Kamis, 01 Desember 2016

dominasi oposisi V check and balances


JAKARTA, KOMPAS.com
 - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengaku heran dengan keputusan Partai Golkar yang kembali mengangkat Setya Novanto menjadi ketua DPR.

Sudirman mengaku tak paham proses politik yang ada di parlemen hingga Novanto diputuskan untuk menggantikan Ade Komarudin jadi pimpinan tertinggi di DPR.

Sudirman yakin laporannya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR jelas memperlihatkan pelanggaran etik Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham".
Namun, perkara itu tidak dilanjutkan MKD karena dianggap tidak memenuhi syarat hukum dalam memberikan putusan etik.
Ini disebabkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 yang menyatakan bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.
Sudirman sebagai pelapor dalam kasus "Papa Minta Saham" membawa bukti pengaduan berupa rekaman pembicaraan Novanto yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo untuk meminta saham dari PT Freeport Indonesia.
"Itu proses politik yang saya tidak paham. Tetapi yang dulu saya kerjakan itu kan melaporkan pelanggaran etika ke MKD. Bahwa setelah itu MKD membatalkan perkaranya saya juga tidak paham kenapa," ujar Sudirman usai seminar di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Sudirman tak ingin banyak berkomentar terkait dipilihnya kembali Novanto sebagai Ketua DPR.
Meski begitu, dia yakin publik dapat menilai kepantasan kembalinya Novanto jadi Ketua DPR. Pasalnya, kata Sudirman, publik tahu apa yang terjadi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menjerat Novanto pada 2015 lalu.
"Tapi saya kira yang harus dipahami adalah publik punya hati nurani. Publik paham betul apa yang terjadi. Publik bisa menilai sendiri," kata Sudirman.
Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR, Desember 2015. Novanto memutuskan mundur saat MKD belum memutuskan kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan Sudirman Said.
👀

TEMPO.CO, Jakarta - Pesta Syukuran Rakyat #Salam 3 Jari yang digelar seusai pelantikan presiden dan wakil presiden baru, Joko Widodo-Jusuf Kalla, pada Senin, 20 Oktober 2014, menuai beragam opini masyarakat.

Abdul Majid, 55 tahun, mengamati panggung besar yang akan jadi panggung utama presiden baru menyapa rakyat dari dekat di Monas. "Menarik sekali, ini kebanggaan besar untuk kami rakyat Indonesia," kata Majid kepada Tempo, Ahad 19 Oktober 2014.

Menurut dia, belum ada pesta penyambutan presiden baru semeriah ini. Majid menganggap sosok Jokowi memang begitu dekat dengan rakyat. "Ya dia memang seperti itu, warga disuruh datang ke sini lihat dari dekat. Luar biasa," ujar dia.

Ketika ditanya rencananya untuk ikut serta pesta besok, Majid mengungkapkan keinginan besarnya. Sayangnya, ia tidak memastikan rencana itu karena harus bekerja. "Insya Allah, kalau memang besok ada kesempatan saya ajak keluarga semua menonton," kata warga Jakarta Timur ini.

Tak hanya Majid yang menyambut positif pesta yang digawangi personel band Slank, Abdee Negara ini. Sri Mulyani,48 tahun, tertarik melihat keramaian Monas di tengah persiapan pesta. Ia datang bersama suami dan anak-anaknya.

"Ini mumpung masih sepi lihat-lihat dulu, kalau ramai, besok mau nonton," kata dia. Sri berharap bisa melihat Jokowi dari dekat karena dia belum mengenal betul sosok Jokowi. "Ingin tahu presiden baru kayak apa. Semoga sih benar-benar bisa lebih baik," ujar warga Kalianyar Jakarta Barat ini.

Besok, tim relawan presiden baru akan menggelar pawai budaya, pesta kuliner, dan konser musik. Sekitar 1.600 orang akan melakukan pawai budaya dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara. Presiden dan wakilnya akan diarak bersama mereka. Relawan juga menyediakan 124.500 porsi makanan dan 700 ribu minuman yang bisa dinikmati masyarakat secara gratis. Selain itu, mereka menjadwalkan ada sekitar 30 pengisi acara konser rakyat yang diadakan di Monumen Nasional, Jakarta Pusat.

Bagi Ilal, 21 tahun, warga Halim, Jakarta Timur, pesta semacam ini hiperbola. Di hari pertama menjabat sebagai presiden, tak seharusnya Jokowi menggelar acara yang terlampau mewah. "Sepertinya dulu SBY dua kali periode enggak pernah seperti ini, lebay lah," kata dia. Ia menilai kemenangan Jokowi syarat dengan kontroversi sehingga tak pantas dirayakan berlebihan.

Ilal menyarankan agar tim relawan Jokowi seharusnya bisa menggelar acara yang lebih bermanfaat. "Daripada menghabiskan uang banyak, mending dibuktikan dulu kerjanya," katanya. Ketika ditanya rencana untuk menonton acara ini, ia memilih menonton di rumah. "Ah saya enggak doyan keramaian begitu. Lebih baik menonton lewat televisi," ujarnya.

Serupa dengan Ilal, Yunan, 55 tahun, mengatakan acara semacam ini rentan mengundang cap buruk dari kubu Prabowo. "Ya harusnya nanti dulu, takutnya kubu sebelah menganggap jelek," kata dia.

👻
Merdeka.com - Direktur LIMA Ray Rangkuti menilai Koalisi Merah Putih (KMP) memang diperlukan sebagai penyeimbang pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Namun, sebagai oposisi, KMP diminta tidak menunjukkan politik balas dendam ataupun karena ketidaksukaan terhadap Jokowi.

"Koalisi Merah Putih harus menjadi oposisi harus citrakan wujudkan hikmat kebijaksanaan. Oposisi yang bekerja sama degan pemerintah dalam rangka memberikan yang terbaik untuk negara. Kalau jegal-jegalan kita menolak," ujar Ray dalam diskusi 'Politik Bohong dan Jegal-Jegalan' di kedai Tong Tji, Menteng Huis, Jakarta Pusat, Minggu (12/10).

Ray menambahkan, melalui adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo koalisi besutan Prabowo itu berencana menjegal Jokowi. Permulaan itu dimulai dengan menguasai MPR, DPR, kemungkinan komisi di DPR dan Badan Kehormatan, Polri, tentara, MK dan MA yang mungkin mereka dapatkan.

"Mengarahnya jadi pengepungan. Dari cabang yang dipetakan, tidak menutup kemungkinan akan ada penjegalan Jokowi-JK," katanya.

Ray mengatakan meski ada penjegalan-penjegalan, Jokowi diharapkan mampu bertahan.

"Kalau bisa bertahan bagus itu, bisa mengembangkan politik baru," imbuhnya.
[ian]

 👺

TEMPO.CO , Jakarta:Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan siap berbagi kursi alat kelengkapan Dewan dengan koalisi presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Partai pro-Prabowo Subianto-Hatta Rajasa itu menilai pembagian kursi antara dua kubu bakal menguatkan institusi Parlemen. "Bekerja di Parlemen itu untuk kepentingan bangsa, bukan lagi soal kubu-kubuan," kata Herman Kadir, Wakil Sekretaris Jenderal PAN, saat dihubungi, Sabtu, 11 Oktober 2014. (Baca : Golkar Incar 4 Pimpinan Komisi DPR)

Herman menyatakan tak sepakat koalisinya memegang seluruh kendali di Parlemen. Alasannya, beban tugas lembaga sebagai perwakilan rakyat bakal timpang, etika politik juga tercederai. Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Syaifullah Tamliha,  menambahkan dampak yang buruk adalah menghapus tatanan kehidupan bangsa yang bersikap gotong-royong. "Nah, supaya tak terkesan ada ketamakan dan kerakusan sebaiknya Koalisi Indonesia Hebat diberi ruang," ujar Tamliha. (Baca : Fahri: Ada Usul Penambahan Subkomisi di DPR)

Setelah berhasil menguasai pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, koalisi pro-Prabowo menargetkan akan menguasai kursi pimpinan alat kelengkapan. Dalam perjanjian koalisi Prabowo, Golkar mendapat 5 jatah ketua dan 15 wakil ketua alat kelengkapan. Gerakan Indonesia Raya sebanyak 4 ketua dan 12 wakil ketua, PAN sebanyak 3 ketua dan 8 wakil ketua, Partai Keadilan Sejahtera 2 ketua dan 7 wakil ketua serta PPP
2 ketua dan 6 wakil ketua.(Baca : Dimyati: PPP Tetap di Koalisi Prabowo)

Arwani Thomafi, Ketua Dewan Piminan Pusat PPP mengatakan parlemen bakal lebih efektif bila pimpinan alat kelengkapan berisi gabungan koalisinya dan partai pengusung Jokowi. Penggabungan dua kubu, kata dia, membuat kinerja dewan semakin fokus untuk kepentingan masyarakat, tak hanya kepentingan pribadi dan kelompok.

Ide tersebut, kata Arwani, sudah pernah dibicarakan di internal koalisi Prabowo sekitar September lalu. Oleh karena itu dia yakin koalisinya bisa menerima gagasan tersebut. "Apalagi PPP juga menginginkan pemilihan alat kelengkapan cukup musyawarah mufakat saja," ucapnya.

Herman mengatakan akan kembali mendorong ide tersebut dalam pembahasan komisi di parlemen yang dijadwalkan Senin pekan depan. Ia optimistis seluruh unsur partainya bakal menerima usulan tersebut. "Demi kepentingan rakyat tentu harus setuju," ujar dia.

TRI SUHARMAN

😎

TEMPO.CO, Jakarta - Adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, membantah Koalisi Prabowo akan menghambat pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo, seperti tertulis dalam wawancara Hashim dengan media The Wall Street Journal, Selasa, 7 Oktober 2014 lalu.

Ini bisa dilakukan karena partai-partai Koalisi Prabowo menguasai sekitar 63 persen kursi di DPR. Menurut Hashim, wawancara itu dilakukan dalam bahasa Inggris dan hasil terjemahannya dipelintir oleh media dalam negeri.

"Jangan percaya yang bahasa Indonesia karena telah dimanipulasi," ujar Hashim melalui pesan singkat, Kamis, 9 Oktober 2014. (Baca: Soal Veto 100 Posisi, Hashim Dianggap Tak Paham UU)

Berikut petikan wawancara Hashim dengan media itu, baik dalam versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ini ditampilkan agar pembaca bisa melihat sendiri versi asli dari berita itu.

Hashim Djojohadikusumo, Mr. Subianto's brother, and their allies have put together a coalition that controls a majority of the seats in parliament and has set out to thwart President-elect Joko Widodo's agenda even before he takes office Oct. 20.

Known as the Red and White coalition, it could control parliament's agenda, its committee leadership and the confirmation of major presidential appointments for years to come. (Baca:PAN Ogah Ikuti Hashim Jegal Jokowi)

"Our long-term aim at least for the next five years is to be an active, constructive opposition," Mr. Djojohadikusumo said in an interview Monday.

"Yes, Mr. Jokowi there is a price to be paid," he added, referring to Mr. Widodo by his nickname.

Mr. Djojohadikusumo said he is motivated in part by what he sees as Mr. Widodo's personal betrayal. One of Indonesia's wealthiest men, Mr. Djojohadikusumo said he was Mr. Widodo's primary financial campaign backer when he won the Jakarta governorship two years ago.

At the time, he asserts, Mr. Widodo promised him he would serve a full five-year term as governor. But the popular former furniture maker ran for president this year and won, defeating Mr. Subianto by 53 to 47 percent.

"There was an understanding and we feel that he didn't live up to that understanding, not only implicit but explicit," Mr. Djojohadikusumo said. "We feel he was being very politically expedient."

Berikut ini versi bahasa Indonesia:

Adik Prabowo Subianto dan para sekutunya membentuk koalisi yang menjadi suara mayoritas di Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Mereka siap mengagalkan agenda presiden terpilih Joko Widodo bahkan sebelum masa jabatan kepresidenan mantan Wali Kota Solo itu dimulai pada 20 Oktober.

Dikenal sebagai Koalisi Merah Putih, persekutuan partai-partai penyokong Prabowo itu dapat mengendalikan agenda DPR, kepemimpinan kepanitiaan, dan sebagainya. "Tujuan jangka panjang kami dalam lima tahun ke depan adalah menjadi oposan aktif dan membangun," ujar Hashim dalam sebuah wawancara, Senin.

"Ya, Jokowi, ada harga yang harus dibayar," ujarnya, merujuk kepada panggilan Joko Widodo.

Hashim termotivasi sebagian oleh hal yang ia pandang sebagai pengkhianatan pribadi Jokowi. Sebagai salah satu orang terkaya Tanah Air, Hashim mengatakan bahwa ia menjadi penyokong utama kampanye Jokowi saat berhasil menjadi Gubernur Jakarta dua tahun lalu.

Saat itu, ia menegaskan, Jokowi berjanji akan memenuhi masa jabatan gubernur selama lima tahun. Namun, mantan pengusaha mebel itu menerima pinangan untuk menjadi presiden dan berhasil menyingkirkan Prabowo dengan perolehan suara 53% berbanding 47%. "Ada kesepakatan (di antara kita) dan kami merasa ia tidak memenuhi (kesepakatan) itu. Tidak hanya secara tersirat, tapi tersurat," ujar Hashim. "Kami kira ia secara politis ambil untung," ujar Hashim.

Berikut ini dua links berita itu:
http://indo.wsj.com/posts/2014/10/07/hashim-jokowi-ada-harga-yang-harus-dibayar/

http://blogs.wsj.com/searealtime/2014/10/07/subiantos-brother-promises-active-opposition-to-jokowi/

WSJ I TIKA PRIMANDARI

 

Jakarta detik -Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin mengalami tekanan lagi. Investor banyak melepas saham gara-gara situasi pasar yang tidak menentu akibat politik Indonesia yang semakin memanas.

Panasnya politik ini memuncak setelah terbaginya dua kubu, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KIH punya presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sementara KMP menguasai parlemen dengan Pimpinan DPR dan MPR.

Ekonom Senior Standar Chartered Bank, Fauzi Ichsan, mengatakan pelaku pasar keuangan mulai khawatir dengan situasi ini. Terutama yang paling ditakutkan adalah kebijakan pemerintah yang akan dijegal oleh wakil rakyat dalam 5 tahun ke depan.

"Sekarang ini sudah tidak ada lagi kritik demi kepentingan bersama tapi tujuannya jadi saling menjatuhkan. Investor sekarang takut kalau kebijakan Jokowi dalam 5 tahun ke depan aka dijegal terus oleh DPR," katanya kepada detikFinance, Kamis (9/10/2014).

Kekhawatiran investor ini berimbas negatif ke pergerakan pasar. Kemarin IHSG anjlok 74 poin, dana asing sekitar Rp 700 miliar juga lari dari lantai bursa.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga melemah ke titik terendahnya dalam 10 bulan terakhir. Mata uang Paman Sam kemarin melonjak hingga nyari Rp 12.250.

(ang/ang)

 

Check And Balances Antar Lembaga Perwakilan Rakyat

Check And Balances Antar Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Oleh: Khairul Natanagara
A.      Latar Belakang
Sepanjang usianya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami perubahan/amandemen sebanyak empat kali. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Salah satu hasil dari perubahan UUD 1945 ini adalah tidak ada lagi lembaga tinggi negara ataupun lembaga tertinggi negara, kini kedudukan lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 atau Konstitusi adalah sama. Dengan demikian maka maka setiap lembaga negara memiliki kekuasaan yang seimbang.
Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan sistem checks and balances (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam sistem checks and balances, masing-masing kekuasaan saling mengawasi. Check and balances system adalah sistem dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Hamdan Zoelva memberikan pengertian bahwa sistem check and balances yaitu sistem yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.[1] Sistem checks and balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.
Mekanisme Checks and Balances dapat kita lihat melalui kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap lembaga negara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) misalkan, DPR melaksanakan sistem Checks and Balances berdasarkan fungsi kontrol yang ia miliki sebagaimana diatur pada pasal 20A UUD 1945. Selain DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga diberikan tugas untuk melakukan pengawasan sebagaimana amanat pasal 22D UUD 1945. DPR dan DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sama-sama memiliki tugas mengawasi jalannya pemerintahan karena DPR dan DPD adalah merupakan perwakilan rakyat dan daerah yang diberikan wewenang oleh konstitusi. Selain DPR dan DPD, Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) juga memiliki tugas pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh MPR memang tidak secara gamblang tertulis baik di dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), namun bila ditafsirkan bahwa pada pasal 7B UUD 1945 tentang Impeachment Presiden maka disitulah letak peran pengawasan yang dimiliki MPR dimana atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang kemudian pendapat tersebut diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan diputus terakhir oleh MPR. MPR, DPR, DPD adalah tiga diantara sekian banyak lembaga negara yang memiliki kewenangan melaksanakan pengawasan untuk menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaan dalam pemerintahan. Tidak hanya MPR, DPR dan DPR, di tingkat daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga memiliki fungsi controling atau pengawasan dimana DPRD fokus terpusat pada pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Kewenangan DPRD dalam mengawasi jalannya pemerintahan tertuang pada Pasal 292 ayat (1) dan Pasal 343 ayat (1) UU MD3.
Sebagai lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan, kemudian bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh MPR, DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam menjalankan sistem check and balances atau perimbangan kekuasaan antar lembaga perwakilan rakyat?
B.       Permasalahan
Bagaimana pelaksanaan sistem check and balances antar lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD dan DPRD)?
C.       Pembahasan
1.         Check and Balances MPR
Pasca amandemen UUD 1945, sebagaimana yang penulis paparkan di atas bahwa kedudukan MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya adalah sama, namun menurut pandangan penulis MPR masih cukup tinggi dalam memposisikan dirinya, hal ini terlihat dari kewenangannya dalam memberhentikan Presiden atau Impeachment. Kewenangan MPR tersebut pun adalah merupakan pelaksanaan sistem check and balances dimana dalam melaksanakan impeachment terhadap Presiden atau Wakil Presiden, MPR pun harus menunggu pendapat DPR dan Proses Persidangan oleh MK.
Check and balances oleh MPR merupakan mekanisme tertinggi dalam mengawasi DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam hal Pemakzulan atau Impeachment Presiden dan atau wakil presiden, DPR harus mengawali proses melalui hak menyatakan pendapat yang dimiliki yang kemudian dengan mekanisme dimana diatur pada pasal 7B UUD 1945. MPR tidak bisa begitu saja memberhentikan Presiden Sebelum ada Pendapat DPR, begitu juga DPR yang tidak bisa begitu saja berpendapat sebelum ada putusan dari MK yang membenarkan pendapatnya, inilah yang menurut penulis merupakan mekanisme check and balances system yang tertuang di dalam konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pihak yang otoriter dengan alasan suka atau tidak suka kepada Presiden atau Wakil Presiden, tetapi segala sesuatunya haruslah didasarkan oleh hukum,oleh karena itu proses-proses yang dilalui dalam mekanisme Impeachment merupakan proses check and balances yang kembali dimana setiap lembaga saling mengawasi satu dengan yang lain.
Selain dalam hal Impeachment, dalam asas peraturan perundang-undangan MPR pun memiliki kedudukan yang cukup tinggi dimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) produk hukum MPR yang disebut Ketetapan MPR (Tap. MPR) memiliki posisi yang lebih tinggi dari Undang-Undang dan di bawahnya. Dalam UU PPP, Tap. MPR berada di bawah UUD dan di atas undang-undang sehingga dalam asas lex superior de rogat lex imperior maka undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Tap. MPR karena kedudukan Tap. MPR lebih tinggi.
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memang sebenarnya secara akademis masih perlu diteliti kembali terkait kehadiran Tap.MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan namun berbicara hari ini maka kita pun masih mendasarkan diri pada undang-undang a quo.
Sebagaimana pendapat penulis di atas, kedudukan Tap.MPR dalam Hierarki peraturan perundang-undangan adalah merupakan upaya dalam mekanisme check and balances dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dan di bawahnya harus mempertimbangkan Tap.MPR sebagai salah satu sumber hukum tertulis karena Tap.MPR merupakan produk hukum yang kedudukannya di atas undang-undang sehingga jika dikemudian hari ditemukan undang-undang dan yang di bawahnya bertentangan dengan Tap.MPR maka hal tersebut dapat dibatalkan.
2.         Check and Balances DPR
Mekanisme check and balances merupakan saah satu tuntutan reformasi. Salah satu tujuan utama mekanisme adalah untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu lembaga saja.[2] Selain itu, mekanisme ini juga berperan sebagai pengawas. Antar lembaga-lembaga negara dapat saling, mengawasi dan dapat langsung bertindak jika ada lembaga negara lain yang bertindak melebihi kewenangannya. Sistem check and balances ini yang menjadi pedoman pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem check and balances pada Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih tampak daripada lembaga-lembaga negara yang lain, hal ini sebagaimana fungsi yang melekat daripadanya yaitu fungsi pengawasan atau controling yang diatur pada pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR sebenarnya sama saja dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang lain sepanjang diterjemahkan dalam mekanisme check and balances, akan tetapi dapat kita lihat pengawasan yang dilakukan oleh DPR sepertinya jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga yang lainnya, hal ini yang sebenarnya dapat merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan penganut sistem pemerintahan Presidensiel namun dengan dominannya peran DPR maka penulis berpendapat bahwa kini Indonesia menganut sistem pemerintahan Semi Parlementer. Semi parlementer maksud penulis adalah karena mekanisme pelaksanaan roda pemerintahan masih bersama-sama dengan Presiden.
Keluasan kewenangan DPR dalam tindakan pengawasan salah satunya dapat dilihat dari tugas DPD yaitu pasal 22D ayat (3) UUD 1945 dimana hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang itu harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak ada pasal yang mengatur sebaliknya padahal yang kita bicarakan adalah sistem check and balances atau perimbangan kekuasaan, dengan kata lain aturan dalam UUD 1945 itu pun tidak seimbang diterapkan kepada DPD. Maka tidak heran kalau banyak suara yang menuding pasal-pasal 22 hasil amandemen itu menunjukkan betapa lemahnya kedudukan dan peran DPD, dibandingkan DPR.
Selain terhadap DPD, otoriteritas DPR dapat dilihat dalam wewenang legislasi yang dimiliki, dimana DPR memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa tersebut. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 DPR lah yang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Inilah beberapa keotoriteritasan DPR dalam hubungan antar lembaga. Namun walau bagaimanapun menurut penulis keberadaan DPR dalam sistem ketatanegaraan maupun mekanisme check and balances cukup baik, hal-hal yang demikian di atas tidak perlu untuk dipermasalahkan dalam tataran yang sempit namun dalam tataran akademis untuk kemajuan negara perubahan-perubahan dan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik perlu dilakukan dengan cara harmonisasi hubungan antar lembaga negara.
3.         Check and Balances DPD
Pemikiran tentang Lembaga Dewan Perwakilan Daerah ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain diadakan atau dibentuk untuk menganti anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari unsur Utusan Daerah yang tidak dapat mencerminkan aspirasi daerah. Ada juga pemikiran yang mendorong lahirnya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah itu ialah keikutsertaan daerah dalam Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat terbatas yaitu pada saat sidang-sidang majelis saja.[3]
Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen yang mewakili peduduk DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daearah dalam hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 22D UUD 1945. Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan DPD relatif tidak berfungsi.
Meskipun merupakan representasi daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD dapat diibaratkan antara ”ada dan tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas tidak seperti yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and balances antara DPR dan DPD itu sendiri.
Perubahan UUD 1945 yang merupakan momentum awal terbentuknya DPD menegaskan adanya keseimbangan dan kesejajaran antar lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Reformasi konstitusi juga menghasilkan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu dengan pengaturan kembali lembaga-lembaga yang mengemban amanat konstitusi termasuk pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru.
Kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan sangat kuat dengan kekuasaan yang cenderung berlebihan berdasarkan UUD 1945. Sesuai dengan pasal 22D ayat (1) yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sda dan sumber daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Mencermati ketentuan Pasal tersebut ada 2 (dua) kesimpulan. Pertama DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang ke DPR, hal tersebut jelas berbeda dengang ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang. Kedua, lingkup rancangan undang-undang yang dapat diajukan oleh DPD sangat terbatas, yakni hanya untuk urusan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.
Dengan kewenanganya yang terbatas itu, Saldi Isra secara tegas menyatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Lebih lanjut Saldi Isra menyatakan bahwa "fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata tersebut dimana kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan DPR. Dengan menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang dapat mengajukan dan ikut membahas RUU bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.[4]
Dari ketentuan perundang-undangan tersebut jelas terlihat bahwa DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangaanya dan dari ketentuan perundang-undangan tersebut juga jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral secara umum dalam teori-teori kenegaraan, yakni fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar berimbang (balances) dalam proses legislasi dan pengawasan.
Melihat ketidak seiambangan kekuasaan yang dimiliki antara DPR dengan DPD, maka pada tahun 2012 yang lalu DPD mengajukan pengujian undang-undang tentang MD3 kepada MK dimana di dalam undang-undang MD3 inilah ketidak seimbangan kewenangan jelas terlihat, alhasil dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Mahkamah memutuskan yang beberapa pasal yang dimohonkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pasca putusan MK tersebut. Hal ini dipandang positif baik oleh DPD maupun DPR karena pasca putusan MK tersebut kedudukan DPR dan DPD kembali jelas dan sama. Sebagaimana disampaikanTodung Mulya Lubis selaku Kuasa Hukum DPD (Pemohon) “Arsitektur ketatanegaraan, khususnya proses legislasi, mengalami penyesuaian pasca-putusan. Act of deliberacy tidak lagi monopoli DPR dan Presiden. Proses legislasi menjadi kewenangan konstitusional DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai hari bersejarah, this is the millstone, this is the confirmation of DPD.”[5]
Penulis berpendapat bahwa dengan kembalinya tahta DPD yang setara dengan DPR dan lembaga negara lainnya adalah merupakan bentuk perjalanan check and balances dimana dalam sistem ini tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan berlebihan yang diberikan oleh UUD sehingga berdasarkan sistem check and balances ini juga DPD mendapatkan kewenangannya dengan adil. Putusan Mahkamah Konstitusi ini pun kembali menegaskan bagaimana sebuah aturan yang kedudukannya lebih rendah daripada konstitusi tidak boleh bertentangan ataupun melawan apa yang telah diamanatkan di dalam konstitusi.
4.         Check and Balances DPRD
Dalam UUD 1945 penulis tidak menemukan pengertian dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam Undang-Undang MD3 disebut pada pasal 1 angka 4 yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Seperti disampaikan tersebut, pengertian DPRD merujuk pada konstitusi yaitu UUD 1945 akan tetapi di dalam UUD 1945 tidak ada pengertian tentang DPRD. Artinya secara konstitusional pengertian daripada DPRD tidak tercantum atau tidak diatur dalam UUD 1945.
Pengertian tentang DPRD terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
DPRD sama halnya dengan DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bertugas untuk mengakomodir aspirasi rakyat. Dari segi kedudukan dalam Pemerintahan, antara DPR dengan DPRD berbeda dimana DPR terlepas dari Pemerintah Pusat namun DPRD merupakan bagian daripada Pemerintahan Daerah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Dengan kedudukan yang berbeda seperti itu, proses pengawasan menjadi berbeda namun menurut penulis keberanian daripada DPRD baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah merupakan tindakan yang tepat guna mewujudkan sistem kekuasaan yang berimbang atau check and balances system.
Dalam pelaksanaan undang-undang, pemerintah daerah tentu mengakomodir ke dalam aturan yang lebih khusus agar dapat dilaksanakan sebagaimana kewenangannya dalam mengatur daerah. Aturan khusus yang dimaksud adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten Kota. Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabuoaten Kota kini telah lebih jelas pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana pada pasal 7 ayat (1) mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas:
a.         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.        Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.         Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.        Peraturan Pemerintah;
e.         Peraturan Presiden;
f.         Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.        Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan pengaturan yang jelas seperti itu maka dalam pelaksanaan sistem check and balances maka DPRD dapat langsung mengatur dalam aturannya sendiri. Sistem check and balances yang dapat diwujudkan oleh DPRD terhadap DPR adalah tentang bagaimana meng-harmonisasikan produk hukum antara superior dengan imperior dimana dalam membuat peraturan daerah, DPRD wajib untuk mempertimbangkan undang-undang sebagai rujukan lebih tinggi dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda).
Pada tahun 2011, ada Empat Ribu Perda di Indonesia dibatalkan.[6] Banyaknya jumlah tersebut adalah salah satu bentuk kegagalan dari sistem check and balances dimana DPRD bersama-sama dengan Kepala Daerah terkadang memiliki pendapat yang berbeda dengan aturan di atasnya (undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah) sehingga menjadi keluar dari koridor yang telah ditentukan yang pada akhirnya berujung pada pembatalan peraturan tersebut.
Dalam sistem check and balances adalah mengharmonisasikan undang-undang dengan kebutuhan masyarakat di daerah yang kemudian diatur dengan aturan tersendiri (spesialis) yaitu peraturan daerah, baik peraturan daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten Kota, jika dalam peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota sudah koheren dengan undang-undang maka wujud dari sistem check and balances pun dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Sistem check and balances dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan tidak hanya menjadi kewajiban DPRD bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, namun DPR dan Presiden pun harus mengakomodir aspirasi masyarakat yang ada di daerah sehingga peraturan yang dibuat dari tingkat atas sampai bawah pun menjadi harmonis atau sejalan sehingga dapat meminimalisir angka pembatalan sebuah peraturan perundang-undangan.
D.      KESIMPULAN
Wujud daripada check and balances system sebenarnya sudah berjalan hanya saja tidak berjalan dengan sangat baik, hal ini terjadi karena masih ada anggapan daripada lembaga perwakilan rakyat bahwa dirinyalah yang lebih berkuasa sehingga cita-cita daripada check and balances system yaitu perimbangan kekuasaan tidak terwujud dengan baik.
E.       SARAN
Setiap lembaga perwakilan rakyat hendaknya saling kontrol dengan baik, bukan hanya mencari kekurangan atau kelemahan lembaga yang lain. Hendaknya setiap lembaga negara memberikan masukan yang bersifat konstruktif bukan untuk menjatuhkan yang mengakibatkan like and dislike terjadi di tubuh lembaga perwakilan rakyat yang pada akhirnya juga merugikan banyak pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentuka Peraturan Perundang-Undangan
Buku:
Isra. Saldi,  2000 Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. UGM. Yogyakarta.
Manan. Bagir, 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru. Yogyakarta : FH.UII Press.
Natakusumah. Dimyati, Mekanisme check and balances cegah otoriterisme.
Internet:


[2] Dimyati Natakusumah. Mekanisme check and balances cegah otoriterisme.
[3] Bagir Manan. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru. Yogyakarta : FH U I I Press. Hlm. 60
[4] Saldi Isra. 2000 Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. UGM. Yogyakarta. Hlm. 300

Tidak ada komentar:

Posting Komentar