorang pemimpin bangsa yang negarawan, inilah kenapa kemarin saya mendukung Jusuf Kalla (JK). Saya rasa Pak JK cocok memimpin negeri ini. Lihat saja PMI sekarang, dengan masuknya beliau menjadi semakin bagus. Kinerjanya kelihatan dan ada geliat yang membuat masyarakat bersemangat.
Soal ketidaktegasan pemerintah ini, apakah Buya melihat kekecewaan rakyat juga?
Saya bisa merasakan bahwa rakyat kecewa pada pemerintah. Rakyat kita kuat, bisa berbesar hati, dan tabah menghadapi cobaan. Pernah saya saat makan di warung, ada bapak-bapak petani mengatakan bahwa pemerintah kok lembek dan seperti terlalu menikmati jabatan saja. Saya melihat ucapan ini tulus sehingga bisa saya dengar dengan hati. Artinya rakyat juga banyak kecewa.
Membicarakan eksekutif tidak bisa dipisahkan dengan legislatif. Apakah dalam pandangan Buya DPR sudah menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya?
Yah... politisi kita sama saja.Tidak mau belajar untuk memosisikan diri sebagai negarawan. Malah aneh-aneh saja kelakuannya. Pergi ke Yunani belajar etika, ke Austria atau ke mana lagi. Padahal kan zaman sekarang sudah canggih. Buka internet saja sudah keluar semua ilmu-ilmu etika dari Yunani. Mau etika Aristoteles, Socrates juga ada.
Bila dikaji, sebenarnya apa yang mendasari perilaku sebagian besar politisi seperti itu?
Ya karena politisi kita terlalu berpikir pragmatis. Ini mungkin ada kaitan juga dengan sistem demokrasi kita melalui pilkada dan pemilu. Biayanya kan mahal sekali untuk itu. Kemudian soal partai kadang juga berpikir pragmatis saja. Memikirkan kepentingan sesaat.
Berarti pemimpin dan pejabat kita harus dirombak?
Sikap dan gaya memimpinnya yang harus diubah. Kita, Indonesia, butuh pemimpin yang lebih cerdas dan memimpin dengan hati. Kita butuh sosok negarawan yang pintar dan berani. Memadukan kecerdasan dan hati serta ketegasan. Pemimpin dan pejabat yang mengambil keputusan harus peka terhadap segalanya.
Termasuk soal penegakan hukum yang masih amburdul, perlukah perombakan radikal?
Lihat saja mafia hukum merajalela. Korupsi seperti penyakit kambuhan yang makin parah. Tapi ya itu tadi, tidak ada langkah maju dari pemerintah dan DPR untuk mengatasi ini. Dulu tahun 2002 KPK dibentuk untuk mengambil alih penegakan hukum korupsi yang tidak bisa dijalankan kepolisian dan kejaksaan. Tapi saya tidak mengerti kenapa sekarang lembaga KPK malah mau dilemahkan kewenangannya. Jadi kesimpulan saya, tidak ada konsistensi terhadap pembangunan bangsa kita ini.
Tapi kan banyak juga pengambil kebijakan kita yang berasal dari kalangan partai-partai Islam?
Partai-partai Islam tidak ada bedanya dengan partai lain, terutama terkait kelakuan anggota partainya. Ini terjadi karena proses internalisasi nilai agama kepada para anggota dan kader partai Islam tidak ada. Ini harus dievaluasi. Masalah negara kita sudah parah sekali. Belum selesai ini, muncul penganiayaan TKI di negara lain. Rasanya sakit hati kita karena bangsa kita seperti tidak punya martabat.
Sebagai tokoh agama yang dikenal pluralis, bagaimana Buya melihat banyaknya kekerasan dalam beragama atau yang mengatasnamakan agama?
Itu memang PR kita sebagai negara demokratis. Kita sudah sepakat melihat dan menghormati perbedaan sebagai kekayaan negara. Seharusnya semua pihak menjadikan pemahaman agama sebagai rahmatan lil alamiin.Tidak merusak, tidak anarkistis. Kita harus bertoleransi terhadap sesama dan hidup berdampingan tanpa saling melecehkan. Pemahaman ini yang ingin selalu saya sampaikan.
Tapi kondisi ideal tak selalu terjadi. Misalnya, kasus Ahmadiyah?
Itu menurut saya karena belum ada keputusan tegas dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah ini. Menteri Agama bilang dibubarkan, tapi yang lain bilang tidak. Selain itu, kasus Ahmadiyah ini kan memiliki dimensi internasional juga seperti tekanan dari Kerajaan Arab Saudi, kemudian pengaruh India juga ada. Cukup kompleks memang.
Ahmadiyah itu sebenarnya bagaimana?
Teologi Ahmadiyah saya tidak mengerti benar ya. Saya tidak suka teologi mereka. Tapi asal mereka tidak mengganggu, kenapa harus dikerasi? Di sisi lain mereka (Ahmadiyah) juga salah karena terlalu eksklusif. Tidak mau terbuka dalam pergaulan sehingga banyak juga pihak yang marah karena itu. Saya meminta agar ada ketegasan saja dari pemerintah, Kementerian Agama terutama. Bagaimana status Ahmadiyah ini. Kalau jelas kan masyarakat tidak akan main hakim sendiri.
Buya sering dikatakan sebagai penganut Islam liberal. Bagaimana merespons ini?
Haha… saya biasa dibilang liberal, bahkan ada yang bilang antek Zionis. Saya tidak masalah karena saya sendiri tahu apa yang saya sampaikan. Sebab dalam pandangan sebagian orang, mungkin saya memang liberal dalam hal agama. Tapi saya tentu memiliki dasar dan landasan untuk memandang Islam sebagai rahmatan lil alamiin.
Berarti soal perdebatan pemikiran biasa terjadi seperti itu?
Memang begitu. Kalau soal tuduhan liberal akibat pemikiran dan pandangan saya, itu tidak ada masalah dan biasa saya alami. Tapi yang tidak bisa diterima adalah kalau saya dituduh melakukan kejahatan. Seperti korupsi, misalnya. Sekarang kan aneh-aneh orang dan kadang tega menuduh seperti itu, padahal ini menyangkut kredibilitas orang lain.
Buya tentu mencermati perdebatan tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta yang terus menghangat sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana sisi keistimewaan Yogya tersebut?
Saya menilai Presiden SBY kurang arif dan bijaksana saat melontarkan pernyataan terkait keistimewaan Yogyakarta. Apalagi wacana ini muncul pada waktu yang tidak tepat. Karena masih banyak masalah bangsa yang lebih penting, kenapa ini disinggung? Jika permasalahan ini terus dibahas, maka hanya akan menimbulkan pro-kontra yang akhirnya akan menguras tenaga.
Soal monarki atau demokrasi?
Kekuasaan Sultan kan hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur kan Sultan juga perwakilan pemerintah pusat yang juga harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?
Soal serentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia, bagaimana menurut Buya?
Negara kita memang dihantam bencana alam bertubi-tubi, ada gempa bumi, longsor, letusan gunung. Itu semua secara intens disiarkan di televisi dan diberitakan di koran-koran.Tapi secara bersamaan juga banyak bencana kasus yang dilakukan manusia. Ada penggelapan pajak, korupsi, yang tidak mau kalah dan tidak habis-habisnya. Pemerintah dan pejabat sepertinya tidak bisa merespons bencana-bencana ini dengan mencari jalan keluar secara cepat.
Dengan berbagai faktor itu, yakinkah Indonesia dapat segera keluar dari berbagai masalah?
Saya orang yang optimistis. Tapi syaratnya ya itu tadi. Semua perubahan dan perbaikan harus dimulai dari pucuk pimpinan. Kalau pimpinan masih tidak tegas dan tangkas bekerja dan memberi arahan, maka masalah bangsa juga lambat selesainya. Kita semua berharap masalah-masalah bangsa cepat selesai.
Kembali ke soal pemikiran-pemikiran Buya, itu tidak lepas dari perjalanan panjang dari tempat kelahiran hingga ke tanah perantauan. Bisa sedikit dikisahkan?
Di kampung, sejak kecil saya termasuk banyak mendapat gemblengan agama Islam yang kuat. Sekolah saya pertama Ibtidaiyah Sumpurkudus (Sumatera Barat). Kemudian merantau ke Yogyakarta, sekolah saya di madrasah muallimin pertama kali merantau. Itu masa-masa rakyat Indonesia susah dan saya merasakan benar bagaimana saat susah itu. Pada zaman penjajahan Belanda juga saya sudah tahu, tapi masih di kampung.
Apakah karena tekad dan keberanian ini yang akhirnya banyak orang Minang sukses?
Kata orang, kan ada tiga tujuan orang Minang merantau, pertama, mencari harta dengan menjadi pedagang, kemudian mencari ilmu, dan ketiga mencari pekerjaan dan menjadi pejabat. Di setiap tujuan. Ini pasti ada yang sukses dan ada juga yang gagal. Nah dalam perantauan ini, memang banyak orang Minang yang berhasil, misalnya menjadi saudagar, pedagang, menjadi pejabat, atau intelektual. Tapi kan tidak sedikit juga yang bisa dibilang tidak berhasil. Jadi sopir angkot, menjadi pencopet juga ada orang Minang. Tergantung nasib.
Hingga saat ini, apakah ada cita-cita yang belum kesampaian? Atau mungkin waktu kecil Buya punya cita-cita berbeda dengan yang sekarang diraih?
Saya ini anak desa.T erpencil pula. Saya lahir di Sumpurkudus , Kabupaten Sijunjung. Ini desa yang terpencil, tidak ada listrik, jalan sulit dan berliku-liku dan itu pada zaman-zaman Indonesia belum merdeka dan negara kita masih muda. Jangankan cita-cita besar, nonton TV atau baca koran saja mungkin tidak tahu saya dulu. Orang dari kampung, menjadi pedagang di tingkat kecamatan saja mungkin sudah prestasi besar dalam pikiran saya waktu kecil.
Kabarnya, kisah liku-liku hidup Buya ini akan dibuat film. Kisahnya menarik, termasuk seperti cerita buku “si anak panah”?
Kalau soal ini (film) saya tidak tahu, makanya saya tidak bisa berkomentar. Itu kerjaannya teman-teman di Maarif Institute. Tanya kepada mereka saja. Saya tidak ikut soal film.
Aktivitas keseharian sekarang ini lebih banyak di mana?
Kadang saya di Yogyakarta. Rumah saya kan di sana dan banyak kegiatan saya di sana. Di Jakarta juga sering. Bahkan dalam seminggu saya sering bolak-balik Yogya– Jakarta. Makanya, poin bayaran saya kalau mau dipikir untuk di pesawat Garuda sangat banyak. Hahaha….
Lebih senang di Jakarta atau Yogyakarta?
Kalau soal kenyamanan, Yogya tentu masih lebih segar. Kalau Jakarta sudah banyak polusi, macet. Malah saya kira lama-lama sudah tidak layak Ibu Kota kalau terus begini. Karena itu saya cenderung melihat bahwa peluang jika Ibu Kota dipindah sangat besar. Tentunya secara bertahap dan pelan-pelan. Beda kalau di Yogya, rumah saya memang di sana yang saya tempati sejak merantau dulu, di daerah Nogotirto, Gamping.
Punya rencana pensiun dari semua aktivitas?
Saya biasa bekerja mengalir saja.Nanti kalau sudah saatnya kan pasti berhenti juga. Kalau sekarang kanmulai mengurangi dulu. Banyak sekali undangan dan permintaan mengisi seminar, mengajar. Tapi banyak yang saya tolak. Pengurangan seperti itu yang saya lakukan.
Terakhir, bagaimana agar Indonesia segera berubah?
Saya berharap pemerintah bekerja dengan baik, tegas, dan benar- benar demi kebaikan bangsa. Bekerja dengan pikiran dan hati. Kemudian rakyat Indonesia juga harus mengabdi dengan jalan apa saja.Pengabdian itu kan bisa dilakukan dengan profesi apa saja. Niatkan ibadah dan ikhlas.
Nama : Prof Dr Syafii Maarif
Lahir : Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Agama : Islam
Istri : Hajjah Nurkholifah
Pendidikan :
1. SR Sumpurkudus 1947
2. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpurkudus
3. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau
4. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta 1956
5. Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto, Surakarta, 1964
6. Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta, 1968
7. Jurusan Sejarah Ohio University, Amerika Serikat, MA, 1980
8. Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, Ph.D, 1983(Koran SI/Koran SI/mbs)
Jumat, 10 Desember 2010
martir kristiani menangis
Inilah Derita Warga Kristen Irak
Sabtu, 11 Desember 2010 | 06:55 WIB
CNN
BAGHDAD, KOMPAS.com — Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu, ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia tidak juga ke gereja.
Pada hari itu kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera, lalu menewaskan 51 umat dan 2 imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang pastor Katolik berusia 27 tahun, tidak.
Butros, Kamis (9/12/2010), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan tersebut, masa berkabung yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.
Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang, katanya, sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini. Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang tewas dan terluka dalam serangan itu.
Keamanan sangat ketat di tempat tersbeut, Kamis, yang diserbu para penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera umat yang hadir selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh banyak orang Kristen.
Jendela-jendela, yang hancur karena tiga pengeboman bunuh diri meledakkan rompi mereka saat dikepung pasukan keamanan, tetap rusak. Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja yang hangus itu. Bercak darah juga masih menodai langit-langit.
Sebuah poster besar berisi foto-foto para korban tergantung di luar. Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocah berusia tiga tahun ada di antara mereka.
Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya. Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi. Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.
Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya yang masih hidup. "Putri saya menolak masuk perguruan tinggi. Dia takut terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak," katanya.
Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak pengepungan dan serangkaian pengeboman dan pembunuhan yang terjadi, yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, melainkan juga di rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.
Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi target dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Ke mana kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60 tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis.
Sabtu, 11 Desember 2010 | 06:55 WIB
CNN
BAGHDAD, KOMPAS.com — Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu, ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia tidak juga ke gereja.
Pada hari itu kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera, lalu menewaskan 51 umat dan 2 imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang pastor Katolik berusia 27 tahun, tidak.
Butros, Kamis (9/12/2010), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan tersebut, masa berkabung yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.
Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang, katanya, sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini. Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang tewas dan terluka dalam serangan itu.
Keamanan sangat ketat di tempat tersbeut, Kamis, yang diserbu para penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera umat yang hadir selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh banyak orang Kristen.
Jendela-jendela, yang hancur karena tiga pengeboman bunuh diri meledakkan rompi mereka saat dikepung pasukan keamanan, tetap rusak. Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja yang hangus itu. Bercak darah juga masih menodai langit-langit.
Sebuah poster besar berisi foto-foto para korban tergantung di luar. Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocah berusia tiga tahun ada di antara mereka.
Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya. Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi. Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.
Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya yang masih hidup. "Putri saya menolak masuk perguruan tinggi. Dia takut terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak," katanya.
Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak pengepungan dan serangkaian pengeboman dan pembunuhan yang terjadi, yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, melainkan juga di rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.
Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi target dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Ke mana kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60 tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis.
Langganan:
Postingan (Atom)