Potret Toleransi Antarumat Beragama di Ciputat Tangsel, Satu Keluarga Muslim Tinggal di Lingkungan Gereja
Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Keberagaman tersebut merupakan keunikan atau kekayaan kita sebagai bangsa, namun sekaligus dapat menjadi ancaman bagi kesatuan negara dan bangsa Indonesia. Perbedaan suku, budaya, ras, agama, dan adat istiadat sangat berpotensi memunculkan pertentangan antarkomponen. Konflik dan kekerasan yang bernuansa agama, ras, dan etnis terjadi di berbagai wilayah tertentu di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua. Krisis sosial budaya yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini juga dipicu oleh krisis ekonomi, moneter, dan euforia kebebasan paskaambruk-nya Rezim Soeharto –yang dinamai reformasi. Di era orde baru, Soeharto memaksakan ideologi monokulturalisme dengan dalih demi stabilitas negara dan bangsa. Hal ini menekan ekspresi kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejatinya majemuk. Tekanan itu akhirnya meledak pada saat reformasi didengungkan. Ini semacam momen atau kesempatan untuk mengekspresikan segala macam bentuk kebebasan. Eforia kebebasan paska Orde Baru menjadi tak terkendali.
Masalah yang dihadapi berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang multikultural sangat rumit. Dalam bentuk multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia harus memiliki kebudayaan yang berlaku umum yang coraknya seperti sebuah mosaik (Anwar Efendi, 2008). Sedangkan, Azyumardi Azra (2007) memakai istilah “peradaban Indonesia” atau “kebudayaan Indonesia”. Selanjutnya ia mengatakan, bagaimana bentuk dan wujud dari “kebudayaan Indonesia” itu? Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan (Parsudi Suparlan, 2002). Konsep tentang multikulturalisme sendiri sebetulnya juga bukan hal baru di Indonesia. Kesadaran multikultur sudah muncul sejak benih Indonesia mulai tumbuh pada masa Kebangkitan Nasional. Perkembangan-perkembangan pokok pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi serta dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas.[1]
Bagaimana merawat kemajemukan untuk terciptanya iklim yang aman, tanpa konflik? Sebagai bangsa yang majemuk, meminjam istilah Azyumardi Azra (2007), Indonesia memerlukan common platform yang dapat menyatukan segala macam perbedaan yang ada. Selama ini unsur pemersatu Bangsa Indonesia adalah negara dan Pancasila yang sekaligus merupakan titik puncak kebudayan dan peradaban Indonesia. Realitas sosial, budaya, dan politik Bangsa Indonesia sekarang mendorong untuk bertanya, Apakah Pancasila masih relevan untuk berperan sebagai common platform bagi Negara dan Bangsa Indonesia. Sekarang atau uatu saat nanti, apakah ada jawaban dari pertanyaan siapakah orang Indonesia? Pertanyaan itu secara implisit hendak meminta Berbagai bentuk disorientasi sedang terjadi di berbagai kalangan masyarakat, misalnya, menurunnya penghargaan terhadap suku dan kebudayaan orang lain, memojokkan kaum minoritas, kekerasan terhadap kelompok suku tertentu dan berbagai bentuk disorientasi lainnya.
Pemahaman tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Menurut Taylor, perkembangan multikulturalisme tidak hanya di bidang ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Habermas kemudian menanggapi Taylor demikian, perlindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam suatu demokrasi konstitusional. Persamaan hak di bidang hukum harus disertai pula kemampuan untuk mengerti bahwa kita sendiri adalah penulis dari hukum-hukum tersebut yang mengikat kita. Ini hendak mengatakan bahwa sistem yang mengikat kita tidak menghapus kondisi sosial kita yang berbeda-beda, termasuk terhadap perbedaan budaya. Kemungkinan, akan terjadi konflik dari diskursus mengenai perbedaan-perbedaan tersebut dan juga pemecahan demokratisnya. Habermas menganjurkan, negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak-hak orang lain.[2]
Dalam kehidupan politik saat ini, ada keinginan untuk diakui (recognized) terhadap hak hidup kelompok dalam masyarakat dengan kebudayaannya yang khas. Kebutuhan ini merupakan pendorong yang sangat kuat di belakang gerakan nasionalisme dalam politik. Gerakan ini muncul dalam kehidupan politik dalam bentuk tuntutan kelompok-kelompok minoritas, kelompok-kelompok subaltern, kelompok feminis, dan politik multikulturalisme.[3] Perkembangan kebutuhan untuk diakui berasal dari filsuf Rousseau. Dia mengritik tajam sistem kehormarmatan hirarkis yang disebutnya preferences. Bagi Rousseau preferences tersebut merupakan akar dari korupsi dan ketidakadilan, karena orang memberikan penghargaan kepada sesuatu yang preferensial. Sedangkan, dalam masyarakat Republik setiap orang mempunyai hak yang sama sehingga pandangan preferensial tersebut tidak akan muncul. Setiap orang perlu diakui akan keunikan dan identitasnya.[4] Setiap manusia memiliki martabat yang sama. Maka dari itu, saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus ada dalam kemerdekaan manusia.
Multikulturalisme berasal dari dua kata, yaitu “Multi” dan “kulturalisme”. “Multi” berarti beraneka-ragam, sedangkan “kulturalisme” mengandung unsur kultur atau budaya.[5] Sebagai sebuah ideologi multikulturalisme merasuk ke dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia, yakni sosial, ekonomi dan bisnis, politik, dan lain sebagainya. Maka, pluralisme berkaitan pula dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pluralisme berkaitan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang memiliki budaya khas. Menurut Montesquieu, perbedaan budaya adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh kenyataan kehidupan manusia. Tidak ada dua masyarakat yang sama persis. Setiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan adat, cara hidup, tata krama, sistem hukum, struktur keluarga, bentuk pemerintahan, dan masing-masing mengusung semangat yang berbeda, nilai-nilai moral, dan bentuk kesempurnaan serta konsep hidup yang baik.[6]
Pengertian multikulturalisme dapat dibedakan ke dalam dua periode. Pengertian tradisional multikulturalisme merupakan babak pertama aliran multikulturalisme dan memiliki dua ciri: 1) kebutuhan terhadap pengakuan dan 2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Sedangkan, tahap perkembangan selanjutnya paham multikulturalisme menampung berbagai macam pemikiran baru:[7]
Pertama, pengaruh studi kultural. Studi kultural melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyakarat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan masalah-masalah toleransi antrakelompok dan agama.
Kedua, poskolonialisme. Pemikiran poskolonialisme melihat kembali hubungan antara eks penjajah dan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma. Stigma yang muncul biasanya mengenai perendahan terhadap masyarakat terjajah. Pandangan poskolonialisme mengungkit kembali nilai-nilai indigenous dalam budaya sendiri dan membangkitkan kebanggaan terhadap budaya asing. Pemikiran poskolinialisme kadangkala melihat berbagai kekurangan bangsanya sendiri sebagai akibat penjajahan.
Ketiga, globalisasi. Globalisasi melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Ada upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan budaya-budaya yang beraneka-ragam di masyarakat. Revitalisasi budaya lokal merupakan upaya untuk menentang globalisasi yang mengarah ke monokulutural budaya dunia.
Keempat, teori ekonomi politik neo-Marxisme. Teori ini memfokuskan kepada struktur kekuasaan di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh kelompok yang kuat. Teori neo-Marxis dari Antonio Gramcsi mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa revolusi dalam memperhatikan kelompok-kelompok yang termarjinali-sasi.
Multikulturalisme di Indonesia dan Permasalahannya Dewasa Ini
Bangsa Indonesia secara keseluruhan terdiri atas berbagai pemeluk agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), etnis (suku), jenis kelamin (gender), dan status sosial. Perumusan konsep nasionalisme harus secara demokratis mengakomodir sekaligus menghargai semua kelompok dengan prinsip keadilan. Prinsip nasionalisme yang relevan dalam konteks keindonesiaan ialah nasionalisme-multikultural, yaitu konsep nasionalisme yang meliputi perbedaan latarbelakang, baik perbedaan agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.[8]
Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai konsep multikulturalisme. Konsep ini sebenarnya sudah ada benihnya sejak sebelum Indonesia merdeka. Konsep multikuluralisme benihnya sudah ditanam dalam gerakan kebangkitan nasional pada awal abad ke-20. Memang semangat multikulturalisme di sini sama sekali tidak terlihat. Gerakan awal kebangkitan nasional itu mula-mula masih didasarkan atas rasa solidaritas atau hubungan setia kawan yang terbatas pada ruang lingkup tertentu. Seperti Budi Utomo, pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura.[9] Kemudian, muncul organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah. Ini adalah organisasi para pedagang Indonesia yang didirikan di Batavia pada 1909. Istilah islam pada namanya sekarang banyak mencerminkan adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim. SI berkembang ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusatnya.[10] Pada masa sesudah 1909, di Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan (Tri Koro Dharmo, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, dll). Memang, era pertama kebangkitan nasional tersebut tidak mencerminkan sama sekali ideologi multikulturalisme secara gamblang. Pola yang sudah nampak menunjukkan pola penting bahwa sebagai suatu pergerakan dapat dilihat adanya semangat untuk membentuk organisasi. Namun, semangat berorganisasi tersebut masih didasari atas indentitas kesukuan yang sangat kuat sehingga meningkatkan rasa perpecahan di kalangan rakyat Indonesia.
Soekarno bersama Tjipto Mangungkusumo dan Douwes Dekker mempimpin Indische Partij (IP) yang radikal dan merupakan satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme daripada kerangka islam, Marxisme, atau ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit. Kemudian Soekarno membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia). Melalui PNI Soekarno mendengungkan nasionalisme dan bertujuan memerdekakan seluruh Kepulauan Indonesia. PNI adalah satu-satunya partai politik penting pertama yang beranggotakan etnis Indonesia.[11]
Jika sudah memahami konsep nasionalisme Indonesia dalam bingkai multikulturalisme, sejarah berdirinya Budi Oetomo (20 Mei 1908) atau kelahiran R.A. Kartini (21 April 1879) tampaknya memang kurang relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dua momentum bersejarah ini memang memiliki andil yang cukup besar dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme pribumi. Akan tetapi, dengan memahami konsep bangsa Indonesia yang multikultural, kedua momentum tersebut kurang dapat mengatakan secara gamblang soal kebangkitan secara nasional. Di awal subbab ini juga sudah dikatakan bahwa multikulturalisme pada masa ini sedang ditaburkan benihnya. Yang penting untuk dicatat bahwa sudah mulai ada gerakan dari para pemuda terpelajar untuk mendirikan suatu organisasi dan mulai berpikir mengenai doktrin anti-penjajahan yang dapat dianut. Di antara kelompok itu akhirnya saling mengingatkan secara jelas akan kepentingan-kepentingan yang memisahkan mereka. Kelompok yang masih berbau identitas kesukuan itu sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni semangat untuk melawan penjajah.
Menurut sejarawan Ben Anderson (1988), konsep nasionalisme Indonesia mulai diperkenalkan secara jelas pada tahun-tahun terakhir zaman penjajahan Belanda. Ini adalah perkembangan selanjutnya dari gerakan kebangkitan nasional yang sudah dirintis oleh Budi Utomo. Dari sekelompok pemuda terdidik seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang pada tahun 1926, didirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Tetapi, gagasan nasionalisme Indonesia pada waktu itu belum bisa dijadikan sebagai representasi kekuatan politik bangsa karena pembentukan PNI sebagai partai nasionalis belum mampu mengakomodasi seluruh kepentingan bangsa yang multikultural. Baru pada tanggal 26-28 Oktober 1928, nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan politik yang telah mengikat seluruh elemen bangsa ini.
Sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif berpendapat bahwa momentum Sumpah Pemuda merupakan titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Momentum Sumpah Pemuda yang terdiri dari seluruh elemen bangsa telah mengikat diri dalam ikrar bersama. Seluruh elemen bangsa menyatakan ikrar bersama: bertanah air satu (tanah air Indonesia), berbangsa satu (bangsa Indonesia) dan berbahasa satu (bahasa Indonesia). Dalam hal ini, momentum Sumpah Pemuda semakin memperjelas atau menegaskan konsep nasionalisme-multikultural.
Problematikanya saat ini adalah pada kenyataannya, meski sudah ada konsep dan perwujudan mengenai multikulturalisme sejak lama, serta memiliki sebuah common platform, yakni Pancasila, yang mengandung cita-cita untuk mempersatukan keberagaman Indonesia, persoalan konflik antar suku, pertikaian antar agama, dan merosotnya penghargaan terhadap budaya orang lain masih terjadi di Indonesia. Persoalannya ada pada rezim orde baru yang merepresi segala bentuk ekspresi kesadaran atas keberagaman budaya yang dimiliki setiap masyarakat. Kesadaran multikultur dipendam atas nama kesatuan dan persatuan Negara Indonesia (stabilitas nasional). Orde Baru dalam pada ini menerapkan ideologi monokulturalisme. Penyeragaman budaya oleh rezim Soeharto ini sangat nampak sekali salah satunya dalam membuat sistem pemerintahan terstruktural dan terlembaga dari tingkat paling bawah sampai pusat.
Seluruh Indonesia diterapkan sistem pemerintahan yang sekarang ini saya sebut dengan istilah sistem RT/RW. Sistem ini dipakai untuk melakukan kontrol terhadap warga dan pertama kali dipikirkan oleh mantan Presiden Soeharto. Ia mengadopsi sistem Tonarigumi yang dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang.[12] Yang salah dari sistem ini adalah para pejabat di tingkat atas sampai bawah semuanya berada di bawah garis komando Soeharto dan rakyat tidak memiliki otonomi untuk ikut mengatur sistem tersebut. Padahal, di suku-suku pedalaman yang masih sangat tradisional, sistem terlembaga demikian itu tidak mampu dipahami dengan baik oleh mereka yang masih menganut kebudayaan tradisional. Di daerah pedalaman Papua yang masih akrab dengan kehidupan di alam tentu akan kesulitan dan tidak memahami jika harus mengikuti prosedur pemerintahan tersebut, misalnya, mengurus akta kelahiran, perkawinan, dan pembuatan KTP. Lagipula, mereka yang di pedalaman masih meyakini otoritas kepala suku yang mereka pilih dengan cara atau adat istiadat mereka sendiri, dan bukan dipilihkan dari pemerintahan tingkat atasnya.
Di samping itu, problem masa kini bagi multikulturalisme Indonesia dewasa ini adalah globalisasi. Disorientasi dan krisis sosial budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia juga semakin bertambah akibat meningkatnya proses ekspansi dan penetrasi budaya barat, khususnya Amerika sebagai akibat dari globalisasi yang tak terbendung. Banyak ekspresi sosial budaya yang bisa diamati pada anak-anak muda (juga orang tua) mencerminkan tidak adanya fondasi dan preseden kulturalnya. Masyarakat semakin banyak menganut gaya hidup yang tidak selalu positif dan kondusif bagi konstelasi sosial budaya negara Indonesia. Kita melihatnya secara nyata lewat kecenderungan masyarakat kita yang mulai doyan dengan budaya serba instant, makanan cepat saji (McDonald, KFC, TEXAS Chicken, Dunkin Donuts, dll); permisifisme; kekerasan; hedonisme; konsumerisme; prom’s night di kalangan remaja; dan budaya MTV.[13] Globalasasi di sini menjadi semacam imperialisme baru terhadap kebudayaan Indonesia yang statusnya sejajar dengan paham “orientalisme” yang berlaku pada masa kolonial.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat tidak mampu membendung arus informasi yang datang dari negara-negara lain. Arus informasi begitu cepat sekali dan sangat efektif memberi pengaruh bagi masyarakat Indonesia. Memang tidak boleh dipungkiri bahwa globasisai (yang ditandai dengan percepatan teknologi informasi) membawa efek positif pula bagi dunia. Namun, sisi negatif yang diakibatkan juga tidak lebih kecil.
Globalisasi telah melahirkan kapital internasional dari korporasi-korporasi besar yang ternyata hanya menguntungkan negara-negara besar yang memiliki modal, dan sedikit konglomerat dunia. Di pihak lain, kemiskinan di seluruh dunia bukan berkurang, melainkan semakin drastis meningkat. Perubahan radikal yang terjadi menimbulkan shock bagi masyarakat, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga sosial dan kebudayaan. Masyarakat lokal yang mulai terjerat dengan kemiskinan mulai tergiur dengan tawaran-tawaran untuk memperoleh taraf kehidupan yang layak dengan macam-macam cara, mulai dari pergi ke kota untuk menjadi buruh di sebuah pabrik multinasional tertentu atau dengan menjual tanah ulayat yang masih perawan semata-mata untuk kepentingan uang.
Pancasila Jalan Keluar yang Masih Problematis
Di masa sekarang, era reformasi, ada gejala untuk acuh tak acuh terhadap Pancasila yang terjadi secara pelan tetapi masif. Gejala untuk meninggalkan pancasila ini tidak tampak memang secara jelas di permukaan. Yang dapat dicermati adalah UU no. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik Pasal 2 ayat 2b yang disahkan pada zaman Presiden B.J. Habibie. Dalam pasal itu tertulis, “asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila”. Ayat ini menjadi problematis karena di situ tidak ditegaskan bahwa asas partai harus Pancasila, namun hanya diberi keterangan asal tidak bertentangan dengan pancasila. Hal ini memiliki potensi bahwa asas suatu partai boleh di luar pancasila yang sudah menjadi common platform bagi kesatuan seluruh Indonesia. Ditakutkan bahwa kurang adanya sikap tegas dari pemerintah untuk menuntut pancasila dijadikan asas setiap partai politik akan membawa Indonesia kembali pada pengalaman di masa awal kebangkitan nasional yang belum terbentuk nasionalismenya, dengan kata lain masih terpecah belah. Bangsa Indonesia belum merupakan suatu kesatuan semua keragaman yang ada, tetapi masih berada dalam kotak-kotak yang terbagi atas identitas-identitas suku atau kelompok agama tertentu (Syariat Islam). Ketakutan lain adalah multikulturalisme yang merupakan cita-cita bersama menjadi utopia semata.
Sekarang ini banyak orang menjadi pesimis memandang pancasila sebagai nilai yang memendam cita-cita kesatuan seluruh Indonesia. Masyarakat mengalami trauma atas rezim Orde Baru (Orba) yang memperlakukan Pancasila sebagai sarana legitimasi ideologis dalam membenarkan segala keputusan dan sepak terjangnya. Pengalaman pada masa Orba mematrikan suatu pemikirian bagi masyarakat bahwa melawan pemerintahan Orba adalah “anti pancasila”. Pancasila ikut terkena imbasnya setelah Orba ambruk. Pancasila akhirnya ikut dianggap sebagai penyebab kehancuran negara. Orang tidak mau membicarakan Pancasila karena tidak ingin kembali ke masa lalu.
Sekarang adalah saatnya untuk kembali kepada Pancasila tanpa menjadikan Pancasila sebagai sarana indoktrinasi untuk melegitimasi segala macam upaya dan keputusan yang dibuat selama dua rezim sebelumnya, otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila (Kompas, 20 Februari 2001). Azyumardi Azra menggunakan istilah rejuvenasi Pancasila
(Kompas, 17 Juni 2004). Koento Wibisono mengatakan perlunya reposisi dan reorientasi Pancasila (Makalah Pelatihan Nasional Dosen Pancasila, 2004). Simposium Hari Lahir Pancasila di Kampus FISIP UI Depok tanggal 31 Mei 2006 menggunakan istilah restorasi Pancasila. Ada pula yang menggunakan istilah “dekontruksi” Pancasila (Santoso, 2003). Diskursus yang membahas kembali persoalan pancasila menjadi bukti bahwa memang seharusnya Pancasila tidak pantas untuk ikut dipersalahkan. Di era Reformasi ini Pancasila mendapatkan pemaknaan ulang dan bagaimana harus diterapkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam diskurus soal Pancasila banyak interpretasi atau pemaknaan baru yang keluar, namun pada gilirannya untuk diaplikasikan ke dalam pelaksanaan kehidupan bernegara, tidaka ada perwujudannya. Penyelesaian masih berhenti dalam taraf merusmuskan pemaknaan baru, belum sampai pada praktis pelaksanaan yang justru sangat krusial untuk pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia. Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar (2007) mengakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu.[14]
Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Ini dapat kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam memaknai Pancasila. Telah terjadi proses ideologisasi terhadap Pancasila selama masa Orde Baru. Pancasila yang pada mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau platform demokratis bagi semua golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar komprehensif integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain (Nasution, 1993). Dalam masa Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila (Somantri, 2006), atau Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos (Santoso, 2003).
Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Dengan dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik maka pemaknaan Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan argumentasi akademiknya masing-masing. Pancasila bagi para ahli filsafat misal Notonagoro, Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi filsafatnya bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru. Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya dengan bangunan kenegaraaan Indonesia
Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. benar adanya bahwa banyak sekali wacana publik terutama akademik yang berbicara tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan mereka tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Sosialiasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila merupakan ideologi yang menjadi dasar hidup kenegaraan. Namun sebelumnya perlu diperhatikan bahwa di sini hendaknya diperhatikan untuk tidak mencampuradukkan Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai ideologi atau pandangan dunia (Weltanschauung). Maka dari itu, sifat asasi itu harus dicari dalam kehidupaan negara pula. Hidup kenegaraan adalah salah satu aspek dari seluruh hidup kita yang sangat rumit dan simultan. Aspek kenegaraan tidak boleh dipisahkan dari aspek lain (moral, agama, kebudayaan, dan sebagainya). Pancasila harus dicantumkan sebagai dasar negara (bukan dasar hidup pada umumnya). Pancasila harus pertama-tama dipandang dalam hubungannya dengan negara.[15]
Idea-idea yang berasal dari Pancasila adalah idea-idea asasi hidup kenegaraan. Menegara berarti mengadakan tata-tertib umum, menciptakan kemakmuran bersama. Negara adalah sebuah aktivitas yang ditentukan oleh subjek yang melakukan; subjek yang menentukan ditentukan oleh demokrasi. Maka, demokrasi menentukan aktivitas besar yang disebut negara. Demokrasi adalah menjadikan masyarakat (yang terdiri dari orang banyak) menjadi satu subjek dengan cara sesuai dengan martabat manusia: artinya cara untuk membuat manusia-manusia sebagai subjek banyak menjadi subjek satu. Dalam cara ini keluhuran dan kedaulatan manusia diakui. Demokrasi adalah suatu hal yang fundamental sebab menentukan sifat dan bentuk negara.[16]
Keadilan sosial adalah tujuan karya raksasa bersama dalam menegara. Demokrasi adalah caranya membentuk subjek yang melakukan karya itu. Subjek yang melakukan adalah bangsa Indonesia yang tidak homogen, dari Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia adalah masyarakat Tunggal-Bhineka. Ketunggalan itu belum sempurna; dan juga tidak ada maksud untuk membuat kesatuan yang sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi kebhinekaan. Meskipun demikian, adanya kesatuan tidak bisa dipungkiri, meski prosesnya belum selesai hingga kini.[17]
Lantas bagaimana menyampaikan idea-idea Pancasila itu kepada masyarakat agar idea-idea kebangsaan terpahami oleh masyarakat untuk membangun bangsa Indonesia yang multikultural?
Sosialisasi lewat pendidikan Pancasila adalah jalur penyelesaian yang patut untuk dibuat. Perlu disusun reaktualisasi akan bentuk pendidikan Pancasila dengan beberapa pembatasan. Reaktualisasi pendidikan Pancasila ini akan berhasil dengan melalui tiga jalur pendekatan pengembangan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic development), pengembangan sosial budaya (socio-cultural development) dan pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political intervention).[18]
Pertama, Pengembangan Pendidikan Pembelajaran (Psyco-Paedagogic
Development) Psyco paedagogic development adalah pendekatan yang berasumsikan bahwa pengembangan nilai akan berhasil apabila nilai tersebut diinternalisasikan, ditanamkan atau dididikkan pada diri peserta didik. Sosialisasi nilai tersebut berlangsung dalam proses yang disengaja, direncanakan, dan sistematis. Pendekatan ini umumnya dilakukan pada lingkup dan jalur pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan perguruan tinggi. Namun demikian keberhasilan sosialisasi melalui 10 pendekatan ini masih tergantung pada faktor-faktor lain seperti materi, metode pembelajarannya dan kualitas pemberi dan penerima sosialisasi.
Kedua, Pengembangan Sosial Budaya (Socio-Cultural Development)
Socio-Cultural Development adalah pendekatan yang berpandangan bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Penciptaan lingkungan sosial budaya tersebut mencakup penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun wadah sosial budaya di masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat berpengaruh bagi keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan (psyco paedagogic development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural development.
Ketiga, Pengaruh Sosial Politik dari Kekuasaan (Socio- Political Intervention)
Socio-Political Intervention berasumsi bahwa sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam batas- batas tertentu membutuhkan peran negara untuk mempengaruhi upaya tersebut. Dalam batas tertentu mengandung maksud bahwa di era demokrasi sekarang ini peran negara diupayakan minimal sedang peran masyarakat yang diperbesar. Dalam negara demokrasi, perlu dihindari keterlibatan negara secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jadi peran negara demokrasi adalah memfasilitasi, menyediakan sarana, kebijakan, program dan anggaran bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila untuk selanjutnya menawarkan kerjasama dengan masyarakat untuk menjalankan sosialisasi tersebut.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Keragaman Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme, 2007,
Makalah Seminar, disampaikan pada Semiloka Nasional
Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, 2006, Jakarta: Gramedia
Gutmann, Amy (Ed.), Multiculturalism. Examining The Politics of Recognition, 1994,
New Jersey: Princeton University Press
Parekh, Bhiku, Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory,
2000, New York: Palgrave
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008, Jakarta: SERAMBI
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, 2004, Jakarta: Grasindo
Sumber Internet
Winarno, Melaksanakan Pancasila di Orde Reformasi , dalam
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/files/2009/07/melaks-pancasila2.pdf, diakses
pada 13 November 2009
Adopsi Fasisme di Negeri Demokrasi, Sinar Harapan, 01 November 2004, dalam
http://www.averroes.or.id/book-review/adopsi-fasisme-di-negeri-demokrasi.html,
diakses pada 13 November 2009
Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional, dalam
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/05/myposting_12499.html, diakses pada 13 November 2009
[1] Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: SERAMBI, 2008, hlm. 353
[2] Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2004, hlm. 79
[3] Lih. Gutmann, Amy (Ed.), Multiculturalism. Examining The Politics of Recognition, New Jersey: Princeton University Press, 1994, hlm. 25
[4] Lih. Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme , hlm. 80
[5] Lih. Tilaar, H.A.R., hlm. 82
[6] Lih. Parekh, Bhiku, Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory, New York: Palgrave, 2000, hlm. 56
[7] Lih. Tilaar, H.A.R., hlm. 83
[8] Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional, dalam http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/05/myposting_12499.html, diakses pada 13 November 2009
[9] Ricklefs, M.C., hlm. 355
[10] Ibid., hlm. 359
[11] Ibid., 393
Now, in the lead up to national elections set for April 17, influential kyais (Islamic teachers) in Nahdlatul Ulama, the world’s largest mass Muslim organization, have deemed use of the word offensive and have formally called on members to refer to non-Muslim Indonesians as muwathin, or citizen, instead.
Religious hate speech has become a worrying aspect of Indonesia’s political discourse in recent years, reaching a peak in 2017 with the mass demonstrations that brought down ethnic Chinese Jakarta governor Basuki Purnama, an ally of President Joko Widodo.
Widodo has since often been branded as un-Islamic by conservative Muslim elements, who have thrown their support behind presidential rival Prabowo Subianto, even though he is not considered to be religiously devout either.
What’s in a word? In the Koranic context, kafir is historically considered what one devotee calls a “polite, proper and soft” expression for those who don’t belong to the Islamic faith. Its core definition is “those who have closed themselves.”
Even kafirs have been historically divided into categories, such as dhimmi, or a non-Muslim permanently residing in a Muslim land, and mu’ahad, musta’man and harbi, all of which refer to non-Muslims living temporarily in Muslim countries.
In Indonesia, kafir was not in common usage 20 years ago. That has changed since the end of president Suharto’s authoritarian rule and the birth of democracy opened the way for a Muslim revival. But with that opening the word has taken on a derogatory connotation, in line with a rise in Islamic extremism.
The NU’s recent annual conference sought to address that, with a statement on the 45 million-strong organization’s website saying it is consistent with the long-held view that Indonesia as a nation state is a shared home for all religions.
Established in the mid-1920s to institutionalize religious traditions, NU supported a small change in the wording of the 1945 Jakarta Charter, which effectively recognized the pluralist state ideology Pancasila as the basis of the Indonesian nation state.
The February 28 statement discussed the differences in the rights and obligations of each community, depending on a nation’s status as secular or non-secular. “With the nation state model, all community groups have the same rights,” it says. “So it concerns someone’s position as a citizen, not as something theological.”
Conference chairman Abdul Moqsith Ghazali called the use of kafir “theological violence,” explaining that while NU was not seeking to erase the term from the Koran, it was attempting to stop it being employed by certain groups as a weapon of discrimination.
The statement acknowledged, for example, that the distinction between Muslims and infidels was necessary for those fighting for a religious state. “They use religious arguments with their own interpretations in accordance with their ideology,” it noted.
Sheikh Bilai Mahmud Afifi Ghanim, a visiting lecturer from Egypt’s Al-Azhar University, supported the recommendation, saying it was “in the context of interaction among fellow humans to respect and preserve their feelings towards each other.”
Banjar, a city of mixed political loyalties in the battleground province of West Java, the country’s most populous province, was an interesting choice of venue for the NU conference, coming only five weeks before the April 17 legislative and presidential elections.
Lying on the West-Central Java border, Banjar gave Widodo 46.6% of the vote in the 2014 presidential election, one of his best results in a province where he suffered his most painful defeat and which he desperately wants to reverse this time around.
TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 01, Ma'ruf Amin menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir untuk menyebut nonmuslim di Indonesia. Menurut penilaian Ma'ruf, rekomendasi tersebut dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.
Jakarta - Lima orang pendiri PAN mendesak Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengundurkan diri. Amien dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar pendirian partai. Lima orang pendiri PAN tersebut adalah Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty, dan Zumrotin.
Saran itu disampaikan melalui surat terbuka tertanggal 26 Desember 2018. Goenawan Mohamad membenarkan surat tersebut ditulis dan ditandatangani oleh kelima pendiri dan penggagas PAN tersebut.
"Iya benar. Yang menulis Pak Abdillah Toha. Kami semua menandatangani," ujar Goenawan saat dimintai konfirmasi, Rabu (26/12/2018).
Dalam surat yang diterima detikcom itu, kelima pendiri PAN itu mengatakan surat dibuat pasca memerhatikan perkembangan kehidupan politik di Indonesia. Khususnya, kiprah Amien Rais bersama PAN maupun secara personal.
"Untuk itu barangkali sudah saatnya Saudara (Amien Rais) mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita," demikian tulis surat terbuka tersebut.
Berikut isi surat terbuka tersebut:
Surat Terbuka untuk Amien Rais
Saudara Amien Rais yang kami hormati,
Setelah memerhatikan perkembangan kehidupan politik di negeri kita Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, khususnya kiprah Saudara sendirian ataupun bersama Partai Amanat Nasional (PAN), kami sebagai bagian dari penggagas dan pendiri PAN merasa bertanggung jawab dan berkewajiban membuat pernyataan bersama dibawah ini demi mengingatkan akan komitmen bersama kita pada saat awal pendirian partai sebagai berikut:
1. PAN adalah partai reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan menegakkan demokrasi setelah 32 tahun di bawah kekuasaan absolut orde baru yang korup dan otoriter.
2. PAN adalah partai yang berazaskan Pancasila dengan landasan nilai-nilai moral kemanusiaan dan agama.
3. PAN adalah sebuah partai modern yang bersih dari noda-noda orde baru dan bertujuan menciptakan kemajuan bagi bangsa.
4. PAN adalah partai terbuka dan inklusif yang memelihara kemajemukan bangsa dan tidak memosisikan diri sebagai wakil golongan tertentu.
5. PAN adalah partai yang percaya dan mendukung bahwa setiap warga negara berstatus kedudukan yang sama di depan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, tidak mengenal pengertian mayoritas atau minoritas.
Dengan menggunakan kacamata prinsip-prinsip PAN tersebut diatas, kami mendapatkan kesan kuat bahwa Saudara Amien Rais (AR) sejak mengundurkan diri sebagai ketua umum PAN sampai sekarang, baik secara pribadi maupun mengatasnamakan PAN, seringkali melakukan kiprah dan manuver politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip itu.
- Saudara makin lama makin cenderung eksklusif, tidak menumbuhkan kerukunan bangsa dalam berbagai pernyataan dan sikap politik saidara..
- Saudara sebagai tokoh reformasi yang ikut berperan dalam mengakhiri kekuasaan orde baru, telah bersimpati, mendukung, dan bergabung dengan politisi yang beraspirasi mengembalikan kekuatan orde baru ke kancah politik Indonesia
- Saudara telah menjadikan agama sebagai alat politik untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan.
- Saudara sebagai ilmuwan ilmu politik telah gagal mencerdaskan bangsa dengan ikut mengeruhkan suasana dalam negeri dalam menyebarkan berita yang jauh dari kebenaran tentang kebangkitan PKI di negeri kita.
- Saudara sebagai orang yang berada di luar struktur utama PAN terkesan berat menyerahkan kepemimpinan PAN kepada generasi berikutnya dengan terus menerus melakukan manuver politik yang destruktif bagi masa depan partai.
Atas dasar pertimbangan semua itu, kami sebagai bagian dari pendiri PAN yang bersama saudara saat itu meyakini prinsip-prinsip yang akan kita perjuangkan bersama, menyampaikan surat terbuka ini sebagai pengingat dari sesama kawan.
Untuk itu barangkali sudah saatnya Saudara mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita.
Salam hormat dari kami semua,
Jakarta, 26 Desember 2018
Abdillah Toha
Albert Hasibuan
Goenawan Mohammad
Toeti Heraty
Zumrotin
Jakarta - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan politik identitas bakal tidak laku di Pemilu 2019. Menurut Arya, baik di pileg maupun Pilpres nanti, politik identitas tidak akan berpengaruh banyak untuk mendongkrak elektabilitas caleg atau pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Megawati meraih gelar doktor di bidang politik. Rektor IPDN Ermaya Suradinata menjelaskan pemberian gelar kepada Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu dengan beberapa pertimbangan.
"IPDN memberikan gelar doktor kehormatan sebagai pengakuan kenegarawanan Ibu Megawati Soekarnoputri," ujar Ermaya di kampus IPDN, Jatinagor, Jawa Barat, Rabu (8/3).
Megawati dianggap layak mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa bidang politik pemerintahan.
"Beliau sosok yang berpengetahuan luas mengenai politik dan pemerintahan serta konsisten menegakkan demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya
Emraya melanjutkan, Megawati saat menjabat sebagai Presiden telah meletakkan dasar kebijakan desentralisasi yang berkesinambungan untuk Indonesia.
"Ibu Megawati kokoh dalam prinsip, bersikap tegas, dan selama memimpin, seluruh jajaran Kabinet Gotong Royong bekerja dengan tenang," ujarnya.
Megawati juga dinilai tegas mengambil tanggung jawab terhadap berbagai persoalan penting, namun pada saat bersamaan tetap menampilkan kepemimpinan perempuan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
"Beliau juga sangat respek terhadap lingkungan dan kebudayaan," ujar Ermaya.
Sebelumnya, Megawati juga sudah menerima 6 Gelar Doktor Honoris Causa. Yakni dari Universitas Waseda, Tokyo, Jepang (2001). Gelar dari Moscow State Institute of International Relation, Rusia (2003).
Korea Maritime and Ocean University, Busan, Korsel (2015). Kemudian Universitas Padjadjaran (2016), Universitas Negeri Padang (2017); dan Mokpo National University, Mokpo, Korsel (2017).
"Penghargaan doktor honoris causa di bidang politik yang diberikan IPDN ini adalah gambaran bagaimana sosok dan perjuangan Ibu Megawati dalam membangun demokrasi di bangsa ini," ujarnya.
"Para kader PDI Perjuangan menyadari betul,apa yang diterima Megawati itu merupakan buah dari dedikasinya untuk bangsa dan negara yang telah dilakukan secara ikhlas dan konsisten," ungkap Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Barat, Waras Warsito.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Doktor Honoris Causa Ketujuh Untuk Megawati, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/08/doktor-honoris-causa-ketujuh-untuk-megawati.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
detik X: “Aku anak perempuan kedua Bupati Jepara…. Almarhum kakekku adalah bupati pertama di Jawa Tengah yang membukakan pintunya untuk tamu dari jauh seberang lautan,” Raden Ajeng Kartini membuka isi suratnya kepada Estell ‘Stella’ Zeehandelaar, sahabat pena dari negeri Belanda yang tak pernah ditemuinya.
Dalam surat bertarikh 25 Mei 1899 itu, Kartini menceritakan kondisinya sebagai seorang perempuan keturunan bangsawan Jawa. “Kami anak-anak perempuan yang masih terbelenggu oleh adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pendidikan…. Ketika berumur 12 tahun, aku harus masuk ‘sangkar’.” Di dalam ‘sangkar emas’-nya, Kartini hanya tinggal menunggu jodoh yang dipilihkan orang tua.
Ya, saat itu, Kartini menulis kepada Stella pada 23 Agustus 1900, jalan hidup seorang perempuan Jawa sudah ditentukan di luar kuasanya. “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi istri yang kesekian bagi seorang lelaki.” Lebih dari seabad silam Kartini menulis soal poligami, isu yang tak pernah mati sampai hari ini.
“… tidak setiap orang Islam mempunyai empat orang istri, tetapi dalam dunia kami, setiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya. Dan hari ini atau besok, suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang perempuan untuk menjadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya…. Hampir semua perempuan yang aku kenal di sini mengutuk hak laki-laki itu,” Kartini menulis panjang-lebar. Sebagai anak yang lahir di keluarga poligami, Kartini paham betul rasanya diduakan. Apalagi kemudian Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri keempat.
Seperempat abad setelah Kartini menulis soal poligami itu, pada 25 November 1925, utusan dari sejumlah organisasi pemuda di Hindia Belanda, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, berkumpul di Hotel Lux Orientis, Jakarta. Mereka bersepakat menggelar Kongres Pemuda untuk “menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air”.
Peserta persamuhan itu menunjuk Mohammad Tabrani dari Jong Java sebagai ketua panitia, dengan sekretaris Djamaluddin dari Jong Sumatranen Bond, dan bendahara Soewarso dari Jong Java. Meski tak ada perempuan dalam daftar panitia, Tabrani dan teman-temannya menjadikan isu perempuan sebagai salah satu isu penting. Bahkan dalam Kongres Pemuda I selama tiga hari pada 30 April hingga 2 Mei 1926, ada satu hari, yakni hari kedua, khusus membahas ‘kedudukan wanita Indonesia’.
Ada tiga orang jadi pembicara pada malam itu di Vrijmetselaarsloge (sekarang Gedung Kimia Farma, Jl Budi Utomo, Jakarta), yakni Bahder Djohan, Stientje Ticoalu Adam, dan RT Djaksodipoero. Nona Stientje dari Minahasa membawakan pidato bertajuk Kedudukan Wanita, sementara RT Soenardi Djaksodipoero dari Jong Java berpidato soal Rapak Lumuh, hak perempuan mengadu kepada hakim jika permintaannya untuk bercerai ditolak sang suami. Bahder, pemuda Minang yang mewakili Jong Sumatranen Bond, berpidato dengan judul Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia.
Pemecahan masalah-masalah perempuan di negeri ini, Bahder berpidato dalam bahasa Belanda, sama pentingnya dengan pemenuhan cita-cita ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. “Perempuan mestinya berdiri di samping laki-laki, bagi Tanah Air dan bangsa,” kata Bahder. Bukan di depan, bukan pula di belakang laki-laki.
Dalam rumah tangga, menurut Bahder, perempuan tak cuma ibu bagi anak-anak, tapi juga teman dalam suka maupun duka untuk suaminya. “Kedudukannya tak boleh lebih tinggi, juga tak boleh lebih rendah,” pemuda Minang itu berpidato. Perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga punya posisi setara. Persamaan derajat ini, dia menekankan, merupakan fondasi bagi kebahagiaan rumah tangga. “Apabila kepada perempuan diberikan apa yang jadi haknya itu, dengan sendirinya poligami akan tersingkir.”
Bahder, seperti dikutip Daniel Dhakidae dalam bukunya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, tak sepakat dengan rupa-rupa dalih berpoligami, baik lantaran pertimbangan agama maupun sosial, seperti kelebihan jumlah perempuan dibanding laki-laki dalam masyarakat. Bahder juga mengkritik alasan ‘naluri poligami’ yang sering pula jadi alasan laki-laki menikahi beberapa perempuan. Menurut dia, ”Kalau naluri itu memang ada, harus dikendalikan oleh kesadaran moral yang lebih tinggi.”
Kongres Pemuda Pertama ini memang tak menghasilkan satu kesimpulan ‘final’. Tapi para peserta, laki-laki maupun perempuan (selain nona Stientje, ada beberapa perempuan lain yang hadir di Kongres Pemuda Pertama, di antaranya Emma Poeradiredja, Ketua Jong Islamieten Bond Cabang Bandung), bersepakat untuk mengusahakan kesatuan Indonesia dan mempererat hubungan antar-organisasi pemuda.
Dorongan meninggalkan semangat kedaerahan makin kuat. Pertemuan demi pertemuan berujung pada pembentukan panitia Kongres Pemuda II pada Juni 1928. Sugondo Djojopuspito, mahasiswa sekolah hukum dari Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), ditunjuk menjadi ketuanya. Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond jadi sekretaris, sementara Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond dipilih menjadi bendahara.
Di bawah pengamanan sangat ketat polisi dan intel-intel pemerintah Hindia Belanda, ada sekitar 750 pemuda dari pelbagai daerah, dari banyak organisasi, datang ke Jakarta mengikuti Kongres Pemuda II. Tapi hanya 72 orang di antaranya yang tercatat menjadi peserta Kongres, di antaranya SM Kartosoewirjo, AK Gani, Bahder Djohan, Arnold Manonutu, Sarmidi Mangunsarkoro, WR Supratman, dan Mohammad Tabrani. Terselip di antara mereka, enam nama perempuan: Emma Poeradiredja, Siti Soendari, Dien Pantow, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, dan Poernamawoelan.
Kongres hari pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, dilaksanakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Jakarta, dibuka dengan pidato ketua panitia, Sugondo Djojopuspito. “Perangilah pengaruh bercerai-berai dan majulah menuju cita-cita Indonesia bersatu yang kita cintai,” Sugondo menutup pidatonya, dikutip Sagimun MD dalam bukunya, Peranan Pemuda: Dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi.
Di rapat kedua pada Minggu pagi di Gedung Bioskop Oost Java, Poernamawoelan mendapatkan kesempatan berpidato. Dia berpidato soal peran pendidikan dalam keluarga. Hingga Kongres ditutup, hanya tiga perempuan yang mendapatkan kesempatan berbicara, yakni Poernamawoelan, Siti Soendari, dan Emma Poeradiredja.
Kongres Pemuda Kedua ini ditutup pada malam itu juga di Gedung Indonesisch Clubhuis, kini di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Ratusan orang berdesakan menyimak pembacaan putusan Kongres. Putusan Kongres Pemuda Kedua pada 1928 inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Tak banyak masalah perempuan dibicarakan di Kongres Pemuda Kedua. Tapi sedikit-banyak, apa yang terjadi dalam Kongres Pemuda II ini mempengaruhi pula semangat Kongres Perempuan I di Yogyakarta dua bulan kemudian. Salah satu pembicara yang suaranya sangat galak pada Kongres Perempuan Pertama itu adalah Siti Soendari.
Dengan bahasa Indonesia yang masih terpatah-patah, Soendari mengecam perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. “Tak akan selamat negara ini jika hanya separuh bangsa ini yang memperoleh perhatian dan menikmati kemajuan, sedangkan separuhnya lagi ditinggalkan dalam kebodohan,” Soendari berpidato.
Sumber: BeritaSatu.com
Barang-barang yang berada di dalam ruangan gereja sebagian tertutup puing. Kebersamaan mengevakuasi barang-barang gereja dan membersihkan gereja jadi sisi lain tentang tunjuk ajar perilaku, rasa merasa, yang ketika bencana melanda melahirkan cara bertindak terhadap sesama untuk mengetengahkan solidaritas dan sosialitas.
Di wilayah sekitar Gereja tersebut, rasa toleransi kental terasa. Tak membedakan keyakinan, mayoritas masyarakat sekitar yang beragama muslim, bergotong royong mengevakuasi barang yang bisa diselamatkan dan membersihkan tempat ibadah tersebut.
Bahkan, dari sekitar 20-an orang yang bergotong royong, hanya dua orang yang beragama nasrani jemaat GKRI. Lainnya, warga muslim dari dua RT, yakni RT 01/1 dan RT 01/6.
Pendeta GKRI, Diah Rusdiana mengatakan gempa Tasik di pukul 05.06 WIB Senin kemarin sangat terasa di daerahnya. Gempa itu menyebabkan sebagian tembok gereja yang dibangun tahun 1992 retak. Tembok retak itu diduga menyebabkan atap kerangka bangunan patah dan ambruk menimpa seluruh barang yang ada di ruangan gereja.
Sebelum gempa, hujan deras juga terjadi di desa Cilongkrang. Diduga genteng bangunan itu menyerap air sehingga lebih berat dan kerangka atap tak kuat menahan beban.
Selain gempa, bangunan gereja memang tak stabil lantaran sisi tebing sungai sempat longsor pada musim penghujan tahun ini. Tebing yang longsor itu sebenarnya sudah diuruk dan dibangun talud. Tetapi, tanah bagian pondasi jadi labil.
"Lantaran membahayakan, tembok gereja itu rencananya akan dirobohkan untuk dibangun ulang. Peristiwa ini sudah kami laporkan ke Pusat GKRI di Bekasi, Jawa Barat," katanya, Selasa (26/9) sore.
Sementara waktu, kata Diah, 25 jemaat GKRI akan beribadah di rumahnya yang memang berjejeran dengan gereja.
Hal paling meneduhkan di tengah bencana ini, toleransi antar umat beragama di Cilongkrang sangat mengesankan. Menurut Diah, yang paling cepat datang untuk membantu mengevakuasi dan membersihkan gereja adalah warga muslim.
"Toleransi ini sudah terpupuk lama. Kebanyakan yang bergotong royong warga muslim, warga sini. Justru yang lebih tahu warga sini, kalau ini (warga non muslim) kan rumahnya agak jauh di sana rumahnya," ujar Diah. [rzk]
The question of how Muslims fit into Western societies has been an uncomfortable one for many, especially in the years after 9/11. Considering the centuries-long well-documented history of Western suspicion towards Islam, constant chaos in the present-day Middle East does nothing to encourage level-headed discourse on how Muslim citizens are a part of increasingly diverse Western societies.
Yet, in light of research that suggests that many of the young Western Muslims being lured into the arms of groups like ISIS are often drawn to such groups due to a lack of a sense of belonging in society, understanding how to promote a real sense of belonging is of considerable importance.
Furthermore, as Olivier Roy has noted in his research into radicalization, though few radicals are religious Muslims, a misguided focus on Islam through the exclusive lens of counter-terrorism ironically serves only to “validate the narrative of persecution and revenge that feeds the process of radicalisation.”
Most Muslims in Britain do seem to feel at home here — after all they’ve been here for several generations in many cases, often building vibrant British-Muslim communities, and have nowhere else to call home. There are, however, significant factors that could make them feel disenfranchised from wider society.
It does not help, for example, that the news media provides an unending narrative of war between Western nations and groups that claim to be Islamic. Given the stakes involved today, we must ask: why is it that some young Muslims feel so alienated from mainstream society, and indeed, their own well-integrated communities? Put another way, how can a greater sense of belonging for Muslims in the West be engendered?
One compelling answer I have come across for this latter question is to be found in the admittedly theoretical writings of Tariq Modood, founding Director of the University of Bristol’s Research Centre for the Study of Ethnicity and Citizenship. His 2013 work, Multiculturalism: A Civic Idea, is perhaps the most concise yet comprehensive articulation of the doctrine of multiculturalism by one of its leading proponents. Much of the work is a corrective to the narratives in recent years of the so-called ‘failure’ or ‘death’ of multiculturalism as an idea.
Modood covers a raft of issues, all connected to the place of Muslims in Western societies. Among other topics, he considers various forms of racisms, which he divides into “color” as well as “cultural” racisms (p. 41).
On reflecting on the concept of equality, he notes that people who identify with a certain group, be it on the basis of race or religion, may find that others conceive of and treat such people “as inferior, less rational and culturally backward” (p. 47). This is frequently the case for many Muslims in Western countries today, at least in the way they feel they are often represented in much of the media and political discourse.
Modood’s work is, however, much more nuanced and wide-ranging than this brief remark suggests: he by no means wishes to reduce the identity of Muslims to its religious component. His policy suggestions are noteworthy because they point up the importance of religious identity to many Muslims which a secular society is generally inclined to ignore. Ignoring this component can contribute to the alienation of many Muslims, the majority of whom simply want to be accepted into society, rather than viewed as not belonging to diverse Western societies as full citizens. In making this argument, Modood advocates a “moderate” as opposed to “radical” or “ideological” secularism in Western societies, that does not simply reject religion out of hand (Chapter 4).
Modood notes the argument, “commonly found in the op-ed pages of the broadsheets,” that the demands to recognize Muslims’ religious identity is different from other historically marginalized groups, in that being Muslim is a matter of choice (p. 65). Whereas a black person can never change his or her skin color, a Muslim chooses his or her religion, and hence, doesn’t need special protections from the law.
According to this view, secular laws must remain neutral between different religions. Modood calls this view “naive (and a political con).” He cogently points out that people do not choose to be born into Muslim families, or into a society in which “looking like a Muslim or to be a Muslim creates suspicion, hostility, or a failure to get the job you applied for.” Once again, this is merely a snippet of a very thoughtful treatment of a challenging but important subject.
Multiculturalism has been (mis-)characterized by some as even contributing to terrorism in the West (p. 10). However, as Modood argues, this is only a caricature of the ideas that he and other leading theorists promote. Multiculturalism is rather more about the inclusion of diverse views in the public conversation so that the various viewpoints found in our diverse societies can enrich each other.
I would argue that this is crucial to achieving a stronger sense of British identity for young Muslims; and as a consequence, it would lessen the appeal of such groups as ISIS, that prey on the alienated and disenfranchised.
Ultimately, the antidote to bad ideas and unsound thinking, whether of the ISIS variety, or of Fox News, is to critique them in reasoned public discourse. Modood provides us and our governments with clear proposals as to the direction we ought to be going; and although he wrote his work before the rise of ISIS, in many ways it is more relevant today, than when it was first published.
Follow Usaama al-Azami on Twitter: www.twitter.com/Usaama01
Usaama al-Azami
PhD Candidate in Near Eastern Studies, Princeton University
Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Keberagaman tersebut merupakan keunikan atau kekayaan kita sebagai bangsa, namun sekaligus dapat menjadi ancaman bagi kesatuan negara dan bangsa Indonesia. Perbedaan suku, budaya, ras, agama, dan adat istiadat sangat berpotensi memunculkan pertentangan antarkomponen. Konflik dan kekerasan yang bernuansa agama, ras, dan etnis terjadi di berbagai wilayah tertentu di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua. Krisis sosial budaya yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini juga dipicu oleh krisis ekonomi, moneter, dan euforia kebebasan paskaambruk-nya Rezim Soeharto –yang dinamai reformasi. Di era orde baru, Soeharto memaksakan ideologi monokulturalisme dengan dalih demi stabilitas negara dan bangsa. Hal ini menekan ekspresi kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejatinya majemuk. Tekanan itu akhirnya meledak pada saat reformasi didengungkan. Ini semacam momen atau kesempatan untuk mengekspresikan segala macam bentuk kebebasan. Eforia kebebasan paska Orde Baru menjadi tak terkendali.
Masalah yang dihadapi berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang multikultural sangat rumit. Dalam bentuk multikulturalisme ini, masyarakat Indonesia harus memiliki kebudayaan yang berlaku umum yang coraknya seperti sebuah mosaik (Anwar Efendi, 2008). Sedangkan, Azyumardi Azra (2007) memakai istilah “peradaban Indonesia” atau “kebudayaan Indonesia”. Selanjutnya ia mengatakan, bagaimana bentuk dan wujud dari “kebudayaan Indonesia” itu? Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan (Parsudi Suparlan, 2002). Konsep tentang multikulturalisme sendiri sebetulnya juga bukan hal baru di Indonesia. Kesadaran multikultur sudah muncul sejak benih Indonesia mulai tumbuh pada masa Kebangkitan Nasional. Perkembangan-perkembangan pokok pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi serta dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas.[1]
Bagaimana merawat kemajemukan untuk terciptanya iklim yang aman, tanpa konflik? Sebagai bangsa yang majemuk, meminjam istilah Azyumardi Azra (2007), Indonesia memerlukan common platform yang dapat menyatukan segala macam perbedaan yang ada. Selama ini unsur pemersatu Bangsa Indonesia adalah negara dan Pancasila yang sekaligus merupakan titik puncak kebudayan dan peradaban Indonesia. Realitas sosial, budaya, dan politik Bangsa Indonesia sekarang mendorong untuk bertanya, Apakah Pancasila masih relevan untuk berperan sebagai common platform bagi Negara dan Bangsa Indonesia. Sekarang atau uatu saat nanti, apakah ada jawaban dari pertanyaan siapakah orang Indonesia? Pertanyaan itu secara implisit hendak meminta Berbagai bentuk disorientasi sedang terjadi di berbagai kalangan masyarakat, misalnya, menurunnya penghargaan terhadap suku dan kebudayaan orang lain, memojokkan kaum minoritas, kekerasan terhadap kelompok suku tertentu dan berbagai bentuk disorientasi lainnya.
Pemahaman tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Menurut Taylor, perkembangan multikulturalisme tidak hanya di bidang ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Habermas kemudian menanggapi Taylor demikian, perlindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam suatu demokrasi konstitusional. Persamaan hak di bidang hukum harus disertai pula kemampuan untuk mengerti bahwa kita sendiri adalah penulis dari hukum-hukum tersebut yang mengikat kita. Ini hendak mengatakan bahwa sistem yang mengikat kita tidak menghapus kondisi sosial kita yang berbeda-beda, termasuk terhadap perbedaan budaya. Kemungkinan, akan terjadi konflik dari diskursus mengenai perbedaan-perbedaan tersebut dan juga pemecahan demokratisnya. Habermas menganjurkan, negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak-hak orang lain.[2]
Dalam kehidupan politik saat ini, ada keinginan untuk diakui (recognized) terhadap hak hidup kelompok dalam masyarakat dengan kebudayaannya yang khas. Kebutuhan ini merupakan pendorong yang sangat kuat di belakang gerakan nasionalisme dalam politik. Gerakan ini muncul dalam kehidupan politik dalam bentuk tuntutan kelompok-kelompok minoritas, kelompok-kelompok subaltern, kelompok feminis, dan politik multikulturalisme.[3] Perkembangan kebutuhan untuk diakui berasal dari filsuf Rousseau. Dia mengritik tajam sistem kehormarmatan hirarkis yang disebutnya preferences. Bagi Rousseau preferences tersebut merupakan akar dari korupsi dan ketidakadilan, karena orang memberikan penghargaan kepada sesuatu yang preferensial. Sedangkan, dalam masyarakat Republik setiap orang mempunyai hak yang sama sehingga pandangan preferensial tersebut tidak akan muncul. Setiap orang perlu diakui akan keunikan dan identitasnya.[4] Setiap manusia memiliki martabat yang sama. Maka dari itu, saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus ada dalam kemerdekaan manusia.
Multikulturalisme berasal dari dua kata, yaitu “Multi” dan “kulturalisme”. “Multi” berarti beraneka-ragam, sedangkan “kulturalisme” mengandung unsur kultur atau budaya.[5] Sebagai sebuah ideologi multikulturalisme merasuk ke dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia, yakni sosial, ekonomi dan bisnis, politik, dan lain sebagainya. Maka, pluralisme berkaitan pula dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pluralisme berkaitan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang memiliki budaya khas. Menurut Montesquieu, perbedaan budaya adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh kenyataan kehidupan manusia. Tidak ada dua masyarakat yang sama persis. Setiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan adat, cara hidup, tata krama, sistem hukum, struktur keluarga, bentuk pemerintahan, dan masing-masing mengusung semangat yang berbeda, nilai-nilai moral, dan bentuk kesempurnaan serta konsep hidup yang baik.[6]
Pengertian multikulturalisme dapat dibedakan ke dalam dua periode. Pengertian tradisional multikulturalisme merupakan babak pertama aliran multikulturalisme dan memiliki dua ciri: 1) kebutuhan terhadap pengakuan dan 2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Sedangkan, tahap perkembangan selanjutnya paham multikulturalisme menampung berbagai macam pemikiran baru:[7]
Pertama, pengaruh studi kultural. Studi kultural melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyakarat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan masalah-masalah toleransi antrakelompok dan agama.
Kedua, poskolonialisme. Pemikiran poskolonialisme melihat kembali hubungan antara eks penjajah dan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma. Stigma yang muncul biasanya mengenai perendahan terhadap masyarakat terjajah. Pandangan poskolonialisme mengungkit kembali nilai-nilai indigenous dalam budaya sendiri dan membangkitkan kebanggaan terhadap budaya asing. Pemikiran poskolinialisme kadangkala melihat berbagai kekurangan bangsanya sendiri sebagai akibat penjajahan.
Ketiga, globalisasi. Globalisasi melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Ada upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan budaya-budaya yang beraneka-ragam di masyarakat. Revitalisasi budaya lokal merupakan upaya untuk menentang globalisasi yang mengarah ke monokulutural budaya dunia.
Keempat, teori ekonomi politik neo-Marxisme. Teori ini memfokuskan kepada struktur kekuasaan di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh kelompok yang kuat. Teori neo-Marxis dari Antonio Gramcsi mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa revolusi dalam memperhatikan kelompok-kelompok yang termarjinali-sasi.
Multikulturalisme di Indonesia dan Permasalahannya Dewasa Ini
Bangsa Indonesia secara keseluruhan terdiri atas berbagai pemeluk agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), etnis (suku), jenis kelamin (gender), dan status sosial. Perumusan konsep nasionalisme harus secara demokratis mengakomodir sekaligus menghargai semua kelompok dengan prinsip keadilan. Prinsip nasionalisme yang relevan dalam konteks keindonesiaan ialah nasionalisme-multikultural, yaitu konsep nasionalisme yang meliputi perbedaan latarbelakang, baik perbedaan agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.[8]
Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai konsep multikulturalisme. Konsep ini sebenarnya sudah ada benihnya sejak sebelum Indonesia merdeka. Konsep multikuluralisme benihnya sudah ditanam dalam gerakan kebangkitan nasional pada awal abad ke-20. Memang semangat multikulturalisme di sini sama sekali tidak terlihat. Gerakan awal kebangkitan nasional itu mula-mula masih didasarkan atas rasa solidaritas atau hubungan setia kawan yang terbatas pada ruang lingkup tertentu. Seperti Budi Utomo, pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura.[9] Kemudian, muncul organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah. Ini adalah organisasi para pedagang Indonesia yang didirikan di Batavia pada 1909. Istilah islam pada namanya sekarang banyak mencerminkan adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim. SI berkembang ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusatnya.[10] Pada masa sesudah 1909, di Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan (Tri Koro Dharmo, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, dll). Memang, era pertama kebangkitan nasional tersebut tidak mencerminkan sama sekali ideologi multikulturalisme secara gamblang. Pola yang sudah nampak menunjukkan pola penting bahwa sebagai suatu pergerakan dapat dilihat adanya semangat untuk membentuk organisasi. Namun, semangat berorganisasi tersebut masih didasari atas indentitas kesukuan yang sangat kuat sehingga meningkatkan rasa perpecahan di kalangan rakyat Indonesia.
Soekarno bersama Tjipto Mangungkusumo dan Douwes Dekker mempimpin Indische Partij (IP) yang radikal dan merupakan satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme daripada kerangka islam, Marxisme, atau ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit. Kemudian Soekarno membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia). Melalui PNI Soekarno mendengungkan nasionalisme dan bertujuan memerdekakan seluruh Kepulauan Indonesia. PNI adalah satu-satunya partai politik penting pertama yang beranggotakan etnis Indonesia.[11]
Jika sudah memahami konsep nasionalisme Indonesia dalam bingkai multikulturalisme, sejarah berdirinya Budi Oetomo (20 Mei 1908) atau kelahiran R.A. Kartini (21 April 1879) tampaknya memang kurang relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dua momentum bersejarah ini memang memiliki andil yang cukup besar dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme pribumi. Akan tetapi, dengan memahami konsep bangsa Indonesia yang multikultural, kedua momentum tersebut kurang dapat mengatakan secara gamblang soal kebangkitan secara nasional. Di awal subbab ini juga sudah dikatakan bahwa multikulturalisme pada masa ini sedang ditaburkan benihnya. Yang penting untuk dicatat bahwa sudah mulai ada gerakan dari para pemuda terpelajar untuk mendirikan suatu organisasi dan mulai berpikir mengenai doktrin anti-penjajahan yang dapat dianut. Di antara kelompok itu akhirnya saling mengingatkan secara jelas akan kepentingan-kepentingan yang memisahkan mereka. Kelompok yang masih berbau identitas kesukuan itu sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni semangat untuk melawan penjajah.
Menurut sejarawan Ben Anderson (1988), konsep nasionalisme Indonesia mulai diperkenalkan secara jelas pada tahun-tahun terakhir zaman penjajahan Belanda. Ini adalah perkembangan selanjutnya dari gerakan kebangkitan nasional yang sudah dirintis oleh Budi Utomo. Dari sekelompok pemuda terdidik seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang pada tahun 1926, didirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Tetapi, gagasan nasionalisme Indonesia pada waktu itu belum bisa dijadikan sebagai representasi kekuatan politik bangsa karena pembentukan PNI sebagai partai nasionalis belum mampu mengakomodasi seluruh kepentingan bangsa yang multikultural. Baru pada tanggal 26-28 Oktober 1928, nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan politik yang telah mengikat seluruh elemen bangsa ini.
Sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif berpendapat bahwa momentum Sumpah Pemuda merupakan titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Momentum Sumpah Pemuda yang terdiri dari seluruh elemen bangsa telah mengikat diri dalam ikrar bersama. Seluruh elemen bangsa menyatakan ikrar bersama: bertanah air satu (tanah air Indonesia), berbangsa satu (bangsa Indonesia) dan berbahasa satu (bahasa Indonesia). Dalam hal ini, momentum Sumpah Pemuda semakin memperjelas atau menegaskan konsep nasionalisme-multikultural.
Problematikanya saat ini adalah pada kenyataannya, meski sudah ada konsep dan perwujudan mengenai multikulturalisme sejak lama, serta memiliki sebuah common platform, yakni Pancasila, yang mengandung cita-cita untuk mempersatukan keberagaman Indonesia, persoalan konflik antar suku, pertikaian antar agama, dan merosotnya penghargaan terhadap budaya orang lain masih terjadi di Indonesia. Persoalannya ada pada rezim orde baru yang merepresi segala bentuk ekspresi kesadaran atas keberagaman budaya yang dimiliki setiap masyarakat. Kesadaran multikultur dipendam atas nama kesatuan dan persatuan Negara Indonesia (stabilitas nasional). Orde Baru dalam pada ini menerapkan ideologi monokulturalisme. Penyeragaman budaya oleh rezim Soeharto ini sangat nampak sekali salah satunya dalam membuat sistem pemerintahan terstruktural dan terlembaga dari tingkat paling bawah sampai pusat.
Seluruh Indonesia diterapkan sistem pemerintahan yang sekarang ini saya sebut dengan istilah sistem RT/RW. Sistem ini dipakai untuk melakukan kontrol terhadap warga dan pertama kali dipikirkan oleh mantan Presiden Soeharto. Ia mengadopsi sistem Tonarigumi yang dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang.[12] Yang salah dari sistem ini adalah para pejabat di tingkat atas sampai bawah semuanya berada di bawah garis komando Soeharto dan rakyat tidak memiliki otonomi untuk ikut mengatur sistem tersebut. Padahal, di suku-suku pedalaman yang masih sangat tradisional, sistem terlembaga demikian itu tidak mampu dipahami dengan baik oleh mereka yang masih menganut kebudayaan tradisional. Di daerah pedalaman Papua yang masih akrab dengan kehidupan di alam tentu akan kesulitan dan tidak memahami jika harus mengikuti prosedur pemerintahan tersebut, misalnya, mengurus akta kelahiran, perkawinan, dan pembuatan KTP. Lagipula, mereka yang di pedalaman masih meyakini otoritas kepala suku yang mereka pilih dengan cara atau adat istiadat mereka sendiri, dan bukan dipilihkan dari pemerintahan tingkat atasnya.
Di samping itu, problem masa kini bagi multikulturalisme Indonesia dewasa ini adalah globalisasi. Disorientasi dan krisis sosial budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia juga semakin bertambah akibat meningkatnya proses ekspansi dan penetrasi budaya barat, khususnya Amerika sebagai akibat dari globalisasi yang tak terbendung. Banyak ekspresi sosial budaya yang bisa diamati pada anak-anak muda (juga orang tua) mencerminkan tidak adanya fondasi dan preseden kulturalnya. Masyarakat semakin banyak menganut gaya hidup yang tidak selalu positif dan kondusif bagi konstelasi sosial budaya negara Indonesia. Kita melihatnya secara nyata lewat kecenderungan masyarakat kita yang mulai doyan dengan budaya serba instant, makanan cepat saji (McDonald, KFC, TEXAS Chicken, Dunkin Donuts, dll); permisifisme; kekerasan; hedonisme; konsumerisme; prom’s night di kalangan remaja; dan budaya MTV.[13] Globalasasi di sini menjadi semacam imperialisme baru terhadap kebudayaan Indonesia yang statusnya sejajar dengan paham “orientalisme” yang berlaku pada masa kolonial.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat tidak mampu membendung arus informasi yang datang dari negara-negara lain. Arus informasi begitu cepat sekali dan sangat efektif memberi pengaruh bagi masyarakat Indonesia. Memang tidak boleh dipungkiri bahwa globasisai (yang ditandai dengan percepatan teknologi informasi) membawa efek positif pula bagi dunia. Namun, sisi negatif yang diakibatkan juga tidak lebih kecil.
Globalisasi telah melahirkan kapital internasional dari korporasi-korporasi besar yang ternyata hanya menguntungkan negara-negara besar yang memiliki modal, dan sedikit konglomerat dunia. Di pihak lain, kemiskinan di seluruh dunia bukan berkurang, melainkan semakin drastis meningkat. Perubahan radikal yang terjadi menimbulkan shock bagi masyarakat, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga sosial dan kebudayaan. Masyarakat lokal yang mulai terjerat dengan kemiskinan mulai tergiur dengan tawaran-tawaran untuk memperoleh taraf kehidupan yang layak dengan macam-macam cara, mulai dari pergi ke kota untuk menjadi buruh di sebuah pabrik multinasional tertentu atau dengan menjual tanah ulayat yang masih perawan semata-mata untuk kepentingan uang.
Pancasila Jalan Keluar yang Masih Problematis
Di masa sekarang, era reformasi, ada gejala untuk acuh tak acuh terhadap Pancasila yang terjadi secara pelan tetapi masif. Gejala untuk meninggalkan pancasila ini tidak tampak memang secara jelas di permukaan. Yang dapat dicermati adalah UU no. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik Pasal 2 ayat 2b yang disahkan pada zaman Presiden B.J. Habibie. Dalam pasal itu tertulis, “asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila”. Ayat ini menjadi problematis karena di situ tidak ditegaskan bahwa asas partai harus Pancasila, namun hanya diberi keterangan asal tidak bertentangan dengan pancasila. Hal ini memiliki potensi bahwa asas suatu partai boleh di luar pancasila yang sudah menjadi common platform bagi kesatuan seluruh Indonesia. Ditakutkan bahwa kurang adanya sikap tegas dari pemerintah untuk menuntut pancasila dijadikan asas setiap partai politik akan membawa Indonesia kembali pada pengalaman di masa awal kebangkitan nasional yang belum terbentuk nasionalismenya, dengan kata lain masih terpecah belah. Bangsa Indonesia belum merupakan suatu kesatuan semua keragaman yang ada, tetapi masih berada dalam kotak-kotak yang terbagi atas identitas-identitas suku atau kelompok agama tertentu (Syariat Islam). Ketakutan lain adalah multikulturalisme yang merupakan cita-cita bersama menjadi utopia semata.
Sekarang ini banyak orang menjadi pesimis memandang pancasila sebagai nilai yang memendam cita-cita kesatuan seluruh Indonesia. Masyarakat mengalami trauma atas rezim Orde Baru (Orba) yang memperlakukan Pancasila sebagai sarana legitimasi ideologis dalam membenarkan segala keputusan dan sepak terjangnya. Pengalaman pada masa Orba mematrikan suatu pemikirian bagi masyarakat bahwa melawan pemerintahan Orba adalah “anti pancasila”. Pancasila ikut terkena imbasnya setelah Orba ambruk. Pancasila akhirnya ikut dianggap sebagai penyebab kehancuran negara. Orang tidak mau membicarakan Pancasila karena tidak ingin kembali ke masa lalu.
Sekarang adalah saatnya untuk kembali kepada Pancasila tanpa menjadikan Pancasila sebagai sarana indoktrinasi untuk melegitimasi segala macam upaya dan keputusan yang dibuat selama dua rezim sebelumnya, otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila (Kompas, 20 Februari 2001). Azyumardi Azra menggunakan istilah rejuvenasi Pancasila
(Kompas, 17 Juni 2004). Koento Wibisono mengatakan perlunya reposisi dan reorientasi Pancasila (Makalah Pelatihan Nasional Dosen Pancasila, 2004). Simposium Hari Lahir Pancasila di Kampus FISIP UI Depok tanggal 31 Mei 2006 menggunakan istilah restorasi Pancasila. Ada pula yang menggunakan istilah “dekontruksi” Pancasila (Santoso, 2003). Diskursus yang membahas kembali persoalan pancasila menjadi bukti bahwa memang seharusnya Pancasila tidak pantas untuk ikut dipersalahkan. Di era Reformasi ini Pancasila mendapatkan pemaknaan ulang dan bagaimana harus diterapkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam diskurus soal Pancasila banyak interpretasi atau pemaknaan baru yang keluar, namun pada gilirannya untuk diaplikasikan ke dalam pelaksanaan kehidupan bernegara, tidaka ada perwujudannya. Penyelesaian masih berhenti dalam taraf merusmuskan pemaknaan baru, belum sampai pada praktis pelaksanaan yang justru sangat krusial untuk pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia. Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar (2007) mengakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu.[14]
Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Ini dapat kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam memaknai Pancasila. Telah terjadi proses ideologisasi terhadap Pancasila selama masa Orde Baru. Pancasila yang pada mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau platform demokratis bagi semua golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar komprehensif integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain (Nasution, 1993). Dalam masa Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila (Somantri, 2006), atau Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos (Santoso, 2003).
Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Dengan dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik maka pemaknaan Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan argumentasi akademiknya masing-masing. Pancasila bagi para ahli filsafat misal Notonagoro, Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi filsafatnya bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru. Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya dengan bangunan kenegaraaan Indonesia
Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. benar adanya bahwa banyak sekali wacana publik terutama akademik yang berbicara tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan mereka tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Sosialiasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila merupakan ideologi yang menjadi dasar hidup kenegaraan. Namun sebelumnya perlu diperhatikan bahwa di sini hendaknya diperhatikan untuk tidak mencampuradukkan Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai ideologi atau pandangan dunia (Weltanschauung). Maka dari itu, sifat asasi itu harus dicari dalam kehidupaan negara pula. Hidup kenegaraan adalah salah satu aspek dari seluruh hidup kita yang sangat rumit dan simultan. Aspek kenegaraan tidak boleh dipisahkan dari aspek lain (moral, agama, kebudayaan, dan sebagainya). Pancasila harus dicantumkan sebagai dasar negara (bukan dasar hidup pada umumnya). Pancasila harus pertama-tama dipandang dalam hubungannya dengan negara.[15]
Idea-idea yang berasal dari Pancasila adalah idea-idea asasi hidup kenegaraan. Menegara berarti mengadakan tata-tertib umum, menciptakan kemakmuran bersama. Negara adalah sebuah aktivitas yang ditentukan oleh subjek yang melakukan; subjek yang menentukan ditentukan oleh demokrasi. Maka, demokrasi menentukan aktivitas besar yang disebut negara. Demokrasi adalah menjadikan masyarakat (yang terdiri dari orang banyak) menjadi satu subjek dengan cara sesuai dengan martabat manusia: artinya cara untuk membuat manusia-manusia sebagai subjek banyak menjadi subjek satu. Dalam cara ini keluhuran dan kedaulatan manusia diakui. Demokrasi adalah suatu hal yang fundamental sebab menentukan sifat dan bentuk negara.[16]
Keadilan sosial adalah tujuan karya raksasa bersama dalam menegara. Demokrasi adalah caranya membentuk subjek yang melakukan karya itu. Subjek yang melakukan adalah bangsa Indonesia yang tidak homogen, dari Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia adalah masyarakat Tunggal-Bhineka. Ketunggalan itu belum sempurna; dan juga tidak ada maksud untuk membuat kesatuan yang sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi kebhinekaan. Meskipun demikian, adanya kesatuan tidak bisa dipungkiri, meski prosesnya belum selesai hingga kini.[17]
Lantas bagaimana menyampaikan idea-idea Pancasila itu kepada masyarakat agar idea-idea kebangsaan terpahami oleh masyarakat untuk membangun bangsa Indonesia yang multikultural?
Sosialisasi lewat pendidikan Pancasila adalah jalur penyelesaian yang patut untuk dibuat. Perlu disusun reaktualisasi akan bentuk pendidikan Pancasila dengan beberapa pembatasan. Reaktualisasi pendidikan Pancasila ini akan berhasil dengan melalui tiga jalur pendekatan pengembangan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic development), pengembangan sosial budaya (socio-cultural development) dan pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political intervention).[18]
Pertama, Pengembangan Pendidikan Pembelajaran (Psyco-Paedagogic
Development) Psyco paedagogic development adalah pendekatan yang berasumsikan bahwa pengembangan nilai akan berhasil apabila nilai tersebut diinternalisasikan, ditanamkan atau dididikkan pada diri peserta didik. Sosialisasi nilai tersebut berlangsung dalam proses yang disengaja, direncanakan, dan sistematis. Pendekatan ini umumnya dilakukan pada lingkup dan jalur pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan perguruan tinggi. Namun demikian keberhasilan sosialisasi melalui 10 pendekatan ini masih tergantung pada faktor-faktor lain seperti materi, metode pembelajarannya dan kualitas pemberi dan penerima sosialisasi.
Kedua, Pengembangan Sosial Budaya (Socio-Cultural Development)
Socio-Cultural Development adalah pendekatan yang berpandangan bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Penciptaan lingkungan sosial budaya tersebut mencakup penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun wadah sosial budaya di masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat berpengaruh bagi keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan (psyco paedagogic development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural development.
Ketiga, Pengaruh Sosial Politik dari Kekuasaan (Socio- Political Intervention)
Socio-Political Intervention berasumsi bahwa sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam batas- batas tertentu membutuhkan peran negara untuk mempengaruhi upaya tersebut. Dalam batas tertentu mengandung maksud bahwa di era demokrasi sekarang ini peran negara diupayakan minimal sedang peran masyarakat yang diperbesar. Dalam negara demokrasi, perlu dihindari keterlibatan negara secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jadi peran negara demokrasi adalah memfasilitasi, menyediakan sarana, kebijakan, program dan anggaran bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila untuk selanjutnya menawarkan kerjasama dengan masyarakat untuk menjalankan sosialisasi tersebut.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Keragaman Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme, 2007,
Makalah Seminar, disampaikan pada Semiloka Nasional
Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, 2006, Jakarta: Gramedia
Gutmann, Amy (Ed.), Multiculturalism. Examining The Politics of Recognition, 1994,
New Jersey: Princeton University Press
Parekh, Bhiku, Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory,
2000, New York: Palgrave
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008, Jakarta: SERAMBI
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, 2004, Jakarta: Grasindo
Sumber Internet
Winarno, Melaksanakan Pancasila di Orde Reformasi , dalam
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/files/2009/07/melaks-pancasila2.pdf, diakses
pada 13 November 2009
Adopsi Fasisme di Negeri Demokrasi, Sinar Harapan, 01 November 2004, dalam
http://www.averroes.or.id/book-review/adopsi-fasisme-di-negeri-demokrasi.html,
diakses pada 13 November 2009
Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional, dalam
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/05/myposting_12499.html, diakses pada 13 November 2009
[1] Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: SERAMBI, 2008, hlm. 353
[2] Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2004, hlm. 79
[3] Lih. Gutmann, Amy (Ed.), Multiculturalism. Examining The Politics of Recognition, New Jersey: Princeton University Press, 1994, hlm. 25
[4] Lih. Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme , hlm. 80
[5] Lih. Tilaar, H.A.R., hlm. 82
[6] Lih. Parekh, Bhiku, Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory, New York: Palgrave, 2000, hlm. 56
[7] Lih. Tilaar, H.A.R., hlm. 83
[8] Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional, dalam http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/05/myposting_12499.html, diakses pada 13 November 2009
[9] Ricklefs, M.C., hlm. 355
[10] Ibid., hlm. 359
[11] Ibid., 393
Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) melegitimasi kewenangan pemerintah mencabut izin organisasi kemasyarakatan dalam UU No. 16/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau UU Ormas.
Asas contrarius actus yang menjadi landasan UU Ormas dinilai MK tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum. Pasalnya, pencabutan izin ormas dalam beleid tersebut tetap melibatkan pengadilan.
Dalam UU No. 17/2013, pencabutan izin ormas dilakukan melalui pengadilan berdasarkan permohonan pemerintah. Namun, ketika beleid itu diubah dengan UU No. 16/2017, pencabutan izin ormas dilakukan oleh pemerintah yang kemudian dapat digugat ke pengadilan.
"Bedanya sebelumnya peran pengadilan di awal, sedangkan saat ini di bagian akhir," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 2/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Enny membantah mekanisme pencabutan izin ormas dalam UU Ormas semata-mata menggunakan alasan sepihak pemerintah. Jika pun didasari subjektivitas, dia mengatakan ormas dapat menguji landasan pencabutan izin lewat pengadilan.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menambahkan Pasal 62 ayat (3) UU Ormas yang mengatur kewenangan pencabutan itu tidak bisa dilepaskan dari serangkaian sanksi administratif yang bermuara pada pencabutan badan hukum atau surat keterangan terdaftar ormas. Pencabutan itu, tambah dia, harus diawali dengan peringatan tertulis dan penghentian kegiatan berdasarkan indikasi pelanggaran.
Baca juga: BPN Tepis Kabar Prabowo Tersangka Makar
"Jenis pelanggaran sanksi administratif juga ditentukan secara jelas dan dirumuskan secara proporsional," ujarnya.
Dengan demikian, MK tetap mempertahankan Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A mengenai pencabutan status badan hukum ormas sekaligus dinyatakan bubar, Pasal 82A yang mencantumkan ketentuan pidana bagi anggota ormas, serta Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c tentang larangan penyebaran 'paham lain' yang bertentangan dengan Pancasila.
"Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh sejumlah ormas Islam yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah, dan Sekretaris Jenderal DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman.
🐍
JAKARTA ID- Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menyebutkan tingkat partisipasi pemilih pada pemungutan suara Pemilu 2019 mencapai 80,90%.
"Partisipasi pemilih mencapai 80,90%, telah melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5%," kata Wiranto di Jakarta, Kamis.
Besarnya partisipasi pemilih itu, kata dia, menunjukkan bahwa siapapun presiden yang terpilih akan memiliki legitimasi yang tinggi.
Hal tersebut disampaikannya usai memimpin rapat koordinasi khusus tingkat menteri tentang "Pengamanan Pemilu Pasca Pencoblosan" di Kantor Kemenko Pulhukam, Jakarta.
Wiranto menyampaikan apresiasi pemerintah terhadap seluruh pihak, baik peserta pemilu, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan seluruh masyarakat Indonesia.
"Tahapan pemungutan suara dan penghitungan suara Pemilu Serentak 2019 telah berjalan aman, tertib, dan lancar, serta damai," katanya.
Berkenaan dengan itu, kata dia, dilakukan rakor yang dihadiri segenap unsur pimpinan TNI dan Polri, serta institusi penegak hukum nasional untuk membahas situasi nasional pasca pemilu.
Hasil dari rakor itu, yakni pertama bahwa TNI dan Polri merupakan institusi negara yang dalam hal pemilu ditempatkan pada posisi yang netral.
"Tidak masuk dalam kontestasi pemilu dan tidak berpihak kepada siapapun," tegasnya.
Kedua, sebagai alat negara TNI dan Polri yang telah disumpah menjaga keutuhan bangsa dan negara akan bersatu padu menghadapi kemungkinan berbagai ancaman yang dapat mengganggu keamanan nasional dan persatuan bangsa.
Ketiga, Wiranto mengimbau seluruh pihak untuk menghargai ajakan para calon presiden untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan memelihara perdamaian.
Serta, kata dia, melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi-aksi provokasi yang akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Menghormati proses finalisasi hasil pemilu yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)," katanya.
Keempat, ia mengingatkan masyarakat untuk tetap tenang dan tidak melakukan tindakan anarkis yang melanggar hukum serta perundangan yang berlaku, sambil menunggu hasil resmi perhitungan suara oleh KPU.
"TNI dan Polri akan bertindak tegas untuk menindak dan menetralisir berbagai aksi yang nyata-nyata akan mengganggu ketertiban.dan keamanan nasional, serta keutuhan bangsa dan negara," kata Wiranto. (ant/gor)
Jakarta, Beritasatu.com – Kategorisasi partai politik (parpol) di Indonesia terbagi tiga yaitu nasionalis, Islam atau religius, dan kekaryaan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai nasionalis.
"Partisipasi pemilih mencapai 80,90%, telah melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5%," kata Wiranto di Jakarta, Kamis.
Besarnya partisipasi pemilih itu, kata dia, menunjukkan bahwa siapapun presiden yang terpilih akan memiliki legitimasi yang tinggi.
Hal tersebut disampaikannya usai memimpin rapat koordinasi khusus tingkat menteri tentang "Pengamanan Pemilu Pasca Pencoblosan" di Kantor Kemenko Pulhukam, Jakarta.
Wiranto menyampaikan apresiasi pemerintah terhadap seluruh pihak, baik peserta pemilu, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan seluruh masyarakat Indonesia.
"Tahapan pemungutan suara dan penghitungan suara Pemilu Serentak 2019 telah berjalan aman, tertib, dan lancar, serta damai," katanya.
Berkenaan dengan itu, kata dia, dilakukan rakor yang dihadiri segenap unsur pimpinan TNI dan Polri, serta institusi penegak hukum nasional untuk membahas situasi nasional pasca pemilu.
Hasil dari rakor itu, yakni pertama bahwa TNI dan Polri merupakan institusi negara yang dalam hal pemilu ditempatkan pada posisi yang netral.
"Tidak masuk dalam kontestasi pemilu dan tidak berpihak kepada siapapun," tegasnya.
Kedua, sebagai alat negara TNI dan Polri yang telah disumpah menjaga keutuhan bangsa dan negara akan bersatu padu menghadapi kemungkinan berbagai ancaman yang dapat mengganggu keamanan nasional dan persatuan bangsa.
Ketiga, Wiranto mengimbau seluruh pihak untuk menghargai ajakan para calon presiden untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan memelihara perdamaian.
Serta, kata dia, melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi-aksi provokasi yang akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Menghormati proses finalisasi hasil pemilu yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)," katanya.
Keempat, ia mengingatkan masyarakat untuk tetap tenang dan tidak melakukan tindakan anarkis yang melanggar hukum serta perundangan yang berlaku, sambil menunggu hasil resmi perhitungan suara oleh KPU.
"TNI dan Polri akan bertindak tegas untuk menindak dan menetralisir berbagai aksi yang nyata-nyata akan mengganggu ketertiban.dan keamanan nasional, serta keutuhan bangsa dan negara," kata Wiranto. (ant/gor)
🐏
Jakarta, Beritasatu.com – Kategorisasi partai politik (parpol) di Indonesia terbagi tiga yaitu nasionalis, Islam atau religius, dan kekaryaan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai nasionalis.
“Menjadi partai nasionalis berarti mencirikan diri sebagai bagian dari perwujudan agenda-agenda kemerdekaan nasional, mendukung nasionalisme,” kata Direktur Eksekutif Indomedia Poll David Krisna Alka dalam keterangan seperti diterima Beritasatu.com, Rabu (27/3/2019).
Menurut David, partai nasionalis bukan sekadar jargon melainkan secara progresif, menawarkan gagasan yang merespons setiap tantangan hidup berbangsa dan bernegara. Selain itu juga diperkuat oleh otentisitas dan konsistensi ketua umum PDIP, Nasdem, dan PSI, khususnya dalam menyuarakan serta berjuang pada visi-visi kebangsaan.
David juga mengungkap, pertarungan antar calon anggota legislatif (caleg) nasionalis PDIP, PSI, dan Nasdem sudah dikenal dan populer terjadi di beberapa daerah pemilihan (dapil).
Keunggulan dan karakteristik masing-masing caleg, lanjut David, memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan. Dengan waktu tersisa menjelang Pemilu pada 17 April 2019, dibutuhkan informasi profil dan visi kebangsaan dari caleg-caleg nasionalis kepada publik.
“Inilah yang mendasari Indomedia Poll melakukan penelitian kualitatif secara mendalam. Kami melihat masih minimnya informasi caleg-caleg nasionalis yang sampai pada publik, sehingga patut menjadi perhatian banyak pihak,” ucap David.
David juga menyebut, “Selengkapnya untuk melihat pertarungan caleg nasionalis PDIP, PSI, dan Nasdem di 80 dapil bisa dilihat lewat www.indomediapoll.com Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan dan referensi bagi pemilih nasionalis dalam menentukan pilihan di bilik suara 17 April nanti.”
David mengatakan, riwayat hidup caleg dan kiprah serta kerja-kerja nyata yang bersentuhan langsung dengan masalah kebangsaan akan memiliki pengaruh besar bagi pemilih. Sejauh ini, tidak banyak caleg yang bersuara dan berani tampil ke publik dengan tawaran-tawaran program maupun visi kebangsaan.
Sumber: Suara Pembaruan
🐢
Words like kafir, or infidel (non-believer), have always flowed easily off the lips of Indonesia’s Islamic militants and other hardliners whose hateful racist attitudes towards foreigners are matched by their undisguised loathing of their own religious minorities and fellow Indonesians.Now, in the lead up to national elections set for April 17, influential kyais (Islamic teachers) in Nahdlatul Ulama, the world’s largest mass Muslim organization, have deemed use of the word offensive and have formally called on members to refer to non-Muslim Indonesians as muwathin, or citizen, instead.
Religious hate speech has become a worrying aspect of Indonesia’s political discourse in recent years, reaching a peak in 2017 with the mass demonstrations that brought down ethnic Chinese Jakarta governor Basuki Purnama, an ally of President Joko Widodo.
Widodo has since often been branded as un-Islamic by conservative Muslim elements, who have thrown their support behind presidential rival Prabowo Subianto, even though he is not considered to be religiously devout either.
What’s in a word? In the Koranic context, kafir is historically considered what one devotee calls a “polite, proper and soft” expression for those who don’t belong to the Islamic faith. Its core definition is “those who have closed themselves.”
Even kafirs have been historically divided into categories, such as dhimmi, or a non-Muslim permanently residing in a Muslim land, and mu’ahad, musta’man and harbi, all of which refer to non-Muslims living temporarily in Muslim countries.
In Indonesia, kafir was not in common usage 20 years ago. That has changed since the end of president Suharto’s authoritarian rule and the birth of democracy opened the way for a Muslim revival. But with that opening the word has taken on a derogatory connotation, in line with a rise in Islamic extremism.
The NU’s recent annual conference sought to address that, with a statement on the 45 million-strong organization’s website saying it is consistent with the long-held view that Indonesia as a nation state is a shared home for all religions.
Established in the mid-1920s to institutionalize religious traditions, NU supported a small change in the wording of the 1945 Jakarta Charter, which effectively recognized the pluralist state ideology Pancasila as the basis of the Indonesian nation state.
The February 28 statement discussed the differences in the rights and obligations of each community, depending on a nation’s status as secular or non-secular. “With the nation state model, all community groups have the same rights,” it says. “So it concerns someone’s position as a citizen, not as something theological.”
Conference chairman Abdul Moqsith Ghazali called the use of kafir “theological violence,” explaining that while NU was not seeking to erase the term from the Koran, it was attempting to stop it being employed by certain groups as a weapon of discrimination.
The statement acknowledged, for example, that the distinction between Muslims and infidels was necessary for those fighting for a religious state. “They use religious arguments with their own interpretations in accordance with their ideology,” it noted.
Sheikh Bilai Mahmud Afifi Ghanim, a visiting lecturer from Egypt’s Al-Azhar University, supported the recommendation, saying it was “in the context of interaction among fellow humans to respect and preserve their feelings towards each other.”
Banjar, a city of mixed political loyalties in the battleground province of West Java, the country’s most populous province, was an interesting choice of venue for the NU conference, coming only five weeks before the April 17 legislative and presidential elections.
Lying on the West-Central Java border, Banjar gave Widodo 46.6% of the vote in the 2014 presidential election, one of his best results in a province where he suffered his most painful defeat and which he desperately wants to reverse this time around.
🐴
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlatul Wathan TGB M Zainul Majdi angkat bicara terkait polemik rekomendasi hasil Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2019 tentang penggunaan istilah kafir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut TGB, begitu dia akrab disapa, para ulama sepakat bahwa istilah kafir berlaku untuk siapa pun yang tidak percaya dan ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya serta pokok-pokok syariat. “Ini dari sisi akidah," tulisnya dalam akun Instragram resminya dan telah dikonfirmasi Republika.co.id di Jakarta, Selasa (5/3).
Baca Juga
Namun, dalam muamalah, menurut TGB, Rasulullah SAW yang mulia mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan siapa pun. Maka, saat hijrah, Rasul menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah.
Menurut TGB, dalam piagam itu ada hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir tidak digunakan dalam piagam itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan itu karena Piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah, melainkan tentang membangun ruang bersama untuk semua.
“Sekarang kita hidup di negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan salah satu bentuk persaudaraan yang wajib dijaga dengan sesungguh hati dan sekuat-kuatnya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah,” tulis dia.
Menurut TGB, penyebutan kepada saudara sebangsa harus berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan. Maka menyebut orang yang beragama lain dengan sebutan non-Muslim tidak keliru dan bahkan lebih sesuai dengan semangat kita berbangsa.
“Itu sebabnya, dalam beragam acara publik, saat seorang Muslim memimpin doa, dia mengawali dengan ucapan, ‘izinkan saya membaca doa secara Islam dan bagi saudara yang non-Muslim agar menyesuaikan.’ Kalau kata non-Muslim diganti kafir, tentu sangat tidak nyaman untuk saudara-saudara yang beragama selain Islam.”
Dalam statusnya tersebut, TGB menyertakan foto penanda saat akan memasuki tanah suci Kota Makkah. Dalam rambu-rambu tersebut tertulis "non-Muslim" (li ghair al-Muslimin) dan bukan "orang-orang kafir" (li al-kafirin) dan tertulis pula "for non muslims", bukan "for disbelievers" atau "for kafir". “Bahkan di Arab Saudi pun, sebutan non-Muslim dipakai,” tulis dia dalam statusnya tersebut.
🍒
TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 01, Ma'ruf Amin menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir untuk menyebut nonmuslim di Indonesia. Menurut penilaian Ma'ruf, rekomendasi tersebut dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Ya ini supaya kita menjaga keutuhan. Sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, diskriminasi," ujar Ma'ruf lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 2 Maret 2019.
Ma'ruf mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. "Saya sendiri tidak ikut sidangnya karena terus muter-muter," ujar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Namun, menurut dia, ketika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi nonmuslim di Indonesia berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ketua Umum MUI ini.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.
Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.
“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang nonmuslim,” ujar Said pada Jumat, 1 Maret 2019.
🐑
Jakarta - Lima orang pendiri PAN mendesak Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengundurkan diri. Amien dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar pendirian partai. Lima orang pendiri PAN tersebut adalah Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty, dan Zumrotin.
Saran itu disampaikan melalui surat terbuka tertanggal 26 Desember 2018. Goenawan Mohamad membenarkan surat tersebut ditulis dan ditandatangani oleh kelima pendiri dan penggagas PAN tersebut.
"Iya benar. Yang menulis Pak Abdillah Toha. Kami semua menandatangani," ujar Goenawan saat dimintai konfirmasi, Rabu (26/12/2018).
Dalam surat yang diterima detikcom itu, kelima pendiri PAN itu mengatakan surat dibuat pasca memerhatikan perkembangan kehidupan politik di Indonesia. Khususnya, kiprah Amien Rais bersama PAN maupun secara personal.
"Untuk itu barangkali sudah saatnya Saudara (Amien Rais) mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita," demikian tulis surat terbuka tersebut.
Berikut isi surat terbuka tersebut:
Surat Terbuka untuk Amien Rais
Saudara Amien Rais yang kami hormati,
Setelah memerhatikan perkembangan kehidupan politik di negeri kita Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, khususnya kiprah Saudara sendirian ataupun bersama Partai Amanat Nasional (PAN), kami sebagai bagian dari penggagas dan pendiri PAN merasa bertanggung jawab dan berkewajiban membuat pernyataan bersama dibawah ini demi mengingatkan akan komitmen bersama kita pada saat awal pendirian partai sebagai berikut:
1. PAN adalah partai reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan menegakkan demokrasi setelah 32 tahun di bawah kekuasaan absolut orde baru yang korup dan otoriter.
2. PAN adalah partai yang berazaskan Pancasila dengan landasan nilai-nilai moral kemanusiaan dan agama.
3. PAN adalah sebuah partai modern yang bersih dari noda-noda orde baru dan bertujuan menciptakan kemajuan bagi bangsa.
4. PAN adalah partai terbuka dan inklusif yang memelihara kemajemukan bangsa dan tidak memosisikan diri sebagai wakil golongan tertentu.
5. PAN adalah partai yang percaya dan mendukung bahwa setiap warga negara berstatus kedudukan yang sama di depan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, tidak mengenal pengertian mayoritas atau minoritas.
Dengan menggunakan kacamata prinsip-prinsip PAN tersebut diatas, kami mendapatkan kesan kuat bahwa Saudara Amien Rais (AR) sejak mengundurkan diri sebagai ketua umum PAN sampai sekarang, baik secara pribadi maupun mengatasnamakan PAN, seringkali melakukan kiprah dan manuver politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip itu.
- Saudara makin lama makin cenderung eksklusif, tidak menumbuhkan kerukunan bangsa dalam berbagai pernyataan dan sikap politik saidara..
- Saudara sebagai tokoh reformasi yang ikut berperan dalam mengakhiri kekuasaan orde baru, telah bersimpati, mendukung, dan bergabung dengan politisi yang beraspirasi mengembalikan kekuatan orde baru ke kancah politik Indonesia
- Saudara telah menjadikan agama sebagai alat politik untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan.
- Saudara sebagai ilmuwan ilmu politik telah gagal mencerdaskan bangsa dengan ikut mengeruhkan suasana dalam negeri dalam menyebarkan berita yang jauh dari kebenaran tentang kebangkitan PKI di negeri kita.
- Saudara sebagai orang yang berada di luar struktur utama PAN terkesan berat menyerahkan kepemimpinan PAN kepada generasi berikutnya dengan terus menerus melakukan manuver politik yang destruktif bagi masa depan partai.
Atas dasar pertimbangan semua itu, kami sebagai bagian dari pendiri PAN yang bersama saudara saat itu meyakini prinsip-prinsip yang akan kita perjuangkan bersama, menyampaikan surat terbuka ini sebagai pengingat dari sesama kawan.
Untuk itu barangkali sudah saatnya Saudara mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita.
Salam hormat dari kami semua,
Jakarta, 26 Desember 2018
Abdillah Toha
Albert Hasibuan
Goenawan Mohammad
Toeti Heraty
Zumrotin
🍄
Jakarta - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan politik identitas bakal tidak laku di Pemilu 2019. Menurut Arya, baik di pileg maupun Pilpres nanti, politik identitas tidak akan berpengaruh banyak untuk mendongkrak elektabilitas caleg atau pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Politik identitas ini diprediksikan tidak akan bakal banyak berpengaruh secara elektoral di pemilu 2019," ujar Arya Fernandes di acara diskusi "Darurat Pemilu 2019" di Kontor CSIS, Jakarta, Kamis (27/9).
Di Pileg 2019, kata Arya, politik identitas tidak terlalu banyak digunakan karena beberapa faktor, antara lain komposisi caleg yang beragam, tingkat kontestasi yang ketat baik di internal maupun eksternal partai, dan fragmentasi politik di tingkat lokal.
"Selain itu, migrasi suara pemilih saat pileg juga tidak terlalu ekstrem, misalnya dari partai agama menjadi partai nasional," ungkap dia.
Sementara untuk Pilpres 2019, lanjut Arya, isu kontestasi antara kandidat sepertinya mulai bergeser menjadi isu ekonomi. Menurut Arya, isu ekonomi seperti harga sembako, kemiskinan dan lapangan kerja menjadi perhatian utama pemilih di Pilpres 2019.
"Isu Pilpres 2019 sudah bergeser ke isu ekonomi, politik identitas tidak laku lagi. Pemilih cenderung memilih pemimpin yang dianggap jujur atau anti-korupsi, sederhana dan mampu membawa perubahan dibandingkan pemimpin yang taat beragama," ungkap dia.
Arya menilai jika isu politik identitas efektif dan benar-benar bekerja, seharusnya berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara calon presiden. Menurut dia, seharusnya dalam tiga tahun terakhir, ada calon mendapat kenaikan suara yang signifikan dan ada calon yang suaranya turun drastis.
"Tetapi nyatanya kan tidak. Dalam tiga tahun terakhir suara Jokowi relatif mengalami kenaikan namun sangat landai. Sementara suara Prabowo Subianto mengalami stagnasi. Sejak tahun 2015 hingga 2017, suara Jokowi berada pada kisaran 35-50 persen dan suara Prabowo 25-30 persen," terang dia.
Dalam survei CSIS, memang terlihat perolehan suara Jokowi dari 36,1 persen di tahun 2015, 41,9 persen di tahun 2016 menjadi 50,9 persen di tahun 2017. Sementara perolehan suara Prabowo di tahun 2015 berada di angka 28 persen, turun di tahun 2016 pada angka 24,3 persen dan kembali naik pada tahun 2017 di angka 25,8 persen.
Fakta lain yang menunjukkan jika politik identitas tidak efektif di Pemilu 2019 adalah preferensi pilihan massa aksi 212 yang justru terdistribusi ke banyak partai dan kedua capres. Suara dari massa aksi 212, kata dia, sebanyak sekitar 6 persen dari 5 provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
"Dukungan massa aksi 212 kepada Jokowi berada di Provinsi Jatim, Jateng dan Sulsel. Sementara dukungan massa aksi 212 yang preferensi politiknya ke Prabowo dari Jabar dan Sumut," pungkas dia.
Sumber: BeritaSatu.com
🍓
TRIBUNNEWS.COM, JAWA BARAT - Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri, menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).Megawati meraih gelar doktor di bidang politik. Rektor IPDN Ermaya Suradinata menjelaskan pemberian gelar kepada Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu dengan beberapa pertimbangan.
"IPDN memberikan gelar doktor kehormatan sebagai pengakuan kenegarawanan Ibu Megawati Soekarnoputri," ujar Ermaya di kampus IPDN, Jatinagor, Jawa Barat, Rabu (8/3).
Megawati dianggap layak mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa bidang politik pemerintahan.
"Beliau sosok yang berpengetahuan luas mengenai politik dan pemerintahan serta konsisten menegakkan demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya
Emraya melanjutkan, Megawati saat menjabat sebagai Presiden telah meletakkan dasar kebijakan desentralisasi yang berkesinambungan untuk Indonesia.
"Ibu Megawati kokoh dalam prinsip, bersikap tegas, dan selama memimpin, seluruh jajaran Kabinet Gotong Royong bekerja dengan tenang," ujarnya.
Megawati juga dinilai tegas mengambil tanggung jawab terhadap berbagai persoalan penting, namun pada saat bersamaan tetap menampilkan kepemimpinan perempuan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
"Beliau juga sangat respek terhadap lingkungan dan kebudayaan," ujar Ermaya.
Sebelumnya, Megawati juga sudah menerima 6 Gelar Doktor Honoris Causa. Yakni dari Universitas Waseda, Tokyo, Jepang (2001). Gelar dari Moscow State Institute of International Relation, Rusia (2003).
Korea Maritime and Ocean University, Busan, Korsel (2015). Kemudian Universitas Padjadjaran (2016), Universitas Negeri Padang (2017); dan Mokpo National University, Mokpo, Korsel (2017).
"Penghargaan doktor honoris causa di bidang politik yang diberikan IPDN ini adalah gambaran bagaimana sosok dan perjuangan Ibu Megawati dalam membangun demokrasi di bangsa ini," ujarnya.
"Para kader PDI Perjuangan menyadari betul,apa yang diterima Megawati itu merupakan buah dari dedikasinya untuk bangsa dan negara yang telah dilakukan secara ikhlas dan konsisten," ungkap Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Barat, Waras Warsito.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Doktor Honoris Causa Ketujuh Untuk Megawati, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/08/doktor-honoris-causa-ketujuh-untuk-megawati.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
🌹
detik X: “Aku anak perempuan kedua Bupati Jepara…. Almarhum kakekku adalah bupati pertama di Jawa Tengah yang membukakan pintunya untuk tamu dari jauh seberang lautan,” Raden Ajeng Kartini membuka isi suratnya kepada Estell ‘Stella’ Zeehandelaar, sahabat pena dari negeri Belanda yang tak pernah ditemuinya.
Dalam surat bertarikh 25 Mei 1899 itu, Kartini menceritakan kondisinya sebagai seorang perempuan keturunan bangsawan Jawa. “Kami anak-anak perempuan yang masih terbelenggu oleh adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pendidikan…. Ketika berumur 12 tahun, aku harus masuk ‘sangkar’.” Di dalam ‘sangkar emas’-nya, Kartini hanya tinggal menunggu jodoh yang dipilihkan orang tua.
Ya, saat itu, Kartini menulis kepada Stella pada 23 Agustus 1900, jalan hidup seorang perempuan Jawa sudah ditentukan di luar kuasanya. “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi istri yang kesekian bagi seorang lelaki.” Lebih dari seabad silam Kartini menulis soal poligami, isu yang tak pernah mati sampai hari ini.
“… tidak setiap orang Islam mempunyai empat orang istri, tetapi dalam dunia kami, setiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya. Dan hari ini atau besok, suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang perempuan untuk menjadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya…. Hampir semua perempuan yang aku kenal di sini mengutuk hak laki-laki itu,” Kartini menulis panjang-lebar. Sebagai anak yang lahir di keluarga poligami, Kartini paham betul rasanya diduakan. Apalagi kemudian Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri keempat.
Seperempat abad setelah Kartini menulis soal poligami itu, pada 25 November 1925, utusan dari sejumlah organisasi pemuda di Hindia Belanda, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, berkumpul di Hotel Lux Orientis, Jakarta. Mereka bersepakat menggelar Kongres Pemuda untuk “menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air”.
Peserta persamuhan itu menunjuk Mohammad Tabrani dari Jong Java sebagai ketua panitia, dengan sekretaris Djamaluddin dari Jong Sumatranen Bond, dan bendahara Soewarso dari Jong Java. Meski tak ada perempuan dalam daftar panitia, Tabrani dan teman-temannya menjadikan isu perempuan sebagai salah satu isu penting. Bahkan dalam Kongres Pemuda I selama tiga hari pada 30 April hingga 2 Mei 1926, ada satu hari, yakni hari kedua, khusus membahas ‘kedudukan wanita Indonesia’.
Ada tiga orang jadi pembicara pada malam itu di Vrijmetselaarsloge (sekarang Gedung Kimia Farma, Jl Budi Utomo, Jakarta), yakni Bahder Djohan, Stientje Ticoalu Adam, dan RT Djaksodipoero. Nona Stientje dari Minahasa membawakan pidato bertajuk Kedudukan Wanita, sementara RT Soenardi Djaksodipoero dari Jong Java berpidato soal Rapak Lumuh, hak perempuan mengadu kepada hakim jika permintaannya untuk bercerai ditolak sang suami. Bahder, pemuda Minang yang mewakili Jong Sumatranen Bond, berpidato dengan judul Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia.
Pemecahan masalah-masalah perempuan di negeri ini, Bahder berpidato dalam bahasa Belanda, sama pentingnya dengan pemenuhan cita-cita ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. “Perempuan mestinya berdiri di samping laki-laki, bagi Tanah Air dan bangsa,” kata Bahder. Bukan di depan, bukan pula di belakang laki-laki.
Dalam rumah tangga, menurut Bahder, perempuan tak cuma ibu bagi anak-anak, tapi juga teman dalam suka maupun duka untuk suaminya. “Kedudukannya tak boleh lebih tinggi, juga tak boleh lebih rendah,” pemuda Minang itu berpidato. Perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga punya posisi setara. Persamaan derajat ini, dia menekankan, merupakan fondasi bagi kebahagiaan rumah tangga. “Apabila kepada perempuan diberikan apa yang jadi haknya itu, dengan sendirinya poligami akan tersingkir.”
Bahder, seperti dikutip Daniel Dhakidae dalam bukunya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, tak sepakat dengan rupa-rupa dalih berpoligami, baik lantaran pertimbangan agama maupun sosial, seperti kelebihan jumlah perempuan dibanding laki-laki dalam masyarakat. Bahder juga mengkritik alasan ‘naluri poligami’ yang sering pula jadi alasan laki-laki menikahi beberapa perempuan. Menurut dia, ”Kalau naluri itu memang ada, harus dikendalikan oleh kesadaran moral yang lebih tinggi.”
Kongres Pemuda Pertama ini memang tak menghasilkan satu kesimpulan ‘final’. Tapi para peserta, laki-laki maupun perempuan (selain nona Stientje, ada beberapa perempuan lain yang hadir di Kongres Pemuda Pertama, di antaranya Emma Poeradiredja, Ketua Jong Islamieten Bond Cabang Bandung), bersepakat untuk mengusahakan kesatuan Indonesia dan mempererat hubungan antar-organisasi pemuda.
Dorongan meninggalkan semangat kedaerahan makin kuat. Pertemuan demi pertemuan berujung pada pembentukan panitia Kongres Pemuda II pada Juni 1928. Sugondo Djojopuspito, mahasiswa sekolah hukum dari Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), ditunjuk menjadi ketuanya. Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond jadi sekretaris, sementara Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond dipilih menjadi bendahara.
Di bawah pengamanan sangat ketat polisi dan intel-intel pemerintah Hindia Belanda, ada sekitar 750 pemuda dari pelbagai daerah, dari banyak organisasi, datang ke Jakarta mengikuti Kongres Pemuda II. Tapi hanya 72 orang di antaranya yang tercatat menjadi peserta Kongres, di antaranya SM Kartosoewirjo, AK Gani, Bahder Djohan, Arnold Manonutu, Sarmidi Mangunsarkoro, WR Supratman, dan Mohammad Tabrani. Terselip di antara mereka, enam nama perempuan: Emma Poeradiredja, Siti Soendari, Dien Pantow, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, dan Poernamawoelan.
Kongres hari pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, dilaksanakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Jakarta, dibuka dengan pidato ketua panitia, Sugondo Djojopuspito. “Perangilah pengaruh bercerai-berai dan majulah menuju cita-cita Indonesia bersatu yang kita cintai,” Sugondo menutup pidatonya, dikutip Sagimun MD dalam bukunya, Peranan Pemuda: Dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi.
Di rapat kedua pada Minggu pagi di Gedung Bioskop Oost Java, Poernamawoelan mendapatkan kesempatan berpidato. Dia berpidato soal peran pendidikan dalam keluarga. Hingga Kongres ditutup, hanya tiga perempuan yang mendapatkan kesempatan berbicara, yakni Poernamawoelan, Siti Soendari, dan Emma Poeradiredja.
Kongres Pemuda Kedua ini ditutup pada malam itu juga di Gedung Indonesisch Clubhuis, kini di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Ratusan orang berdesakan menyimak pembacaan putusan Kongres. Putusan Kongres Pemuda Kedua pada 1928 inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Tak banyak masalah perempuan dibicarakan di Kongres Pemuda Kedua. Tapi sedikit-banyak, apa yang terjadi dalam Kongres Pemuda II ini mempengaruhi pula semangat Kongres Perempuan I di Yogyakarta dua bulan kemudian. Salah satu pembicara yang suaranya sangat galak pada Kongres Perempuan Pertama itu adalah Siti Soendari.
Dengan bahasa Indonesia yang masih terpatah-patah, Soendari mengecam perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. “Tak akan selamat negara ini jika hanya separuh bangsa ini yang memperoleh perhatian dan menikmati kemajuan, sedangkan separuhnya lagi ditinggalkan dalam kebodohan,” Soendari berpidato.
🌸
Jakarta - Aktivis sekaligus calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Guntur Romli terjun ke dunia politik karena ingin melanjutkan perjuangan para pembela kebinekaan dan keragaman di Indonesia.
Dalam diskusi di sela acara Patungan Rakyat Akbar PSI di Balai Kartini, Jakarta, Sabtu (30/9), Guntur mengaku merasa sakit saat Basuki Tjahaja Purnama kalah di pemilihan gubernur Jakarta. Itu rasa sakitnya kedua setelah sebelumnya melihat jatuhnya Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid dari kursi kepresidenan.
"Padahal Gus Dur lah yang berjuang untuk keberagaman dan antidiskriminasi. Dulu orang lihat barongsai sudah disebut komunis dan PKI. Di jaman Gus Dur diperbolehkan. Beliau membebaskan itu, tapi beliau dijautuhkan sebelum selesai (menjabat)," kata Guntur.
Indonesia memang mempunyai UUD 1945 dan Pancasila yang menjamin keberagaman, namun dalam realita politik aliran justru masih sangat kuat di Indonesia, khususnya terkait agama.
Menurut dia, sejarah politik Indonesia mencatat ada dua kekuatan Islam di Indonesia. Yakni kelompok Islam Nasionalis yang berwujud dalam organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kata Guntur, organisasi demikian selalu berusaha membangun dan setia dengan Indonesia.
Satunya lagi adalah kelompok Islam Fundamentalis, karena sejarah Indonesia mencatat adanya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang pernah berusaha mengganti bentuk negara. Kelompok inilah yang selalu diasosiasikan dengan kelompok radikal.
"Di pilkada kemarin di Jakarta, ada kekuatan yang mengatasnamakan mayoritas, tapi tak dibawa pada patriotisme dan nasionalisme, melainkan pada isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) dan kebencian," kata Guntur.
Bagi dia, jika Islam jatuh pada kondisi kebencian dan bermain isu SARA, maka Indonesia akan mengulangi lagi sejarah DI/TII. Selain itu muncul potensi konflik seperti yang terjadi di Irak, Yaman, dan Suriah.
Pada titik itu, Indonesia memiliki sejumlah partai politik beraliran nasionalis, sekaligus yang berlatar belakang agama. Karena agama adalah isu yang paling mudah dipantik, peran mereka sangat substansial dalam menghentikan upaya itu.
"Tapi kalau kita lihat partai nasionalis sekarang, tak mampu menarik kelompok Islam mayoritas nasionalis, karena mereka tak percaya diri. Padahal kita perlu dukungan dan menyampaikan aspirasi dari kelompok Islam nasionalis untuk menjaga republik," kata Guntur.
"Jangan sampai Indonesia jatuh ke orang yang ingin mengubah apa yang dibuat oleh Pendiri Bangsa."
👪
Merdeka.com - Gereja Kristus Rohani Indonesia (GKRI) di Dusun Karangjengkol Desa Cilongkrang Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap roboh, pada Selasa (26/9) pukul 7.30 WIB. Ambruknya seluruh atap dan sebagian tembok Gereja tersebut terdampak Gempa Tasik berkekuatan 5 Skala ritcher pada Senin (25/9).
Barang-barang yang berada di dalam ruangan gereja sebagian tertutup puing. Kebersamaan mengevakuasi barang-barang gereja dan membersihkan gereja jadi sisi lain tentang tunjuk ajar perilaku, rasa merasa, yang ketika bencana melanda melahirkan cara bertindak terhadap sesama untuk mengetengahkan solidaritas dan sosialitas.
Di wilayah sekitar Gereja tersebut, rasa toleransi kental terasa. Tak membedakan keyakinan, mayoritas masyarakat sekitar yang beragama muslim, bergotong royong mengevakuasi barang yang bisa diselamatkan dan membersihkan tempat ibadah tersebut.
Bahkan, dari sekitar 20-an orang yang bergotong royong, hanya dua orang yang beragama nasrani jemaat GKRI. Lainnya, warga muslim dari dua RT, yakni RT 01/1 dan RT 01/6.
Pendeta GKRI, Diah Rusdiana mengatakan gempa Tasik di pukul 05.06 WIB Senin kemarin sangat terasa di daerahnya. Gempa itu menyebabkan sebagian tembok gereja yang dibangun tahun 1992 retak. Tembok retak itu diduga menyebabkan atap kerangka bangunan patah dan ambruk menimpa seluruh barang yang ada di ruangan gereja.
Sebelum gempa, hujan deras juga terjadi di desa Cilongkrang. Diduga genteng bangunan itu menyerap air sehingga lebih berat dan kerangka atap tak kuat menahan beban.
Selain gempa, bangunan gereja memang tak stabil lantaran sisi tebing sungai sempat longsor pada musim penghujan tahun ini. Tebing yang longsor itu sebenarnya sudah diuruk dan dibangun talud. Tetapi, tanah bagian pondasi jadi labil.
"Lantaran membahayakan, tembok gereja itu rencananya akan dirobohkan untuk dibangun ulang. Peristiwa ini sudah kami laporkan ke Pusat GKRI di Bekasi, Jawa Barat," katanya, Selasa (26/9) sore.
Sementara waktu, kata Diah, 25 jemaat GKRI akan beribadah di rumahnya yang memang berjejeran dengan gereja.
Hal paling meneduhkan di tengah bencana ini, toleransi antar umat beragama di Cilongkrang sangat mengesankan. Menurut Diah, yang paling cepat datang untuk membantu mengevakuasi dan membersihkan gereja adalah warga muslim.
"Toleransi ini sudah terpupuk lama. Kebanyakan yang bergotong royong warga muslim, warga sini. Justru yang lebih tahu warga sini, kalau ini (warga non muslim) kan rumahnya agak jauh di sana rumahnya," ujar Diah. [rzk]
💏
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, mengatakan hampir seluruh masyarakat bangga menjadi warga negara Indonesia (WNI). Hal tersebut ditujukan dalam survei yang dilakukan lembaganya sejak 14-20 Mei 2017.
Saiful menuturkan 62,5 persen sangat bangga menjadi WNI dan 36,5 persen merasa cukup bangga. Sedangkan yang merasa kurang bangga dan tidak bangga jumlahnya tidak mencapai satu persen.
Baca juga: Survei: Kaum Muda Menolak Kekerasan atas Nama Agama
Selain itu, 57,4 persen warga tidak setuju bila NKRI melemah dan terancam bubar. Sedangkan ada sekitar 12,6 persen masyarakat yang beranggapan Indonesia dapat bubar.
"Mereka yang cemas Indonesia akan bubar belum tentu menolak NKRI. Dia hanya khawatir dan sangat kritis dengan situasi saat ini dengan melihat berbagai pengalaman di dunia," kata Saiful saat menyampaikan hasil surveinya di Jalan Cisadane Nomor 8, Cikini, Jakarta, Ahad, 4 Juni 2017.
Masyarakat yang khawatir dan setuju bahwa NKRI melemah, umumnya beranggapan ancaman itu datang dari paham-paham agama tertentu. Selain itu, mereka juga beropini birokrasi dan pemerintahan yang buruk turut menjadi faktor yang dapat melemahkan NKRI.
Simak juga: Para Santri Diminta Menjaga NKRI
Saiful menuturkan, warga yang sangat bangga menjadi WNI ada 57,6 persennya bersedia menjadi relawan penjaga keutuhan NKRI. "Dan 26,9 persennya sangat bersedia," ucapnya.
Metode yang dilakukan SMRC dalam surveinya itu dengan mewawancarai 1500 responden. Tingkat kepercayaan survei ini mencapai 95 persen dengan margin of error 2,7 persen.
AHMAD FAIZ
👪
Sumber: Suara Pembaruan
👍
Jakarta - Menko Polhukam Wiranto, Rabu (12/7), mengumumkan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Multiculturalism & Islam
Jakarta - Setara Institute menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU 17/2013 tentang Ormas tidak melanggar konstitusi. Setara berharap Perppu harus dibaca sebagai kewenangan pemerintah atau negara dalam merespon suatu keadaan yang tidak normal dan mendesak.
"Karena itu putusan yang diambil adalah dengan kesegeraan agar situasi itu bisa normal kembali. Perppu itu adalah sesuatu yang diatur dalam sistem ketatanegaraan kita. Perppu ini konstitusional," ujar Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Senin (17/7).
Dalam konteks pembubaran Ormas, kata Hendardi meskipun mekanisme bertahap dan berjenjang dihilangkan dari UU 17/2013, sesungguhnya pembubaran dengan mekanisme seperti dalam Perppu tetap merupakan obyek yang bisa dipersoalkan di peradilan tata usaha Negara (PTUN).
"Hanya saja pada UU Ormas, putusan pembubaran dilakukan setelah melalui proses pengadilan. Sementara pada Perppu, putusan pembubaran oleh negara, tetapi kemudian pihak yang dibubarkan bisa melakukan pembelaan diri ke pengadilan," jelas dia.
Dia mengakui bahwa pembelaan diri ke pengadilan tidak disebutkan secara eksplisit dalam Perppu. Pasalnya mekanisme keberatan ini tunduk pada rezim peradilan TUN.
"Bahkan Perppu ini tetap menjalankan prinsip check and balances dengan membuka ruang bagi judicial review di MK dan pengujian melalui DPR," ungkap dia.
Lebih lanjut, Hendardi berharap pemerintah menjalankan Perppi Ormas ini secara transparan dan akuntabel sehingga bisa menjawab pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama potensi bahaya yang ditimbulkan terhadap demokrasi dan HAM.
Apalagi, kata dia sebagai produk yang dibentuk atas dasar kegentingan yang memaksa, pemerintah hingga 1 minggu setelah Perppu terbit belum melakukan tindakan apapun terhadap obyek yang dianggap membahayakan bagi sendi-sendi kehidupan bernegara.
"Implementasi Perppu ini harus transparan, akuntabel dan presisi pada obyek yang sungguh-sungguh melakukan pelanggaran dan mengancam ideologi Pancasila. Pemerintah, kepolisian, dan kejaksaan adalah institusi kunci yang harus memastikan Perppu ini tidak dijalankan secara sewenang-wenang," terang dia.
Pada dimensi HAM, kata dia perlu disampaikan bahwa dewasa ini munculnya radikalisme berbasis agama dan ekstremisme dengan kekerasan serta fenomena failed state di Timur Tengah dan Afrika. Pasalnya, konflik komunal dan kekerasan membuat sejumlah pakar hak asasi mempertanyakan apakah konsep negara dalam perspektif HAM tradisional yang menekankan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi individu masih relevan.
"Perspektif HAM tradisional menekankan kewajiban negara atau state duties untuk pemenuhan hak warga negara," tandas dia.
Perspektif HAM tradisional, kata Hendardi mengandaikan negara demokratis dan negara bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya secara normal. Menurut dia, tidak pernah atau jarang dipikirkan bagaimana kalau negara mengalami kesulitan dan krisis sehingga tidak mampu dan berkapasitas menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak warga negara.
"Karena itu, perspektif HAM harus melihat konteks atau kontekstual, tidak saja memenuhi hak warganegara tapi juga membuat negara tetap bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya," tutur dia.
Perppu, lanjutnya adalah exercise formula keseimbangan yang mencoba merumuskan margin of appreciation baru hak asasi manusia di tengah situasi radikalisme dan ekstremisme yang terus membesar di Republik Indonesia.
"Sebagai sebuah kebijakan pembatasan, maka kekhawatiran atas abuse of power atas kuasa negara untuk membubarkan ormas dan pemidanaan subyek-subyek hukum yang melanggar, adalah sesuatu yang dapat dipahami. Karena itu, Perppu perlu dijalankan secara transparan dan akuntabel," pungkas dia.
👍
Jakarta - Menko Polhukam Wiranto, Rabu (12/7), mengumumkan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Menurut Wiranto, perppu itu diterbitkan sebagai upaya pemerintah bertindak cepat untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu poin perppu adalah lembaga yang menerbitkan izin pendirian ormas juga berhak mencabut izin tersebut.
"UU yang ada saat ini tidak memadai untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga pemerintah menerbitkan perppu," katanya.
Saat ini, katanya, terdapat 344.039 ormas yang beraktivitas di tingkat nasional dan daerah. Dari jumlah tersebut, ternyata masih ada kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta menjadi ancaman nyata eksistensi bangsa dan menimbulkan konflik di masyarakat.
Pada kesempatan itu, Wiranto berharap masyarakat tak perlu khawatir atas penerbitan Perppu tentang Ormas.
"Masyarakat tidak perlu khawatir. (Penerbitan perppu) bukan kesewenang-wenangan pemerintah dan tidak mengancam kebebasan ormas," tegas Wiranto.
Sumber: Suara Pembaruan
Bisnis.com, JAKARTA - Budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan syarat persatuan nasional dalam kemajemukan ialah bersedia saling menerima, menghormati, dan mengakui dalam identitas.
"Satu syarat suatu kemajukan mau besatu secara positif tanpa paksaan, bahwa mereka semua bersedia saling menerima, menghormati, mengakui dalam identitas. Di tingkat persatuan nasional, bagi saya yang menentukan adalah saling penerimaan dalam perbedaan dan identitas," katanya dalam dikusi kebangsaan di Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, hal itulah makna dari Pancasila yang menyatukan berbagai perbedaan suku, bangsa, dan agama yang ada di Indonesia.
Franz Magnis yang juga biasa dipanggil Romo Magnis itu, mengingatkan pada peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi 28 Oktober 1928 di mana orang-orang yang berasal dari daerah, suku, dan agama yang berbeda-beda beramai-ramai datang ke Jakarta untuk menegaskan tekad demi memperjuangkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan, Indonesia.
"Mereka tidak ada sponsor, tidak ada oportunitas politik sama sekali, keluar dari hati nurani. Orang yang berbeda-beda, Jong Java, Jong Madura, Jong Ambon, mereka terima semua. Bangsa Indonesia pada prinsipnya bersedia semua sepenuhnya sebagai pemilik negara Indonesia," kata dia.
Namun, dia menyebutkan persatuan itu sekarang terancam oleh politik identitas yang sudah menjadi suatu gelombang di seluruh dunia dan berbahaya bagi persatuan.
"Itu berbahaya karena berakar dari perasaan negatif, aku dirugikan, aku tidak mendapat apa yang seharusnya aku dapat, dan mereka itu musuh saya," kata Magnis.
Franz Magnis berpendapat hal tersebut terus menerus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia dan tugas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk belajar menerima keadaan dalam perbedaan.
Magnis juga mengakui bahwa sikap saling menerima dalam perbedaan bangsa Indonesia masih bagus dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.
Sumber : ANTARA
👄
kompasiana : Bahaudin Abdullah
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.kompasiana_bahaudin.com/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik_552aac786ea8343714552d2c
Elektabilitas partai dan tokoh Islam berada dalam titik nadir. Pada pemilu tahun 2014, dipastikan partai dan tokoh Islam hanya menjadi penggembira dalam pesta demokrasi terbesar lima tahunan di tanah air. Pemilu tahun 2014 hanya akan diikuti oleh tiga pasang kandidat, semuanya berasal dari partai berhaluan nasionalis. Sedangkan partai dengan haluan Islam, masih terpuruk karena mengalami krisis kepemimpinan yang luar biasa. Demikian salah satu kesimpulan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pertengahan Maret tahun 2013. Pemikir politik Islam, Fachry Ali pernah memperediksi bahwa pemilu tahun 2014 adalah pemilu terakhir yang akan diikuti oleh partai Islam. Keterbatasan materi, finansial, jejaring sosial, serta penguasan atas media merupakan problematika penting yang dihadapi oleh umat Islam. Lantas, apa solusi bagi partai Islam untuk tetap bertahan? Fachry Ali mengusulkan, sebaiknya partai Islam harus secepat mungkin melakukan fusi (penggabungan) partai. “Fusi partai Islam merupakan jawaban atas kebuntuan masalah yang dihadapi partai dan tokoh Islam, “ Ujar Fachry Ali di Jakarta, Senin, (18/3/2013). Saat ini, lanjut Fachry, partai dengan kategori Islam berjumlah empat partai (PKS, PAN, PPP dan PKB). Ke-empat partai Islam ini, jika difusi menjadi satu partai tunggal, tentu akan mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang cukup tinggi. Jika dikalkulasi secara prosentase, angka yang keluar dari fusi partai Islam sebanyak 24,15%, setara dengan 164 kursi, atau berjumlah 25. 140. 871 pemilih. Kalkukasi ini diperoleh dari hasil pemilu tahun 2009, dengan jumlah partai yang lolos ke parlemen sebanyak Sembilan partai, empat partai bernafas Islam, sisanya partai-partai dengan corak nasionalisme. Sementara, cendikiawan muslim Komaruddin Hidayat menerangkan, fusi partai Islam sangat sulit terjadi. Dirinya menjelaskan perbedaan pandangan perjuangan ditengarai menjadi jurang penghalang bagi bersatunya partai Islam. Menurutnya definisi “partai Islam “ adalah istilah yang kurang tepat. Islam, menurutnya adalah agama dengan sifatnya sacral dan berorientasi ganda, dunia-akhirat. Sedangkan partai sifatnya profan (duniawi). Partai merupakan wadah perjuangan yang bersifat temporer, tidak kekal dan rawan kepentingan. Terlebih dalam merebut kekuasaan alasan teologis sering dijadikan argumentasi dalam dunia politis. 👫
“Sebetulnya istilah partai Islam, sudah diterangkan oleh Cak Nur pada tahun 1970-an dengan slogan terkenalnya Islam Yes dan Partai Islam No, “ tutur Komaruddin dalam dialog bertajuk ‘penegakan hukum versus kepentingan politik, islam dan militer’, bertempat dirumah kebangsaan, jl. Purnawarman II, Jakarta Selatan, Jum’at malam (22/3). 💑
Selain itu, Komar juga mempertanyakan bagaimana mekanisme penyatuan partai Islam. Kemudian siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi dari barisan Hijau tersebut. Islam, menurutnya tidak hanya dipahami dalam pengertian simbol-simbol duniawi seperti partai, sorban, dan sebagainya. Menyatukan gerakan Islam dalam satu wadah, sama saja mengerdilkan gerakan Islam.👳
Terlebih definisi ‘partai Islam’ masih mengalami kerancuan. Hingga kini, masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Diskursus Islam dan Politik Diskursus tentang relasi Islam dan Negara, lanjutnya dalam konteks Indonesia tidak pernah selesai tuntas. Antara keduanya selalu ada tautan, terlebih dari aspek historis Islam mempunyai peranan penting dalam membangun fondasi awal berdirinya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Peranan Sarekat Islam (SI) serta Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Meskipun tidak berlangsung lama, namun partai dan tokoh Islam pernah berhimpun dalam satu wadah tunggal.
Namun, dalam konteks sejarah terjadi perbedaan pemahaman dalam memandang Islam hubungan Islam dan Negara. 💘
Pandangan pertama, lanjutnya diwakili oleh Ali Abdur Raziq (mantan rector al- Azhar, Kairo, Mesir). Abd Roziq pernah menulis sebuah risalah yang berjudul, al- Islam wa usulul hukmi . Dalam buku tersebut dijelaskan pemisahan secara tegas antara agama dan negara, agama adalah urusan kehidupan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai pencipta dengan sifatnya yang suci. Sedangkan negara, adalah urusan keduniawian yang sifatnya fana, atau tidak kekal. Menyejajarkan Islam dengan kehidupan dunia, termasuk didalamnya dalam urusan politik, berarti merendahkan Islam sebagai agama yang turun dari kalam Ilahi. Paham inilah yang disebut dengan istila sekuler. Yakni pemisahan demarkasi jelas antara agama dan Negara. 💋
Kemudian, Paham kedua. Islam bukanlah semata-mata agama yang dalam pengertian barat. Namun, Islam dianggap sebagai agama paripurna yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk mekanisme dan tata cara bernegara didalamnya. Sistem tatanegara atau politik Islam yang harus dipahami dan dijadikan suri tauladan adalah sistem yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasidin. Pandangan integral ini disokong oleh pemikir-pemikir semisal Sayyid Qutb, Hassan al_ Bannad, Rasyid Ridha dan sebagainya. 💏
Sementara pandangan terakhir adalah, pandangan yang menolak bahwa Islam sebagai agama paripurna dan bahwa Islam juga mengatur hubungan dengan negara. Namun, aliran ini juga menolak agama dalam pengertian barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dalam artian agama adalah urusan privat. Aliran ini berpendapat, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan berbegara.💖 Aliran terakhir ini didukung oleh Muhammad Husein Haikal. Dalam konteks Indonesia, lanjut Komar. Pola pandangan terakhir inilah yang banyak diadopsi. Islam, tidak serta merta diformalisasikan dalam bentuk undang-undang. Namun, semangat dan ajaran Islam tercermin dalam undang-undang di negara Indonesia.
“Formalisasi Islam dalam Undang-Undang, sama saja mengerdilkan ajaran dan nilai luhur dari agama Islam, “imbuhnya. Pancasila, terangya merupakan lima prinsip pandangan hidup bangsa Indonesia, yang benyak diilhami dari ajaran Islam. Bahkan, tokoh Masyumi terkemuka, Muhammad Natsir pada tanggal 2 April 1952 pernah berpidato di Pakistan. Menurut Natsir, meskipun bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, namun tidak serta merta Islam diformalisasikan dalam bentuk aturan tetap. Bangsa Indonesia menempatkan kepercayaan terhadap Tuham YME sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai pandangan rohani, moral dan etika. Penerapan ajaran Islam dalam Pancasila, lanjut Komar adalah prestasi yang luar biasa. Hal tersebut menurutnya merupakan bentuk pengakuan aparatur negara atas sumbangsih Islam yang demikian besar bagi Negara. Umat beragam diberikan jaminan rasa aman untuk memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. “Ini adalah esensi dari ajaran Islam, saling menghormati dan menghargai,” ujarnya.
“Sebetulnya istilah partai Islam, sudah diterangkan oleh Cak Nur pada tahun 1970-an dengan slogan terkenalnya Islam Yes dan Partai Islam No, “ tutur Komaruddin dalam dialog bertajuk ‘penegakan hukum versus kepentingan politik, islam dan militer’, bertempat dirumah kebangsaan, jl. Purnawarman II, Jakarta Selatan, Jum’at malam (22/3). 💑
Selain itu, Komar juga mempertanyakan bagaimana mekanisme penyatuan partai Islam. Kemudian siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi dari barisan Hijau tersebut. Islam, menurutnya tidak hanya dipahami dalam pengertian simbol-simbol duniawi seperti partai, sorban, dan sebagainya. Menyatukan gerakan Islam dalam satu wadah, sama saja mengerdilkan gerakan Islam.👳
Terlebih definisi ‘partai Islam’ masih mengalami kerancuan. Hingga kini, masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Diskursus Islam dan Politik Diskursus tentang relasi Islam dan Negara, lanjutnya dalam konteks Indonesia tidak pernah selesai tuntas. Antara keduanya selalu ada tautan, terlebih dari aspek historis Islam mempunyai peranan penting dalam membangun fondasi awal berdirinya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Peranan Sarekat Islam (SI) serta Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Meskipun tidak berlangsung lama, namun partai dan tokoh Islam pernah berhimpun dalam satu wadah tunggal.
Namun, dalam konteks sejarah terjadi perbedaan pemahaman dalam memandang Islam hubungan Islam dan Negara. 💘
Pandangan pertama, lanjutnya diwakili oleh Ali Abdur Raziq (mantan rector al- Azhar, Kairo, Mesir). Abd Roziq pernah menulis sebuah risalah yang berjudul, al- Islam wa usulul hukmi . Dalam buku tersebut dijelaskan pemisahan secara tegas antara agama dan negara, agama adalah urusan kehidupan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai pencipta dengan sifatnya yang suci. Sedangkan negara, adalah urusan keduniawian yang sifatnya fana, atau tidak kekal. Menyejajarkan Islam dengan kehidupan dunia, termasuk didalamnya dalam urusan politik, berarti merendahkan Islam sebagai agama yang turun dari kalam Ilahi. Paham inilah yang disebut dengan istila sekuler. Yakni pemisahan demarkasi jelas antara agama dan Negara. 💋
Kemudian, Paham kedua. Islam bukanlah semata-mata agama yang dalam pengertian barat. Namun, Islam dianggap sebagai agama paripurna yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk mekanisme dan tata cara bernegara didalamnya. Sistem tatanegara atau politik Islam yang harus dipahami dan dijadikan suri tauladan adalah sistem yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasidin. Pandangan integral ini disokong oleh pemikir-pemikir semisal Sayyid Qutb, Hassan al_ Bannad, Rasyid Ridha dan sebagainya. 💏
Sementara pandangan terakhir adalah, pandangan yang menolak bahwa Islam sebagai agama paripurna dan bahwa Islam juga mengatur hubungan dengan negara. Namun, aliran ini juga menolak agama dalam pengertian barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dalam artian agama adalah urusan privat. Aliran ini berpendapat, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan berbegara.💖 Aliran terakhir ini didukung oleh Muhammad Husein Haikal. Dalam konteks Indonesia, lanjut Komar. Pola pandangan terakhir inilah yang banyak diadopsi. Islam, tidak serta merta diformalisasikan dalam bentuk undang-undang. Namun, semangat dan ajaran Islam tercermin dalam undang-undang di negara Indonesia.
“Formalisasi Islam dalam Undang-Undang, sama saja mengerdilkan ajaran dan nilai luhur dari agama Islam, “imbuhnya. Pancasila, terangya merupakan lima prinsip pandangan hidup bangsa Indonesia, yang benyak diilhami dari ajaran Islam. Bahkan, tokoh Masyumi terkemuka, Muhammad Natsir pada tanggal 2 April 1952 pernah berpidato di Pakistan. Menurut Natsir, meskipun bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, namun tidak serta merta Islam diformalisasikan dalam bentuk aturan tetap. Bangsa Indonesia menempatkan kepercayaan terhadap Tuham YME sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai pandangan rohani, moral dan etika. Penerapan ajaran Islam dalam Pancasila, lanjut Komar adalah prestasi yang luar biasa. Hal tersebut menurutnya merupakan bentuk pengakuan aparatur negara atas sumbangsih Islam yang demikian besar bagi Negara. Umat beragam diberikan jaminan rasa aman untuk memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. “Ini adalah esensi dari ajaran Islam, saling menghormati dan menghargai,” ujarnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.kompasiana_bahaudin.com/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik_552aac786ea8343714552d2c
👳
The question of how Muslims fit into Western societies has been an uncomfortable one for many, especially in the years after 9/11. Considering the centuries-long well-documented history of Western suspicion towards Islam, constant chaos in the present-day Middle East does nothing to encourage level-headed discourse on how Muslim citizens are a part of increasingly diverse Western societies.
Yet, in light of research that suggests that many of the young Western Muslims being lured into the arms of groups like ISIS are often drawn to such groups due to a lack of a sense of belonging in society, understanding how to promote a real sense of belonging is of considerable importance.
Furthermore, as Olivier Roy has noted in his research into radicalization, though few radicals are religious Muslims, a misguided focus on Islam through the exclusive lens of counter-terrorism ironically serves only to “validate the narrative of persecution and revenge that feeds the process of radicalisation.”
Most Muslims in Britain do seem to feel at home here — after all they’ve been here for several generations in many cases, often building vibrant British-Muslim communities, and have nowhere else to call home. There are, however, significant factors that could make them feel disenfranchised from wider society.
It does not help, for example, that the news media provides an unending narrative of war between Western nations and groups that claim to be Islamic. Given the stakes involved today, we must ask: why is it that some young Muslims feel so alienated from mainstream society, and indeed, their own well-integrated communities? Put another way, how can a greater sense of belonging for Muslims in the West be engendered?
One compelling answer I have come across for this latter question is to be found in the admittedly theoretical writings of Tariq Modood, founding Director of the University of Bristol’s Research Centre for the Study of Ethnicity and Citizenship. His 2013 work, Multiculturalism: A Civic Idea, is perhaps the most concise yet comprehensive articulation of the doctrine of multiculturalism by one of its leading proponents. Much of the work is a corrective to the narratives in recent years of the so-called ‘failure’ or ‘death’ of multiculturalism as an idea.
Modood covers a raft of issues, all connected to the place of Muslims in Western societies. Among other topics, he considers various forms of racisms, which he divides into “color” as well as “cultural” racisms (p. 41).
On reflecting on the concept of equality, he notes that people who identify with a certain group, be it on the basis of race or religion, may find that others conceive of and treat such people “as inferior, less rational and culturally backward” (p. 47). This is frequently the case for many Muslims in Western countries today, at least in the way they feel they are often represented in much of the media and political discourse.
Modood’s work is, however, much more nuanced and wide-ranging than this brief remark suggests: he by no means wishes to reduce the identity of Muslims to its religious component. His policy suggestions are noteworthy because they point up the importance of religious identity to many Muslims which a secular society is generally inclined to ignore. Ignoring this component can contribute to the alienation of many Muslims, the majority of whom simply want to be accepted into society, rather than viewed as not belonging to diverse Western societies as full citizens. In making this argument, Modood advocates a “moderate” as opposed to “radical” or “ideological” secularism in Western societies, that does not simply reject religion out of hand (Chapter 4).
Modood notes the argument, “commonly found in the op-ed pages of the broadsheets,” that the demands to recognize Muslims’ religious identity is different from other historically marginalized groups, in that being Muslim is a matter of choice (p. 65). Whereas a black person can never change his or her skin color, a Muslim chooses his or her religion, and hence, doesn’t need special protections from the law.
According to this view, secular laws must remain neutral between different religions. Modood calls this view “naive (and a political con).” He cogently points out that people do not choose to be born into Muslim families, or into a society in which “looking like a Muslim or to be a Muslim creates suspicion, hostility, or a failure to get the job you applied for.” Once again, this is merely a snippet of a very thoughtful treatment of a challenging but important subject.
Multiculturalism has been (mis-)characterized by some as even contributing to terrorism in the West (p. 10). However, as Modood argues, this is only a caricature of the ideas that he and other leading theorists promote. Multiculturalism is rather more about the inclusion of diverse views in the public conversation so that the various viewpoints found in our diverse societies can enrich each other.
I would argue that this is crucial to achieving a stronger sense of British identity for young Muslims; and as a consequence, it would lessen the appeal of such groups as ISIS, that prey on the alienated and disenfranchised.
Ultimately, the antidote to bad ideas and unsound thinking, whether of the ISIS variety, or of Fox News, is to critique them in reasoned public discourse. Modood provides us and our governments with clear proposals as to the direction we ought to be going; and although he wrote his work before the rise of ISIS, in many ways it is more relevant today, than when it was first published.
Follow Usaama al-Azami on Twitter: www.twitter.com/Usaama01
Usaama al-Azami
PhD Candidate in Near Eastern Studies, Princeton University
👄
Liputan6.com, Jakarta - Nama Afi Nihaya (18) belakangan jadi perbincangan netizen setelah akunnya ditangguhkan Facebook. Siswa SMA Negeri 1 Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur, ini kerap membuat tulisan di Facebook yang akhirnya viral.
Terakhir, ia membuat sebuah tulisan mengenai keresahannya pada perselisihan antaragama di Indonesia yang berjudul "Warisan".
Afi banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak, salah satunya dari organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama (NU) Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Dalam sebuah kesempatan, GP Ansor mendatangi kediaman Afi di Banyuwagi untuk menyampaikan dukungan kepadanya.
"Bapak-bapak dari Ansor kemarin, Jumat 26 Mei datang ke rumah saya untuk memberi dukungan," ucap Afi saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (27/5/2017).
Kepada para pemimpin Ansor dan Banser yang menemuinya, Afi bercerita kerap mendapat teror, baik melalui media sosial maupun melalui sambungan telepon dari pihak-pihak yang tidak suka dengan tulisannya di Facebook.
Mendengar curhatan Afi, rombongan GP Ansor yang dipimpin Ketua GP Ansor Kabupaten Banyuwangi, M Syukron mengaku siap membela Afi bila ada pihak yang mengancam atau menyudutkan dirinya.
GP Ansor juga memberi semangat kepada Afi untuk tetap berkarya dan tidak berhenti menulis.
"Pesan dari Ansor pokoknya jangan takut bila ada pihak yang suka mengancam. Mereka bilang diabaikan saja, jangan ditanggapi. Mereka intinya mendukung apa saya suarakan saat ini," kata dia.
Afi mengaku selama ini cukup senang karena apa yang dituliskannya di Facebook banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
"Pesan dari Ansor pokoknya jangan takut bila ada pihak yang suka mengancam. Mereka bilang diabaikan saja, jangan ditanggapi. Mereka intinya mendukung apa saya suarakan saat ini," kata dia.
Afi mengaku selama ini cukup senang karena apa yang dituliskannya di Facebook banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
BACA JUGA
"Saya merasa senang mendapat banyak apresiasi. Semoga ini bisa menginspirasi banyak orang," Afi menandaskan.
👪
Bisnis.com, DEPOK - Komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan ideologi Pancasila sudah final sehingga tidak perlu lagi mengubahnya dengan ideologi lain.Hal tersebut terangkum dalam Diskusi Buku yang berjudul "Ilusi Negara Islam" yang digelar oleh Paguyuban Bhineka Nusantara dan Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Budaya (Iluni FIB) Universitas Indonesia di Depok, Kamis (17/5/2017).
Hadir dalam pembicara adalah Anis Hamim (Wahid Foundation), Nurruzaman (GP Ansor), Erwien Kusuma Sejarahwan UI sekaligus Pemerhati Sejarah lslam Indonesia, dan Achmad Imam Mujahid Rais (Ma'arif Institute).
"Lupakan negara Islam dan masukan pemikiran-pemikiran yang Islami," kata Anis Hamim ketika menyampaikan paparannya di Auditorium FIB UI Depok.
Anis menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus bangga menjadi bangsa beragama yang disatukan bukan karena agama tetapi sebagai warga negara yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
"Islam itu kompatibel dengan perdamaian dunia dan keadilan dunia," katanya.
Sementara itu Nurruzaman mengatakan bangsa Indonesia perlu membangun peradaban dunia yang bisa menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk itu perlu menjaga NKRI agar tetap terjaga.
Ansor, lanjut dia, terus menjaga NKRI dengan melakukan kaderisasi anggotanya untuk menangkal paham radikalisme yang berkembang. "Mencintai negara itu bagian dari iman. Untuk itu perlu menjaga NKRI sampai akhir hayat," katanya.
Sedangkan Erwien Kusuma menyatakan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamaddiyah dalam menerima Pancasila tentunya juga melalui proses sehingga kini bisa hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam mengambil kebijakan, kata Erwien, NU dan Muhammadiyah selalu melihat untuk kepentingan kemaslahatan umat tentunya mempunyai cara yang berbeda-beda. Sehingga sebagai warga negara saat ini bisa mengekpresikan agama masing-masing.
Erwien khawatir dengan keadaan yang berkembang akhir-akhir ini dengan munculnya kelompok intoleran. "Berpikir boleh saja tetapi ketika ada tindakan baru bisa diambil tindakan hukum yang berlaku," katanya.
Achmad Imam Mujahid Rais dari Ma'arif Institute mengatakan Pancasila juga cerminan dari Islam, walaupun ada kekurangan tetapi tugas kita sebagai anak bangsa untuk memperbaikinya.
Ia menilai aspek keadilan dari NKRI masih ada yang belum diterima oleh seluruh warga. Untuk itu perlu terus dilakukan musyawarah.
Muhammadiyah, katanya, dalam meredam aksi radikalisme terus melakukan dakwah ke berbagai komunitas yang ada di masyarakat.
Untuk itu, ia berharap agar pemerintah bisa bertindak tegas kepada kelompok-kelompok intoleran. "Kalau aspek hukum salah ya harus dihukum. Jangan kalau masuk ranah politik pemerintah jadi gamang," katanya.
Sumber : ANTARA
💂
Wiranto menuturkan, keberadaan HTI dirasa semakin meresahkan. "Ada laporan dari Markas Besar Kepolisian bahwa banyak penolakan di berbagai daerah bahkan ada yang sampai memicu konflik horizontal. Kalau ini dibiarkan, bisa meluas," ujarnya.
Baca: HTI Dibubarkan, Komnas HAM Sebut Pemerintah Berpotensi Otoriter
Wiranto tidak menyangkal bahwa kegiatan HTI yang didirikan pada 1982 itu selama ini adalah berdakwah. Namun, kenyataannya apa yang dilakukan di lapangan, gerakan dan dakwah yang disampaikan tujuannya masuk wilayah politik. "Ini mengancam kedaulatan politik negara," kata Wiranto.
Wiranto juga menjelaskan alasan dasar pemerintah membubarkan HTI. Ideologi khilafah yang diusung HTI bersifat transnasional dan meniadakan konsep nation state (negara kebangsaan). Menurut Wiranto, HTI ingin mendirikan negara Islam dalam konteks luas sehingga negara dan bangsa menjadi absurd. Termasuk di Indonesia yang berbasis Pancasila dan UUD 1945.
Baca: HTI: NKRI Bukan Negara Islam, Tugas HTI Sebarkan Gagasan Khilafah
Menurut Wiranto, khilafah yang diusung HTI juga telah dilarang di 20 negara, termasuk yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania, Malaysia, dan Turki. "Sebab, mereka sadar, jika pemahaman khilafah diizinkan, keberadaannya akan mengancam nation state."
TIM TEMPO
💥
RMOL. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila seharusnya kembali dimasukan ke dalam kurikulum sekolah. Hal itu dirasa perlu untuk mengajarkan ideologi Pancasila sejak dini.
"Tapi sifatnya tidak indoktrinasi, karena pikiran orang itu tidak boleh diambil. Kebebasan berpikir merupakan bentuk demokrasi di Indonesia," ucap pengamat politik, Fadjroel Rachman usai diskusi Peringatan Tragedi 98 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Minggu (14/5).
Pendekatan ideologi Pancasila sejak masa sekolah juga dinilai dapat menjadi solusi untuk meminimalisir dampak dari pengaruh nilai-nilai atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Menurut mantan aktivis tahun 90'an itu, pemerintah Joko Widodo memang sudah terlambat menyadari adanya ancaman ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Termasuk ideologi transnasional yang beberapa waktu lalu sempat ramai dibicarakan.
"Proses internalisasi ideologi Pancasila tidak terlaksana. Akibatnya ruang tersebut diambil alih oleh ideologi transnasional itu," papar Fadjroel
Walaupun terlambat, Komisaris Utama Adhi Karya ini menilai pemerintahan Joko Widodo telah mampu bersikap tegas dalam menangani ancaman ideologi anti Pancasila tersebut. Salah satunya dalam pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Kesadarannya memang telat, tapi (pemerintah) sekarang tegas. Dan pemerintah Jokowi yang menyadari adanya ancaman ideologis itu. Menurut saya internalisasi ideologi (Pancasila) menjadi sangat penting," ungkap Fadjroel.
Fadjroel menuturkan, ketika masih menjadi aktivis, ia tidak pernah memperkirakan akan ada ancaman ideologi di luar Pancasila. Setelah pencabutan asas tunggal dan pasca reformasi, ia mengira Pancasila akan diterima oleh kalangan mana pun sebagai ideologi Indonesia.
"Tapi ternyata tidak. Kami baru menyadari saat ini, ternyata ada kekuatan yang ingin menghabisi Pancasila. Tetapi sekarang kami bisa bertindak lewat jalur hukum dengan UU 17/2013 tentang ormas," demikian Fadjroel.[san]
MI: BEBERAPA waktu lalu, para duta besar negara-negara Eropa menggelar pertemuan dengan Anies Baswedan-Sadiaga Uno sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih. Ikut hadir dalam pertemuan itu ialah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Berikut petikan wawancara wartawan Media Indonesia Thomas Harming Suwarta dengan Duta Besar Uni Eropa Vincent Guerend, di Jakarta, pada Jumat (12/5).
Siapa yang menginisiasi pertemuan dengan Anies-Sandi tersebut?
Uni Eropa dan negara-negara anggotanya berinteraksi dengan para pemuka masyarakat dan perwakilan lembaga-lembaga demokratis penting, termasuk partai-partai politik secara regular di Indonesia dan di belahan dunia lainnya. Khusus mengenai pertemuan pada tanggal 10 Mei, ini merupakan inisiatif Partai Gerindra dan ketuanya, Bapak Prabowo Subianto dan telah dipersiapkan beberapa minggu sebelumnya.
Uni Eropa dan negara-negara anggotanya berinteraksi dengan para pemuka masyarakat dan perwakilan lembaga-lembaga demokratis penting, termasuk partai-partai politik secara regular di Indonesia dan di belahan dunia lainnya. Khusus mengenai pertemuan pada tanggal 10 Mei, ini merupakan inisiatif Partai Gerindra dan ketuanya, Bapak Prabowo Subianto dan telah dipersiapkan beberapa minggu sebelumnya.
Apakah akan ada agenda pertemuan lanjutan?
Para duta besar dari Uni Eropa akan terus melanjutkan pertemuan-pertemuan dengan para pimpinan politik lainnya.
Para duta besar dari Uni Eropa akan terus melanjutkan pertemuan-pertemuan dengan para pimpinan politik lainnya.
Mengapa merasa perlu bertemu Prabowo?
Uni Eropa secara terus-menerus berupaya untuk lebih memperdalam kemitraan dengan Indonesia. Hal ini menuntut adanya interaksi secara regular dengan pemerintah, masyarakat madani dan lembaga-lembaga demokratis. Oleh karena itu, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya berinteraksi dengan pimpinan dan para anggota dari semua partai politik yang terwakili di DPR.
Uni Eropa secara terus-menerus berupaya untuk lebih memperdalam kemitraan dengan Indonesia. Hal ini menuntut adanya interaksi secara regular dengan pemerintah, masyarakat madani dan lembaga-lembaga demokratis. Oleh karena itu, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya berinteraksi dengan pimpinan dan para anggota dari semua partai politik yang terwakili di DPR.
Apa saja yang dibicarakan?
Diskusi mencakup berbagai topik, termasuk tentang kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Uni Eropa seperti perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) yang tengah berlangsung, tentang perkembangan politik seperti pilkada Jakarta, serta tentang pentingnya mempertahankan toleransi dan pluralisme.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/104729/wawancara-vincent-guerend-indonesia-harus-pertahankan-pluralisme/2017-05-15#sthash.ep2URqUo.dpufDiskusi mencakup berbagai topik, termasuk tentang kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Uni Eropa seperti perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) yang tengah berlangsung, tentang perkembangan politik seperti pilkada Jakarta, serta tentang pentingnya mempertahankan toleransi dan pluralisme.
Benarkah dalam pertemuan itu Uni Eropa meminta komitmen Prabowo, Anies, dan Sandi untuk menjaga pluralisme?
Sebagaimana disebutkan dalam pernyataan Delegasi Uni Eropa tentang kebebasan beragama dan kepercayaan dan kebebasan berekspresi yang diterbitkan pada tanggal 9 Mei, kami mengimbau agar pemerintah Indonesia, lembaga-lembaga dan warga Indonesia untuk senantiasa mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme.
Sebagaimana disebutkan dalam pernyataan Delegasi Uni Eropa tentang kebebasan beragama dan kepercayaan dan kebebasan berekspresi yang diterbitkan pada tanggal 9 Mei, kami mengimbau agar pemerintah Indonesia, lembaga-lembaga dan warga Indonesia untuk senantiasa mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme.
Hanya kepada mereka?
Menurut kami, ini termasuk juga partai-partai politik serta pemerintah daerah. Substansi dari pernyataan itu kami sampaikan dan diskusikan dengan yang menjadi tuan rumah acara pertemuan.
Menurut kami, ini termasuk juga partai-partai politik serta pemerintah daerah. Substansi dari pernyataan itu kami sampaikan dan diskusikan dengan yang menjadi tuan rumah acara pertemuan.
Bagaimana respons Anies-Sandi soal imbauan menjaga komitmen terhadap tradisi toleransi dan pluralisme?
Kalau soal itu lebih baik ditanya kan langsung saja kepada mereka.(P-1)
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/104729/wawancara-vincent-guerend-indonesia-harus-pertahankan-pluralisme/2017-05-15#sthash.ep2URqUo.dpuf
Kalau soal itu lebih baik ditanya kan langsung saja kepada mereka.(P-1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar