Menghadapi Blog yang Menista Agama
2010 | Wicaksono
Kekesalan bisa memicu kegemparan. Begitulah pelajaran yang saya dapat dari sebuah blog yang muncul pekan lalu di Blogspot.com dan memicu geger. Saya pertama kali mengetahuinya dari salah satu pengikut saya di Twitter.
“Mas, tolong dilihat, apa yang harus kita lakukan dengan blog ini?” begitu bunyi pesan yang masuk ke timeline saya.
Pesan itu mencantumkan tautan yang, ketika saya klik, ternyata mengarah ke alamat blog yang mengatasnamakan sebuah SMA swasta di Jatibening, Bekasi, Jawa Barat.
Saya kaget karena isi blog tersebut sangat provokatif dan sarat isu agama. Judul blognya saja sebuah ajakan membasmi sebuah agama dari Bumi Pertiwi.
Lalu tulisan-tulisan di dalamnya bernada menghina dan menyebarkan kebencian terhadap agama itu. Gambar dan fotonya pun provokatif. Contohnya ada foto kitab suci di dalam toilet. Ringkasnya, blog itu bisa dianggap telah menistakan sebuah agama.
Tentu saja bukan hanya saya yang kaget bagaikan disengat setrum ribuan watt oleh blog itu. Saya lihat ada ratusan komentar di salah satu tulisan blog tersebut. Hampir semua mengecam tindakan pemilik blog provokatif itu. Menurut para komentator, sudah bukan zamannya lagi mencari perhatian lewat blog seperti ini. Ada pula yang menganggap meledek pemiliknya sebagai “narablog kurang kasih sayang”.
Kabar rupanya beredar cepat. Dalam hitungan jam, kemunculan blog itu beredar di media-media sosial. Beberapa kawan juga mengambil inisiatif dengan memanji blog itu agar ditutup oleh pemilik Blogspot. Saya memilih mendiamkannya sambil memantau situasi. Saya tak mau reaksi saya ikut memancing kehebohan yang lebih besar dan malah kontraproduktif.
Kencangnya kecaman ternyata membuat pengelola blog itu seperti diterpa badai dan sadar. Entah bagaimana prosesnya, pada sore harinya, blog itu berubah total. Baik judul maupun isi seluruh blog. Awalnya bernada kebencian, lalu berubah menjadi ajakan menjaga perdamaian. Ada pula tulisan yang menjelaskan mengapa narablog itu membuat jurnal digital yang memicu keriuhan di ranah Internet. Ada apa gerangan?
Ternyata, seperti yang tertulis di blog itu, sang pemilik adalah bekas murid sekolah swasta di Bekasi tersebut. Ia merasa kesal terhadap para bekas gurunya. Kekesalannya itu lantas dilampiaskannya dengan mencatut nama sekolah dan yayasan tempat sekolah itu bernaung. Ia mengaku blog tersebut ditulis sebagai salah satu ungkapan balas dendam terhadap salah satu gurunya yang telah mencelakakan dia semasa bersekolah di SMA.
“Hahahaah… Saya mendengar kabar ada yang ribut… Sebenarnya blog ini saya untuk satu tujuan, MENYADARKAN GURU-GURU. SAYA SUDAH CAPEK!! Bukan hanya untuk guru yang saya tuju, tapi untuk seluruh guru di Indonesia!!! Tolong jaga sikap anda!!! Jangan dengan anda seorang guru anda bisa sewenang-wenang!!” begitu tulis pemilik blog itu.
Iseng? Pelampiasan yang salah tempat? Kebablasan? Kita boleh menyebutnya apa saja, tapi kepala harus tetap dingin. Jangan sampai kita ikut-ikutan panas, apalagi terpancing bereaksi dengan keras, misalnya menyerbu sekolah yang disebut dalam blog itu. Siapa yang bisa memastikan dan menjamin bahwa memang SMA itulah pembuatnya?
Sekolah yang namanya dicatut bahkan telah mengklarifikasi bahwa mereka tak terkait apalagi terlibat dalam blog kontroversial itu. Pengelola sekolah juga sudah melaporkannya ke polisi. Belakangan blog itu malah sudah ditutup.
Apa hikmah perkara ini? Di zaman digital seperti sekarang, siapa saja bisa membuat blog. Pemilik blog bebas mengisinya dengan apa saja, termasuk isu-isu sensitif seperti agama.
Tapi reaksi yang keras sampai menimbulkan konflik horizontal tak hanya menguras energi, tapi juga sia-sia.
Khalayak digital memiliki mekanisme dan kearifannya sendiri untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar