Lengsernya Mubarak Mirip Skenario untuk Indonesia
JUM'AT, 11 FEBRUARI 2011 | 23:49 WIB
Hosni Mubarak. REUTERS/Asmaa Waguih
TEMPO Interaktif, Kairo - Sehari sebelum Presiden Mesir Husni Mubarak menyatakan mundur, Presiden Amerika Serikat Barack Obama telah memberikan sinyal-sinyal bahwa AS mendukung turunnya Mubarak.
"Kita akan melihat sejarah baru di Mesir," begitu kata Obama, Kamis 10 Februari, sehari sebelum Mubarak lengser.
Mubarak akhirnya resmi mundur pada 11 Februari 2011 dan menyerahkan kekuasannya kepada Dewan Tertinggi Militer.
Keputusan itu tak terlalu mencengangkan, mengingat Amerika Serikat juga sudahmempersiapkan tiga skenario untuk Mesir. Pertama skenario seperti penggulingan Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi. Kedua, skenario seperti lengsernya Soerhato di Indonesia. Ketiga, skenarioa seperti Rumania.
Dari ketiga skenario itu, senario Indonesia adalah yang paling cocok buat Mesir. Terbukti, Mubarak mundur dan menyerahkan kekuasaannya dengan damai kepada militer. Di Indonesia Soeharto mundur, lalu diserahkan kepada wakil presiden B.J. Habibie. Inilah detail kesamaan Mesir dan Indonesia:
Pada tahun 1998, kekuasaan otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun berakhir. Dia adalah sekutu lama AS yang penghentiannya sangat ditakuti di Gedung Putih. Tetapi pada akhirnya, negara Muslim yang paling padat penduduknya itu membuat transisi berantakan dan panjang menuju demokrasi. Dan sampai sekarang tetap menjadi mitra utama dari Amerika Serikat.
Thomas Carothers, wakil presiden untuk studi di Carnegie Endowment for International Peace, merujuk pengalaman Indonesia sebagai skenario yang lebih mungkin untuk Mesir dibanding skenario Iran. Meski hal itu, menurut dia, jalan itu masih akan sulit. Tetapi ada kesamaan antara Mesir dan Indonesia: tradisi yang relatif sekuler, militer yang kuat yang (sejauh ini) menolak untuk menindas pengunjuk rasa, dan pemberontakan yang dipimpin oleh campuran dari pemuda dan masyarakat sipil.
Hal yang sama juga diungkapkan Tom Malinowski dari Human Rights Watch. Menurut dia, pemulihan kebebasan politik di Mesir akan memberdayakan kekuatan politik lebih moderat untuk muncul, seperti di Indonesia, dengan militer membantu untuk memberikan stabilitas selama transisi.
REUTERS | BURHAN
"Kita akan melihat sejarah baru di Mesir," begitu kata Obama, Kamis 10 Februari, sehari sebelum Mubarak lengser.
Mubarak akhirnya resmi mundur pada 11 Februari 2011 dan menyerahkan kekuasannya kepada Dewan Tertinggi Militer.
Keputusan itu tak terlalu mencengangkan, mengingat Amerika Serikat juga sudahmempersiapkan tiga skenario untuk Mesir. Pertama skenario seperti penggulingan Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi. Kedua, skenario seperti lengsernya Soerhato di Indonesia. Ketiga, skenarioa seperti Rumania.
Dari ketiga skenario itu, senario Indonesia adalah yang paling cocok buat Mesir. Terbukti, Mubarak mundur dan menyerahkan kekuasaannya dengan damai kepada militer. Di Indonesia Soeharto mundur, lalu diserahkan kepada wakil presiden B.J. Habibie. Inilah detail kesamaan Mesir dan Indonesia:
Pada tahun 1998, kekuasaan otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun berakhir. Dia adalah sekutu lama AS yang penghentiannya sangat ditakuti di Gedung Putih. Tetapi pada akhirnya, negara Muslim yang paling padat penduduknya itu membuat transisi berantakan dan panjang menuju demokrasi. Dan sampai sekarang tetap menjadi mitra utama dari Amerika Serikat.
Thomas Carothers, wakil presiden untuk studi di Carnegie Endowment for International Peace, merujuk pengalaman Indonesia sebagai skenario yang lebih mungkin untuk Mesir dibanding skenario Iran. Meski hal itu, menurut dia, jalan itu masih akan sulit. Tetapi ada kesamaan antara Mesir dan Indonesia: tradisi yang relatif sekuler, militer yang kuat yang (sejauh ini) menolak untuk menindas pengunjuk rasa, dan pemberontakan yang dipimpin oleh campuran dari pemuda dan masyarakat sipil.
Hal yang sama juga diungkapkan Tom Malinowski dari Human Rights Watch. Menurut dia, pemulihan kebebasan politik di Mesir akan memberdayakan kekuatan politik lebih moderat untuk muncul, seperti di Indonesia, dengan militer membantu untuk memberikan stabilitas selama transisi.
REUTERS | BURHAN
tepat seperti prediksiku bahwa Mubarak NUNUT Soeharto : http://yesussangmesiasnaif.blogspot.com/2011/01/mubarak-nunut-soeharto-pasca-30-tahunan.html
Mengapa CIA Salah Menginformasikan Pengunduran Diri Mubarak
SABTU, 12 FEBRUARI 2011 | 03:40 WIB
TEMPO Interaktif, Kairo - Presiden Amerika Serikat Barack Obama ada di mana ketika Presiden Mesir Hosni Mubarak resmi mundur? Obama ternyata sedang berjalan menuju ruang oval ketika Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman mengumumkan pengunduran diri Mubarak Jumat kemarin. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional, Tommy Vietor, mengatakan Obama kemudian bergabung dengan stafnya yang sedang menonton liputan televisi tentang Mesir. Ia menyimak berita pengunduran itu selama beberapa menit.
Apakah Obama baru tahu pengunduran diri Mubarak saat itu atau beberapa waktu sebelumnya? Belum ada konfirmasi soal ini. Yang jelas, Kamis kemarin, Obama dinilai telah mendapat informasi intelijen yang salah ketika ia mengatakan "Kita akan melihat sejarah baru di Mesir hari ini." Pernyataan ini jelas hendak menyebut bahwa Mubarak akan mundur Kamis malam itu. Tapi ternyata Mubarak, dalam pidatonya, justru berkukuh menolak mundur.
Beberapa menit sebelum Obama memberi pernyataan, Direktur CIA Leon Panetta juga menginformasikan pada anggota Kongres Amerika bahwa "Mubarak turun malam ini". Ucapan inilah yang kemudian dikutip media di seluruh dunia untuk menguatkan pernyataan petinggi Mesir tentang rencana Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya Kamis malam. Kenyataannya informasi CIA itu salah.
Wartawan yang berada di pesawat Air Force One, Kamis, pun buru-buru mempertanyakan bobot informasi yang disampaikan Panetta kepada juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs. Gibbs menjawab, "Kami sedang melihat situasi yang sangat cair."
Saat ia terus didesak dengan pertanyaan: apakah Presiden tahu Mubarak berencana untuk mundur, ia kembali menjawab, "Sekali lagi, kita sedang menyaksikan hal ini sama seperti Anda."
Pernyataan Gibbs itu mengisyaratkan bahwa pemerintahan Obama tak tahu secara akurat apa yang sesungguhnya terjadi di Kairo. Ketidaktahuan ini dinilai sebagai sebuah kenaifan kesekian dari dinas intelijen termodern di dunia itu.
Beberapa hari sebelumnya kolega Panetta juga berkomentar naif dengan menyebut anggota Ikhwanul Muslimin "sebagian besar sekuler". James Clapper, Direktur Intelijen Nasional, yang membuat pernyataan salah itu di Kongres kemudian meralatnya dengan mengakui bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan kelompok berbasis agama dan "bukan organisasi sekuler."
Lalu apa yang menyebabkan kenaifan-kenaifan itu terus terulang? Dari mana sebenarnya informasi-informasi keliru itu didapatkan CIA? Apakah kepala CIA mengandalkan sumber yang mereka percaya di Mesir atau justru dari laporan-laporan media?
Seorang pejabat pertahanan di Washington mengatakan Amerika sebenarnya telah mengerahkan berbagai aset intelijen untuk melihat apa yang terjadi di Kairo dan kota-kota Mesir lainnya. Untuk mengumpulkan informasi tentang pergerakan demonstran dan pengerahan pasukan keamanan Mesir. misalnya, intelijen Amerika menggunakan apa yang mereka kemukakan sebagai "perangkat teknis nasional". Ungkapan ini untuk menyebut satelit pengintai.
Di pusat kekuasaan, CIA juga memiliki sumber informasi yang amat dipercaya. Ada Wakil Presiden Omar Suleiman yang pernah menjalani pendidikan intelijen di Amerika selama beberapa tahun. Suleiman adalah mantan kepala intelijen Mesir. Berikutnya ada Hussein Tantawi, menteri pertahanan, yang segera diminta terbang ke Washington ketika demonstrasi besar pertama kali terjadi. Tantawi pula yang memimpin 24 jenderal mendesak Mubarak mundur. Ada lagi Letnan Jenderal Sami Anan, kepala staf angkatan bersenjata yang membawahi 468 ribu personel militer Mesir. Ia diminta Gedung Putih untuk aktif menjadi mediator antara Mubarak dengan demonstran.
Karena itu sangat ganjil jika dengan seluruh aset dan sumber intelijen tersebut, Amerika salah membaca krisis Mesir. Sejumlah pengamat mengatakan faktor kegagalan CIA memastikan hari, jam, dan detik-detik akhir kekuasaan Mubarak itu bersumber dari Mubarak sendiri. Dengan cepat Mubarak berbalik arah tanpa bisa dibaca orang-orang sekitarnya. Perubahan sikap presiden 82 tahun itu bisa dibaca sejak Amerika berbelok tak lagi berniat mempertahankannya. Mubarak praktis memutuskan kontak dengan Washington setelah itu. Ia merasa dikhianati dan menyebut Obama sebagai tak tahu budaya Mesir.
Pada Kamis malam itu, misalnya, sumber militer sudah memastikan Mubarak akan mundur. Begitu pula perdana menteri. Tapi situasi berubah cepat. Mubarak memanggil Suleiman di menit-menit akhir sebelum pidato. Ia hanya mau bicara dengan Suleiman. Sang wapres pun tak sempat berbicara dengan para petinggi militer. Dan ketika ia berpidato menyatakan menolak mundur, seluruh dunia terkejut, tak terkecuali Panetta, sang bos CIA.
Hal yang sama mungkin saja terjadi ketika Mubarak akhirnya memutuskan mundur Jumat kemarin. Tak ada yang tahu, kecuali Mubarak sendiri.
CNN | The Australian | YR
Apakah Obama baru tahu pengunduran diri Mubarak saat itu atau beberapa waktu sebelumnya? Belum ada konfirmasi soal ini. Yang jelas, Kamis kemarin, Obama dinilai telah mendapat informasi intelijen yang salah ketika ia mengatakan "Kita akan melihat sejarah baru di Mesir hari ini." Pernyataan ini jelas hendak menyebut bahwa Mubarak akan mundur Kamis malam itu. Tapi ternyata Mubarak, dalam pidatonya, justru berkukuh menolak mundur.
Beberapa menit sebelum Obama memberi pernyataan, Direktur CIA Leon Panetta juga menginformasikan pada anggota Kongres Amerika bahwa "Mubarak turun malam ini". Ucapan inilah yang kemudian dikutip media di seluruh dunia untuk menguatkan pernyataan petinggi Mesir tentang rencana Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya Kamis malam. Kenyataannya informasi CIA itu salah.
Wartawan yang berada di pesawat Air Force One, Kamis, pun buru-buru mempertanyakan bobot informasi yang disampaikan Panetta kepada juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs. Gibbs menjawab, "Kami sedang melihat situasi yang sangat cair."
Saat ia terus didesak dengan pertanyaan: apakah Presiden tahu Mubarak berencana untuk mundur, ia kembali menjawab, "Sekali lagi, kita sedang menyaksikan hal ini sama seperti Anda."
Pernyataan Gibbs itu mengisyaratkan bahwa pemerintahan Obama tak tahu secara akurat apa yang sesungguhnya terjadi di Kairo. Ketidaktahuan ini dinilai sebagai sebuah kenaifan kesekian dari dinas intelijen termodern di dunia itu.
Beberapa hari sebelumnya kolega Panetta juga berkomentar naif dengan menyebut anggota Ikhwanul Muslimin "sebagian besar sekuler". James Clapper, Direktur Intelijen Nasional, yang membuat pernyataan salah itu di Kongres kemudian meralatnya dengan mengakui bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan kelompok berbasis agama dan "bukan organisasi sekuler."
Lalu apa yang menyebabkan kenaifan-kenaifan itu terus terulang? Dari mana sebenarnya informasi-informasi keliru itu didapatkan CIA? Apakah kepala CIA mengandalkan sumber yang mereka percaya di Mesir atau justru dari laporan-laporan media?
Seorang pejabat pertahanan di Washington mengatakan Amerika sebenarnya telah mengerahkan berbagai aset intelijen untuk melihat apa yang terjadi di Kairo dan kota-kota Mesir lainnya. Untuk mengumpulkan informasi tentang pergerakan demonstran dan pengerahan pasukan keamanan Mesir. misalnya, intelijen Amerika menggunakan apa yang mereka kemukakan sebagai "perangkat teknis nasional". Ungkapan ini untuk menyebut satelit pengintai.
Di pusat kekuasaan, CIA juga memiliki sumber informasi yang amat dipercaya. Ada Wakil Presiden Omar Suleiman yang pernah menjalani pendidikan intelijen di Amerika selama beberapa tahun. Suleiman adalah mantan kepala intelijen Mesir. Berikutnya ada Hussein Tantawi, menteri pertahanan, yang segera diminta terbang ke Washington ketika demonstrasi besar pertama kali terjadi. Tantawi pula yang memimpin 24 jenderal mendesak Mubarak mundur. Ada lagi Letnan Jenderal Sami Anan, kepala staf angkatan bersenjata yang membawahi 468 ribu personel militer Mesir. Ia diminta Gedung Putih untuk aktif menjadi mediator antara Mubarak dengan demonstran.
Karena itu sangat ganjil jika dengan seluruh aset dan sumber intelijen tersebut, Amerika salah membaca krisis Mesir. Sejumlah pengamat mengatakan faktor kegagalan CIA memastikan hari, jam, dan detik-detik akhir kekuasaan Mubarak itu bersumber dari Mubarak sendiri. Dengan cepat Mubarak berbalik arah tanpa bisa dibaca orang-orang sekitarnya. Perubahan sikap presiden 82 tahun itu bisa dibaca sejak Amerika berbelok tak lagi berniat mempertahankannya. Mubarak praktis memutuskan kontak dengan Washington setelah itu. Ia merasa dikhianati dan menyebut Obama sebagai tak tahu budaya Mesir.
Pada Kamis malam itu, misalnya, sumber militer sudah memastikan Mubarak akan mundur. Begitu pula perdana menteri. Tapi situasi berubah cepat. Mubarak memanggil Suleiman di menit-menit akhir sebelum pidato. Ia hanya mau bicara dengan Suleiman. Sang wapres pun tak sempat berbicara dengan para petinggi militer. Dan ketika ia berpidato menyatakan menolak mundur, seluruh dunia terkejut, tak terkecuali Panetta, sang bos CIA.
Hal yang sama mungkin saja terjadi ketika Mubarak akhirnya memutuskan mundur Jumat kemarin. Tak ada yang tahu, kecuali Mubarak sendiri.
CNN | The Australian | YR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar