Rabu, 14 April 2010

kekerasan SELALU bersama (2)

07/05/2010 - 20:00
Makam Mbah Priok Ternyata Fiktif?
Irvan Ali Fauzi


(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Abdullah Alatas, seorang yang pernah menjadi kuasa substitusi hukum lokasi makam Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad alias Mbah Priok mengakui bahwa lokasi makam itu sebenarnya tidak ada.

Di lokasi makam yang terdapat di Jalan Dobo, Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara sebetulnya hanya situs makam buatan saja. Kerangka tulang-belulang Mbah Priok sendiri telah dipindah sejak 1997 ke TPU Budi Darma, Semper.

"Setahu saya waktu itu makam sudah dibongkar," ujar Abdullah saat memberi keterangan dalam konperensi pers di Gedung PMI Pusat, Jakarta, Jumat (7/5).

Saat didesak apakah lokasi makam tersebut fiktif, Abdullah mengelak. "Saya nggak berani bilang kalau itu fiktif," kilahnya.

Namun, dia menjelaskan bahwa kerangka tulang yang telah dipindah ke Semper itu tidak dipindahkan kembali. "Dari Semper nggak dipindahin lagi, (Lokasi makam) di Dobo dibentuk lagi jadi seperti makam hanya untuk menandai walaupun kerangkanya sudah nggak di situ," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Tim Investigasi PMI Ulla Nuchrawaty mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh saksi-saksi yang dihadirkannya dalam konferensi pers itu bukan kesimpulan akhir. "Ini bukan kesimpulan bukan juga catatan akhir tapi hanya memperkaya keterangan. Artinya memang niat PMI hanya untuk investigasi kemanusiaan. Kami buka kepada semua pihak untuk mengoreksi kembali. PMI hanya jangan sampai (insiden yang sama) berulang," tandas Ulla. [irv/jib]

Komaruddin Hidayat: Tragedi Priok Menambah Buram Wajah Pemerintah
KAMIS, 15 APRIL 2010 | 21:31 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat memandang bahwa pemerintah kurang peka terhadap sejarah Tanjung Priok terkait pecahnya tragedi di sekitar makam Mbah Priok.

"Tanjung Priok yang sejak dahulu merupakan "daerah panas", menyimpan memori pahit, dan luka mendalam dengan pejabat pemerintah. Ini mestinya disadari oleh Pemda DKI dan pihak intelijen," katanya dalam balasan pesan singkat yang dilayangkan kepada Tempo, Kamis (15/4).

"Saya sedih bahwa peristiwa ini melibatkan simbol dan emosi agama dengan adegan yang sadis dan brutal. Sungguh mengerikan. Bagaimana bisa orang nggak berdaya ramai-ramai dihajar dengan dalih membela monumen keagamaan," ungkap Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini.

Ia tidak memandang kerusuhan yang terjadi kemarin ini merupakan provokasi untuk mengalihkan isu dan fokus publik yang sedang hangat tersorot pada pemberitaan makelar kasus. "Yang terjadi justru menambah problem dan wajah buram pemerintah. Tragedi yang terjadi di Jakarta, meskipun itu wilayah DKI, dampaknya akan menimpa pemerintah Pusat," tambahnya.

Komaruddin memandang kemungkinan provokasi memang ada. Namun, menurutnya tragedi ini cenderung menunjukkan kecerobohan, seakan dengan uang dan kekuasaan persoalan sosial bisa diatasi.

Terkait peran pemerintah untuk menangani persoalan sosial ini, ia menyatakan,"Spektrum gerakan umat Islam itu saat ini sangat luas dan beragam, sejak dari teroris, parpol, gerakan tasawuf, dan intelektual. Selesaikan saja dengan pendekatan sosial, hukum, dan bisnis secara transparan karena rakyat saat ini cukup kritis, tak mudah kena provokasi," pungkasnya.

Kerusuhan di Tanjung Priok ini terjadi akibat rencana penggusuran kompleks makam Mbah Priok, Rabu (14/4) pagi, antara warga dan sekitar 2.000 Satuan Polisi Pamong Praja. Warga tidak terima lahan 5,4 hektare yang merupakan situs sejarah Tanjung Priok ini digusur.

Tiga nyawa melayang. Huru-hara ini juga menelan setidaknya 146 korban luka-luka dan kerugian fisik. Sebanyak 6 bus, 10 truk, 1 meriam air, 2 motor, puluhan mobil, dan 2 buldozer dibakar. Kerugian bisnis ditaksir mencapai Rp 5 miliar, sedangkan kerugian material lain belum dihitung.

GILANG MUSTIKA RAMDANI

Satpol PP yang Tewas Kirim SMS Minta Maaf
Ahmad Tajudin sering berziarah dan berkunjung ke makam Mbah Priok.
KAMIS, 15 APRIL 2010, 07:13 WIB
Elin Yunita Kristanti, Sandy Adam Mahaputra



VIVAnews - Anggota Satpol PP, Ahmad Tajudin tewas dalam bentrokan di depan makam Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu 14 April 2010.

Kawan korban, Ahmad Alhapsi (27) menceritakan, sebenarnya Ahmad Tajudin tak ikhlas diberi tugas menggusur lahan makam keramat itu.

"Sebelum kejadian korban SMS meminta maaf kepada teman-temannya bahwa dia akan menggusur bangunan keramat di Tanjung Priok."

"Dalam hati sebenarnya dia tidak mau tapi demi profesional kerja akhirnya dilakukan," kata Ahmad Alhapsi, Kamis 15 April 2010 dini hari.

Apalagi, tambah dia, korban punya ikatan dengan makam Mbah Priok. "Dia sering berziarah dan berkunjung ke makam itu,' kata Ahmad Alhapsi.

Ahmad Tajudin sempat berkuliah di STIE Kasih Bangsa sampai semester 9, lalu pindah ke kampus Bakti Pembangunan.

Korban rencananya akan dimakamkan di pemakaman dekat masjid As Syuro, Kebon Jeruk pukul 12.00 siang Kamis 15 April 2010.

Korban hobi main bola. Dia juga sering mengikuti pengajian, juga aktif di majelis talkim dan beribadah malam.

Kepastian tewasnya Ahmad Tajudin disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto saat berkunjung ke RS Koja, pukul 23.00 WIB, Rabu 14 April 2010. Saat itu, baru satu aparat yang dipastikan tewas.

"Sementara yang kita terima baru satu yang meninggal, Ahmad Tadjudin. Sudah dibawa ke RSCM," kata Prijanto yang datang bersama Menko Polhukam Djoko Suyanto, dan Mendagri Gamawan Fauzi.
Ketika Kekerasan Menjadi Dewa
Posted on April 15th, 2010 in Hukum blogdetik.com
Melihat bentrokan antara Satpol PP-Polisi dengan warga yang menolak penggusuran makam Mbah Priok di Tanjung Priok membuat rasa kemanusiaan tersayat-sayat. Kedua belah pihak saling menyerang tanpa ampun. Erangan kesakitan serta darah membuncah di mana-mana. Korban pun berjatuhan.

Tayangan televisi memperlihatkan bagaimana para anggota Satpol PP menganiaya warga yang berhasil ditangkapnya. Korban digebuki, dipukul, serta ditendang dengan sepatu lars secara beramai-ramai. Tubuh korban yang tanpa sehelai kain pun terhuyung-huyung dengan darah bercucuran.

Tidak ubahnya kebengisan warga yang telah dikuasai oleh amarah. Begitu satu anggota Satpol PP terjebak, mereka mengeroyoknya tanpa belas kasihan. Tubuh anggota Satpol PP yang sudah lemah tak berdaya tidak membuat mereka puas. Sebongkah batu dilemparkan ke arah kepala korban yang tergeletak di tanah.

Hingga kini, dilaporkan sebanyak 80-an orang menderita luka ringan hingga berat dan dirawat di rumah sakit. Dua anggota Satpol PP dinyatakan tewas. Salah satunya tewas dengan sangat mengenaskan. Korban tersudut di sebuah kawasan petikemas Pelindo ketika massa merangsek. Ia tak mampu menyelamatkan diri.

Selain korban jiwa, tragedi kekerasan yang berlangsung Rabu (14/4/2010), itu juga menimbulkan kerugian harta benda yang tidak kecil. 40 Mobil Satpol 44 serta 30 mobil polisi dibakar massa. Belum lagi kerugian akibat aktivitas Pelabuhan Tanjung Priok yang berhenti sejak dimulainya bentrokan pada pagi hari.

Tidak bisa dibayangkan lagi bagaimana perasaan keluarga yang suami, anak, ayah, atau sanak saudaranya menjadi korban. Mereka harus kehilangan orang-orang yang dicintainya dalam sebuah peristiwa yang seharusnya bisa dihindari. Apalagi, jika orang-orang yang meninggal merupakan gantungan hidup keluarga. Tangis mereka tidak akan reda dalam satu atau dua hari.

Peristiwa di Tanjung Priok menunjukkan kekerasan dianggap satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menuntaskan sebuah sengketa. Pemprov DKI mempunyai nalar yang sangat pendek dengan melakukan penggusuran paksa tempat tinggal warga yang berada di sekitar makam bersejarah tersebut. Mereka melupakan cara-cara persuasif, yakni negosiasi yang memungkinkan untuk memindahkan warga secara damai.

Sebaliknya, masyarakat pun telah dikuasai oleh cara pandang yang sama. Makam Mbah Priok bukan hanya ‘milik’ warga setempat, melainkan masyarakat yang terikat secara religius-emosional dengan situs makam ulama tersebut. Mereka mensolidkan diri untuk menghadapi arogansi Satpol PP dan polisi dengan cara-cara yang tak diizinkan oleh agama. Bagi mereka, senjata harus dihadapi dengan senjata.

Menjadi keprihatinan bahwa kekerasan telah membudaya di dalam masyarakat, khususnya di Tanjung Priok. Kekerasan itu dikawatirkan akan terus mewaris kepada generasi-generasi yang akan datang. Namun, sesungguhnya hal itu pun telah terjadi. Bukankah di tempat yang sama pernah ada peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama “Tragedi Tanjung Priok 1984″, 16 tahun yang lalu? Akankah kekerasan seperti ini akan terus terulang?
Kamis, 15/04/2010 07:15 WIB
Priok Berdarah
PKS: Dibiayai Uang Rakyat, Aparat Harus Lindungi Rakyat
Ramadhian Fadillah - detikNews
Jakarta - Bentrokan antara polisi dan satpol PP melawan massa di Koja, Jakarta Utara, disesalkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq pun meminta agar aparat keamanan melindungi masyarakat, bukan menyakiti masyarakat.

"Jangan sampai aparat yang dibiayai dari uang rakyat, justru melukai masyarakat. Ini sangat disayangkan," ujar Luthfi dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Kamis (15/3/2010).

Dalam pandangan anggota Komisi I DPR RI ini, semestinya hal seperti ini tidak terjadi jika pendekatan persuasif yang dikedepankan.

"Dalam negara demokrasi pendekatan persuasif dan dialogis harus dikedepankan," tegas dia.

Menurut Luthfi, bentrok di Tanjung Priok menggambarkan betapa pendekatan dialogis dan persuasif kurang dikedepankan. Akibatnya ongkos sosial (social cost) yang harus dibayar oleh pemerintah sangat besar. Belum lagi kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya berbagai fasilitas umum.

Luthfi berharap, semua pihak dapat mendinginkan suhu yang sempat memanas di Tanjung Priok, sehingga korban dan kerugian bisa diminimalisir.

"Pemerintah Daerah, aparat keamanan, juga perwakilan masyarakat sebaiknya duduk bersama untuk mencari solusi terbaik terhadap persoalan ini," pintanya.

(rdf/nvc)

PENGGUSURAN DENGAN KEKERASAN JUGA TERJADI DI DAERAH TEMPAT PKS BERKUASA: TANGGERANG, SITUS BERSEJARAH CHINA BENTENG MAU DIHAPUS TUKH, piye tokh mas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar