Makin Miskin Makin Saleh
SENIN, 13 SEPTEMBER 2010 | 06:24 WIB
TEMPO Interaktif, "Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran." Pernyataan yang diklaim sebagai hadis Nabi Muhammad ini sering diucapkan sejumlah ustad. Kufur itu sendiri memiliki banyak makna. Mulai dari tidak mengakui wujud Allah dan menolaknya, tidak bersyukur akan nikmat-Nya hingga tidak mengamalkan tuntutan agama.
Namun pernyataan itu terbantahkan dengan hasil survei di 114 negara yang dilakukan lembaga Gallup. Ternyata sekitar 95 persen warga dari negara miskin di dunia menganggap agama sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya di negara kaya, hanya 47 persen warganya yang menilai penting agama.
Negara termiskin dan miskin dalam kategori ini adalah yang rata-rata pendapatan per kapita di bawah U$ 5.000. Antara lain Indonesia, Bangladesh, Niger, Yaman, Malawi, Sri Langka, Somalia, Djobouti, Mauritania dan Burundi. Sementara negara kaya adalah yang rata-rata pendapatan per kapita lebih dari U$ 25.000.
"Ini mencerminkan hubungan yang kuat antara status sosial ekonomi suatu negara dan religiusitas penduduknya," tulis Gallup dalam siaran persnya pekan lalu. Para ahli ilmu sosial memang menjelaskan hubungan antara dua variabel itu.
Satu teori menganalisis bahwa agama memainkan peran yang lebih fungsional di negara-negara miskin. Agama, ujar mereka, membantu banyak penduduk mengatasi perjuangan hidup sehari-hari pada diri dan keluarganya. Hasil survei Gallup mendukung teori itu dan para analisnya menemukan hubungan antara religiositas atau kesalehan dan ikatan emosional yang lebih kuat di negara-negara miskin ketimbang negara maju.
Gallup melakukan survei pada tahun 2009 dengan mewawancarai lewat telepon dan tatap muka pada 1000 responden usia dewasa di setiap negara. Margin error survei ini +- 5,3 persen.
Temuan lain yang menarik dari survei ini adalah penyimpangan yang terjadi di Amerika Serikat. "Di negara ini sekitar 65 persen warganya menganggap agama berperan penting dalam kehidupan sehari-hari." Padahal di negara kaya lain, persentasinya lebih rendah. Misalnya di Swedia (17%), Denmark (19%), Inggris (27%) dan Perancis (30%).
"Ini anomali religiusitas kita di antara negara-negara lainnya," kata Charles M.Blow, kolomnis The New York Times. Dari data survei Gallup, dia membuat grafik religiusitas dikaitkan dengan pendapatan per kapita tiap negara dan mayoritas agama yang dianut. Religiositas masyarakat Amerika Serikat, katanya, menyimpang dari rata-rata penduduk negara kaya lainnya. Boleh jadi di negara Abang Sam berlaku dalil bahwa kekayaan dekat dengan kesalehan.
UNTUNG WIDYANTO | LIVESCIENCE.COM | GALLUP.COM | THE NEW YORK TIMES
September 3, 2010
Religious Outlier
By CHARLES M. BLOW
With all of the consternation about religion in this country, it’s sometimes easy to lose sight of just how anomalous our religiosity is in the world.
A Gallup report issued on Tuesday underscored just how out of line we are. Gallup surveyed people in more than 100 countries in 2009 and found that religiosity was highly correlated to poverty. Richer countries in general are less religious.
But that doesn’t hold true for the United States.
Sixty-five percent of Americans say that religion is an important part of their daily lives. That is compared with just 30 percent of the French, 27 percent of the British and 24 percent of the Japanese.
I used Gallup’s data to chart religiosity against gross domestic product per capita, and to group countries by their size and dominant religions.
The cliché goes, “a picture is worth a thousand words.”
Assuming that this holds true for charts, here is mine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar