👀
Hati Nurani versus Dogma-dogma Tidak Manusiawi
Ada dikatakan, tak ada satupun agama di dunia yang rela dinista.
Jakarta - Aparat keamanan jangan membiarkan sekelompok massa atau organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu hadir sebagai polisi, dan memaksakan kehendak kepada kelompok massa lain, apalagi membubarkan kegiatan keagamaan. Tugas menegakkan aturan dan hukum ada di tangan Polri. Jika ada pihak yang menyelenggarakan kegiatan namun belum memenuhi aturan, seharusnya ditindak o
leh polisi bukan sekelompok massa.
Ada dikatakan, tak ada satupun agama di dunia yang rela dinista.
Maka, Akal Sehat Hati Nurani Pribadi (Sang Aku) yang terletak dan berproses di dalam otak bertanya: bolehkah Aku menyatakan pendapat jika kutemukan dogma-dogma tidak manusiawi yang melawan Aku?
“Tidak boleh, itu menista agama, terkutuk kau, kubunuh kau!” kata-ancam-cacimaki orang-orang tertentu di manapun dan kapanpun.
Kata-ancam-cacimaki di atas biarkan saja begitu apa adanya. Sebab para pencaci-maki itu sesama manusia bagian ko-eksistensi, meski isi otak mereka berbeda dari otak Sang Aku, bagian proses evolusi alam semesta terkait peradaban manusia. Evolusi peradaban ini menghasilkan pedoman, begini: Akal Sehat Hati Nurani Pribadi (Sang Aku) itu segalanya bagi insan beradab. Ia lebih pantas ditaati katimbang apapun dan siapapun.
Tanpa Sang Aku segala sesuatu lenyap!
Nah, berdasar Sang Aku tersebut, dan apabila kita sungguh tahu menahu apa yang dimaksudkan tentangnya, maka dengan amat mudah kita bisa menemukan dogma-dogma tidak manusiawi dari agama apa saja. Dalam kaitan ini, perlu ditanamkan dalam pikiran secara terus menerus sampai kita betul-betul tahu, bahwa, jumlah agama di dunia itu ratusan ribu, bukan cuma 4, 5, 6 atau jumlah tidak jelas serba terbatas seperti diberlakukan oleh kekuasaan politik RI sejak 1945 sampai sekarang: politik demi kepentingan nafsu rendah entah siapa.
Jumlah dogma tidak manusiawi yang keliru, buruk, jahat, bodoh, bengis, dan barbar itu banyak sekali. Di sini akan diperkenalkan (bagi yang belum kenal karena tidak pernah memikirkannya) atau diperkenalkan lagi (bagi yang sudah kenal tapi berdiam diri karena tidak peduli atau takut terus-terang) hanya 13 dogma yang tidak manusiawi tersebut.
(1) Dogma yang memerintahkan umat untuk mengobarkan perang dan perang melulu terhadap musuh-musuh dan bukannya mengobarkan ajaran semangat berunding sebagai cara solusi konflik masyarakat beradab.
(2) Dogma yang memerintahkan membunuh umat yang murtad dan bukannya mengajarkan mawas diri mengapa terjadi kemurtadan.
(3) Dogma yang memerintahkan mata ganti mata dan gigi ganti gigi dan bukannya memerintahkan untuk belajar bersabar.
(4) Dogma yang mengabsahkan penjarahan, perampokan, pembantaian, penipuan, demi kemuliaan nama segala yang disembah dalam pemilik dogma terkait.
(5) Dogma yang berseru-seru mengajak memerangi seluruh bumi untuk ditaklukkan di bawah hukum agama sang dogma, memenangkan perang dengan mengabsahkan segala cara semisal dengan mengancam, meneror, dan menyebarkan ketakutan di hati setiap musuh.
(6) Dogma yang mengajarkan kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengan ajaran dalam dogma agama terkait.
(7) Dogma yang mengajarkan agama-agama “bukan kita” sebagai agama yang sesat, jahat, dan selalu memusuhi dan mengancam agama dari dogma terkait, bahwa orang-orang dari golongan tersebut tak akan rela sehingga “kita” semua masuk ke dalam agama mereka.
(8) Dogma yang mengajarkan bahwa semua anak keturunan musuh kita tergolong sama dengan binatang, anak-perempuan mereka najis sejak lahir, dan kaum tersebut lebih senang berhubungan seks dengan lembu.
(9) Dogma yang mengajarkan bahwa ada dua kaum bukan golongan kita, yang pertama adalah monyet-monyet dan yang kedua adalah babi-babi. Mereka itu najis, kotoran, tidak boleh disentuh, tidak murni. Jangan berteman dengan dua kaum itu, tundukkan mereka sampai mereka bayar pajak.
(10) Dogma yang mengajarkan bahwa orang-orang yang tergolong kita dibenarkan menipu orang-orang yang bukan tergolong kaum kita. Kita mempunyai kedudukan lebih tinggi dan tidak wajib membayar upah kepada orang yang bukan kaum kita.
(11) Dogma yang mengajarkan, bahwa, jika lembu seorang kaum kita melukai lembu kepunyaan orang yang bukan termasuk kaum kita, tidak perlu ada ganti rugi. Tetapi ,jika lembu orang tersebut melukai lembu kepunyaan kaum kita maka orang itu harus membayar ganti rugi sepenuh-penuhnya.
(12) Dogma yang mengajarkan bahwa barangsiapa tidak taat kepada para pemimpin agama kita akan dihukum dengan dijerang dalam kotoran manusia yang mendidih di neraka. Siapa saja yang menghendaki agama selain agama kita, tidak diterima Tuhan.
(13) Dogma yang mengajarkan bahwa menganiaya seorang pemeluk agama kita sama dengan menghujat Tuhan dan hukumannya ialah mati. Kita boleh merampok atau membunuh orang-orang yang tergolong bukan kaum kita.
Sebagai penutup perlu ditandaskan bahwa 13 dogma tidak manusiawi di atas perlu ditanamkan bagi semua anak Indonesia sejak di dalam kandungan sampai umur 6 tahun, dengan cara komunikasi yang sesuai dengan kemampuan daya tangkap mereka, sehingga sejak usia dini mereka sudah terbiasa hidup dengan dasar peradaban tinggi yang mengedepankan Akal Sehat Hati Nurani Pribadi (Sang Aku) sebagai pedoman hidup yang beradab.
Gunung Merbabu, Desember 2016 indonesiana tempo.co.id
💥
Jakarta - Aparat keamanan jangan membiarkan sekelompok massa atau organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu hadir sebagai polisi, dan memaksakan kehendak kepada kelompok massa lain, apalagi membubarkan kegiatan keagamaan. Tugas menegakkan aturan dan hukum ada di tangan Polri. Jika ada pihak yang menyelenggarakan kegiatan namun belum memenuhi aturan, seharusnya ditindak o
leh polisi bukan sekelompok massa.
Fenomena tersebut harus dihentikan. Sebab, hal tersebut mengarah pada tindakan pemaksaan kehendak dan menyuburkan sikap intoleransi dalam kehidupan keagamaan dan sendi kehidupan masyarakat lainnya.
Demikian pandangan Ketua Setara Institute Hendardi, Plt. Direktur Eksekutif Maarif Institute M Abdullah Darraz, Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais, dan pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, secara terpisah, di Jakarta Rabu (7/12) dan Kamis (8/12).
Menurut Hendardi, pembubaran kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal di Gedung Sabuga, Bandung, merupakan pelanggaran atas kebebasan beribadah. Peragaan pelanggaran HAM semacam ini,merupakan ancaman serius bagi kemajemukan Indonesia.
Dia menyayangkan cara kerja polisi dalam menangani kasus-kasus semacam ini yang belum berubah, yakni selalu memaksa kelompok minoritas yang menjadi korban yang justru harus mengikuti kehendak kelompok intoleran. Di sisi lain, ormas atau sekelompok massa dibiarkan bertindak seolah-olah menjadi polisi.
“Aktor nonnegara yang merupakan kelompok-kelompok intoleran, sesungguhnya telah melakukan tindak pidana dan harus dimintai pertanggungjawabannya, karena menghalang-halangi dan membubarkan kegiatan keagamaan,” tegas dia.
Jika tidak ada penindakan terhadap kelompok ini, lanjut Hendardi, aksi-aksi serupa akan menyebar lebih luas di banyak tempat. Dia mengingatkan, jika tidak ada tindakan tegas kepada pelaku pembubaran, justru akan mengukuhkan anarkisme di ruang publik dan memperkuat daya rusak kelompok ini pada kemajemukan Indonesia.
Di sisi lain, dia juga meminta kepala daerah untuk proaktif memfasilitasi kegiatan keagamaan oleh umat beragama di wilayahnya. “Wali Kota Bandung semestinya melakukan evaluasi komprehensif atas peristiwa ini dan mengambil kebijakan kondusif bagi kemajemukan di Kota Bandung,” ujarnya.
Senada dengan itu, Abdullah Darraz menilai pembubaran oleh sekelompok massa adalah tindakan teror pada publik. “Ruang ekspresi keagamaan menjadi lebih sesak, karena gerombolan atau kelompok intoleran semakin sewenang-wenang merampas hak asasi warga dalam menjalankan ibadah dan keyakinan agamanya,” katanya.
Terkait alasan pembubaran lantaran kegiatan KKR Natal tidak seharusnya dilakukan di tempat ibadah dan bukan di tempat umum, Darraz lantas mempertanyakan kegiatan keagamaan umat beragama lain yang juga kerap dilakukan di tempat umum. “Jangan karena merasa mayoritas, bisa dengan seenaknya menentukan ukuran benar dan salah secara tidak adil,” imbuh Darraz.
Ahmad Imam Mujadid Rais menambahkan, kegiatan KKR tak ubahnya kegiatan dakwah keagamaan yang lainnya, yang sudah semestinya mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Aspek aman meliputi jaminan keamanan dari gangguan sekelompok massa intoleran.
“Kegiatan keagamaan apapun mesti mendapat jaminan keamanan dari negara. Jika ada pihak yang merongrong jaminan keamanan tersebut, maka negara harus hadir dan menjamin tegaknya hukum dan konstitusi,” terangnya.
Sedangkan, Agustinus Pohan menilai, pembubaran KKR Natal di Gedung Sabuga, Bandung, lagi-lagi menambah daftar panjang ketidakhadiran negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi warga. Untuk menciptakan suasana kondusif, kepolisian harus mencari dan menemukan siapa aktor di balik aksi pembubaran paksa kegiatan ibadah di Bandung.
“Seharusnya negara, dalam hal ini kepolisian, menjamin kebebasan masyarakat dalam beribadah,” katanya.
Kepolisian sebaiknya tidak terus lemah dalam memberikan jaminan hukum dan perlindungan kepada masyarakat. Apalagi, konteksnya adalah untuk kebebasan beribadah.
Kepolisian sebaiknya tidak terus lemah dalam memberikan jaminan hukum dan perlindungan kepada masyarakat. Apalagi, konteksnya adalah untuk kebebasan beribadah.
“Polisi malah justru menjadi pihak yang ikut-ikutan memberikan saran untuk menghentikan ibadah. Alasannya, mencegah ekses yang lebih luas. Ini yang keliru,” ujarnya.
Persyaratan Kurang
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Polri Kombes Rikwanto menjelaskan, telah dilakukan kebaktian di Gedung Sabuga ITB. “Pada kegiatan pertama berlangsung lancar damai tidak ada insiden,” katanya.
Rikwanto melanjutkan, saat pukul 19.00, masalah mulai muncul. Menurut Rikwanto, ada massa yang mengatasnamakan Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dan Dewan Dakwah Islam (DDI) yang memprotes kegiatan itu.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Polri Kombes Rikwanto menjelaskan, telah dilakukan kebaktian di Gedung Sabuga ITB. “Pada kegiatan pertama berlangsung lancar damai tidak ada insiden,” katanya.
Rikwanto melanjutkan, saat pukul 19.00, masalah mulai muncul. Menurut Rikwanto, ada massa yang mengatasnamakan Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dan Dewan Dakwah Islam (DDI) yang memprotes kegiatan itu.
“Mereka membawa massa, hampir 300 orang. Tapi sebelum insiden, Polres Bandung melakukan mediasi dengan gereja dan ormas. Hasilnya disepakati kegiatan malam itu dihentikan karena syarat administratif belum dipenuhi, dan dilanjutkan hari berikutnya,” tambah Rikwanto.
Dia menambahkan, tidak ada kekerasan fisik dalam insiden tersebut. Menurutnya, kegiatan KKR tersebut tidak dibubarkan tetapi dihentikan. “Jadi bukan dibubarkan tapi dihentikan karena tidak penuhi syarat,” sambung Rikwanto, tanpa memerinci persyaratan yang kurang yang dimaksudnya.
Yustinus Paat/Farouk Arnaz/Yeremia Sukoyo/ALD
Suara Pembaruan
Jakarta beritasatu - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berharap Kepolisian dan aparat pemerintah tidak tunduk pada tuntutan dan pemaksaan kehendak melalui pengerahan massa, seperti yang terjadi pada kasus pelarangan ibadah perayaan Natal dalam Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dipimpin pendeta Stephen Tong di Gedung Sabuga, Bandung, Selasa (6/12).
Harapan tersebut disampaikan PGI melalui surat yang dikirim ke Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Rabu (7/12). Surat yang ditandatangani Ketua Umum PGI pendeta Henriette Lebang dan Sekretaris Umum PGI pendeta Gomar Gultom juga ditembuskan kepada menteri agama, gubernur Jawa Barat, kapolda Jawa Barat, dan wali kota Bandung.
"Kami sangat menyesalkan sikap Kepolisian yang seharusnya melindungi hak-hak warga negara melaksanakan kegiatan ibadah, karena telah memiliki izin, malah tunduk pada tuntutan sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS)," demikian surat PGI.
Apabila aparat Kepolisian dan aparat pemerintah tetap tunduk pada tuntutan dan pemaksaaan kehendak massa, PGI khawatir hal-hal tersebut menjadi ancaman serius bagi perjalanan bangsa yang berdasar pada hukum dan keadilan.
PGI menilai kejadian tersebut mencederai upaya bersama dalam merawat kemajemukan masyarakat dan meminta perhatian kapolri agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi pada waktu yang akan datang.
Anselmus Bata/AB
BeritaSatu.com
🙏
Jakarta. President Joko "Jokowi" Widodo has been criticized for attending a mass prayer that formed part of another protest by hardline Muslim groups against Governor Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama in Jakarta on Friday (02/12).
Protestors were demanding the jailing of Ahok, a Christian of Chinese descent, who was declared a suspect in a blasphemy investigation last month.
The pro-democracy Setara Institute said the president's action has set a bad precedent for religious tolerance and law enforcement in the country.
"Jokowi's presence in the middle of the masses has set a bad precedent for the national life. Jokowi made a compromise with the elites of intolerant groups, which have repeatedly committed acts of violence," Setara Institute executive director Hendardi said in a statement on Friday.
The protest rally, attended by hundreds of thousands of Muslims at the National Monument (Monas) complex in Central Jakarta, saw the unexpected arrival of Jokowi and several of his ministers, who joined in a Friday prayer that concluded the proceedings.
The president briefly addressed the crowd to express his appreciation for the peaceful nature of the rally, led by Rizieq Shihab, leader of the hardline Islamic Defenders Front (FPI).
Since its founding in the 1990s, the FPI has frequently committed acts of violence, including vigilante raids on entertainment establishments and disrupting minority religious events.
"The masses have become a source of legitimacy to determine the legal process and for making political decisions," Hendardi said.
Friday's protest rally was the third in just over a month.
The protest rally, attended by hundreds of thousands of Muslims at the National Monument (Monas) complex in Central Jakarta, saw the unexpected arrival of Jokowi and several of his ministers, who joined in a Friday prayer that concluded the proceedings.
The president briefly addressed the crowd to express his appreciation for the peaceful nature of the rally, led by Rizieq Shihab, leader of the hardline Islamic Defenders Front (FPI).
Since its founding in the 1990s, the FPI has frequently committed acts of violence, including vigilante raids on entertainment establishments and disrupting minority religious events.
"The masses have become a source of legitimacy to determine the legal process and for making political decisions," Hendardi said.
Friday's protest rally was the third in just over a month.
🙋
RMOL. Jaksa Agung M. Prasetyo diingatkan untuk tidak ikut cawe-cawe alias "mengamankan" Basuki Tjahja Purnama (Ahok), yang kini berkas perkaranya sudah lengkap alias P21.
Jelas Makmun, begitu juga hakim yang menangani kasus Ahok, jangan coba-coba mengabaikan prinsip keadilan dalam penegakan hukum.
"Jangan membikin umat Islam yang sudah sangat toleran, tertib dan santun justru bertindak sebaliknya hanya karena hakim tak mampu bertindak adil," ucapnya.
Ia menambahkan, keadilan persidangan dalam kasus Ahok hanya bisa dipahami umat Islam ketika hakim menjatuhkan vonia bahwa Ahok bersalah.
"Sebab membebaskan Ahok dari jerat hukum itu bak api dalam sekam," tukas Makmun seperti dilansir akun fecebooknya.
Kemarin, Kejagung telah merampungkan pemeriksaan berkas perkara kasus dugaan penodaan agama dengan tersangka Ahok, hasilnya dinyatakan lengkap alias P21. Artinya, kasus Ahok akan segera menjalani proses hukum di meja hijau. [rus]
TEMPO.CO, Bekasi - Seorang pendeta berinisial DM, 53 tahun, dilaporkan ke Polda Metro Jaya setelah diduga melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur hingga melahirkan. "Anaknya sudah diadopsi di Jawa Tengah," kata komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Kota Bekasi, Ruri Arif Rianto, Jumat, 11 September 2015.
Ia mengatakan peristiwa pencabulan secara terus-menerus itu terjadi pada Februari 2013, di sebuah hotel kelas melati di bilangan Bekasi Timur. Tak disangka, setelah intensif berhubungan badan, korban yang masih berusia 13 tahun akhirnya terlambat datang bulan. "Ternyata korban hamil," katanya.
Sementara itu, korban CV, 15 tahun, mengatakan modus yang dilakukan pelaku adalah awalnya membahas perihal kegiatan gereja. Keduanya intensif berkomunikasi melalui telepon seluler. Hingga akhirnya, pertemuan berlanjut di sebuah rumah makan. "Setelah itu, saya diajak ke hotel," kata CV, yang didampingi KPAI.
Di dalam kamar, ia dipaksa melayani nafsu bejat pelaku. Alasannya, melayani seorang gembala Tuhan tak jadi masalah. Padahal dia sudah menolak. Namun, karena mendapat ancaman, ia tak berani melawan. "Katanya, saya harus disucikan," ucapnya.
Tak lama kemudian, korban diketahui positif hamil. Namun lagi-lagi pelaku berkilah bahwa anak yang dikandungnya adalah jelmaan iblis. Karena itu, dia diminta pergi ke Jawa Tengah untuk berpuasa selama tiga hari di Bukit Doa, Semarang. "Saya tak berani bercerita kepada orang tua," katanya.
Korban pun menurut dan pergi dari rumah tanpa sepengetahuan keluarga. Ia dibekali ongkos serta ponsel baru. Di sisi lain, pelaku berbicara kepada keluarga bahwa CV tengah mendalami agama di Semarang, Jawa Tengah. "Setelah lahir, saya dibawa ke Surabaya, lalu pulang," kata CV.
Tak tahan atas kasus yang dialami, akhirnya korban bercerita yang sebenarnya kepada keluarga pada Juni lalu. Soalnya, selama ini keluarga tahu bahwa CV hamil hingga melahirkan akibat pergaulan bebas. "Kasusnya sudah dilaporkan," kata Ruri.
Namun laporan ke Polda pada 7 Agustus dengan nomor laporan LP/3092/VIII/2015/PMJ/DitReskrimum hingga kini belum diketahui kelanjutannya. Pihaknya berharap laporan itu segera diselidiki dan ditingkatkan ke penyidikan. "Kasihan korban sekarang trauma," katanya.
Untuk memulihkan psikologis korban, ujar Ruri, pihaknya menyiapkan psikolog sehingga, jika traumanya sembuh, korban dapat melanjutkan sekolah. Sebab, korban saat ini masih berusia 15 tahun. "Dia masih punya masa depan," katanya.
ADI WARSONO
MAKASSAR - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Musakkir, resmi jadi tersangka dalam kasus narkotika. Banyak pihak yang kaget mendengar hal itu, Musakkir dikenal sebagai orang baik dan taat beribadah.
Saat Okezone berkunjung ke rumah Musakkir di perumahan dosen Blok AI 1 Nomor 8 Tamalanrea Makassar, Selasa, (18/11/2014), tampak dari luar rumah tersebut tampak kosong dan sepi.
Daeng Rani, tetangga Musakkir, mengaku, awalnya kaget dan tidak percaya begitu mendengar kabar Musakkir ditahan polisi karena kasus narkoba.
"Saya kaget dan tidak percaya awalnya, karena dia itu sering salat berjamaah di masjid, tapi pas saya liat langsung di televisi akhirnya saya percaya," katanya.
Menurutnya, sejak Musakkir berurusan dengan polisi, keluarganya jarang terlihat di rumah. "Kami lihat rumahnya memang sering kosong setelah tersebarnya kasus itu, mungkin keluarganya ke Jeneponto di rumah orangtua pak Prof," ucap Rani.
Musakkir digerebek polisi saat berpesta sabu-sabu bersama lima orang lainnya di salah satu hotel di Makassar. Tidak hanya di penjara, Guru Besar itu juga terancam dipecat dari tempatnya bekerja.
Merdeka.com - Wacana kawin beda agama kembali mencuat ketika seorang mahasiswa dan empat orang alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara spesifik, mereka meminta tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP, sehingga tidak ada hambatan bagi siapapun untuk melakukan kawin beda agama. Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Anbar Jayadi, mahasiswa hukum yang dimaksud, bersama beberapa alumni, yakni Rangga Sujud, Varida Megawati, Damian Agata dan Lutfi Sahputra, meminta MK memberi tafsir sehingga menimbulkan kepastian hukum.
Dalam persidangannya, hakim konstitusi meminta sejumlah majelis agama dan ormas keagamaan untuk memberi pandangannya terkait kawin beda agama. Berikut pandangan-pandangan mereka:
PGI nilai larangan kawin beda agama langgar HAM
Merdeka.com - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) menilai ketentuan yang melarang adanya perkawinan beda agama
seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Majelis agama Kristen itu menganggap larangan tersebut telah mengabaikan hak seseorang untuk menikah dan berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang dari moral seperti hidup bersama tanpa perkawinan.
"Banyak pasangan yang beda agama terjebak dalam situasi yang tidak mereka kehendaki yaitu tidak memiliki rasa moral seperti hidup bersama tanpa menikah," ujar anggota Komisi Hukum PGI Nikson Lalu.
Hal itu dikatakan Nikson dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11). Dia menjadi ahli dalam sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dimohonkan oleh empat orang alumnus dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Nikson mengatakan ketentuan pasal dimaksud mengandung potensi hilangnya pengakuan atas pernikahan beda agama. Hal ini lantaran catatan sipil menolak untuk mencatatkan pernikahan pasangan beda agama.
"Pasal ini justru membuat potensi penyimpangan moral dan spiritual karena banyaknya catatan sipil menolak menikahkan mereka," ungkap dia.
Selanjutnya, Nikson mengakui gereja bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, namun harus patuh pada peraturan negara. Meski demikian, hal itu bukan berarti gereja tidak diperbolehkan kritis terhadap kebijakan negara yang bersifat diskriminatif.
Di samping itu, menurut Nikson, pasal dimaksud diberlakukan menggunakan interpretasi yang sempit. Hal itu berdampak pada munculnya sifat diskriminatif pada UU Perkawinan.
"Bahwa penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyimpang dari rasa keadilan, karena secara teologis orang yang berbeda agama pun tidak boleh dilarang untuk menikah," kata dia.
Lebih lanjut, Nikson juga menganggap lembaga catatan sipil seharusnya hanya bertugas melakukan pencatatan atas terjadinya pernikahan. Tetapi, pada faktanya lembaga ini melampaui wewenangnya dengan menolak pencatatan pernikahan beda agama.
"Artinya lembaga ini telah mengintervensi keabsahan dari suatu perkawinan yang telah disahkan oleh agama," ungkap dia.
Majelis agama Kristen itu menganggap larangan tersebut telah mengabaikan hak seseorang untuk menikah dan berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang dari moral seperti hidup bersama tanpa perkawinan.
"Banyak pasangan yang beda agama terjebak dalam situasi yang tidak mereka kehendaki yaitu tidak memiliki rasa moral seperti hidup bersama tanpa menikah," ujar anggota Komisi Hukum PGI Nikson Lalu.
Hal itu dikatakan Nikson dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11). Dia menjadi ahli dalam sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dimohonkan oleh empat orang alumnus dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Nikson mengatakan ketentuan pasal dimaksud mengandung potensi hilangnya pengakuan atas pernikahan beda agama. Hal ini lantaran catatan sipil menolak untuk mencatatkan pernikahan pasangan beda agama.
"Pasal ini justru membuat potensi penyimpangan moral dan spiritual karena banyaknya catatan sipil menolak menikahkan mereka," ungkap dia.
Selanjutnya, Nikson mengakui gereja bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, namun harus patuh pada peraturan negara. Meski demikian, hal itu bukan berarti gereja tidak diperbolehkan kritis terhadap kebijakan negara yang bersifat diskriminatif.
Di samping itu, menurut Nikson, pasal dimaksud diberlakukan menggunakan interpretasi yang sempit. Hal itu berdampak pada munculnya sifat diskriminatif pada UU Perkawinan.
"Bahwa penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyimpang dari rasa keadilan, karena secara teologis orang yang berbeda agama pun tidak boleh dilarang untuk menikah," kata dia.
Lebih lanjut, Nikson juga menganggap lembaga catatan sipil seharusnya hanya bertugas melakukan pencatatan atas terjadinya pernikahan. Tetapi, pada faktanya lembaga ini melampaui wewenangnya dengan menolak pencatatan pernikahan beda agama.
"Artinya lembaga ini telah mengintervensi keabsahan dari suatu perkawinan yang telah disahkan oleh agama," ungkap dia.
MUI: Pemohon kawin beda agama berpikir kolonial dan dangkal
Merdeka.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara
tegas menolak pencabutan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini lantaran pencabutan tersebut
dapat membuka peluang bagi terjadinya perkawinan beda agama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Terkait hal ini, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pengurus MUI Luthfie Hakim menyatakan pemohon uji materi pasal tersebut berpikiran dangkal. Dia mendasarkan hal ini pada dalil diajukan oleh pemohon yang menyatakan ketiadaan pasal tersebut tidak akan menyebabkan hilangnya aspek religius dalam konstelasi hukum perkawinan di Indonesia.
"Cara pandang para pemohon tampak dangkal dan tumpul. Karena justru pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itulah terletak aspek religius hukum perkawinan di Indonesia," ujar Luthfie dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Selain itu, Luthfie menerangkan pemohon seolah ingin mengajak masyarakat untuk kembali merujuk pada hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hal itu justru mengajak masyarakat untuk berpikir mundur.
"Para pemohon hadir dalam persidangan ini dengan maksud mengajak kita semua kembali pada cara pandang kolonialis Belanda," ungkap dia.
Selanjutnya, Luthfie menjelaskan keinginan para pemohon agar ada pengesahan beda agama sama seperti pemberlakuan Rancangan Ordonansi Perkawinan pada tahun 1937 yang akan diberlakukan kepada orang-orang Indonesia yang beragama Islam, Hindu, Animis, dan timur asing.
Lebih jauh, Luthfie menuding para pemohon tidak memiliki referensi yang cukup dalam mengajukan permohonan ini. Hal ini karena pemohon tidak memiliki pengetahuan bagaimana sulitnya UU Perkawinan ini dulu dibuat dan disahkan.
"Seandainya saja para pemohon uji materi membaca terlebih dahulu sejarah panjang perumusan Pasal 2 ayat (1), maka MUI meyakini para pemohon sebagai kaum terpelajar tentu tidak akan mengajukan permohonan yang seluruh posita permohonannya sudah menjadi bagian dari perdebatan panjang perumusan pasal yang diuji dalam persidangan ini," terangnya.
zAAz
Terkait hal ini, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pengurus MUI Luthfie Hakim menyatakan pemohon uji materi pasal tersebut berpikiran dangkal. Dia mendasarkan hal ini pada dalil diajukan oleh pemohon yang menyatakan ketiadaan pasal tersebut tidak akan menyebabkan hilangnya aspek religius dalam konstelasi hukum perkawinan di Indonesia.
"Cara pandang para pemohon tampak dangkal dan tumpul. Karena justru pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itulah terletak aspek religius hukum perkawinan di Indonesia," ujar Luthfie dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Selain itu, Luthfie menerangkan pemohon seolah ingin mengajak masyarakat untuk kembali merujuk pada hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hal itu justru mengajak masyarakat untuk berpikir mundur.
"Para pemohon hadir dalam persidangan ini dengan maksud mengajak kita semua kembali pada cara pandang kolonialis Belanda," ungkap dia.
Selanjutnya, Luthfie menjelaskan keinginan para pemohon agar ada pengesahan beda agama sama seperti pemberlakuan Rancangan Ordonansi Perkawinan pada tahun 1937 yang akan diberlakukan kepada orang-orang Indonesia yang beragama Islam, Hindu, Animis, dan timur asing.
Lebih jauh, Luthfie menuding para pemohon tidak memiliki referensi yang cukup dalam mengajukan permohonan ini. Hal ini karena pemohon tidak memiliki pengetahuan bagaimana sulitnya UU Perkawinan ini dulu dibuat dan disahkan.
"Seandainya saja para pemohon uji materi membaca terlebih dahulu sejarah panjang perumusan Pasal 2 ayat (1), maka MUI meyakini para pemohon sebagai kaum terpelajar tentu tidak akan mengajukan permohonan yang seluruh posita permohonannya sudah menjadi bagian dari perdebatan panjang perumusan pasal yang diuji dalam persidangan ini," terangnya.
PBNU: Kawin beda agama jalan untuk ajak orang keluar agama asal
Merdeka.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
secara tegas menolak terjadinya perkawinan beda agama. Hal ini lantaran
pernikahan beda agama merupakan salah satu jalan untuk mengajak
seseorang keluar dari agama asalnya.
Rais Syuriyah PBNU Ahmad Ishomuddin mengakui terdapat sebagian ulama yang membolehkan adanya pernikahan beda agama. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menarik umat agama lain masuk ke dalam Islam. Atas dasar itulah pernikahan beda agama dilarang.
"Dengan beberapa alasan, kecil kemungkinan menarik wanita beragama Yahudi atau Nasrani masuk ke agama Islam, dan masih banyak cara lain untuk mengajak orang masuk ke agama Islam," ujar Ishomuddin dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Ishomuddin mengatakan terdapat alasan lain dari pelarangan tersebut. Menurut dia, masih banyak tersedianya wanita muslimah yang bisa dinikahi oleh pria muslim juga sebaliknya menjadi salah satu alasannya.
"Kemudian, bahwa perkawinan muslim dengan wanita kitabiah akan mengakibatkan mufadiah yang besar dalam kehidupan berkeluarga dan muncul akibat hukum lain yang pelik menyangkut masalah keimanan. anak, dan haram halalnya," ungkap dia.
Lebih lanjut, Ishomuddin menerangkan ketentuan yang mengatur pernikahan harus dijalankan dalam agama yang sama sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, terang dia, keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak perlu diubah.
"Maka pernikahan beda agama dinyatakan tidak bisa dilakukan secara Islam dan tidak bisa dicatatkan ke urusan agama. PBNU memohon kepada hakim MK untuk tidak mengabulkan tuntutan apapun oleh para pemohon" ungkap dia.
Rais Syuriyah PBNU Ahmad Ishomuddin mengakui terdapat sebagian ulama yang membolehkan adanya pernikahan beda agama. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menarik umat agama lain masuk ke dalam Islam. Atas dasar itulah pernikahan beda agama dilarang.
"Dengan beberapa alasan, kecil kemungkinan menarik wanita beragama Yahudi atau Nasrani masuk ke agama Islam, dan masih banyak cara lain untuk mengajak orang masuk ke agama Islam," ujar Ishomuddin dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Ishomuddin mengatakan terdapat alasan lain dari pelarangan tersebut. Menurut dia, masih banyak tersedianya wanita muslimah yang bisa dinikahi oleh pria muslim juga sebaliknya menjadi salah satu alasannya.
"Kemudian, bahwa perkawinan muslim dengan wanita kitabiah akan mengakibatkan mufadiah yang besar dalam kehidupan berkeluarga dan muncul akibat hukum lain yang pelik menyangkut masalah keimanan. anak, dan haram halalnya," ungkap dia.
Lebih lanjut, Ishomuddin menerangkan ketentuan yang mengatur pernikahan harus dijalankan dalam agama yang sama sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, terang dia, keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak perlu diubah.
"Maka pernikahan beda agama dinyatakan tidak bisa dilakukan secara Islam dan tidak bisa dicatatkan ke urusan agama. PBNU memohon kepada hakim MK untuk tidak mengabulkan tuntutan apapun oleh para pemohon" ungkap dia.
Walubi: Jika berjodoh, perkawinan beda agama tak bisa dihindari
Merdeka.com - Perwakilan Umat Buddha Indonesia
(Walubi) menyatakan perkawinan beda agama tidak dapat dihindari jika
sejoli sudah berjodoh. Hal ini berdasar pada ajaran karma yang
menyatakan perkawinan dapat terjadi karena jodoh masa lampau tanpa
memandang latar belakang agama.
"Dalam analoginya, Buddha mengatakan sepasang manusia melangsungkan pernikahan karena adanya jodoh masa lampau, kuat sangat dalam," ujar Ketua Bidang Ajaran Walubi Suhadi Sendjaja dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Suhadi mengatakan, pernikahan merupakan peristiwa kemanusiaan yang berlangsung antar-manusia. Menurut dia, dalam hal ini nilai moral menjadi patokan utama.
Namun demikian, terang Suhadi, agama Buddha juga tidak pernah memberikan aturan ketat terkait perilaku manusia. Ini karena ajaran Buddha memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk menjalankan dharma tanpa harus berpindah agama.
"Sampai suatu ketika tiga kali datang Buddha mengatakan bahwa anda boleh saja mempraktikkan dharma, tetapi anda tetap harus mengatakan bahwa anda beragama yg sebelumnya itu. Buddha juga tidak menerima sumbangan dana dari yang bersangkutan," kata dia.
Meski demikian, Suhadi menerangkan umat Buddha sendiri selalu patuh terhadap ketentuan pemerintah termasuk pada persoalan perkawinan. Menurut dia, Walubi berusaha agar perkawinan tetap berjalan dengan iman yang sama.
"Sebenarnya kita usahakan seiman, tetapi jika sampai terjadi ada yang beda ya kita upayakan agar pernikahan itu tetap berlangsung, karena ini bisa terjadi disebabkan ada jodoh karma yang kuat dan dalam," ungkap dia.
"Dalam analoginya, Buddha mengatakan sepasang manusia melangsungkan pernikahan karena adanya jodoh masa lampau, kuat sangat dalam," ujar Ketua Bidang Ajaran Walubi Suhadi Sendjaja dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Suhadi mengatakan, pernikahan merupakan peristiwa kemanusiaan yang berlangsung antar-manusia. Menurut dia, dalam hal ini nilai moral menjadi patokan utama.
Namun demikian, terang Suhadi, agama Buddha juga tidak pernah memberikan aturan ketat terkait perilaku manusia. Ini karena ajaran Buddha memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk menjalankan dharma tanpa harus berpindah agama.
"Sampai suatu ketika tiga kali datang Buddha mengatakan bahwa anda boleh saja mempraktikkan dharma, tetapi anda tetap harus mengatakan bahwa anda beragama yg sebelumnya itu. Buddha juga tidak menerima sumbangan dana dari yang bersangkutan," kata dia.
Meski demikian, Suhadi menerangkan umat Buddha sendiri selalu patuh terhadap ketentuan pemerintah termasuk pada persoalan perkawinan. Menurut dia, Walubi berusaha agar perkawinan tetap berjalan dengan iman yang sama.
"Sebenarnya kita usahakan seiman, tetapi jika sampai terjadi ada yang beda ya kita upayakan agar pernikahan itu tetap berlangsung, karena ini bisa terjadi disebabkan ada jodoh karma yang kuat dan dalam," ungkap dia.
FPI: Gugatan Mahasiswa UI minta kawin beda agama ngawur!
Merdeka.com - Front Pembela Islam (FPI) mencibir
upaya uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang dilakukan empat mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI).
Bagi mereka, judicial review atas undang-undang tersebut super ngawur.
"Jika kita mengikuti pola fikir pemohon yang super ngawur maka bukan hanya norma agama yang ditabrak, melainkan tata cara atau adat istiadat pernikahan setiap suku-suku di Indonesia menjadi tidak berarti," kata Kuasa Hukum FPI, Mirza Zulkarnaen pada sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (14/10).
Menurut Mirza, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan memuat filosofis dengan meletakkan norma agama berdasarkan Ketuhanan di atas aturan negara, serta memberi kebebasan bagi setiap orang untuk beribadat sesuai dengan agamanya.
Dia melanjutkan, aturan itu ditetapkan agar tidak terjadi pertentangan keabsahan perkawinan. Mengingat setiap agama memiliki norma dan aturan berbeda soal perkawinan. Jika dua orang ingin melangsungkan pernikahannya, maka diwajibkan memilih salah satu agama untuk pengesahan demi menjaga dan mengantisipasi terjadi pertentangan dan perselisihan antara umat beragama.
Dengan teks Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini, keyakinan masing-masing orang yang melakukan pernikahan dijamin menurut agama dan kepercayaan sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama.
"Jika tidak ada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini maka pernikahan cukup dengan perjanjian perdata biasa dan itu tidak dikenal di Indonesia sehingga dapat dikualisir pernikahan versi pemohon adalah kumpul kebo," tegas Mirza.
FPI juga menilai kekeliruan sangat fatal dalam menafsirkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan oleh pemohon, yakni tidak menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan perkawinan. Mirza menegaskan, perkawinan hanya bisa dilakukan antara dua manusia berlainan jenis, yaitu pria dan wanita.
"Kecuali pemohon menafsirkan perkawinan hanya satu sehingga unsur setiap orang masih memungkinkan berpotensi dilanggar oleh Pasal 2 ayat (1), namun bukanlah perkawinan jika dilakukan oleh satu orang melainkan perbuatan masturbasi dan onani," kata Mirza di depan majelis hakim yang diketuai Hamdan Zoelva.
"Bahkan di negara yang paling sekuler sekalipun seperti Amerika Serikat pernikahan tetap dilakukan di Gereja dengan norma dan aturan gereja, dan negara hanya mencatat secara administrasi," tegas Mirza.
Atas pertimbangan itu, FPI meminta MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Mirza khawatir jika MK mengabulkan permohonan pemohon akan memberikan jalan untuk mengabulkan pernikahan sejenis.
Seperti diketahui, empat pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra mengajukan judicial review atas Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Pasal itu berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu".
Bagi mereka, aturan itu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
"Jika kita mengikuti pola fikir pemohon yang super ngawur maka bukan hanya norma agama yang ditabrak, melainkan tata cara atau adat istiadat pernikahan setiap suku-suku di Indonesia menjadi tidak berarti," kata Kuasa Hukum FPI, Mirza Zulkarnaen pada sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (14/10).
Menurut Mirza, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan memuat filosofis dengan meletakkan norma agama berdasarkan Ketuhanan di atas aturan negara, serta memberi kebebasan bagi setiap orang untuk beribadat sesuai dengan agamanya.
Dia melanjutkan, aturan itu ditetapkan agar tidak terjadi pertentangan keabsahan perkawinan. Mengingat setiap agama memiliki norma dan aturan berbeda soal perkawinan. Jika dua orang ingin melangsungkan pernikahannya, maka diwajibkan memilih salah satu agama untuk pengesahan demi menjaga dan mengantisipasi terjadi pertentangan dan perselisihan antara umat beragama.
Dengan teks Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini, keyakinan masing-masing orang yang melakukan pernikahan dijamin menurut agama dan kepercayaan sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama.
"Jika tidak ada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini maka pernikahan cukup dengan perjanjian perdata biasa dan itu tidak dikenal di Indonesia sehingga dapat dikualisir pernikahan versi pemohon adalah kumpul kebo," tegas Mirza.
FPI juga menilai kekeliruan sangat fatal dalam menafsirkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan oleh pemohon, yakni tidak menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan perkawinan. Mirza menegaskan, perkawinan hanya bisa dilakukan antara dua manusia berlainan jenis, yaitu pria dan wanita.
"Kecuali pemohon menafsirkan perkawinan hanya satu sehingga unsur setiap orang masih memungkinkan berpotensi dilanggar oleh Pasal 2 ayat (1), namun bukanlah perkawinan jika dilakukan oleh satu orang melainkan perbuatan masturbasi dan onani," kata Mirza di depan majelis hakim yang diketuai Hamdan Zoelva.
"Bahkan di negara yang paling sekuler sekalipun seperti Amerika Serikat pernikahan tetap dilakukan di Gereja dengan norma dan aturan gereja, dan negara hanya mencatat secara administrasi," tegas Mirza.
Atas pertimbangan itu, FPI meminta MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Mirza khawatir jika MK mengabulkan permohonan pemohon akan memberikan jalan untuk mengabulkan pernikahan sejenis.
Seperti diketahui, empat pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra mengajukan judicial review atas Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Pasal itu berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu".
Bagi mereka, aturan itu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
zAAz
Nobel Peace Prize Awarded to Pakistan’s Malala Yousafzai, India’s Kailash Satyarthi Committee Seeks to Draw Attention to Violations of Children’s Rights and Persistence of Child Labor By Sean McLain, Niharika Mandhana and Kjetil Malkenes Hovland Updated Oct. 10, 2014 1:36 p.m. ET
Pakistani student Malala Yousafzai and Indian children’s rights activist Kailash Satyarthi have been awarded the Nobel Peace Prize for their "struggle for education and against extremism." (Photo: Getty)
Indian children’s-rights activist Kailash Satyarthi and Malala Yousafzai, a Pakistani teenager shot by Taliban militants after campaigning for girls’ education, were awarded this year’s Nobel Peace Prize on Friday, in the same week that cross-border violence flared up between their countries.
The Norwegian Nobel Committee sought to draw attention to problems that persist globally: child labor and the limits imposed on women and girls by radical Islamists.
In its statement announcing the prize, the Norwegian Nobel Committee said it is “an important point for a Hindu and a Muslim, an Indian and a Pakistani, to join in a common struggle for education and against extremism.”
The joint honor came at the end of a week in which fighting between India and Pakistan left 17 people dead and more than 100 injured as the neighbors’ forces traded mortar and small-arms fire. Nobel Prize Winners, 2014
Hindu-majority India and Muslim-majority Pakistan have fought three wars since gaining independence from Britain in 1947 after the partition of the South Asian subcontinent along religious lines. Nobel committee chairman Thorbjørn Jagland said this year’s prize was unrelated to the current confrontation between the nuclear-armed rivals but, he said, “any contribution to resolving any conflict is of course good.” In its prize citation, the committee said that 17-year-old Ms. Yousafzai, the youngest person so far to win the Nobel Peace Prize, had fought for girls’ rights to schooling “under the most dangerous circumstances.” Ms. Yousafzai, speaking in Birmingham, England, where she lives, said she felt honored to be chosen as a Nobel Laureate and that the award made her feel more powerful and courageous. She said her teacher had taken her aside in class to tell her the news. “I’m proud that I’m the first Pakistani and first the young woman, or the first young person, who is getting this award,” she said. “This is not the end, this is not the end of my campaign, this is the beginning.” She also said she was happy to share the award with another campaigner for children’s rights, Mr. Satyarthi, and appealed for peace between India and Pakistan. More Yousafzai Rose to Prominence After Taliban Shooting Satyarthi Hopes Win Draws Attention to Plight of Children Malala Yousafzai’s Co-Author Says Nobel Peace Prize Richly Deserved Q&A With Kailash Satyarthi Malala Yousafzai’s Year in Photos (10/9/13) In Swat, Battle for Girls’ Education Continues (10/9/13) Mr. Satyarthi, who leads an Indian nonprofit, the Save the Childhood Movement, had shown “great personal courage” while “focusing on the grave exploitation of children for financial gain,” the Nobel committee said. “This prize is a recognition and honor to hundreds and millions of children who are still languishing in slavery, who are still deprived of their childhood, their education, their health care, their fundamental rights,” Mr. Satyarthi told journalists crammed into his office in the Indian capital. The 60-year-old has for decades been a leading voice in the fight against child trafficking and forced labor in India. Save the Childhood Movement says it has rescued 83,000 Indian children from servitude in India since 1981. He also said that he thought the prize carried a pointed message. “I think it is a big statement from the Nobel committee,” he said. “It has to be read between the lines—not by the governments alone, but by the public in general, by every Indian citizen and every Pakistani citizen. Globally, the incidence of underage work is declining, but remains widespread, with children toiling in brickyards, factories and as domestic servants. The United Nations says there were 168 million child workers in 2012—78 million fewer than in 2000. India has more than 280 million children between the ages of 5 and 14, according to the country’s 2011 census. Unicef says 12% of them are child laborers, though India’s official figures put the number as low as 1.5%, or about 4.3 million children. Not all child labor is illegal in India, where the government imposes limits on the number of hours and kinds of work children can do. Poor-quality public education and families’ need for children’s wages are among the main reasons children leave school for the workforce, development groups say. Asked Friday if he thought India’s government had failed the country’s children, Mr. Satyarthi said: “Absolutely, they have failed. Not just them, it is a collective failure of the international community.” Life for Nobel Peace Prize winner Malala Yousafzai has never been particularly normal. WSJ’s Dipti Kapadia looks at Ms. Yousafzai’s life since she was shot in 2012. Photo: AP Ms. Yousafzai rose to prominence in 2009 when she started writing an online diary about her experience living under the Taliban in Pakistan’s northern Swat valley. She criticized restrictions on education for girls and became a campaigner for women’s rights and education, drawing the ire of the Pakistani Taliban. On Oct. 9, 2012, when she was on her way home from school, two gunmen stopped Ms. Yousafzai’s school van and shot her in the head. Fifteen years old at the time, she survived and—undeterred by the attack—has continued to campaign around the world to raise awareness about education. “I think it’s absolutely fantastic,” said Christina Lamb, who co-wrote Ms. Yousafzai’s book, “I Am Malala.” “I don’t think it could’ve been given to a better person. She really is out there trying to make a difference and she risked her life for it, so that should be rewarded.” The pair was honored by the Norwegian Nobel Committee for showing great personal courage in “their struggle against the suppression of children and young people and for the right of all children” to schooling. Indian President Pranab Mukherjee congratulated Mr. Kailash on the prize and his work aimed at abolishing child labor in India. The Nobel Committee said Malala Yousafzai, left, and Kailash Satyarthi were awarded the prize for their struggle for child education. Getty Images “The prize should be seen as recognition of the contributions of India’s vibrant civil society in addressing complex social problems such as child labor,” Mr. Mukherjee said. The five-member Nobel Committee picked the winner out of a record 278 nominations that included former U.S. intelligence contractor Edward Snowden and Pope Francis. The committee has come under fire in recent years for selecting winners such as the European Union in 2012 and President Barack Obama in 2009, but the 8 million-kronor ($1.1 million) cash award is still considered one of the most prestigious honors in the world.
This year’s winners were widely praised and regarded as being more in line with the traditional spirit of Alfred Nobel. “This is an excellent choice,” said Anna Ek, chairwoman for the Swedish Peace and Arbitration Society. “This is a way to acknowledge people who are trying to change the world with peaceful means on the grass-roots level.”
Ms. Ek added: “there’s a very nice symbolism in sharing the prize jointly between an Indian and a Pakistani. Hopefully, this can be a positive injection in that conflict and put pressure on the leaders to approach each another.”
— Preetika Rana and Atish Patel in New Delhi and Jenny Gross in London contributed to this article
Merdeka.com - Jika di masa kini pengacara top Indonesia kerap bergaya perlente, bahkan menampilkan kemewahan, jangan harap perilaku serupa ditunjukkan oleh almarhum Yap Thiam Hien. Pengacara peranakan Tionghoa ini kesohor karena hanya mau mendampingi klien yang dianggapnya pantas dibela. Alhasil, dia lebih sering menjadi pengacara kaum miskin.
Karena mengedepankan kejujuran, termasuk pantang menyuap hakim, akhirnya Yap sering kalah di pengadilan. Firma hukumnya kurang laris. Bahkan pengacara yang dikenal penganut Kristen Protestan taat ini, boleh dibilang hidup pas-pasan. Dia malah lebih aktif mengurusi Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang didirikan bersama beberapa pengacara idealis pada 29 April 1966.
Pria kelahiran Banda Aceh, 25 Mei 1913 ini menyebut prinsip utamanya bekerja sebagai pengacara adalah 'fiat justitia ruat coelum'. Artinya, keadilan harus tegak, walau langit runtuh sekalipun.
Tak hanya membela orang miskin, Yap membuktikan prinsip hidup itu dengan membela orang yang secara ideologis jelas-jelas berseberangan.
Tercatat, Yap bersedia membela Rahmat Basoeki Soeropranoto, pelaku pengeboman kantor cabang PT Bank Central Asia (BCA) di Pecenongan dan Glodok, Jakarta, pada 1984. Rahmat dikenal sebagai aktivis anti etnis China, dan tergabung dengan beberapa organisasi Islam.
Pria awalnya bekerja sebagai bankir itu beralih jadi ekstremis karena menganggap warga dari etnis minoritas terlalu lama dibiarkan menguasai perekonomian, sehingga meminggirkan kelompok pribumi.
Rahmat mengatakan, awalnya dia dan pengusaha Tashrif Tuasikal, geram melihat kekejaman Orde Baru membantai umat muslim dalam peristiwa Tanjung Priok pada 1984. Dia ditawari Tashrif membantu dana buat meledakkan Depo minyak Plumpang milik PT Pertamina. Tapi BCA akhirnya jadi sasaran, karena sang pemilik waktu itu, Soedono Salim, dianggap simbol etnis China penindas pribumi lewat ekonomi.
Rahmat yang bersimpati, iuran Rp 500.000 kepada rekannya itu untuk membeli peledak. Uang itu termasuk untuk mengajak beberapa orang lain melaksanakan aksi terorisme tersebut.
"Masalah dominasi ekonomi etnik China adalah masalah jati diri dan harga diri bangsa yang maha penting, yang harus dicarikan jalan keluar secara adil dan terhormat," kata Rahmat dalam buku otobiografinya, saat menjelaskan mengapa sangat membenci etnis peranakan.
Akibat perbuatannya, dalam sidang 18 April 1985, jaksa menuntut Rahmat hukuman mati. Selain menewaskan tiga orang, Rahmat dan kawan-kawan dianggap berniat memicu gerakan anti etnis China, bahkan disebut-sebut sudah ada manifesto buat melempari rumah warga Tionghoa dengan batu sebagai aksi susulan. Selain itu, dia dan kelompok pegiat muslim dituduh jaksa mau menggulingkan Presiden Suharto.
Di saat itulah Yap datang memperkuat tim pengacara Rahmat. Itu atas ajakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menangani kasus terorisme tersebut. Pelaku peledakan kantor BCA itu mulanya enggan dibela seorang pengacara Tionghoa. Tapi, akhirnya dia bersedia, karena tim LBH meyakinkannya bahwa tidak ada pengacara lain di Indonesia akan lebih gigih membelanya supaya terhindar dari hukuman mati, kecuali Yap.
Walau kliennya seorang pembenci China, Yap tak peduli. Dalam buku No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien susunan Daniel S. Lev, pengacara eksentrik ini menilai Rahmat sudah cukup pantas diampuni. "Saya ingin memastikan bahwa orang yang telah mengakui perbuatannya diberikan hak penuh di pengadilan," kata Yap.
Terbukti, pada lanjutan sidang, Yap bersama tim pembela Rahmat mati-matian meyakinkan hakim bahwa vonis mati berlebihan. Hasilnya, pada sidang 9 Mei 1985, hakim luluh. Rahmat 'hanya' divonis penjara 17 tahun.
Yap dalam kliping berita Kompas edisi 10 Mei 1985 tidak menyangka bisa menghindarkan Rahmat dari ganjaran bui terlalu lama. Itupun dia tidak mau membesar-besarkan jasanya.
"Cukup ringan, saya kita tadinya seumur hidup. Ini bukan karena kami hebat membela, tapi karena kemurahan Tuhan," kata Yap seusai sidang.
Rahmat yang sempat tak sudi dibela Yap akhirnya luluh. Setidaknya, di bukunya yang terbit pada 1999, dia mengakui tidak semua peranakan Tionghoa harus dibenci. "Ada keturunan China yang sudah menyatu dengan suka duka bangsa kita, seperti almarhum Dr Yap Thiam Hien, pembela saya dalam kasus peledakan BCA 1984," kata Rahmat.
[gib]
Indonesia Hilang di Aceh
Indonesia
memiliki akar dan sejarah panjang yang bisa menyatukan perbedaan.
JIKA
Qanun Jinayat (Pidana) sebagai bagian dari pemberlakuan syariat Islam
di Aceh disahkan pada Jumat (26/9) atau paling lambat Oktober 2014,
kita tak akan lagi melihat Indonesia di Aceh.
Pemandangan Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa yang didukung kebinekaan, yang menghargai keberagaman, yang menghormati perbedaan, dan yang mendorong pluralisme, tak akan lagi kita lihat di Aceh.
Sebagai ganti, kita akan melihat wajah bangsa yang seragam, penuh kecemasan, selalu takut berbuat salah, tak berani bersikap beda karena khawatir kena berangus, dan tumpul kreativitas.
Bukan tidak mungkin, ke depan kita benar-benar tak mengenali bumi Aceh sebagai bagian dari Indonesia.
Membaca pasal-pasal dalam Qanun Jinayat, kita akan menemukan hukum-hukum agama yang sangat keras yang diberlakukan di masa lalu dan di sejumlah negara yang menerapkan syariat Islam.
Qanun tersebut menerapkan larangan soal konsumsi minuman keras (khamar), maisir atau perjudian, khalwat atau berdua-duaan di tempat sepi dengan lawan jenis yang bukan muhrim, juga ikhtilath (perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan, dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik di tempat tertutup atau terbuka).
Selain itu, diatur tentang zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf atau menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi. Qanun Jinayat juga mengatur soal liwath atau gay dan musahaqah atau lesbian.
Dalam Qanun Jinayat disebutkan, hukuman bagi gay atau lesbian adalah hukuman cambuk paling banyak 100 atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Ajaibnya, qanun ini juga diberlakukan bagi warga nonmuslim. Meskipun pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatakan bahwa ada perbedaan perlakuan bagi nonmuslim yang melakukan pelanggaran—karena bisa memilih apakah mau dirujuk dengan Qanun Jinayat atau KUHP—tetap saja qanun yang bernuansa syariat Islam ini diberlakukan untuk semua.
Bahkan, jika pelanggaran yang dilakukan nonmuslim tidak diatur dalam KUHP, otomatis pelaku akan diserahkan ke penyidik dan di sidang di Mahkamah Syariah untuk mengadili.
DPRA mengklaim, qanun tersebut telah dikoordinasikan dengan Mahkamah Agung, mendagri, dan menkopolhukam. Tampaknya tak ada keberatan soal itu.
Namun, marilah kita coba melihat dengan perspektif yang lebih luas. Kita mengakui kekhususan Aceh. Meskipun ia bagian dari Indonesia, ia berhak untuk “berbeda”. Mirip dengan Hong Kong terhadap Tiongkok, meskipun yang satu provinsi, dan satunya negara.
Tiongkok mengizinkan Hong Kong memiliki sistem yang sama sekali berbeda dengan Tiongkok.
Pers, misalnya, yang mendapatkan kebebasan terbatas di Tiongkok, mendapatkan akses kebebasan seluasnya di Hong Kong. Namun, soal urusan demokrasi langsung, Tiongkok berhati-hati.
Karena jika Hong Kong dibiarkan melakukan pemilihan langsung tanpa tahapan, gelombang ini bisa menyeret instabilitas politik di Tiongkok.
Sistem sosialis yang dibangun sejak 1949 dan bertahan dari gempuran zaman, bisa berakhir dengan mudah jika gelombang demokrasi liberal—salah satu pintu masuknya adalah pemilihan langsung—dibiarkan terjadi secara gegabah di Hong Kong.
Pada titik inilah, kita perlu belajar dari Tiongkok. Bukan mengenai soal demokrasi langsung atau tak langsung, melainkan soal menjaga esensi “Menjadi Indonesia.”
Indonesia tak pernah didirikan hanya oleh satu golongan dan ditujukan untuk satu golongan.
Dalam pidatonya tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno, bapak bangsa itu, menekankan bahwa Indonesia adalah semua buat semua. Buat yang Islam, Kristen, Jawa, Sunda, nasionalis, bahkan—kata Soekarno—juga buat yang komunis.
Kita setuju dengan Soekarno bahwa Indonesia adalah negara yang didirikan semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, melainkan semua buat semua.
Sekali lagi, kita tidak mencoba mementahkan keistimewaan Aceh. Namun jika kita salah bersikap terhadap Aceh, termasuk salah satunya terlalu longgar membiarkan Aceh mengatur “keseragaman berbangsa”, kita benar-benar harus siap kehilangan Aceh.
Indonesia memiliki akar dan sejarah panjang yang bisa menyatukan perbedaan, bukan dengan cara memaksakan keseragaman, melainkan dengan menghormati keberagaman.
Apa yang hendak dilakukan Aceh dengan Qanun Jinayat tampaknya jauh dari penghargaan terhadap keberagaman.
Mereka sedang memaksa warga untuk menyeragamkan pemikiran yang sempit, tetapi menuntut orang-orang di luar Aceh menghargai hal itu sebagai bentuk “perbedaan.” Kita benar-benar prihatin jika negara cuci tangan dan membiarkan hal itu terjadi.
Pemandangan Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa yang didukung kebinekaan, yang menghargai keberagaman, yang menghormati perbedaan, dan yang mendorong pluralisme, tak akan lagi kita lihat di Aceh.
Sebagai ganti, kita akan melihat wajah bangsa yang seragam, penuh kecemasan, selalu takut berbuat salah, tak berani bersikap beda karena khawatir kena berangus, dan tumpul kreativitas.
Bukan tidak mungkin, ke depan kita benar-benar tak mengenali bumi Aceh sebagai bagian dari Indonesia.
Membaca pasal-pasal dalam Qanun Jinayat, kita akan menemukan hukum-hukum agama yang sangat keras yang diberlakukan di masa lalu dan di sejumlah negara yang menerapkan syariat Islam.
Qanun tersebut menerapkan larangan soal konsumsi minuman keras (khamar), maisir atau perjudian, khalwat atau berdua-duaan di tempat sepi dengan lawan jenis yang bukan muhrim, juga ikhtilath (perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan, dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik di tempat tertutup atau terbuka).
Selain itu, diatur tentang zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf atau menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi. Qanun Jinayat juga mengatur soal liwath atau gay dan musahaqah atau lesbian.
Dalam Qanun Jinayat disebutkan, hukuman bagi gay atau lesbian adalah hukuman cambuk paling banyak 100 atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Ajaibnya, qanun ini juga diberlakukan bagi warga nonmuslim. Meskipun pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatakan bahwa ada perbedaan perlakuan bagi nonmuslim yang melakukan pelanggaran—karena bisa memilih apakah mau dirujuk dengan Qanun Jinayat atau KUHP—tetap saja qanun yang bernuansa syariat Islam ini diberlakukan untuk semua.
Bahkan, jika pelanggaran yang dilakukan nonmuslim tidak diatur dalam KUHP, otomatis pelaku akan diserahkan ke penyidik dan di sidang di Mahkamah Syariah untuk mengadili.
DPRA mengklaim, qanun tersebut telah dikoordinasikan dengan Mahkamah Agung, mendagri, dan menkopolhukam. Tampaknya tak ada keberatan soal itu.
Namun, marilah kita coba melihat dengan perspektif yang lebih luas. Kita mengakui kekhususan Aceh. Meskipun ia bagian dari Indonesia, ia berhak untuk “berbeda”. Mirip dengan Hong Kong terhadap Tiongkok, meskipun yang satu provinsi, dan satunya negara.
Tiongkok mengizinkan Hong Kong memiliki sistem yang sama sekali berbeda dengan Tiongkok.
Pers, misalnya, yang mendapatkan kebebasan terbatas di Tiongkok, mendapatkan akses kebebasan seluasnya di Hong Kong. Namun, soal urusan demokrasi langsung, Tiongkok berhati-hati.
Karena jika Hong Kong dibiarkan melakukan pemilihan langsung tanpa tahapan, gelombang ini bisa menyeret instabilitas politik di Tiongkok.
Sistem sosialis yang dibangun sejak 1949 dan bertahan dari gempuran zaman, bisa berakhir dengan mudah jika gelombang demokrasi liberal—salah satu pintu masuknya adalah pemilihan langsung—dibiarkan terjadi secara gegabah di Hong Kong.
Pada titik inilah, kita perlu belajar dari Tiongkok. Bukan mengenai soal demokrasi langsung atau tak langsung, melainkan soal menjaga esensi “Menjadi Indonesia.”
Indonesia tak pernah didirikan hanya oleh satu golongan dan ditujukan untuk satu golongan.
Dalam pidatonya tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno, bapak bangsa itu, menekankan bahwa Indonesia adalah semua buat semua. Buat yang Islam, Kristen, Jawa, Sunda, nasionalis, bahkan—kata Soekarno—juga buat yang komunis.
Kita setuju dengan Soekarno bahwa Indonesia adalah negara yang didirikan semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, melainkan semua buat semua.
Sekali lagi, kita tidak mencoba mementahkan keistimewaan Aceh. Namun jika kita salah bersikap terhadap Aceh, termasuk salah satunya terlalu longgar membiarkan Aceh mengatur “keseragaman berbangsa”, kita benar-benar harus siap kehilangan Aceh.
Indonesia memiliki akar dan sejarah panjang yang bisa menyatukan perbedaan, bukan dengan cara memaksakan keseragaman, melainkan dengan menghormati keberagaman.
Apa yang hendak dilakukan Aceh dengan Qanun Jinayat tampaknya jauh dari penghargaan terhadap keberagaman.
Mereka sedang memaksa warga untuk menyeragamkan pemikiran yang sempit, tetapi menuntut orang-orang di luar Aceh menghargai hal itu sebagai bentuk “perbedaan.” Kita benar-benar prihatin jika negara cuci tangan dan membiarkan hal itu terjadi.
Sumber : Sinar Harapan
Damian Agata Yuvens, salah satu pemohon mengatakan, ada enam butir perbaikan yang dibacakan di hadapan hakim MK. Pertama, permohonan yang diajukan tidak hanya melakukan uji materil, tetapi juga formil.
Kedua, menambahkan elaborasi sila pertama Pancasila terhadap UU Perkawainan, khususnya keberadaaan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam perkawinan serta dikaitkan dengan kedudukan negara dalam perkawinan.
Ketiga, mengubah petitum yang menghendaki adanya hak kontitusional bagi warga yang menikah beda agama. Keempat, mereka menginginkan perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agama, sepanjang hukum agamanya diserahkan kepada para masing-masing calon mempelai.
Kelima, pemohon memberikan beberapa dampak apabila Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dimaknai lebih dalam. Terakhir, pemohon memberikan elaborasi lebih lanjut mengenai potensi kerugian konstitusional, khususnya pada bagian keberagamaan di Indonesia dan tingkat mobilitas penduduk Indonesia.
Damian mengatakan, keenam butir perbaikan ini sudah diterima oleh hakim konstitusi dan akan diproses ke tahap selanjutnya.
"Seperti dalam sidang tadi, hakim (MK) telah menerima berkas permohonan kami. Kita tunggu saja sidang selanjutnya," kata Damian saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/9/2014) sore.
Sebelumnya, mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yaitu Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Sahputra menggugat Undang-Undang Perkawinan ke MK karena ingin ada kepastian hukum bagi warga yang menikah beda agama.
Menurut mereka, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
Bisnis.com, JAKARTA - Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) bersepakat pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing.
"Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi," kata Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Slamet Effendy Yusuf, Jumat (12/9).
"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing".
Slamet mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama diantaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.
Rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia, berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia dimana ada enam orang dari MUI, satu orang dari PGI, KWI dan MATAKIN serta dua orang dari WALUBI dan PHDI.
Usai rapat tersebut, pihak MATP langsung menggelar konfrensi Pers di Aula Kantor MUI yang mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.
Dalam rapat itu, para majelis membuat tiga kesepakatan yakni perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Selain itu, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan di catatan sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing," kata mantan anggota DPR RI tersebut.(ant/yus)
Source : Newswire
Editor : Yusran Yunus
SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
1.
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semualapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara keduaorang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yangdidasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumahtangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadimasyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arusglobalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakatcenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungansuami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser,kesakralan keluarga semakin menipis.
Untuk memelihara dan melindungi sertameningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.
Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secaratertulis yang isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut, baik itu hukum perkawinan adat maupunhukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai padamasa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapatterwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.Dalam makalah ini, Penulis akan mencoba untuk memaparkan sekilas tentangsejarah hukum perkawinan di Indonesia, sejak dari masa pra kemerdekaan kemudian pasca kemerdekaan dan masa reformasi pada saat sekarang ini.
1
Soerjono Soekanto,
Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak
,Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 22-23.
2
T.O.Ihromi,
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga
, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999,hal. 284-301.
3
Sajtipto Raharjo,
Hukum dan Perubahan Sosial
, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146-147.
1
2. HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA.A. Masa Kerajaan di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa dahulu di Indonesia pernah berdirikerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera danBali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”,yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asliyang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agamaBudha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina).
Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya, Singosari danMajapahit. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian berkat usahaMahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu :membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan padamasa itu disebut : Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU,yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”.
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh, kemudiandi Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke-1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengantahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islamdiberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai piñata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa – fatwa agama. Manifestasi dariketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanyaalun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan LembagaPemasyarakatan.
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satukenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam
4
Rifyal Ka’bah,
Penegakan Syariat Islam di Indonesia
, Jakarta : Khairul Bayan, 2004, hal.202.
5
Ibid,
hal. 203.
6
Abdul Manan,
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta : Kencana, 2012,hal. XI.
2
yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannyamasing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukumIslam Mazhab Syafi’i.
Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa,terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.
Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam sepertiGowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebutdiperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
B. Masa Penjajahan di Indonesia
Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui
Verenigde Oost Indische Compagnie
(VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultantetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum(keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnyaoleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan danfasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk- bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukumIslam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “
al
-
Muharrar
” di Semarang,“
Shirathal
Mustaqim
” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di Kota Raja Aceh dankitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “
Sabilul
al-
Muhtadin
” yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin, kemudian kitab “
Sajirat
al
-
Hukmu
” yang digunakan oleh MahkamahSyar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.
7
Hamka,
Sejarah Umat Islam Jilid II
, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 53.
8
Ibid
, hlm 145.
9
Amrullah Ahmad SF dkk,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
, Jakarta:Gema Insani Press, 1996, hal. 70.
10
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk,
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III
, Jakarta: BalaiPustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, hal. 197.
11
Op.Cit.
Abdul Manan,
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
hal. xii.
3
Sejarah Perang Salib
Sejarah Perang Salib – Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Sejarah Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu.
Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
Ulasan Mengenai Sejarah Perang Salib I, II, II, dan IV
Sejarah Perang Salib Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey.
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey.
Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond. Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Sejarah Perang Salib Kedua
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Sejarah Perang Salib Ketiga
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa – saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa – melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa – saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa – melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip.
Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk “menyelesaikan” masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Sejarah Perang Salib Keempat
Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik.
Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik.
Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar