Politik Itu Soal Jam Terbang
Rabu, 3 Maret 2010 | 03:12 WIB
Setelah kisruh di ruang Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Selasa (2/3) siang, dengan kaki diluruskan, Ketua DPR Marzuki Alie duduk di salah satu sudut di ruang tunggu very important person (VIP), persis di sebelah ruang Rapat Paripurna DPR. Tangan kanannya memegang sebotol air minum dalam kemasan yang sebagian isinya sudah diminum.
Di sekitar Marzuki ada sejumlah anggota DPR, seperti Adjie Massaid dan Max Sopacua, keduanya dari Partai Demokrat, serta Yorris Raweyai dari Partai Golkar. Mereka terlibat pembicaraan yang diduga untuk menenangkan Marzuki yang saat itu masih tampak tegang yang baru saja menutup Rapat Paripurna DPR dengan agenda mendengarkan laporan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century.
Belasan petugas pengamanan internal Gedung MPR/DPR/ DPD tampak menjaga ketat pintu ruangan yang berukuran sekitar 15 meter persegi. Mereka beberapa kali berimpitan dengan puluhan wartawan yang ingin melihat isi ruangan VIP tersebut.
Di dalam ruang rapat DPR, ratusan anggota DPR masih disibukkan dengan keputusan Marzuki yang menutup rapat paripurna untuk kemudian dilanjutkan pada Rabu (3/3) ini dengan agenda pengambilan keputusan atas laporan Pansus Century. Menurut mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu, keputusan tersebut sesuai kesepakatan di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Namun, sejumlah anggota DPR, terutama dari Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Hanura, minta rapat dilanjutkan dengan pengambilan keputusan. Kemungkinan melalui pemungutan suara sebab agenda rapat dapat diubah oleh rapat paripurna yang kedudukannya lebih tinggi dari rapat Bamus.
Kekhawatiran
Penundaan pengambilan keputusan hingga Rabu ini, seperti disampaikan Nudirman Munir (Fraksi Partai Golkar), dikhawatirkan akan membuat sejumlah fraksi berubah pilihan. ”Bisa masuk angin dan praktik dagang sapi lebih terbuka jika voting ditunda,” katanya.
Kekhawatiran praktik dagang sapi ini terjadi karena hingga sesaat sebelum rapat dimulai, lobi dikabarkan masih gencar diterima sejumlah anggota DPR dari fraksi yang menyatakan ada masalah dalam kebijakan dan pelaksanaan pemberian dana talangan (bail out) serta fasilitas pendanaan jangka pendek untuk Bank Century. Ada enam fraksi yang diduga ada di kubu ini, yaitu Partai Golkar, PDI-P, PKS, PPP, Gerindra, dan Hanura. Tiga fraksi lain, yaitu Partai Demokrat, PAN, dan PKB, diduga memilih opsi sebaliknya.
Kecurigaan adanya kepentingan politik di balik keputusan Marzuki juga muncul karena di rapat paripurna itu, dia menerima bukti baru dari kader Demokrat. ”Mengapa bukti itu tidak disampaikan di Pansus sebab sampai Selasa pukul 00.00, Pansus masih rapat dan saat itu juga ada perwakilan dari Partai Demokrat. Mengapa Marzuki juga tidak menyarankan dokumen itu diberikan ke Ketua Pansus Idrus Marham?” tanya Lili Chodidjah Wahid, anggota DPR dari Fraksi PKB.
Langkah Marzuki yang menutup rapat ketika masih banyak anggota Dewan ingin berbicara, akhirnya membuat keributan di kalangan anggota Dewan. Bahkan, sejumlah petugas pengamanan internal Gedung DPR yang bertugas menjaga berbagai kemungkinan terlibat salah paham dengan wartawan yang sibuk mencari informasi.
Padahal, ada cara yang lebih elegan dan demokratis yang dapat dilakukan Marzuki untuk keluar dari hujan interupsi dan perdebatan apakah rapat tetap dilanjutkan atau ditutup.
”Biarkan saja anggota Dewan itu mengajukan pendapatnya. Setelah puas, Marzuki cukup bilang, rapat diskors untuk forum lobi antarpimpinan fraksi. Dengan demikian, dia telah membagi kewenangannya dengan pimpinan lain, apalagi kepemimpinan di DPR bersifat kolektif kolegial. Dengan cara ini, Marzuki tidak akan sendirian disalahkan dan menanggung beban dari kebijakannya,” kata seorang anggota Dewan.
Berdasarkan catatan Kompas, beberapa kali lobi pimpinan fraksi memang menjadi cara menyelesaikan perdebatan sengit dan hampir buntu di sejumlah rapat DPR. Hampir tidak ada catatan buruk, seperti kekacauan yang diakibatkan oleh keputusan yang dibuat dalam forum lobi. ”Mungkin dia terlalu berat menanggung beban dari pimpinannya,” ujar Effendi Simbolon dari Fraksi PDI-P terhadap putusan Marzuki untuk menutup rapat tersebut.
Jam terbang politik
Yudi Latif dari Reform Institute melihat, apa yang dialami Marzuki terkait erat masalah jam terbang politik. ”Banyak politisi Partai Demokrat yang masih miskin jam terbang. Akibatnya, mereka sering kebingungan menghadapi dinamika politik yang cepat. Langkah politik mereka juga dapat dengan cepat dibaca pihak lain. Ini karena pengalaman menjadi salah satu faktor penting dalam politik,” kata Yudi.
Masih terbatasnya jam terbang itu diduga juga membuat sejumlah kader Partai Demokrat kesulitan membangun komunikasi politik di antara mereka atau dengan pihak lain.
Berbagai keadaan itu diduga tidak hanya membuat Marzuki Alie tiba-tiba menutup rapat sehingga diprotes banyak pihak. Namun, diduga juga memunculkan dinamika politik dari
Roy Suryo, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, dengan menyampaikan ”huuuu” saat Ketua Pansus Idrus Marham membacakan pandangan sejumlah fraksi tentang sejumlah pihak yang diduga harus bertanggung jawab dalam kasus Bank Century.
”Saya heran, mengapa justru di periode kedua pemerintahan Yudhoyono, komunikasi politik di antara mereka terlihat buruk. Keadaan itu dapat menjadi blunder karena dimensi politik kasus Bank Century sangat tinggi,” kata Yudi.
Rendahnya kemampuan membangun komunikasi politik yang disebabkan oleh kurangnya jam terbang, menurut Yudi, pernah dialami PDI-P pada tahun 1999. Akibatnya, meski memenangi pemilihan umum, mereka saat itu gagal mengantarkan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Kini, jangan sampai rakyat menonton langsung kegagalan wakilnya dalam memainkan peran yang santun dan elegan.
(M Hernowo/Anita Yossihara)
01 MARET 2010
Perkelahian di Garis Finish
TIDAK mudah menyamakan isi kepala sembilan orang. Apalagi jika mereka mewakili sembilan kepentingan politik yang berbeda. Kamis pekan lalu, rapat tim kecil panitia khusus penyelidikan bailout Bank Century, di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat, tak bisa menemukan kata sepakat. Padahal, dua jam lebih mereka berembuk, merumuskan laporan final Panitia Angket yang akan dibacakan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan ini.
"Dibolak-balik, tetap saja tidak ketemu," kata politikus Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy, saat dihubungi akhir pekan lalu. Mereka baru bubar setengah jam lepas tengah malam.
Agenda rapat malam itu memang bukan soal sederhana. Mereka harus menyatukan sedikitnya empat kubu pendapat menjadi satu laporan tunggal untuk disikapi 560 anggota parlemen dalam rapat paripurna pada Rabu, 3 Maret. Semula mereka berusaha berkompromi agar Panitia Angket bulat bersikap. "Tapi gradasinya terlalu lebar, tidak mungkin disamakan," kata Romahurmuziy lagi.
Wakil Sekjen Partai Ka'bah ini benar belaka. Persepsi sebagian fraksi atas proses penyelamatan Bank Century memang berbeda bak langit dan bumi. Meski sudah hampir empat bulan bersama-sama menguliti dokumen dan kesaksian dari pelbagai pihak yang diduga terlibat, kesepahaman tampaknya mustahil dicapai.
Perbedaan itu tecermin jelas dari sesi pemandangan akhir fraksi-fraksi, yang digelar di Senayan, Selasa pekan lalu. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Hanura tegas-tegas menilai telah terjadi kesalahan pengambilan kebijakan. Keempat fraksi menuding Wakil Presiden Boediono-yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia-dan Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan harus bertanggung jawab.
Pandangan lima fraksi lain lebih moderat, meski juga tak sepenuhnya seragam. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Gerindra menilai kebijakan penyelamatan krisis perbankan sudah tepat, namun tapi formulasi kebijakan dan implementasinya bermasalah. Partai Amanat Nasional hanya menyoroti penerapan kebijakan penyelamatan yang bolong di sana-sini. Sedangkan Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa bersikap lebih tegas: tak ada yang salah dalam bailout Century.
Perbedaan ini mengundang spekulasi bahwa koalisi pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tak bisa lagi dipertahankan. Sikap keras Golkar dan PKS untuk terus-menerus mengirim sinyal berbeda ke publik jelas membuat kubu Istana tak nyaman.
Perkembangan terakhir di Senayan juga menandakan ada kesenjangan antara apa yang disepakati di tingkat elite partai dan manuver para politikus di gedung DPR. Ketua umum partai bisa saja berangkulan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi itu bukan jaminan politikus mereka disiplin dengan komitmen pimpinan.
"Kadang-kadang pesan politik yang dikirim dari Senayan memang kabur dan membingungkan," kata satu orang dekat Istana kepada Tempo, pekan lalu. Keberadaan sejumlah faksi dengan kepentingan berbeda di partai masing-masing membuat peta politik jadi ruwet.
l l l
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono memulai rapat kabinet pada Kamis siang pekan lalu, dengan doa pendek untuk Boediono. Hari itu, 25 Februari, wakil presiden kelahiran Blitar, Jawa Timur, itu tengah berulang tahun ke-67. "Semoga Pak Boed panjang usia, selalu dilindungi Tuhan, diberi tuntunan dan bimbingan untuk menjalani kehidupan yang dirahmati Allah," kata Yudhoyono mendoakan. Semua menteri yang hadir menundukkan kepala.
Sampai akhir pekan lalu, dukungan Yudhoyono untuk Boediono dan Sri Mulyani memang tak surut. Menjelang detik-detik kritis pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat pekan ini, Presiden seakan ingin menegaskan bahwa dia tak mungkin mengorbankan dua orang kepercayaannya itu.
Pekan lalu, sempat beredar kabar bahwa Boediono dan Sri Mulyani akan mundur bersama jika-salah satu atau keduanya-dinyatakan bersalah oleh legislatif. Namun isu ini cepat-cepat ditepis lingkaran dalam Istana. "Tak pernah ada rencana seperti itu," kata Yopie Hidayat, staf khusus sekaligus juru bicara Wakil Presiden.
Pertemuan segitiga Yudhoyono-Boediono-Sri Mulyani juga makin intensif sepekan terakhir ini. Dalam setiap rapat, strategi melawan pencitraan yang dibangun musuh-musuh politik SBY di DPR dibahas detail. "Ketiganya tampak high-spirited," kata satu sumber Tempo di Istana Negara, mengomentari rapat koordinasi trio ini, Rabu pekan lalu.
Kepercayaan diri kubu Istana tak lepas dari terungkapnya sejumlah kasus yang melibatkan motor Panitia Angket, sepanjang pekan lalu. Misalnya kasus letter of credit dari Bank Century untuk PT Selalang Prima International milik politikus Partai Keadilan Sejahtera, Misbakhun, senilai US$ 22,5 juta. Misbakhun adalah anggota Tim Sembilan, yang pertama kali menggulirkan kasus Century di parlemen.
Selain itu, muncul kembalinya kasus penjualan beras impor oleh PT Hexatama Finindo milik politikus Partai Golkar, Setya Novanto, senilai US$ 12 juta, dua pekan lalu, membuat girang Istana. Novanto sekarang adalah Ketua Fraksi Golkar di parlemen, yang aktif mengawal gerak-gerik anggotanya di Panitia Angket Century. Kasus Novanto menambah tekanan kepada Beringin, yang sebelumnya sudah terpojok oleh tudingan pengemplangan pajak Grup Bakrie.
Kubu Yudhoyono yakin betul pada putaran terakhir pekan ini, semua partai akan kembali "menggunakan akal sehat" dan merapatkan diri ke Istana. "Kami tidak yakin soal PKS, tapi Golkar sangat mungkin berkompromi," kata satu sumber Tempo. Alasannya simpel: Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie diyakini tak akan mengorbankan bisnisnya untuk kepentingan politik.
Pendeknya, Yudhoyono dan Partai Demokrat merasa di atas angin. Masih kerasnya sikap Golkar dan PKS-serta abu-abunya posisi PAN dan PPP-dinilai bukan soal besar. "Sama seperti mobil yang semula melaju kencang, kan tidak mungkin tiba-tiba berputar arah? Pasti mengerem dulu pelan-pelan," kata Achsanul Qosasi, politikus Partai Demokrat di Panitia Angket.
Menurut Achsanul, sampai akhir pekan lalu, ketaksepakatan partai koalisi-Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB-sebenarnya sudah mengerucut pada enam poin temuan Panitia Angket. Tiga temuan pertama berkaitan dengan kebijakan Bank Indonesia mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Rp 689 miliar untuk Bank Century, pada awal November 2008. Sisanya soal kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyetujui penyertaan modal sementara ke Bank Century.
Keenam wilayah temuan itu: pertama, soal satu pasal dalam surat perjanjian (akta) pemberian FPJP yang mengacu pada peraturan Bank Indonesia yang lama-Nomor 10/26/2008 yang mensyaratkan rasio kecukupan modal di atas 8 persen. Padahal saat itu rasio kecukupan modal Bank Century sudah melorot tinggal sekitar 2 persen. "Menurut kami, itu salah ketik saja. Jelas-jelas saat itu sudah ada peraturan Bank Indonesia yang baru, Nomor 10/30/2008, yang hanya mensyaratkan rasio modal positif," kata Achsanul.
Kedua, soal kurangnya jaminan FPJP yang disetorkan Bank Century. "Seharusnya 150 persen dari nilai bantuan, tapi audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan nilai jaminan Bank Century yang disetor hanya 83 persen," katanya.
Ketiga, soal tidak adanya surat permohonan FPJP dari Bank Century. Saat itu, Bank Century memang hanya mengajukan surat permohonan repo (repurchase agreement) atas asetnya di Bank Indonesia, yang kemudian dijawab bank sentral dengan pengucuran FPJP. "Sebagian fraksi menilai tiga temuan mengindikasikan pelanggaran pidana. Sedangkan kami menilai ini hanya kesalahan administratif dalam penerapan kebijakan," kata Achsanul. Keempat, soal peran dominan Sekretaris Komite Stabilitas, Raden Pardede, dalam penyusunan laporan Bank Indonesia ke Komite Stabilitas, pada 21 November 2008.
Kelima, soal dasar hukum keberadaan Komite Stabilitas yang tumpang- tindih antara UU Bank Indonesia, UU Lembaga Penjamin Simpanan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. "Ini kan wilayah Mahkamah Konstitusi, bukan panitia angket parlemen," katanya.
Keenam, soal keputusan Komite Stabilitas yang mengandalkan sepenuhnya laporan Bank Indonesia soal estimasi biaya bailout. "Menurut sebagian anggota Panitia Angket, seharusnya Komite Stabilitas melakukan review dan mengeluarkan perkiraan biaya bailout sendiri, bukannya mengandalkan data Bank Indonesia," kata Achsanul.
Menurut Achsanul, semua partai koalisi sepakat adanya enam temuan itu, tapi berbeda sikap soal penafsiran temuan itu. Fraksi Demokrat, misalnya, menilai tidak ada indikasi korupsi atau pelanggaran hukum di enam temuan ini. "Lain ceritanya kalau Panitia Angket menemukan aliran dana sekian puluh miliar ke Boediono dan Sri Mulyani. Tapi ini kan tidak ada?" kata Achsanul keras.
Sementara Fraksi Golkar dan PKS ngotot menilai temuan-temuan itu sudah cukup untuk menyatakan kedua teknokrat itu bersalah. "Sikap kami hanya berdasarkan fakta dan data," kata Sekretaris Fraksi Golkar, Ade Komaruddin.
Tim kecil Panitia Angket masih akan bertemu lagi sebelum rapat paripurna pada Selasa ini. Empat kubu pendapat yang masih ada, menurut Romahurmuzi, akan mencoba bergerak ke tengah. Achsanul mengaku akan berusaha menarik fraksi lain mendekat ke Demokrat. Kalau berhasil, dia memprediksi hanya akan ada dua kubu besar: kubu yang menilai kebijakan bailout tidak bermasalah, dan kubu yang menilai sebaliknya. "Nanti kita voting di paripurna," kata Achsanul. Minus Golkar dan PKS, tapi plus Gerindra, kubu Demokrat bisa menang tipis di pemungutan suara.
Namun hitung-hitungan kubu lain tidak seoptimistis Achsanul. Ade Komaruddin menilai pengelompokan menjadi dua kutub bisa dikatakan tidak mungkin terjadi. "Saya yakin, posisi semua fraksi tidak akan berubah dari pemandangan akhir di rapat Panitia Angket pekan lalu," katanya. Wakil Sekjen Golkar Lalu Mara Satriawangsa membenarkan. Menurut dia, rapat-rapat Panitia Angket adalah panggung politik yang diawasi publik dengan intens. "Bagaimana mungkin kami diharapkan berubah arah pada saat-saat terakhir seperti ini?" katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tenang-tenang saja terhadap sengkarut Senayan dalam memutuskan nasibnya. Rabu pekan lalu, sambil tersenyum lepas dia mengomentari pandangan akhir fraksi-fraksi di Panitia Angket Century, sehari sebelumnya. "Saya senang dievaluasi, asalkan evaluasi itu secara obyektif, berdasarkan kinerja dan peraturan undang-undang," katanya. Dengan selendang merah muda di pundak kanan, Sri Mulyani tampak percaya diri.
Ketika satu jurnalis bertanya apakah keceriaannya hari itu berkaitan dengan dukungan politik Partai Demokrat dan koalisinya di DPR, Sri Mulyani tertawa. "Tidak ada hubungannya," katanya. "Kalau proses hukum, politik, dan administrasi dievaluasi secara obyektif, saya tenang. Saya tahu saya sudah menjalankan semuanya sesuai undang-undang."
Wahyu Dhyatmika
01 MARET 2010
Koalisi Pempek dan Rambutan
MENTERI Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa tiba dengan napas terengah-engah. Setengah berlari, lelaki 57 tahun itu masuk ruang rapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kompleks Istana Presiden, Kamis pekan lalu. Berniat hadir dalam rapat bersama Presiden pukul sepuluh pagi, Hatta terlambat seperempat jam. Pagi itu Presiden menerima Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas.
Taufiq tiba seperempat jam lebih awal. Ia hadir di Istana untuk mengundang Yudhoyono hadir dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni mendatang. Taufiq juga memberi tahu Presiden soal sidang pleno Majelis yang mengesahkan rancangan peraturan tata tertib MPR pada Senin pekan ini. Sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II sudah berkumpul.
Dengan wajah masam, Presiden bertanya kepada Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
+ Pak Hatta di mana?
- Sudah dekat, Pak.
+ Kalau masih di Cawang atau Bogor bukan dekat namanya!
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang berada di dekat Presiden memilih tak bersuara.
Tak lama kemudian, yang ditunggu tiba. Presiden lega. "Akhirnya datang juga," kata Yudhoyono. Kepada hadirin, Hatta tak menjelaskan alasan dia kasip. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan yang dekat Hatta menduga sobatnya itu terserang flu.
Dua pekan terakhir Hatta bekerja maraton. Sepulang bekerja ia masih mengadakan rapat partai di rumah dinas atau menjumpai tamu hingga subuh. Kerja keras dan loyalitas Hatta kepada Presiden membuat Yudhoyono "jatuh hati". Pertemuan dengan Ketua MPR selayaknya tak membutuhkan Menteri Koordinator Perekonomian itu. Tapi, tanpa Hatta, Presiden tak memulai pertemuan.
Kedekatan Hatta dan Yudhoyono memang telah jadi rahasia umum. "Pak Hatta orang yang bisa melayani Presiden," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok. Tapi, "Dalam politik, batas antara yang melayani dan dilayani kabur."
Ketika Yudhoyono berseteru dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Hatta mampu mencairkan kebekuan. Kedekatan Hatta dengan suami Mega, Taufiq Kiemas, membuat ia tak sungkan mengetuk kandang Banteng. Apalagi Taufiq dan Hatta sama-sama orang Palembang. Mungkin itu pula alasan mengapa Presiden menunggu pria berambut perak tersebut ketika bertemu dengan Ketua MPR.
Dalam kasus Bank Century, seorang petinggi partai anggota koalisi pemerintah mengatakan Hatta menjadi liaison officer yang baik dalam menghubungkan politikus partai dengan Yudhoyono. Selama Panitia Khusus Century bekerja, tiap Ahad malam rumah dinas Hatta di kawasan Widya Chandra, Jakarta, jadi tempat bertemu petinggi partai koalisi. Tradisi bertemu di rumah Hatta ini berlangsung juga dalam pemerintahan Yudhoyono pada 2004-2009. Ketika itu Hatta adalah Menteri Perhubungan yang kemudian dipindah ke pos Sekretariat Negara. Alih-alih dipimpin Partai Demokrat, koalisi nyatanya dikendalikan Hatta Rajasa. "Kekuasaan Hatta sungguh besar," kata seorang petinggi partai yang kerap ikut pertemuan partai koalisi.
Menurut Mubarok, Partai Demokrat tak memainkan peranan signifikan karena pemimpin partai itu tidak memegang posisi yang dekat pucuk kekuasaan. "Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat hanya berkuasa di dunia maya," kata Mubarok.
Tapi, sejak Hatta Rajasa terpilih menjadi Ketua Umum PAN pada Januari lalu, sikap Hatta "berubah". Menurut Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Jakfar, pada 2004-2009, sikap Hatta tegas. Dalam memimpin rapat koalisi, dia tidak ada beban. Hatta, kata Marwan, selalu memulai rapat dengan mengatakan, "Sesuai dengan arahan Presiden." Selanjutnya, ia mengarahkan koalisi untuk melakukan ini dan itu. Tapi, dalam kasus Century, "Kesan saya Pak Hatta tidak fokus pada satu sikap politik," kata Marwan. Maksudnya, di satu pihak ia membela Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, di pihak lain ia menentang mereka.
Menurut Mubarok, sikap itu diambil Hatta karena ia masih punya mimpi jadi wakil presiden. Sebelum Yudhoyono menetapkan Boediono sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Umum 2009, nama Hatta sempat masuk bursa. PAN baru mendukung Yudhoyono-Boediono pada menit-menit terakhir menjelang deklarasi keduanya sebagai presiden dan wakil presiden, Mei tahun lalu. Seolah mengulangi kekecewaan tempo dulu, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais, Jumat pekan lalu, meminta Presiden menyiapkan dua nama pengganti Boediono jika wakil presiden itu terbukti terlibat dalam sengkarut Century. Selain itu, menurut Mubarok, Hatta masih ingin partainya menambah menteri jika kabinet dirombak. "Ini yang membuat sikap Partai Amanat Nasional tidak firm."
Presiden Yudhoyono, menurut Mubarok, tahu sikap ambigu Hatta. Sumber lain mengatakan Yudhoyono menegur Hatta sehari setelah Panitia Khusus menyampaikan kesimpulan sementara fraksi tiga pekan lalu. Dalam kesimpulan sementara itu, PAN menyatakan ada indikasi korupsi dalam bailout Bank Century.
Karena politik dua muka itu, dikabarkan pertemuan koalisi partai pemerintah yang biasanya berlangsung di rumah Hatta, mulai Ahad dua pekan lalu pindah ke rumah dinas Syarif Hasan di Widya Chandra, Kuningan, Jakarta. Syarif adalah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat serta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Tapi pertemuan itu tetap dihadiri Hatta Rajasa. Dari Partai Demokrat, selain Syarif, ada Ketua Fraksi Anas Urbaningrum dan anggota Panitia Khusus, Achsanul Qosasi. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Surya Dharma Ali dan bendahara Soeharso Monoarfa juga hadir. Juga Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan wakilnya, Helmy Faisal. Dari Golkar hadir Ketua Fraksi Setya Novanto, Ade Komaruddin, dan Azis Syamsuddin. Partai Keadilan Sejahtera mengutus Ketua Fraksi Mustafa Kamal.
Sementara di rumah Hatta peserta rapat selalu dihidangi pempek palembang, di kediaman Syarif yang menjadi suguhan adalah rambutan. Pertemuan berlangsung sejak pukul delapan malam hingga sekitar tengah malam. Menurut Syarif, dalam pertemuan itu dicapai dua kesepakatan. Pertama, koalisi sepakat kebijakan pemerintah untuk Century bertujuan menyelamatkan ekonomi Indonesia sehingga tidak bisa dikriminalkan. Kedua, jika ada pelanggaran hukum, akan dibawa ke pengadilan. "Kami sudah sepakat," kata Syarif.
Tapi, nyatanya, dalam kesimpulan akhir Panitia Khusus Century, Selasa pekan lalu, Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera keluar dari komitmen. PAN dan Partai Persatuan Pembangunan juga menyatakan ada kesalahan bailout itu meski tidak menyebut nama orang sebagai penanggung jawab.
Hatta sayangnya tidak mau berkomentar. "Tanya saja DPR," katanya. Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan membantah cerita bahwa Presiden telah menegur Hatta. Sikap PAN, kata dia, tidak ada kaitan dengan kedekatan Hatta pada siapa pun, melainkan mandat Kongres PAN di Batam, awal Januari lalu. Partai bekerja keras untuk memperkuat koalisi tapi, "Kami tetap kritis sebagai partai reformis," kata Taufik. Heru Lelono, staf khusus presiden bidang informasi, mengatakan sikap Yudhoyono terhadap Hatta tidak berubah. "Setahu saya, terhadap Pak Hatta, Presiden biasa-biasa saja," katanya.
Sunudyantoro, Dwi Riyanto Agustiar, Rieka Rahardiana
01 MARET 2010
Pembelotan Kawan Seiring
SUARA Luthfi Hasan Ishak terdengar parau. Napasnya berat. Tiga jam menjelang waktu salat Jumat, Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu menyusuri rute Jakarta-Sukabumi, Jawa Barat, Jumat pekan lalu. Dua hari sebelumnya, dia melanglang ke Bandung lalu Bengkulu. "Pimpinan partai bertugas keliling daerah menemui para kader untuk menyamakan persepsi," kata Luthfi. "Situasi politik akhir-akhir ini jangan sampai membuat partai goyah."
Kemelut bailout Bank Century Rp 6,7 triliun membuat partai politik berbasis dakwah ini disorot. Mereka dianggap membangkang dari komitmen koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Selasa pekan lalu, dalam pandangan fraksi Panitia Khusus Hak Angket Bank Century, PKS termasuk partai yang menyebutkan Boediono dan Sri Mulyani sebagai orang yang bertanggung jawab menggelontoran dana ke bank bermasalah itu. "Kami kecewa terhadap sikap PKS," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Syarif Hassan mengatakan PKS dan Partai Golkar melanggar kode etik koalisi.
Namun, menurut Luthfi, selama ini partainya bukan berkoalisi dengan Partai Demokrat melainkan dengan Yudhoyono. Kesepakatan itu dicatat dalam perjanjian tertulis yang mencantumkan perihal pemerintahan bersih, bebas korupsi, dan agenda reformasi. "Mereka tak baca kontrak koalisi," kata Luthfi. "Kami tak mengkhianati atau menelikung siapa pun."
Koalisi Demokrat-PKS memang tengah di ujung tanduk. Jika tak ada perbaikan sikap, menurut sumber Istana, Yudhoyono tak akan segan mendepak partai itu dari kabinet. Saat ini PKS menempatkan empat kadernya dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Meski demikian, menjelang keputusan akhir Panitia Khusus DPR soal Bank Century, Istana tetap membuka komunikasi. Akhir pekan lalu tim khusus Presiden disebut-sebut tengah merintis pertemuan dengan Hilmy Aminuddin, Ketua Majelis Syura PKS.
Selain bersilaturahmi, PKS ditekan melalui pengungkapan kasus L/C bodong yang melibatkan Misbakhun, inisiator hak angket Bank Century dari partai itu. Menurut audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan, PT Selalang Prima Internasional telah menjebol kas Century US$ 22,49 juta atau sekitar Rp 209 miliar. Dalam perusahaan itu Misbakhun adalah komisaris sekaligus pemegang saham (lihat halaman 106: "Berkat Perintah Tuan Besar").
PKS mengaku tak gentar. Menurut Luthfi, partainya tak mengurus persoalan pribadi kader. Apalagi Misbakhun bukan pengurus partai, sehingga pengaruhnya dalam sikap PKS tentang kasus Century sangat minim. "Mustahil Misbakhun titip agenda tertentu kepada kami. Dia bukan pengambil keputusan."
Menurut Mubarok, pangkal sikap keras PKS adalah karena partai itu mangkel akibat kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat lepas dari tangan salah satu anggota Dewan Syura, Hidayat Nur Wahid. "Naiknya Taufiq Kiemas membuat PKS kecewa," katanya. Menurut Mubarok, jika terus membandel, PKS sebaiknya hengkang saja dari koalisi. Pengkhianatan PKS, kata Mubarok, "Kami jadikan pelajaran untuk tak mudah berkoalisi dengan partai lain." Luthfi menyangkal tudingan itu. "Ini tak ada kaitannya dengan kursi Ketua MPR."
Arif Zulkifli, Dwidjo U. Maksum
Membangun reruntuhan koalisi
Senin, 01/03/2010 10:10:34 WIBOleh: J. Kristiadi
Kesimpulan akhir fraksi-fraksi Pansus Bank Century ternyata tidak berhasil mencapai tujuan utama dibentuknya Pansus: membongkar dan mengungkapkan misteri kecurigaan penyalahgunaan dana talangan oleh parpol atau tim sukses pemilihan presiden 2009.
Hasil yang secara kasat mata adalah cerai berainya koalisi pemerintahan SBY-Boediono. Batas-batas toleransi sikap kritis beberapa mitra koalisi, khususnya Partai Golkar dan PKS, menurut beberapa petinggi Partai Demokat telah dianggap melampaui batas-batas toleransi sebagai partai pendukung pemerintah.
Dalam bahasa Anas Urbaningrum, mereka mempunyai ke-khasan dalam substansi pemandangan umum kedua partai tersebut.
Namun, karena tidak diungkapkan secara jelas, sementara kalangan berspekulasi kekhasan dari Partai Golkar adalah agar Sri Mulyani mundur atau diganti karena berurusan dengan masalah dugaan tunggakan pajak ketua umum partai itu.
Adapun kekhasan PKS berhubungan dengan kegagalan kompromi menjelang Pilpres 2009 tentang kesepakatan siapa wakil presiden pasangan SBY.
Oleh sebab itu, meskipun serangan mereka terhadap kebijakan bailout sangat tajam, bahkan secara eksplisit menyebutkan nama tetapi mereka tidak berani menyatakan kesalahan tersebut tanggung jawab Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Padahal hak angket yang dilaksanakan dewasa ini, karena dalam suasana UUD Sementara 1950, bernuansa parlementer dan oleh sebab itu ujung-ujungnya adalah hak menyatakan pendapat DPR atas hasil penyelidikan angket dapat mengarah kepada pemakzulan Presiden.
Dalam konteks parlementer hal itu disebut mosi tidak percaya yang berakibat bubarnya pemerintahan. Oleh sebab itu ketika Pansus hanya menyebutkan yang bertanggung jawab atas kesalahan bailout adalah pejabat pemerintah pembantu Presiden, sebenarnya mereka merendahkan martabatnya sendiri. Namun bagi SBY, alasan lain mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani adalah karena kedua pejabat tersebut mempunyai integritas yang tinggi dan sulit andaikata harus mundur atau diundurkan, terlebih hanya karena alasan politik kekuasaan.
Pada tingkat perbedaan inilah pemerintahan koalisi sangat sulit dipertahankan tanpa melakukan konsolidasi kembali, karena telah terjadi perbedaan yang sangat tegas antara kebijakan Presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan yang menganggap bailout itu benar dan berhasil.
Namun, beberapa mitra koalisi menyatakan kebijakan tersebut melanggar hukum atau tidak perlu dilakukan. Padahal Pansus sendiri tidak dapat memberikan bukti kontra bahwa kalau pemerintah tidak mengambil kebijakan tidak akan terjadi krisis ekonomi. Oleh sebab itu, membiarkan kabinet dalam ketidakpastian juga mengakibatkan para menteri, terutama yang profesional-nonparpol, sangat terganggu.
Oleh sebab itu, meskipun agak terlambat, pernyataan Presiden bahwa dia yang bertanggung jawab atas segala kebijakan pemerintah sudah tepat. Pemakluman tersebut sangat ditunggu oleh masyarakat agar ketidakpastian politik tidak semakin berlarurut-larut. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa masyarakat, terutama konstituensinya yang berjumlah lebih dari 60% dari pemilih, sangat mengharapkan penegasan tersebut.
Kepemimpinan yang tegas sangat diperlukan dalam sistem presidensial. Sebaliknya, kepemimpinan yang lemah hanya akan membuat pemerintahannya kocar-kacir (Douglas V, Verney 1992).
Mudah-mudahan pidato yang dijanjikan Presiden beberapa hari ke depan lebih menegaskan secara elaboratif, argumentatif, dan meyakinkan publik bahwa kebijakan dana talangan sudah tepat dan dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi sebagaimana dialami oleh negara-negara lain.
Selain itu Presiden perlu menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat penyalahgunaan kekuasaan dalam proses merger Bank Century dan menyalahgunakan dana talangan harus diusut tuntas dan harus mendapat hukuman yang setimpal. Penegasan tersebut juga merupakan landasan bagi Presiden melakukan konsolidasi pemerintahan.
Tindakan tegas
Partai politik yang memang berkukuh, terutama terhadap kebijakan politik dana talangan dipersilakan keluar dari koalisi. Adapun yang setuju kebijakan tersebut tetap menjadi bagian dari pemerintahan. Tanpa tindakan tegas, pemerintahan SBY akan menjadi bulan-bulanan terus-menerus oleh para petualang politik.
Parpol koalisi akan semakin berani melakukan manuver-manuver politik subjektif bagi kepentingan mereka. Setiap isu politik dapat dijadikan transaksi politik melalui mekanisme hak angket. Kewenangan parlemen yang sangat besar hanya diberlakukan demi kepentingan kekuasaan.
Kristalisasi kabinet diharapkan dapat menciptakan pemerintah yang kompak dan efektif. Hal itu sangat diperlukan mengingat agenda ke depan masih banyak dan mendesak. Misalnya, urgensi menyelesaikan pekerjaan rumah dalam kerangka ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Kalau dihitung sejak proses negosiasi sampai dengan penandatanganan agreement tersebut, sudah lebih kurang 10 tahun terabaikan. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi Indonesia kecuali menyiapkan 'perang' ekonomi, terutama dengan China yang jauh lebih siap dari kita.
Tanpa melakukan kerja keras dan kemampuan menyusun strategi perang dagang yang jitu serta meningkatkan daya saing, bangsa Indonesia akan semakin ketinggalan.
Keberhasilan melaksanakan agenda memang memerlukan dukungan parlemen. Oleh sebab itu, sekiranya Partai Golkar dan PKS sudah benar-benar patah arang dan memlih berada di luar koalisi, perlu dilakukan lobi yang intensif dan berdasarkan paradigma yang jelas dengan partai Hanura dan Gerindra.
Syukur-syukur PDIP bersedia meskipun kemungkinan tersebut sangat kecil. Namun, seandainya mereka tetap bergeming, SBY tidak perlu berkecil hati. Modal 60% lebih suara rakyat, meskipun simbolik, tetapi dapat menjadi dukungan riil politik kalau ada kepemimpinan yang tegas dan kuat.
Sementara itu, agenda penting lainya adalah menata struktur kekuasaan pemerintahan yang masih simpang siur, baik yang menyangkut hierarki pemerintah pusat sampai kabupaten kota maupun konflik yang hampir merata antarkepala daerah dan wakil kepala daerah. Berkaitan dengan agenda ini, revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta RUU pemilihan kepala daerah langsung sangat penting.
Selain itu dalam tataran yang lebih makro serta dalam jangka menengah perlu dilakukan perubahan berbagai regulasi untuk menemukan bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang paling cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang plural dalam konteks negara kesatuan.
Dengan demikan secara bertahap bangsa Indonesia akan memiliki pemerintahan yang efektif tetapi dapat dikontrol oleh rakyat. Oleh karena itu pula tujuan mengatur kekuasaan demokratis untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat semakin lama kian mendekati kenyataan.
Oleh J. Kristiadi
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies
Rabu, 24/02/2010 12:21 WIB
Kasus Century
Sri Mulyani Tetap Merasa Tak Bersalah
Ramdhania El Hida - detikNews
Jakarta - Sejumlah fraksi menyebut nama yang dinilai bersalah dalam bailout Bank Century, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun mantan Direktur IMF ini tetap merasa dirinya tidak bersalah karena hanya berupaya mencegah negara ini agar tidak terjatuh dalam jurang krisis.
"Kita mencoba tetap melaksanakan seluruh tugas dan tanggung jawab untuk mencegah krisis berdasarkan peraturan yang ada," tegas Sri Mulyani dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (24/2/2010).
Ia pun mengibaratkan apa yang dilakukannya saat menyelamatkan Bank Century seperti mengendarai sebuah mobil yang melewati jalanan yang berlubang.
"Seperti membawa mobil dengan selamat melewati lubang-lubang, setelah itu dilihat ada kaca spionnya yang tidak lengkap, bannya kurang tekanan tapi mobil sudah lewat dengan selamat. Masyarakat tidak merasakan krisis, perbankan tumbuh baik, perekonomian baik," urai Sri Mulyani.
"Oleh karena itu, tujuan Sri Mulyani sebagai Ketua KSSK sudah dijalankan dan sesuai aturannya. Kalau dilihat beberapa bulan kemudian mungkin Pansus melihat itu (penyimpangan), tapi keputusannya sendiri berdasarkan info saat itu. Krisis kita bicara detik per detik, kalau harus membuat kebijakan dengan cepat," imbuhnya.
Sri Mulyani mengaku dirinya akan tetap bekerja berdasarkan UU sebagai pembantu Presiden. Dan ia berharap berbagai proses baik politik dan hukum dilakukan secara obyektif agar para pembantu Presiden bisa menjalankan kebijakannya dengan tenang.
"Saya serius menjalankan UU karena yakin dalam bernegara Republik Indonesia koridornya sama. Jadi dalam hal ini kalau selama proses politik, hukum dan administrasi dievaluasi secara obyektif, maka kami juga akan tenang, bukan santai," ujarnya.
"Tenang itu artinya saya bersama Sekjen, Irjen, Dirjen dan eselon I semuanya menjalankan UU dan tenang karena kami tahu telah menjalankan sesuatu yang ada. Wewenangnya ada mandatnya dan kita yakin kalau kita menjalankan itu, negara ini akan melindungi kami. Karena kalau kami tidak dilindungi, nanti siapa saja yang jadi pejabat akan bingung," imbuh Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, jika seorang pejabat melaksanakan tugasnya namun dianggap melakukan kesalahan hingga dikriminalkan, maka hal itu akan membingungkan semua orang.
"Kalau lagi menjalankan UU, kita menjalankan kewenangan terus kita dianggap melakukan kesalahan apalagi sampai dikriminalkan, tidak hanya saya, tapi semua orang tidak akan melihat Indonesia sebagai sesuatu yang bisa dijalankan. Jadi monggo saja, selama ini saya menyikapinya dengan keyakinan, proses politik, hukum, administrasi akan berjalan sesuai koridornya masing-masing," pungkas Sri Mulyani.
Seperti diketahui, sejumlah Fraksi menuding Sri Mulyani bersalah dalam bailout Bank Century. Berikut pandangan fraksi-fraksi dalam kaitan bailout Bank Century:
* FPD : Berkesimpulan tindakan penyelamatan Bank Century sudah benar.
* FPDI Perjuangan : Boediono dan Sri Mulyani sebagai pihak yang bertanggung jawab. Kedua nama tersebut, oleh PDIP, diminta segera diproses secara hukum.
* FPKS : menilai ada indikasi korupsi dalam kasus Century. Dalam proses merger, pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian Penyertaan Modal Sementara (PMS), PKS menyebut beberapa nama yang harus bertanggung jawab wajib diserahkan kepada proses hukum.
* Fraksi Golkar : setali tiga uang dengan dua fraksi sebelumnya. Meski diawal hanya menyebut inisial saja, toh di akhir fraksi ini dengan tegas membeberkan kepanjangan seluruh inisial nama-nama tersebut.
* FPAN : menyebut ada penyimpangan dalam Bank Century. meminta agar manajemen dan pemegang saham Bank Century diproses secara hukum. Namun keberaniannya cuma sampai di titik tersebut. Tidak ada nama, yang secara gamblang disebut PAN.
* FPPP : meminta seluruh aparat penegak hukum di negeri ini mau menindaklanjuti pihak-pihak terkait. Namun PPP hanya mau menyebut posisi yang dimaksud tanpa ada penjelasan secara detil.
* FPKB : menilai tidak ada yang salah dalam bailout Bank Century. Jika tidak dilakukan, menurut PKB, Indonesia bahkan bisa terkena krisis keuangan.
* Fraksi Gerindra : menyebutkan dugaan pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak dalam kasus Bank Century. Gubernur BI, Ketua KSSK, Ketua UKP3R, dan Deputi Gubernur BI,sebagai pihak yang diduga terlibat tindak pidana tertentu.
* Fraksi Hanura : meminta Boediono yang saat itu menjadi Gubernur BI bahkan diminta agar dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Boediono yang kini menjadi wapres, oleh Hanura, tidak akan bisa diproses melalui hukum biasa.
(qom/dnl)
saat pilpres, ada koalisi besar yang gagal mengusung satu pasangan capres-cawapres, terdiri dari golkar under jk, gerindra, hanura, dan pdip.
data di atas menunjukkan ke4 parpol ini BERANI MENYEBUT NAMA, minimal inisial atau jabatan
saat pilpres yang gabung ke koalisi p. demokrat adalah pks, pkb, ppp, dan pan.
data di atas menunjukkan bahwa pks satu-satunya yang BERANI MENYEBUT NAMA
kenapa pks berani sebut nama? karena di pilpres kemarin, pks adalah pendukung koalisi sby-boediono yang paling merasa dikecewakan. posisi cawapres seharusnya milik pks, tapi dialihkan kepada seorang profesional tanpa dukungan parpol sama sekali. pks juga dikecewakan oleh sikap sby yang menerima tawaran dukungan oleh golkar versi ical.
proses politik apa pun memang penuh dengan politisasi, rakyat pasti sudah tahu. termasuk fakta bahwa semua nama yang disebut oleh pansus century adalah nama para profesional tanpa latar belakang parpol sama sekali. ini sebuah juga isu krusial saat penentuan personalia kabinet IB II. sederhana sekali penjelasannya.
masih ada lagi pg dan pks adalah 2 partai koalisi sby yang paling mengharapkan posisi cawapres. tapi sby malah memilih boediono. sulit menghindarkan asumsi vendetta telah terjadi pada proses angket.
Rabu, 24/02/2010 12:55 WIB
Ical Sangkal Isu Gelontorkan Rp 5 T untuk Gulingkan SBY
Lia Harahap - detikNews
Jakarta - Isu-isu liar yang mengiringi kasus Century terus bergulir. Kali ini isu tak sedap menerpa Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Dia disebut-sebut menyiapkan uang Rp 5 triliun untuk menggulingkan SBY.
"Ah isu dari mana itu? Saya saja belum dengar," kata pria yang akrab disapa Ical usai bertemu 27 dubes asing di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jaksel, Rabu (24/2/2010).
Isu yang telah dibantah Ical itu menyebutkan bila uang Rp 5 triliun digelontorkan mantan orang paling kaya di Indonesia itu untuk menggalang kekuatan politik.
"Ah pokoknya saya tidak pernah dengar itu," bantahnya dengan santai.
(ndr/iy)
Boediono: Itu Baru Pandangan Politik
Kamis, 25 Februari 2010 | 03:28 WIB
Bandung, Kompas - Mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Rabu (24/2), menyampaikan tanggapan atas pandangan fraksi DPR dalam rapat pleno Panitia Khusus tentang Hak Angket Bank Century. Boediono menilai pandangan itu dilatarbelakangi kepentingan politik, sedangkan Sri Mulyani menegaskan bahwa penyelamatan Bank Century bukan tindakan kriminal.
Dalam pandangan fraksi tersebut, empat dari sembilan fraksi menyebut nama Boediono dan Sri Mulyani secara eksplisit, yaitu Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Hanura. Partai Golkar dan PKS adalah partai anggota koalisi pemerintahan Yudhoyono-Boediono.
Boediono, yang kini Wakil Presiden, melalui Juru Bicara dan Staf Khusus Wapres Bidang Media Massa Yopie Hidayat, mengatakan, pandangan fraksi-fraksi itu baru pandangan politik, bukan pandangan hukum. Dengan demikian, hal itu belum menyatakan kebenaran akan substansi kasus Bank Century.
Hal itu diungkapkan Yopie seusai mendampingi Boediono meninjau lokasi longsor di Perkebunan Teh Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu.
”Kita meski mencatat, pandangan akhir fraksi di Pansus Bank Century itu baru pandangan di Pansus dan belum pandangan akhir dari DPR. Pandangan itu juga pandangan politik, yang belum mencari kebenaran atau kesalahan,” tutur Yopie.
Menurut Yopie, dengan melihat latar belakang politik dari setiap partai politik, tak bisa dilepaskan kepentingan politik yang mendasari fraksi dalam menyampaikan kesimpulan akhirnya. Tentang rekomendasi penegakan hukum, Yopie mengatakan, Boediono sejak awal tidak pernah menghalang-halangi proses hukum tersebut.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kebijakan yang diambilnya dalam menyelamatkan Bank Century bukanlah tindakan kriminal perbankan karena dirinya tidak memiliki hubungan istimewa dengan pemilik bank itu. Pejabat sebaiknya tak dikriminalisasi agar tak terjadi kebingungan pada pengambilan kebijakan, terutama saat kondisi krisis.
Menurut dia, tugas utama sebagai Ketua KSSK adalah mencegah krisis. Hal itu, katanya, tidak dicampuradukkan dengan orang yang berbuat kriminal perbankan. Sri Mulyani menegaskan akan mempelajari tuduhan sebagian fraksi soal adanya pelanggaran. Fraksi-fraksi tersebut diminta memperjelas bentuk pelanggarannya dan aturan yang dilanggar.
Meski dapat memahami, Bank Indonesia (BI) menyesalkan sebagian besar pandangan fraksi yang mengabaikan fakta dimensi krisis yang menjadi dasar kebijakan BI dan pemerintah saat itu. Demikian tanggapan tertulis BI yang ditandatangani Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dyah NK Makhijani, Rabu.
Dia menegaskan, BI meyakini kebijakan-kebijakan dalam menangani Bank Century sejak merger hingga penyelamatan dan pelaksanaannya dilakukan dengan iktikad baik serta didasarkan pada pertimbangan profesional yang terbaik, dengan memerhatikan kaidah-kaidah hukum.
Di Yogyakarta, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, pandangan akhir fraksi itu perlu segera ditindaklanjuti ke jalur hukum. Ia menyatakan, pandangan akhir fraksi harus diterima sebagai keputusan politik.(HAR/NWO/RWN/OIN/AIK/*/PPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar