Rabu, 02 Juli 2014

YTH. Sdr(i) Tasniem Fauzia (ke 2) dan Ayahanda

Merdeka.com - Di sebuah panggung di depan rakyat dan anggota DPR, sang Presiden memainkan gitar sembari menyanyikan sebuah lagu sebagai jeritan hatinya yang ia pendam selama ini.
"Kau yang telah memilih aku kau juga yang sakiti aku. Kau putar cerita sehingga aku yang salah..." (Syahrini)
Rakyat yang mendengar nyanyian beliau kontan menjawab, tentunya dalam bentuk nyanyian pula.
"Benar ku memilihmu, tapi tak begini. Kau khianati hati ini kau curangi aku.." (Anang)
Merasa tersentuh oleh nyanyian Presiden, anggota DPR pun ikut bernyanyi sebagai wujud dukungan.
"Apapun yang terjadi ku kan selalu ada untukmu.." (Bondan Prakoso)
Dukungan DPR itu pun langsung disambut oleh Presiden.
"Terimakasihku untuk semua waktumu yang kau berikan seutuhnya padaku..." (Jamrud)
Kali ini rakyat benar-benar dibuat marah melihat kemesraan yang diperlihatkan antara Presiden dan wakil rakyat. Merekapun sontak bernyanyi sambil lalu.
"Dasar kau keong racun!"
[cza]


TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari menjelang pemilu presiden, banyak warga berkirim surat kepada calon presiden tentang harapan mereka mengenai pelaksanaan pemilu dan pemerintahan baru lima tahun ke depan. Rohaniawan Katolik Romo Franz Magnis Suseno juga mengirimkan suratnya yang ditujukan kepada Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 1.

Saudara-saudari,

Pertama, saya mohon maaf kalau kiriman ini yang jelas berpihak, tidak berkenan, apalagi di masa puasa. Namun beberapa hari sebelum pilpres saya merasa terdorong sharing kekhawatiran saya.

Saya mau menjelaskan dengan terus terang mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto. Masalah saya bukan dalam program Prabowo. Saya tidak meragukan bahwa Pak Prabowo, sama seperti Pak Joko Widodo, mau menyelamatkan bangsa Indonesia. Saya tidak meragukan bahwa ia mau mendasarkan diri pada Pancasila. Saya tidak menuduh Beliau antipluralis. Saya tidak meragukan iktikat baik Prabowo sendiri.

Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden? Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang. (Baca:Pasien Kanker Ini Berharap Jokowi Jadi Presiden)





Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul.

Mengapa? Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?

Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: "Negara dituntut untmenjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama". Kalimat itu jelas pertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.

Sesudah diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Pak Hashim, adik Prabowo, sowan pada Pak Yewangoe dan mengaku bahwa kalimat itu memang keliru, bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki dan sekarang sudah dihilangkan. Akan tetapi sampai tanggal 25 Juni lalu kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra. Bukankah itu berarti bahwa Hashim tidak punya pengaruh nyata atas Gerindra maupun Prabowo?

Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.

Lagi pula, sekarang para mantan yang mau membuka aib Prabowo dikritik. Tetapi yang perlu dikritik adalah bahwa kok baru saja sekarang orang bicara. Bukankah kita berhak mengetahui latar belakang para calon pemimpin kita?

Prabowo sendiri tak pernah menyangkal bahwa penculikan dan penyiksaan sembilan aktivis yang kemudian muncul kembali, yang menjadi alasan ia diberhentikan dari militer, memang tanggungjawabnya. Prabowo itu melakukannya atas inisiatifnya sendiri.

Saya bertanya: Apa kita betul-betul mau menyerahkan negara ini ke tangan orang yang kalau ia menganggapnya perlu, tak ragu melanggar hak asasi orang-orang yang dianggapnya berbahaya? Apa jaminan bahwa Prabowo akan taat undang-undang dasar dan undang-undang kalau dulu ia merasa tak terikat oleh ketaatan di militer?

Aneh juga, Gerindra menganggap bicara tentang hak-hak asasi manusia sebagai barang usang. Padahal sesudah reformasi hak-hak asasi manusia justru diakarkan ke dalam undang-undang dasar kitab agar kita tidak kembali ke masa di mana orang dapat dibunuh begitu saja, ditangkap dan ditahan tanpa ‎รข€‹proses hukum.

Jakarta, 25 Juni 2014
Franz Magnis-Suseno SJ


KOMPAS.com - Surat terbuka yang diposting putri petinggi Partai Amanat Nasional Amien Rais, Tasniem Fauzia, di laman Facebook-nya beberapa waktu lalu mengundang perhatian. Ada komentar positif, ada pula yang mempertanyakan sejumlah hal yang dimuat Tasniem dalam surat yang ditujukannya untuk calon presiden Joko Widodo itu. (Baca: Dukung Prabowo, Putri Amien Rais Buat Surat Terbuka untuk Jokowi)

Dalam surat terbukanya itu, Tasniem banyak memberi pertanyaan kepada Jokowi. Di akhir pertanyaan, ia meminta Jokowi menjawab, tetapi tidak perlu membalas surat tersebut. Tasniem meminta siapa saja yang membaca suratnya dan mengenal Jokowi, agar menyampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu. Sejumlah hal yang dipertanyakan Tasniem kepada Jokowi, di antaranya mengenai Jokowi yang dinilainya tidak amanah karena tak menyelesaikan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta dan kemampuan mantan Wali Kota Solo itu memimpin ratusan juta rakyat Indonesia.

Surat Tasniem sempat mendapatkan jawaban dari Achmad Room Fitrianto, yang mengaku sebagai anak petani dan tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Perth, Australia. (Baca: Anak Petani Jawab Surat Terbuka Anak Amien Rais soal Jokowi).

Kini, Tasniem kembali mendapatkan balasan atas surat terbukanya itu. Kali ini, dari mantan adik kelasnya saat menempuh pendidikan di SMP 5 Yogyakarta, Dian Paramita. Dian mengunggah surat untuk Tasniem di laman situs pribadinya, www.dianparamita.com, dengan judul "Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia".

Dalam suratnya, Dian mengungkapkan kesannya terhadap Tasniem saat masih sama-sama duduk di bangku SMP. Ia mengaku mengagumi Tasniem yang disebutnya sederhana meski berstatus anak pejabat negara. Akan tetapi, kekaguman Dian terhadap Tasniem buyar setelah ia membaca surat terbuka Tasniem untuk Jokowi.

"Kekaguman saya buyar setelah membaca surat terbuka Mbak untuk Jokowi, 26 Juni 2014 lalu. Karena surat itu tidak seperti surat dari Mbak Tasniem yang saya kenal humble, sederhana, dan jujur. Jika saya berpikiran dangkal, tentu saja saya akan berfikir Mbak menulis itu karena Mbak adalah anak dari Amien Rais, pendukung Prabowo. Namun saya menahan diri untuk tidak berfikir seperti itu dulu," demikian Dian dalam salah satu bagian suratnya.

Selengkapnya, berikut surat terbuka Dian untuk Tasniem:

Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia

Yang Terhormat Mbak Tasniem Fauzia,
yang dulu sangat saya kagumi sebagai kakak kelas di SMP 5 Yogyakarta.
Mungkin Mbak lupa siapa saya. Panggilan saya Mimit. Saat saya kelas 1 dan Mbak Tasniem kelas 3, kita mendapat kursi bersebelahan untuk mengikuti ulangan umum. Saya ingat betul, Mbak selalu meminjam pensil saya, lalu pulpen saya, lalu penghapus saya, kemudian Mbak berbisik, "sorry ya Dek, aku kere..." Saya tertawa senang mendengarnya. Karena saat itu Mbak Tasniem adalah anak dari Ketua MPR, Amien Rais.
Kita sering mengobrol saat ujian. Dari situ Mbak tau saya fans berat grup musik The Moffatts. Kita bercerita mengenai pengalaman kita nonton konser The Moffatts. Saya nonton yang di Jakarta, Mbak yang di Bandung. Beberapa hari kemudian, Mbak jauh-jauh jalan dari kelas Mbak untuk mendatangi kelas saya, lalu memberikan foto-foto The Moffatts yang Mbak jepret di Bandung. Saya senang sekali. Sampai sekarang foto itu saya simpan.
Setelah Mbak sudah SMA dan saya masih SMP, saya sempat bertemu dengan Mbak di sebuah toko buku. Saat itu Mbak memakai celana baggy hijau dan kaos band berwarna hitam. Mbak terlihat tomboy dan sederhana. Dengan senyum Mbak membalas sapaan saya. Saya yakin, di toko buku itu tak ada yang tau bahwa Mbak Tasniem adalah anak seorang Ketua MPR.
Berulang kali saya ceritakan tentang sosok Mbak Tasniem yang saya kenal dan kagumi. Saya ceritakan ke ibu saya, ke teman-teman saya, ke siapapun jika sedang membicarakan anak pejabat. Karena Mbak berbeda dengan anak pejabat lainnya, saya bangga pernah mengenal Mbak Tasniem.  
Namun maaf Mbak, kekaguman saya buyar setelah membaca surat terbuka Mbak untuk Jokowi, 26 Juni 2014 lalu. Karena surat itu tidak seperti surat dari Mbak Tasniem yang saya kenal humble, sederhana, dan jujur. Jika saya berpikiran dangkal, tentu saja saya akan berfikir Mbak menulis itu karena Mbak adalah anak dari Amien Rais, pendukung Prabowo. Namun saya menahan diri untuk tidak berfikir seperti itu dulu.
Oleh karena itu, saya sungguh-sungguh ingin bertanya, apakah benar Mbak Tasniem yang menulis surat itu? Tanpa desakan atau pengaruh dari orang lain? Saya juga berharap Mbak menjawab dengan hati nurani yang paling dalam, jika benar Mbak menulis surat itu, apakah Mbak yakin surat itu baik untuk bangsa ini?
Saya yakin sulit bagi Mbak Tasniem untuk menjawabnya dengan hati nurani yang paling dalam jika di sekeliling Mbak Tasniem adalah pendukung Prabowo. Apalagi mereka adalah keluarga tercinta. Oleh karena itu ijinkan saya membantu Mbak untuk merenunginya dan menjawab beberapa pertanyaan Mbak untuk Jokowi yang saya rasa tidak tepat.
Sumpah Jabatan Jokowi
Pertanyaan Mbak mengenai Jokowi yang meninggalkan Jakarta bukan pertanyaan baru. Saya sudah sering mendengar pertanyaan template ini dari para pendukung Prabowo. Mengapa Jokowi melanggar sumpah jabatannya untuk menyelesaikan Jakarta dan justru mencalonkan diri sebagai presiden? 
Sebelum menjawab terlalu jauh, ada yang harus diluruskan terlebih dahulu agar Mbak Tasniem maupun semua pembaca surat Mbak tidak salah mengerti apa isi sumpah jabatan. Berikut isi sumpah jabatan yang disebutkan Jokowi maupun Ahok di pelantikan mereka 2012 lalu.
Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji.
Akan memenuhi kewajiban saya,
sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya,
dengan selurus-lurusnya,
serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Semoga Tuhan menolong saya.
Agar lebih jelas, Mbak Tasniem bisa menonton video sumpah jabatan Jokowi-Ahok disini: Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI masa periode 2012-2017.
Mendengarkan ulang pelantikan itulah yang membuat saya bertanya, apakah Mbak Tasniem betul-betul sudah membaca atau mendengar ulang isi pelantikan Jokowi dengan Ahok tersebut? Karena dalam pelantikan itu saya tidak menemukan satu katapun sumpah Jokowi harus menyelesaikan Jakarta hingga beres. Seperti yang sudah diatur, Jokowi mengucapkan ulang sumpah jabatan itu untuk menjadi Gubernur DKI yang baik, adil, lurus, sesuai UUD '45, UU, dan peraturan, untuk berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa. Lalu dimana letak Jokowi melanggar sumpah jabatan seperti kata Mbak Tasniem?
Kalaupun kita mengalah menggunakan logika Mbak Tasniem untuk menuntut sumpah Jokowi agar membereskan Jakarta, maka semua gubernur sebelum Jokowi juga harus kita tuntut. Mereka semua juga belum membereskan Jakarta. Mengapa hanya Jokowi saja yang dituntut? Toh Jakarta "tidak beres" bukan karena Jokowi. Justru seharusnya kita menuntut mereka yang membuat Jakarta sedemikian rupa buruknya.
Saya setuju Jakarta itu penting untuk segera diperbaiki. Tetapi Jakarta tidak serta merta hancur lebur jika ditinggalkan Jokowi. Jokowi memiliki wakil sehebat Ahok. Jokowi tahu itu. Ahok pun adalah sosok yang diunggulkan Prabowo. Maka jika Jokowi bisa mempercayakan Ahok untuk menggantikannya memimpin Jakarta, mengapa Prabowo sebagai pencalon Ahok tidak bisa percaya kepadanya? Mengapa Mbak Tasniem tidak bisa percaya kepada Ahok?
Mungkin Mbak Tasniem hanya sedikit tidak teliti membaca sumpah jabatan Jokowi. Saya pahami. Itu normal terjadi. Namun Mbak, dari tuntutan Mbak tersebut, yang paling menggelisahkan adalah seakan mengingatkan Jokowi untuk menyelesaikan Jakarta itu jauh lebih penting daripada mengingatkan Prabowo untuk menyelesaikan kasus penculikan 1998. Ada 23 orang diculik, 9 mengaku disiksa, 13 belum kembali, dan 1 mati ditembak. Beberapa korban yang kembali pernah bertemu korban yang masih hilang di markas Kopassus Cijantung. Sehingga Prabowo tidak serta merta terlepas dari keterkaitan kasus korban yang masih hilang.
Mungkin Mbak Tasniem tidak tau, bahwa kasus penculikan 1998 belum selesai. Prabowo belum dinyatakan bersalah atau tidak bersalah oleh pengadilan karena pengadilan untuk kasus ini tidak kunjung dilakukan. Sejak 1998, 3 lembaga negara antara lain Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Tim Ad Hoc Komnas HAM, dan Tim Gabungan Pencari Fakta, sudah melakukan penyelidikan dan menemukan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan 1998 tersebut. Dalam penyelidikannya, tahun 2005-2006 Tim Ad Hoc Komnas HAM memanggil Prabowo untuk bersaksi, namun ia mangkir tak pernah memenuhi panggilan. Tahun 2006, dibantu DPR, Komnas HAM mengajukan pengadilan kasus ini ke Jaksa Agung. Namun hingga detik ini, pengadilan kasus ini belum juga disetujui. Jadi sekali lagi, belum ada pengadilan untuk kasus ini. Maka belum ada kejelasan hukum mengenai status Prabowo bersalah atau tidak bersalah. Untuk lebih jelasnya, saya pernah menulis disini: Rangkaian Penculikan dan Keterlibatan Prabowo.
Lalu apakah memintanya untuk segera menyelesaikan kasus ini di pengadilan tidak jauh lebih penting? Ada 9 keluarga korban yang selama 16 tahun menanti kejelasan dimana orang tercinta mereka, Mbak. 16 tahun dan belum ada keadilan. Kata seorang ibu korban yang masih hilang, "separuh usiaku untuk membesarkan anakku. Separuh jiwaku terus sepi menunggu dia kembali..." 
Tidak seperti Jokowi yang bisa digantikan Ahok dalam memimpin Jakarta, penyelesaian kasus penculikan 1998 hanya bisa dimulai dari kesaksian Prabowo. Tak ada yang bisa menyelesaikan kasus ini tanpa Prabowo ke pengadilan dan membuka semua kebenaran. Termasuk menyeret semua jendral yang terlibat. 
Lagipula, menurut surat rekomendasi DKP pun Prabowo direkomendasikan untuk diberhentikan dari dinas keprajuritan karena melanggar Sapta Marga dan sumpah prajurit. Salah satu sumpah prajurit adalah tidak membantah perintah atasan dan salah satu isi Sapta Marga adalah membela kejujuran, kebenaran, maupun keadilan. Prabowo melanggar sumpah prajuritnya dengan melakukan tindakan yang tidak sesuai komando atasannya. Prabowo pun melanggar Sapta Marga-nya karena tidak bersedia memberi kesaksian saat dipanggil Komnas HAM terkait kasus penculikan 1998. Walaupun kesaksiaan Prabowo penting untuk memberikan keadilan kepada korban dan keluarga korban.
Mbak Tasniem, justru inilah yang disebut melanggar sumpah jabatan. Apa yang diucap Prabowo, tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Lalu mengapa Mbak Tasniem lebih menggelisahkan Jakarta dan Jokowi yang ternyata tidak melanggar ucapan sumpahnya, daripada menggelisahkan nasib kakak-kakak kita yang diculik, disiksa, dibunuh, dihilangkan, dan Prabowo yang jelas melanggar ucapan sumpahnya?
Ditakut vs Disegani
Mbak Tasniem yang cantik, ingat tidak kita pernah mengidolai The Moffatts? Sampai rela berdesak-desakan untuk menonton mereka dan mengambil gambar mereka. The Moffatts adalah band asing asal Kanada. Namun apakah kita takut kepada mereka? Kita menyukai dan mengaggumi mereka, bukan takut pada mereka. Itulah yang penting dalam menjalin hubungan antar bangsa. Saling menghormati dan dihormati. Bukan saling menakuti dan ditakuti.
Menurut Mbak Tasniem founding father kita pernah berpesan untuk memiliki pemimpin yang ditakuti, dibenci, dan dicaci maki asing karena pemimpin yang seperti itulah yang akan membela kepentingan bangsa. Tapi saya rasa ini tidak tepat untuk di jaman yang lebih ramah seperti sekarang. Saya katakan ramah karena di jaman sekarang ini, segala permasalah antar negara tidak lagi diselesaikan dengan perang. Tetapi sebisa mungkin kita selesaikan dengan menggunakan cara damai kekeluargaan yaitu jalur diplomasi.
Maka untuk apa memiliki pemimpin yang ditakuti bangsa lain? Kita tidak sedang berperang. Kita sedang menjalin hubungan baik saling menguntungkan antar bangsa. Memiliki pemimpin yang ditakuti tidak akan memberi dampak yang positif bagi bangsa ini. Contohnya Korea Utara. Amerika Serikat bahkan PBB pun tak dapat ikut campur dengan apa yang sudah Kim Jong Un perbuat dengan keji kepada rakyatnya. Karena mereka takut. Lalu apakah ketakutan AS pada Kim Jong Un itu berdampak baik bagi rakyat Korea Utara? Justru tidak. Jika kita kaget dan iba menonton film jaman dahulu yang rajanya menyiksa rakyat dan memperlakukan rakyat dengan tidak adil, maka jangan kaget pula jika itu masih terjadi di Korea Utara. Hingga detik ini.
Sehingga bagi saya Mbak Tasniem, kita tidak lagi membutuhkan pemimpin yang ditakuti, namun disegani bangsa asing. Karena di jaman kita sekarang, kita tidak lagi sedang berperang, namun kita sedang bekerja sama yang saling menguntungkan. Saya mohon Mbak Tasniem, jangan lagi memandang bangsa asing sebagai musuh. Karena itu akan menghacurkan kita sendiri. Pandanglah bangsa asing sebagai teman baik untuk bekerja sama dan berkompetisi. Untuk memiliki teman baik seperti itu, maka kita harus ramah namun disegani, bukan ditakuti.
Saya percaya, bahwa Jokowi tidak akan sempurna nantinya. Namun saya pun percaya, dia bukan jenis pemimpin yang represif atau yang memaksakan perintahnya kepada rakyat. Sehingga nantinya, jika Mbak Tasniem merasa Jokowi tidak bisa membela kepentingan bangsa di atas kepentingan asing, kita bisa dengan lantang tanpa rasa takut untuk mengkritisinya.
Jokowi dan Bangsa Asing
Sumber: dianparamita.com Sumber: dianparamita.com
Tentu saja sosok Jokowi sudah menjadi sosok yang disegani bangsa asing. Ia berulang kali disorot media asing dengan positif. Salah satunya, seperti yang Mbak Tasniem sebutkan, Jokowi masuk dalam majalah Fortune. Tidak tanggung-tanggung ia dinobatkan sebagai salah satu dari 50 pemimpin terbaik di dunia. Ia disandingkan dengan para pemimpin hebat lainnya seperti Dalai Lama, Bill Clinton, Pope Francis, dan Aung San Suu Kyi. Mengutip majalah Fortune sebelum memperkenalkan 50 pemimpin hebat versi mereka, 
In era that feels starved for leadership, we've found men and women who will inspire you - some famous, others little known, all of them energizing their followers and making the world better.
Membaca kutipan itu dan mengetahui bahwa ada orang Indonesia termasuk yang disebut di dalam kutipan itu, maka seharusnya Mbak Tasniem bangga, bukan khawatir. Bahwa ada calon pemimpin kita yang disegani bangsa asing sedemikian rupa. Sehingga akan membantu kita berhubungan baik saling menguntungkan dengan mereka.
Jokowi Mampu
Mbak Tasniem yang manis, sebenarnya apa yang Mbak tanyakan kepada Jokowi mengenai kemampuannya memimpin 250 juta jiwa Indonesia seharusnya ditanyakan juga kepada Prabowo. Apakah Prabowo mampu? Namun baik Jokowi maupun Prabowo tidak perlu menjawab. Hanya rekam jejak mereka yang bisa menjawab dengan jujur, apakah mereka mampu atau tidak memimpin bangsa ini?
Rekam jejak Jokowi mengatakan ia mampu. Ia telah memimpin Kota Solo dengan baik. Kalo tidak baik, mengapa rakyat Solo menyanjung dan menghormatinya hingga sekarang? Bahkan mendukungnya untuk menjadi presiden? Kalo tidak baik, mengapa sejak dahulu kita sudah mendengar nama Jokowi walaupun ia hanya seorang walikota? Saya ingat betul saya mendengar nama besar Jokowi pada tahun 2011, di acara Provocative Proactive yang dipandu teman baik saya Pandji Pragiwaksono. Acara ini adalah sebuah acara remaja yang membahas politik. Di kesempatan itu Mas Pandji menyebut Jokowi sebagai seorang walikota yang hebat. Beberapa bulan kemudian banyak sekali berita baik mengenai kinerjanya. Karena itu masyarakat memohon kepada PDIP untuk mencalonkan Jokowi agar memimpin ibukota Indonesia, Jakarta. Ia pun berangkat ke Jakarta dan terpilih. Tidak sampai disitu, ia pun melakukan berbagai perubahan berarti, seperti pembangunan MRT, penertiban Tanah Abang, penertiban topeng monyet, dsb. Kemudian masyarakat memohon kepada Megawati dan PDIP untuk mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Termasuk saya. Termasuk keluarga saya. Termasuk teman-teman saya. Banyak. Ia mencalonkan diri sebagai presiden bukan karena paksaan Megawati, namun karena paksaan saya dan jutaan rakyat lainnya.
Sementara rekam jejak Prabowo belum menunjukkan ia mampu memimpin 250 juta jiwa Indonesia. Ia adalah mantan seorang pemimpin prajurit militer. Mbak Tasniem, prajurit militer itu berbeda dengan rakyat sipil. Dimana prajurit harus menuruti semua komando pemimpinnya, tanpa boleh protes. Berbeda dengan rakyat sipil yang justru idealnya terus mengkritisi pemerintah jika dirasa kebijakannya tidak baik. Bahkan sebagai prajurit pun Prabowo pernah diberhentikan dari ABRI 11 tahun sebelum masa pensiunnya. Disini letak perbedaannya. Jokowi sudah teruji dan dipuji saat memimpin rakyat sipil di 2 wilayah Indonesia, sementara Prabowo belum teruji dan bahkan pernah diberhentikan dari militer. 
Maka dari itu Mbak Tasniem, bertanyalah pada hati yang terdalam, apakah seseorang bisa kita percaya akan menjadi pemimpin yang baik jika belum teruji dan pernah diberhentikan? Menurut rekam jejak kedua calon, siapakah yang lebih siap dan mampu memimpin 250 juta jiwa Indonesia yang mayoritas sipil itu?
Blusukan Jokowi
Saya tahu Mbak Tasniem dari keluarga muslim yang dihormati. Saya pun yakin Mbak Tasniem adalah seorang muslimah yang baik. Karena muslimah yang baik adalah mereka yang selalu berprasangka baik. Maka mari kita berprasangka baik pada blusukan Jokowi.
Blusukan Jokowi tidak begitu saja langsung diketahui media lalu disorot. Ada prosesnya. Darimana media tau Jokowi blusukan jika sebelumnya Jokowi tidak blusukan di berbagai tempat? Blusukan Jokowi dilakukannya jauh sebelum media tahu, lalu kemudian menjadi pembahasan masyarakat, lalu kemudian media tertarik dan meliput.
Namun untuk menjawab keraguan Mbak Tasniem mengenai keikhlasan Jokowi dalam blusukan dan kesederhanaannya, mungkin Mbak Tasniem perlu mengetahui cerita kesaksian dari 3 anak bangsa ini. Namanya Maya Eliza, Vicky Nidya Putri, dan Fandy.

Sumber: dianparamita.com Cuplikan testimoni Jokowi yang dimuat dalam surat terbuka untuk Tasniem Fauzia Rais oleh Dian Paramita.

Karena kagum, baik Maya, Vicky, maupun Fandy membagikan cerita dan fotonya ke Facebook. Pengalaman mereka ini menjadi viral dibagikan oleh anak bangsa lainnya. Ini bukan cerita dari media. Ini cerita dari anak bangsa seperti kita, Mbak Tasniem. 
Dana dan Kebocoran
Menanggapi pertanyaan Mbak tentang asal dana untuk program Jokowi akan sulit. Karena itu memang hanya bisa ditanggapi oleh Jokowi dan timnya sendiri. Namun kemudian Mbak Tasniem menyebutkan kebocoran kekayaan alam Indonesia yang dijelaskan Prabowo di dalam debat capres kedua.
Mbak Tasniem yang cerdas, bukankah kebocoran yang disebut Prabowo itu penuh perdebatan? Jika Prabowo mengaku mendapatkan data kebocoran itu dari Abraham Samad, maka sebenarnya maksud Abraham Samad yang bocor itu bukan dana yang sudah ada, bukan pula alam Indonesia. Maksud Abraham Samad mengenai kebocoran adalah hilangnya potensi pendapatan negara. Potensi ini hilang bukan karena dicuri, namun karena banyak pengusaha yang tidak membayar pajak atau banyaknya produk impor yang masuk.
Jika menurut Mbak Tasniem dana program Prabowo berasal dari kebocoran itu, maka ini berarti pihak Prabowo menggantungkan dana program mereka dari sesuatu yang masih bersifat potensi. Potensi yang masih mungkin berhasil didapatkan, tetapi mungkin juga tidak berhasil didapatkan. Kemungkinan potensi ini berhasil didapatkan negara adalah melalui perbaikan peraturan pajak atau ketegasan pemerintah dalam menarik pajak kepada pengusaha. Lain lagi dalam impor, potensi baru bisa berhasil didapatkan jika pemerintah mampu melindungi produk dalam negri dari impor.
Tentu saja untuk menuju keberhasilan, kedua cara ini prosesnya bersifat lama. Jika demikian, sambil menunggu proses mendapatkan dana dari potensi itu, dari mana dana untuk program-program Prabowo? Bahkan potensi dana belum tentu berhasil didapatkan. Jika tidak berhasil didapatkan kemudian pertanyaannya, dari mana dana untuk program-program Prabowo? 
Bertanya Pada Hati Nurani
Sejujurnya saya kecewa dengan isi surat Mbak Tasniem. Surat Mbak Tasniem menggelisahkan untuk bangsa ini. Karena Mbak Tasniem seakan lebih mengkhawatirkan Jakarta dipimpin Ahok daripada mengkhawatirkan 13 anak bangsa yang masih hilang di bawah komando Prabowo. Seakan sumpah jabatan Jokowi itu lebih berdosa daripada Prabowo melanggar sumpah prajuritnya. Seakan blusukan Jokowi itu perlu dicurigai daripada mencurigai koalisi gemuk dan koruptor pengemplang pajak di belakang Prabowo. Seakan jaman sekarang lebih butuh pemimpin yang ditakuti karena pernah melanggar HAM daripada pemimpin yang disegani dan dipuji bangsa lain. Seakan lebih tepat meremehkan kemampuan Jokowi yang terbukti sudah mampu memimpin 2 wilayah di Indonesia daripada meremehkan Prabowo yang belum pernah memimpin sipil dan jelas diberhentikan atasannya. Seakan lebih baik memaklumi masa lalu kelam Prabowo dan orang-orang lama bermasalah di belakangnya daripada memaklumi masa lalu Jokowi yang terbukti baik.
Kita tidak sedang bertaruh seperti suporter sepak bola dengan taruhan uang pribadi. Kita sedang menentukan masa depan bangsa, yang taruhannya anak-cucu kita nanti. Memang betul kita harus selalu bertanya pada hati nurani yang paling dalam untuk keputusan kita memilih pemimpin nanti. Maka Mbak Tasniem, mohon tanyakan pada diri sendiri, apakah benar Mbak Tasniem menulis surat itu dengan hati yang paling dalam?
Surat tulus dari mantan adik kelasmu yang dulu mengaggumimu,
Jakarta, 30 Juni 2014,
Dian Paramita
PS: Surat ini tak perlu dibalas.


Kepada saudari  Tasniem Fauzia,
Belum lama ini saya membaca surat saudari di berbagai media massa. Saya merasa gusar. Untuk itu saya ingin membalas surat saudari. Saya, seperti juga saudari, dan seluruh warga Indonesia, adalah anak bangsa yang berhak mendapatkan kehidupan lebih baik. Namun, begitu membaca surat saudari, saya kemudian bertanya-tanya: sebegitukah pesimistis puteri seorang “tokoh reformasi “?
Kita tidak sedang mencari supermen. Republik ini tidak dimenangkan oleh satu dua orang. Republik ini dilahirkan oleh jutaan orang yang sudah bosan dengan ketakutannya sendiri akibat penindasan kolonialisme beratus tahun lamanya. Republik ini kemudian berikhar untuk mencerdaskan anak bangsa, menyejahrerakan warganya dan turut serta mendorong peradaban dunia yang lebih baik.
Mengharapkan akan datang supermen yang bisa menyelamatkan Republik ini dari segala kekurangannya dalam waktu sekejap adalah mimpi, kalau bukan utopia.Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang sempurna, bukan? Pak Jokowi bukanlah supermen, saudari Tasniem.
Presiden dalam benak saudari barangkali adalah seorang yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu sekejap karena ia sempurna. Tapi tidak bagi saya. Republik ini bukanlah negeri dongengan atau negeri seribu satu malam. Negeri ini bukanlah surga yang begitu Anda minta, misalnya dengan Anda mengatakan “hei datangkanlah kau kemakmuran” maka kemakmuran itu akan datang segera. Bukan. Kita dididik untuk bergotong-royong. Kita dididik untuk belajar bersama-sama dan bekerja sama-sama.
Kita bernegara adalah untuk mewujudkan mimpi kolektif kita sebagai warga negara, sebagai manusia. Presiden hebat bukanlah presiden yang merasa bisa dan mampu memimpin jutaan rakyat Indonesia dengan perasaan jumawa. Presiden hebat bagi saya adalah ia yang mampu mendengarkan apa yang rakyat mau, mencarikan solusi, dan mewujudkannya.
Keputusan diambil bukan atas dasar diri merasa pintar. Keputusan diambil atas dasar musyawarah, menjaring aspirasi: jangan sampai rakyat mau ke utara tapi presidennya membawanya ke selatan. Ini sangatlah keliru. Dan saya, mungkin juga jutaan pemuda lainnya, berkeyakinan bahwa Pak Jokowi mampu melakukan itu. Mengapa yakin? Karena ia sudah melakukannya.
Mungin baru Pak Jokowi seorang wali kota di Indonesia yang begitu terpilih—pada tahun 2005—langsung mengumpulkan puluhan tokoh asal Solo. Para tokoh yang sukses di bidangnya masing-masing itu kemudian diberi kesempatan untuk ngomong apa saja, memberikan pendapat apa saja agar Solo bisa lebih baik. Lalu apa yang terjadi begitu mereka berkumpul? Pak Jokowi mendengarkan!
Tidak cukup sampai di situ. Pak Jokowi juga mengadakan rembug kota. Ribuan warga bisa hadir bersamaan di Balai Kota Solo untuk mencurahkan kegelisahan-kegelisahan mereka. Dalam lingkup kecamatan, Pak Jokowi mengadakan rembug. Ratusan warga juga bisa mencurahkan aspirasi mereka. Dalam lingkup lebih kecil lagi, Pak Jokowi blusukan! Turun ke lapangan: mengecek apakah program untuk masyarakat sudah berjalan dengan baik atau belum.
Maka sebenarnya bukanlah hal mengejutkan jika Pak Jokowi mengajak makan sampai 54 kali ketika hendak memindahkan PKL. Pedagang diajak ngobrol, diajak bermusyawarah, diajak bernegosiasi. Pedagang diberikan ruang agar mereka berbicara tentang ketakutan-ketakutan mereka apabila tempat mencari nafkahnya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Bukankah ini merupakan wujud realisasi demokrasi musyawarah yang tercantum dalam Pancasila?
Saya, dan pemuda Indonesia lainnya, berhak memiliki pemimpin baik-baik. Kami siap berada di barisan perubahan untuk mengawalnya. Dan saudari bisa lihat sendiri betapa jutaan rakyat Indonesia ini merasa tergerak dan kemudian bergerak bersama-sama untuk memenangkan Pak Jokowi. Ya, kita butuh presiden yang bisa menggerakkan rakyat untuk bekerja bersama-sama melunasi janji kemerdekaan sebagaimana diikrarkan dalam Pembukaan Undang Undang 1945.
Saudari jangan khawatir Pak Jokowi tidak mampu memimpin Indonesia. Bung Karno pernah mengatakan, “beri aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia!” Dan saya, dengan jutaan pemuda Indonesia—bukan hanya sepuluh—akan dengan suka rela membantunya menyelesaikan persoalan bangsa.
Saya berharap saudari juga ikut turun tangan. Bekerja harus optimis. Bekerja tidak boleh pesimis. Bapak Bangsa kita mengajarkan itu.
Salam Dua Jari
Respati Wasesa (mahasiswa biasa, anak orang desa)
 Jakarta, 28 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar