💞
Jakarta - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menyayangkan sikap calon wakil gubernur (cawagub) nomor urut tiga Sandiaga Uno yang tidak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya pada Senin (20/3) lalu. Apalagi Sandiga meminta agar pemeriksaan terhadap dirinya dilakukan setelah perhelatan Pilkada DKI.
“Ahok memenuhi panggilan polisi tanpa perlawanan. Bahkan sudah menjadi terdakwa. Mengapa Sandiaga melawan? Ada apa?” kata Ray di Jakarta, Rabu (22/3).
Sebagaimana diketahui, Polda Metro Jaya memanggil Sandiaga terkait laporan dugaan tindak pidana penggelapan penjualan lahan di Jalan Curung Raya, Tangerang, Banten, pada 2012. Sandiaga dilaporkan mantan isteri Edward Soeryadjaya, yaitu Fransisca Susilo. Edward adalah mantan bos Sandi hingga Sandiaga menjadi pengusaha.
Ray menjelaskan permintaan Sandiaga menunda pemanggilannya setelah Pilkada telah batal. Pasalnya, Kapolri Tito Karnavian telah membatalkan Surat Keputusan (SK) Kapolri yang menunda penyelidikan dan penyidikan kasus dari para calon yang maju di Pilkada. Hal itu sebagaimana terjadi pada calon gubernur nomor urut dua Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang telah memeriksa Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Ahok bahkan ditetapkan sebagai tersangka saat tahapan pilkada tengah dilaksanakan. Setiap hari Selasa, Ahok duduk di pengadilan dengan meninggalkan seluruh aktivitas kampanyenya.
“Sejak saat itu, Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri terdahulu yakni STR Nomor 498 Oktober 2015 sudah tidak berlaku. Siapapun calon kepala daerah dapat diperiksa saat tengah terlibat dalam pelaksanaan pilkada,” jelas Ray.
Menurutnya, menunda pemeriksaan setelah pilkada juga memberi sikap yang tidak elok kepada warga. Sebagaimana Ahok yang dengan tegar menghadapi proses hukumnya, Sandiaga juga layak mencontohi Ahok. Bahkan jika perlu, Sandiaga berinisiatif untuk mendatangi Polda Metro agar sesegera mungkin diperiksa, sebagaimana pernah dilakukan oleh Ahok. Dengan begitu ada kejelasan status hukumnya.
Dia menegaskan warga DKI berkepentingan untuk mendapat kepastian apakah calon yang hendak mereka pilih merupakan orang yang tidak terkait dengan kasus atau sebaliknya. Dalam hal ini, pemeriksaan justru dapat membantu kepastian bagi para pemilih.
Berkaca dari kasus Ahok, penetapannya sebagai tersangka, lalu diadili di pengadilan justru membantunya untuk mendapatkan kembali suara pemilih yang sebelumnya beralih setelah adanya dugaan penistaan agama.
Berkaca dari kasus Ahok, penetapannya sebagai tersangka, lalu diadili di pengadilan justru membantunya untuk mendapatkan kembali suara pemilih yang sebelumnya beralih setelah adanya dugaan penistaan agama.
Artinya, tak selalu penetapan hukum berdampak pada menurunnya elektabilitas. Bahkan sebaliknya bisa jadi momentum pemilih menjatuhkan pilihannya makin tinggi.
“Jika Sandiaga Uno merasa bahwa hal ini adalah lebih dekat ke politik dari pada murni penegakan hukum, maka jalan yang kuat membuktikan itu adalah dengan menghadiri undangan Polda Metro Jaya. Di dalam pemeriksaan, Sandiaga dapat menjelaskan sejelas-jelasnya persoalan yang ada menurut versinya. Sehingga kasus ini tidak perlu berlama-lama,” tutup Ray.
Robertus Wardi/YUD
Suara Pembaruan
Jakarta - Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan, kasus dugaan penggelapan tanah yang menyeret nama Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, tak ada kaitannya dengan Pilkada.
"Tidak ada. Kalau ada laporan, ya kita tindaklanjuti. Itu kan penyelidikannya dua minggu lebih," ujar Argo, di Mapolda Metro Jaya, Rabu (22/3).
Dikatakannya, penyidik kemarin sudah mengundang Sandiaga untuk klarifikasi, namun yang bersangkutan tidak datang.
"Nanti kita akan klarifikasi (saksi) yang lain, baru lakukan gelar perkara apakah bisa naik sidik apa tidak. Kalau bisa naik sidik, baru kami panggil (Sandiaga) kembali," ungkapnya.
Ia menyampaikan, penyidik tidak perlu lagi memanggil pelapor karena keterangannya dinilai sudah cukup.
"Nanti kita masih ada beberapa (saksi) yang kita mintai keterangan, baru gelar perkara. Kalau ada pidana kita naikkan penyidikan," katanya.
Menurutnya, penyidik sudah memiliki alat bukti terkait kasus tersebut. "Sudah ada (alat bukti). Itu kepentingan penyidik ya," jelasnya.
Ihwal terlapor Andreas Tjahjadi melaporkan balik pelapor Fransiska Kumalawati Susilo dan Djoni Hidayat, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik, Argo menuturkan tidak ada masalah.
"Ya nggak masalah. Namanya ada laporan, kita tindaklanjuti. Kita cek dulu, selidiki apakah laporan ini bisa naik ke penyidikan atau tidak," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, pengusaha Djoni Hidayat melalui kuasa hukumnya Fransiska Kumalawati Susilo, melaporkan Sandiaga Uno dan Andreas Tjahjadi, terkait kasus dugaan penggelapan, ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, dengan nomor laporan: TBL/1151/III/2017/PMJ/Dit. Reskrimum, pada tanggal 8 Maret 2017.
Andreas dan Sandiaga diduga telah melakukan penggelapan saat melakukan penjualan sebidang tanah di Jalan Raya Curug, Tangerang Selatan, Banten, tahun 2012 silam.
Belakangan, Andreas melaporkan balik Edward Soeryadjaja, Djoni Hidayat dan Fransiska Kumalawati, ke Polda Metro Jaya dengan nomor LP/1388/III/2017/PMJ/Dit. Reskrimum, terkait dugaan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Senin (20/3) kemarin.
Bayu Marhaenjati/YUD
BeritaSatu.com
👮
Merdeka.com - Penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama menghadirkan C Djisman Samosir sebagai saksi ahli hukum pidana. Pada saat di persidangan, Djisman sempat menceritakan sejarah pasal yang menjerat mantan Bupati Belitung Timur itu.Basuki atau akrab disapa Ahok itu dijerat dengan Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya karena mantan politisi Gerindra itu telah menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 kala menyampaikan pidato di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 lalu.
Djisman menjelaskan, KUHP merupakan aturan hukum dari masa kolonial Belanda di mana awalnya hanya mencantumkan Pasal 156. Baru kemudian pemerintah melalui Penetapan Presiden (PNPS) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 memasukkan pasal 156 a.
"Ada kondisi-kondisi di negara ini, yang menurut penglihatan pemimpin negara, ada persoalan-persoalan keagamaan. Sehingga disisipkan lah 'a'-nya untuk membedakan antara Pasal 156 dengan 156 a," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Dia menambahkan, pemerintah mengeluarkan PNPS karena KUHP tidak secara tegas mengatur hukum untuk tindakan penodaan agama. Walaupun sebenarnya sudah ada pasal-pasal yang membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap suatu golongan.
"Ada sebenarnya pasal yang mengatur (hukuman untuk tindakan) penodaan agama, tetapi saya berpendapat, tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara hukum pidana itu harus gramatikal, mengatur secara tegas," tutup Djisman.
Untuk diketahui, pasal 156 mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sementara, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Selain itu, Djisman juga terang-terangan mengkritik Majelis Hakim lantaran saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Djisman mengatakan, saksi yang dihadirkan ke persidangan seharusnya sesuai dengan hukum yang ada. Karena berdasarkan Pasal 184 KUHP, saksi haruslah yang benar-benar melihat, mendengar dan merasakan langsung.
"Saya tidak bermaksud mengajarkan yang mulia. Tetapi saksi yang sesuai dengan KUHP adalah saksi yang benar-benar orang langsung," katanya.
Dia mengungkapkan, setidaknya ada sekitar 15 orang saksi pelapor dalam kasus dugaan penodaan agama ini yang hadir ke persidangan. Namun sayangnya, dalam keterangan yang disampaikan di depan Majelis Hakim, tak ada satupun yang melihat pidato Basuki atau akrab disapa Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 lalu.
Djisman mengungkapkan, saksi pelapor yang hadir kebanyakan hanya menyaksikan pidato tersebut melalui situs Youtube ataupun video kiriman. Seharusnya hal tersebut tidak bisa membuat mereka lantas menyandang saksi pelapor.
"Itu tidak boleh. Itu namanya penilaian ahli," tegasnya.
Dia mengaku, alasannya menyampaikan kritikan tersebut hanya agar jalannya sidang kasus dugaan penodaan agama berlaku adil. Karena Djisman khawatir jika prosedur keliru dijalankan maka jalannya persidangan akan ke arah sesat.
"Tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Jika tidak, muncullah peradilan yang sesat," tutupnya. [eko]
👪
Merdeka.com - Penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama menghadirkan saksi ahli agama yang merupakan Rais Syuriah PBNU Jakarta KH Ahmad Ishomuddin. Dalam keterangannya, dia memberikan penjelasan mengenai konteks surat Al Maidah ayat 51.
Ahmad mengatakan, surat Al Maidah ayat 51 menjelaskan hubungan antara orang islam dengan pemeluk agama lain saat perang fisik terjadi. Ayat tersebut dapat diterapkan jika ada konteks yang sama terjadi saat ini.
"Kalau diterapkan dalam konteks kekinian, puncak permusuhan bisa terjadi jika konteksnya sama yaitu terjadi peperangan secara fisik antara orang islam dengan agama lain. Konteks surat Al Maidah ayat 51 adalah peperangan," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (23/3).
Dosen IAIN Raden Intan Lampung ini mengungkapkan, tidak setuju dengan tafsiran surat Al Maidah ayat 51 yang menyatakan umat muslim tak boleh berteman setia, apalagi memilih pemimpin dari keyakinan lain. Sebab tafsir yang mengatakan hal demikian tidak melalui proses yang benar.
Dia menerangkan, ada empat metode tafsir yang kerap digunakan untuk mengartikan ayat suci Alquran. Keempat cara itu adalah metode penafsiran global, analisis, perbandingan antar ayat dengan hadis nabi atau ayat lain dan kajian tematik.
"Saya meneliti beberapa kitab tafsir. Salah satu kitab tafsir berkata bahwa ayat tersebut ditujukan untuk orang beriman. Pendapat lain mengatakan bahwa sasaran larangan ini adalah orang-orang munafik agar mereka kembali pada keimanan dan tidak berkhianat kepada umat islam," jelasnya.
Ahmad menjelaskan, larangan dalam surat Al Maidah ayat 51 adalah menjadi teman atau menolong penganut agama lain saat perang terjadi, dengan tujuan mengkhianati agama islam. Dan ini hukumnya wajib untuk dijalankan bagi seluruh umat muslim.
"Berdasarkan fikih, hukumnya haram karena menolong orang Yahudi atau Nasrani untuk memusuhi atau berkhianat pada Islam," tutupnya. [rhm]
👮
Liputan6.com, Jakarta - Ahli linguistik Rahayu Surtiati bersaksi dalam sidang dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa siang tadi. Menurut Rahayu, Ahok tidak bermaksud memusuhi dan menjelekkan apapun saat berpidato di Kepulauan Seribu.
Selain itu, seperti ditayangkan Liputan 6 Malam SCTV, Selasa (21/3/2017), Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia ini juga menilai pidato Ahok berisi program perikanan. Ia pun menjelaskan analisa tata bahasa yang dinilai menodai agama.
BACA JUGA
"Jadi dia menggunakan kata 'pakai'. Kalau kita liat artinya, itu sama dengan, kalau dalam bahasa Indonesia baku, menggunakan atau memakai," kata Rahayu.
Keterangan Rahayu ini berbeda dengan pendapat saksi ahli Mahyuni yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Februari 2017 lalu. Saat itu, Mahyuni dihadirkan untuk menanggapi pidato Ahok di Kepulauan Seribu terkait surat Al Maidah.
Menurut Guru Besar Universitas Mataram ini, tidak ada perbedaan makna terkait digunakan atau tidaknya kata 'pakai' dalam pidato Ahok tersebut. Polemik tersebut kemudian membuat gubernur nonaktif DKI Jakarta ini menjadi terdakwa.
Sementara itu, sidang ke-15 Ahok berlangsung hingga malam juga menghadirkan saksi ahli agama KH Ahmad Ishomuddin.
TEMPO.CO, Jakarta - Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali digelar hari ini, Selasa, 21 Maret 2017. Saksi ahli yang dihadirkan kuasa hukum Ahok kali ini adalah guru besar linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rahayu Surtiati Hidayat.
Dalam keterangannya di depan hakim, Rahayu mengatakan kata "pakai", yang diucapkan Ahok dalam pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, memiliki arti yang sama dengan "menggunakan".
"Kalau dijadikan bahasa Indonesia baku, 'Dibohongi menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 macam-macam'. Ini kan (yang diucapkan Ahok) bahasa Indonesia dialek Betawi. Arti 'pakai' sama dengan 'menggunakan'," kata Rahayu saat menjadi saksi ahli linguistik di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa, 21 Maret 2017.
Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto meminta penegasan dari pernyataan Rahayu itu. "Arti kalimat ini, ada manusia yang membohongi memakai Al-Maidah?" ucapnya. Rahayu membenarkannya.
Rahayu mengatakan, kata “pakai” memiliki arti keterangan alat. Surat Al-Maidah, ujar dia, tidak berbohong karena merupakan ayat dalam kitab suci Al-Quran. Tapi, dalam pidato Ahok, Al-Maidah hanya dijadikan alat untuk membohongi. Lain halnya jika Ahok menggunakan kata “merujuk”. "Berarti Al-Maidah menjadi sumber, bisa diartikan Al-Maidah berbohong. Tapi pembicara kan tidak menggunakan kata itu, tapi kata 'pakai'," tuturnya.
Menurut Rahayu, penggalan kalimat pidato Ahok yang dipermasalahkan memiliki enam klausa. Klausa pertama, "Jadi jangan percaya sama orang." Klausa kedua, "Kan, bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya." Klausa ketiga, "Karena dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51 atau macam-macam gitu lho." Klausa keempat, "Itu hak Bapak-Ibu, ya." Klausa kelima, "Bapak-Ibu perasaan enggak bisa pilih nih." Dan klausa keenam, "Takut masuk neraka dibodohin gitu, ya."
Menurut Rahayu, enam klausa tersebut saling berhubungan dengan klausa pertama sebagai induk kalimat. "Induk kalimatnya, ‘Jangan percaya sama orang’," katanya.
Rahayu meyakini klausa pertama adalah induk kalimat lantaran klausa-klausa berikutnya menjelaskan klausa pertama, misalnya dalam klausa kedua yang berbunyi, “Kan, bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya.” "Itu menjelaskan mengapa mereka sebenarnya jangan percaya omongan orang, apalagi dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51. Jadi ini satu kesatuan," ujarnya.
FRISKI RIANA
Liputan6.com, Jakarta - Sidang ke-15 kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diawali dengan mendengarkan keterangan saksi ahli bahasa, Prof Dr Rahayu Surtiati. Rahayu dihadirkan sebagai ahli oleh tim penasihat hukum Ahok.
Di hadapan majelis hakim, Rahayu mengatakan bahwa Surat Al Maidah ayat 51 bukanlah sebuah kebohongan. Namun dia menilai bahwa siapa saja bisa menggunakan apa pun untuk membohongi orang lain.
BACA JUGA
"Saya bukan ahli agama Islam, tapi menurut saya, Surat Al-Maidah 51, sebuah surat dalam Alquran, bukan merupakan kebohongan. Tetapi, orang bisa pakai apa saja untuk membohongi," ujar Rahayu dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017).
Pandangan Rahayu itu diungkapkan usai menjelaskan penggalan ucapan Ahok saat berkunjung di Kepulauan Seribu, berbunyi, "Jangan mau dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu."
Rahayu sebagai saksi ahli yang di-BAP oleh penyidik Bareskrim Polri mengaku telah meneliti ucapan Ahok melalui video kunjungan kerja mantan Bupati Belitung Timur itu ke Pulau Pramuka yang berdurasi satu jam 40 menit lebih.
Menurut Rahayu, ucapan Ahok dalam video kunjungan kerja tersebut menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Oleh karena itu, ada subjek atau objek yang tidak disebutkan ketika ucapan disampaikan secara lisan.
Rahayu juga mengungkapkan ucapan Ahok soal "jangan mau dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51" berangkat dari pengalaman pribadi suami Veronica Tan itu. Hal itu dilihat dari permulaan kalimat Ahok yang diucapkan, "Saya mau cerita".
✌
Jakarta - Penyidik Polda Metro Jaya mengatakan telah menerima laporan dan akan menyelidiki kasus dugaan penggelapan yang diduga dilakukan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno dan rekan bisnisnya, Andreas Tjahjadi.
"Laporan sudah diterima, kami akan lakukan penyelidikan dari penyidik," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono, Selasa (14/3).
Menyoal kasus penggelapannya berkaitan dengan apa, Argo menyampaikan terkait penjualan tanah.
"Intinya adalah pelapor ini meminta bantuan untuk menjual ada sebidang tanah. Setelah terjual uang yang diberikan hanya Rp 1 miliar, harganya Rp 8 miliar, sisanya diduga belum dikembalikan," ungkapnya.
Ihwal apakah akan memeriksa Sandiaga terkait kasus ini, Argo menyampaikan, semua yang berkaitan dengan kasus ini akan diperiksa.
"Nanti. Yang terpenting polisi profesional untuk menyikapi kasus itu. Ada laporan, kita tindaklanjuti. Semua ada laporan kita periksa. Pasti semua yang berkaitan dengan laporan ini akan dimintai keterangan. Tapi (jadwal) pemanggilan belum ada. Kami tunggu dari penyidik," katanya.
Sebelumnya diberitakan, pengusaha Djoni Hidayat melalui kuasa hukumnya Fransiska Kumalawati Susilo, melaporkan Sandiaga dan Andreas, terkait kasus dugaan penggelapan, ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, dengan nomor laporan: TBL/1151/III/2017/PMJ/Dit. Reskrimum, pada tanggal 8 Maret 2017.
Andreas dan Sandiaga diduga telah melakukan penggelapan saat melakukan penjualan sebidang tanah di Jalan Raya Curug, Tangerang Selatan, Banten, tahun 2012 silam.
Bayu Marhaenjati/HA
BeritaSatu.com
👂
Graduate fellowship recipient at the Asia Research Institute, National University of Singapore
jakarta post
Over the last few months, two cases involving three accusations have implicated Islam Defenders Front (FPI) leader Rizieq Shihab. One relates to a statement he made about Pancasila, which led to Sukarno’s daughter Sukmawati accusing him of insulting the state symbol.
Another pertains to his denigrating remark about the Christian doctrine of the Holy Trinity, for which he is accused by the Indonesian Catholic Students Association (PMKRI) of insulting christianity and by the Students Peace Institute of hate speech.
The number of cases can be counted as three, actually, by adding his comment of more than a year ago when he criticized a Sundanese greeting. Knowing about the prosecution regarding these cases, I believe there are many who share my mixed, ambivalent feelings. On the one hand is a realization that the law on blasphemy is problematic, so that it should not be used and it should be repealed.
On the other hand is the desire to see Rizieq get the feeling of being in the shoes of his and his followers’ victims, when the weapon he and his followers often use is now used against him.
In fact, Rizieq has reacted in a defensive way similar to that displayed by Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama on trial. Rizieq said that his short remarks were only a few minutes in duration and they had been taken out of context, ignoring the whole one-hour-long speech. He claimed he only criticized founding president Sukarno and did not denigrate Pancasila.
There is a sense of revenge around Rizieq’s prosecution. It has the potential of creating a cycle of retaliation, furthering sectarian polarization and enforcing legal approaches instead of peaceful reconciliation through dialogue when adjudicating disputes. Free speech advocates must avoid using the law and many of them in fact have suggested that even in the case of Rizieq.
To be more realistic, however, what are the alternatives? Consider this: Given the increased awareness among Muslim groups of the law and how they use it even for a trivial thing like a slip of the tongue, avoiding the law while Muslim groups continuously use it is self-defeating. Moreover, the intention of vilification in the case of Rizieq is noticeable.
With these considerations in mind, I — and I believe also many others — find it unjust for Rizieq to be free while Ahok stands trial. Rizieq has been named a suspect for allegedly insulting Pancasila.
Suggesting that the Blasphemy Law must be annulled at the moment is not realistic; it takes, if it is likely to happen, a long time, accompanied by a bold, creative, yet very risky political move.
Given the fact that the Constitutional Court has upheld the law and found it constitutional in a 2010 judicial review, we are now almost at the point of no return.
The main argument of the Constitutional Court to uphold the law in 2010 was that it was still needed to maintain religious harmony or social order. Yet, what has happened on the ground is that it is usually people of the mainstream groups who use it to begin attacking the non-mainstream and the attacks themselves are seen as evidence of social disorder that must be tackled by restricting, expelling, or jailing the “deviant” — that is, those being attacked.
That is the pattern and Ahok’s case is no exception: Their feeling of being insulted is used as evidence of the defamation the Jakarta governor allegedly committed. The law, which purports to preserve order, has ironically become the pretext for disorder.
These objections against the law have been raised by many, but, still, annulling it will meet with big political resistance from the Muslim groups, even if after learning that after reformasi the law has been used five times more compared to during the New Order.
Another option is, thus, not to use it. It has happened in the West actually. Nineteen European states still have blasphemy or defamation of religion laws. The difference is that these laws are rarely used.
Nevertheless, in Indonesia, given the recent political situation, avoiding using the law, as said earlier, will only empower the impunity of the Muslim groups.
The last option is to revise the law. This is precisely what was suggested by nine out of 17 experts who testified during the Constitutional Court’s judicial review, although there has been no clear and firm follow-up. The revision must be made in way that can balance religious harmony and human rights norms and adopt a more objectively measurable, rigorous standard of determining what constitutes a crime.
The director of the Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Zainal Abidin Bagir, proposed in 2013 to follow the Organization of Islamic Cooperation’s (OIC) proposal that has been adopted by the United Nations: that is, to change the frame from prosecuting defamation of religion to combating intolerance and incitement to violence. The revision, of course, necessitates an immediate strong political will from all stakeholders in the country.
Meanwhile, Rizieq’s prosecution, in my opinion, must continue. This will give a lesson to the Muslim groups who insist on upholding the law that the law can be used against them. This move is particularly significant given that rational arguments cannot convince them. As an old Arabic proverb goes: “He who lives in a house made of glass must not throw stones on others’.”
👌
Jakarta- Saksi Eko Cahyono mengatakan, terdakwa Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pernah menjadi bupati Belitung Timur yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi, bagaimana mungkin Ahok berniat menodakan agama Islam. Hal itu disampaikan Eko dalam kesaksiannya pada sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jalan RM Harsono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, hari ini.
"Saya menyampaikan fakta-fakta di lapangan sewaktu saya dan Pak Basuki dulu mencalonkan di Pilbup (Pemilihan Bupati) Bangka Belitung. Pertama yang saya tekankan, Pak Basuki itu tidak mungkin menistakan agama karena dia juga lahir di lingkungan di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, dan 93 persen penduduk Belitung Timur itu Islam," ujar Eko, di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (7/3).
Menurut dia, bagaimana mungkin Basuki membenci umat Islam, karena dia pernah memimpin daerah yang mayoritas warganya beragama Islam. "Basuki nggak suka atau bermaksud menistakan agama Islam. Itu hal yang tidak mungkin, di luar logika. Jadi tuduhan Basuki menistakan Islam itu di luar logika saya, nggak mungkin itu," ungkap Eko.
Terkait Surat Al Maidah ayat 51 itu, ia menyampaikan, sudah pernah ditanyakan kepada tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. "Ulama besar kita, Gus Dur menjelaskan kita memilih pemimpin negara, pemimpin untuk melayani masyarakat, pemimpin yang cakap melayani masyarakat, dan Gus Dur yakin itu ada di Basuki. Jadi kita bukan memilih pemimpin agama, tapi memilih pemimpin pemerintahan," katanya.
Menurutnya, dalam berpolitik banyak pihak yang menggunakan agama. Padahal suku agama ras dan antargolongan (SARA) dalam undang-undang tidak diperbolehkan. "Kalau kita selalu mengedepankan SARA, saya nggak yakin NKRI akan maju," tandasnya.
Bayu Marhaenjati/WBP
BeritaSatu.com
👄
Jakarta - Saksi yang dihadirkan penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku sempat bertanya kepada mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait dengan arti kata 'pemimpin' di Surat Al-Maidah ayat 51. Disebutkan bahwa 'pemimpin' dalam konteks tersebut adalah pemimpin agama. "Saya pernah membaca terjemahannya. Saya membaca dan bertanya ke teman-teman yang mengerti agama, itu memang dilarang memilih pemimpin kafir itu dalam konteks memilih pemimpin agama," kata saksi Eko Cahyono dalam lanjutan sidang di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jl RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2017).
"Termasuk (bertanya) kepada Gus Dur. Bukan memilih pemimpin negara," lanjutnya.
"Kalau pemimpin agama memang harus yang seagama," tanggap majelis hakim.
Ahok dianggap melakukan penodaan agama saat menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Eko, yang merupakan mantan pasangan Ahok di Pilgub Bangka Belitung 2007, lantas ditanya apakah Ahok sebelumnya juga pernah membahas Al-Maidah ayat 51.
"Selain kata-kata itu diucapkan di Kepulauan Seribu tadi, apakah Saudara juga melihat entah dari video atau dari mana, atau mendengarkan bahwa terdakwa juga mengucapkan kata-kata serupa di kesempatan yang lain?" tanya majelis hakim.
"Tidak tahu, Yang Mulia," jawabnya
Eko juga menyatakan tak pernah menanyakan secara langsung kepada Ahok soal dugaan penodaan agama ini. "Tidak pernah menanyakan. Karena saya yakin Pak Basuki nggak menista agama," ujar Eko.
"Bukan soal yakin tidak yakin, namanya teman itu kan menanyakan. Kebetulan apalagi teman mendapat masalah. Kebetulan Saudara tidak menanyakan ya," tutur majelis hakim menanggapi.
(rna/dhn)
✌
Jakarta detik - Saksi berikutnya yang dihadirkan penasihat hukum di sidang ke-13 adalah Bambang Waluyo Djojohadikusumo. Bambang merupakan wiraswasta rekan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang turut hadir dalam pidato di Kepulauan Seribu.
Hakim awalnya bertanya kenapa Bambang selaku wiraswasta dan konsultan aplikasi bisa hadir di Kepulauan Seribu untuk sosialisasi budidaya ikan. Bambang menjawab ia punya pengalaman budidaya ikan kerapu pada tahun 2001.
"Saya waktu itu diajak untuk menyaksikan sosialisasi program budidaya ikan. Saya diajak karena memang saya pernah melakukan budidaya ikan kerapu tahun 2001," kata Bambang dalam lanjutan sidang di Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jl RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2017).
Bambang menyebut diajak langsung oleh Ahok. Ia berangkat bersama rombongan Pemprov DKI yang lainnya dari Jakarta menuju Kepulauan Seribu.
"Waktu itu dengan lisan (diajaknya), lalu saya tertarik kemudian diajak untuk ikut serta dalam rombongan," ujarnya.
Menurut Bambang, Ahok berpidato sekitar 30 menit di depan warga. Ahok menyinggung Al-Maidah ayat 51 di bagian akhir-akhir pidatonya.
"Pak Gubernur waktu itu menyarankan tidak usah khawatir kalau Anda-Anda tidak mau memilih saya. Konteksnya adalah program ini masih bisa berjalan dan kita masih bisa panen raya bersama-sama, konteksnya itu," tutur Bambang.
"Pak Gubernur mengkhawatirkan adanya upaya-upaya yang menakut-nakuti mereka untuk tidak memilih Pak Gubernur lagi. Itu beliau sampaikan bahwa tanpa memilih beliau pun program ini (budidaya ikan) tetap berjalan," imbuh Bambang.
(rna/dhn)
✌
TEMPO.CO, Jakarta – Ahli kajian linguistik bahasa Indonesia dari Universitas Mataram, Mahyuni, menilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sedang menyampaikan pesan agar masyarakat tak perlu menghiraukan jika dibohongi seseorang menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51.
“Dalam konteks itu, Al-Maidah jadi alat kebohongan yang dipakai subyek ke obyek,” kata Mahyuni sebagai saksi dalam persidangan kasus penistaan agama di Aula Gedung Kementerian Pertanian pada Senin, 13 Februari 2017.
Mahyuni mengatakan, pidato Ahok di Kepulauan Seribu adalah satu kontekstual. Kata “dibohongi” yang diucapkan Ahok, jika ditinjau secara parsial berdiri sendiri, bermakna negatif. Dalam hal ini, Mahyuni menegaskan kata "dibohongi" pasti memiliki subyek siapa pembohongnya dan audiens yang dibohongi.
Baca: Sidang Ahok, PN Jakut: Baru Dua Saksi yang Dipastikan Hadir
Namun, dalam konteks keseluruhan pidato Ahok, ayat Al-Maidah digunakan sebagai alat membohongi. Mahyuni juga melihat Ahok berbicara seperti itu saat menjabat gubernur.
”Ketika pilihan kata digunakan, yang bersangkutan sudah meyakini Al-Maidah sebagai alat kebohongan,” tutur Mahyuni.
Menurut Mahyuni, Ahok sengaja membahas Al-Maidah. Setiap orang punya konsep tentang apa yang ingin disampaikan. Namun, menurut dia, seharusnya Ahok tak membicarakan tentang Al-Maidah karena kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sedang berkunjung ke Kepulauan Seribu terkait budi daya ikan. Pernyataan Ahok dianggap keluar dari topik pidato.
Meski demikian, Mahyuni masih melihat ucapan Ahok masih menjadi satu rangkaian utuh. Menurut dia, Ahok sedang bicara dengan audiens bahwa selama ini Al-Maidah digunakan sebagai alat kebohongan.
AVIT HIDAYAT
”Ketika pilihan kata digunakan, yang bersangkutan sudah meyakini Al-Maidah sebagai alat kebohongan,” tutur Mahyuni.
Menurut Mahyuni, Ahok sengaja membahas Al-Maidah. Setiap orang punya konsep tentang apa yang ingin disampaikan. Namun, menurut dia, seharusnya Ahok tak membicarakan tentang Al-Maidah karena kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sedang berkunjung ke Kepulauan Seribu terkait budi daya ikan. Pernyataan Ahok dianggap keluar dari topik pidato.
Meski demikian, Mahyuni masih melihat ucapan Ahok masih menjadi satu rangkaian utuh. Menurut dia, Ahok sedang bicara dengan audiens bahwa selama ini Al-Maidah digunakan sebagai alat kebohongan.
AVIT HIDAYAT
👀
JAKARTA. Dua orang saksi fakta yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama, Jaenudin (39) dan Sahbudin (46), mengaku tidak terlalu memahami Surat Al-Maidah ayat 51.
Hal itu diketahui ketika terjadi tanya jawab antara majelis hakim dengan kedua saksi saat sidang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (7/2).
BACA JUGA :
"Enggak tahu (Surat Al-Maidah). Ngaji saya belum khatam," kata Jaenudin dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim.
Sedangkan Sahbudin mengungkapkan, dia hanya sebatas tahu tentang Surat Al-Maidah ayat 51. Tetapi, dia baru mau cari ayat yang dimaksud ketika kasus dugaan penodaan agama oleh Basuki mengemuka di media massa.
"Saya belum pernah baca, baru mau cari tahu tadinya," tutur Sahbudin.
Jaenudin dan Sahbudin merupakan nelayan Pulau Panggang yang sempat hadir saat Basuki berkunjung ke Kepulauan Seribu, beberapa bulan lalu. Menurut mereka, Basuki hadir di sana dalam rangka acara budidaya ikan kerapu dan hasil laut lainnya.
Keduanya juga menyatakan tidak memerhatikan ucapan Basuki mengenai Surat Al-Maidah ayat 51. Mereka hanya memerhatikan pernyataan Basuki yang mengajak warga di sana untuk tidak memilih dia lagi jika ada calon yang lebih baik darinya. (Andri Donnal Putera)
👅
Jakarta - Anggota Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Edi Danggur mengatakan tidak benar pernyataan juru bicara FPI Slamet Ma’arif bahwa Rizieq Syihab dipanggil sebagai saksi ahli pada sidang Ahok, di Gedung Kementan, Ragunan, Jakarta Selatan, Besok, Selasa (7/2). Pasalnya, Rizieq belum dapat diperiksa sebagai saksi ahli agama Islam sebab saksi-saksi (fakta) belum selesai diperiksa.
"Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP bahwa yang didengar keterangannya terlebih dulu adalah saksi (fakta). Setelah semua saksi selesai diperiksa, barulah diperiksa (saksi) ahli-ahli," ujar Edi di Jakarta, Senin (6/2).
Penuntut Umum, kata Edi, sudah memberi konfirmasi bahwa yang akan diperiksa besok hanya saksi-saksi (fakta) yaitu dua orang nelayan dari Kepulauan Seribu yaitu Jaenudin alias Panel dan Sahbudin alias Deni. Jadi, kata dia, saksi ahli belum dipanggil untuk datang ke pengadilan guna memberikan keterangan.
"Seorang saksi (fakta) atau saksi ahli tidak bisa sesukanya datang ke pengadilan. Saksi (fakta) atau saksi ahli datang ke pengadilan berdasarkan surat panggilan dari penuntut umum. Itu pun saksi-saksi dan ahli-ahli itu tidak boleh datang secara beramai-ramai atau sekaligus ke pengadilan. Sebab, sesuai KUHAP, saksi dan ahli akan dipanggil satu per satu ke persidangan," jelas dia.
Lebih lanjut, Edi menuturkan, dalam rangka saling koordinasi sebagaimana disyaratkan dalam KUHAP, penuntut umum telah menyampaikan kepada penasihat hukum terdakwa bahwa nama Rizieq Syihab belum tercantum dalam daftar saksi ahli yang akan diambil keterangannya dalam sidang Selasa (7/2).
"Karena itu, kita anjurkan agar saling menghormati semua ketentuan hukum acara pidana demi kelancaran jalannya persidangan persidangan dugaan penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara," pungkas dia.
Sebagaimana diberitakan, Rizieq Syihab disebut tak akan memenuhi panggilan Polda Jabar untuk diperiksa sebagai tersangka. Pasalnya, Rizieq akan menghadiri sidang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menjadi saksi ahli.
Yustinus Paat/JAS
BeritaSatu.com
✋
[JAKARTA] SP Komisi Yudisial (KY) menegaskan pihaknya terus melakukan pemantauan secara tertutup maupun terbuka persidangan Gubernur DKI nonaktif Basuki T Purnama alias Ahok. Namun KY juga mengajak publik untuk ikut memantau dan menjaga kemandirian hakim berkaitan dengan pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta KY mengintensifkan pemantauan.
"Kami juga meminta kepada publik untuk berkontribusi dalam memonitor perkembangannya serta benar-benar menjaga kemandirian prosesnya," kata Jubir KY Farid Wajdi, di Jakarta, Kamis (2/2).
Farid menyebut, pihaknya tidak bisa mengomentari substansi perkara Ahok serta menyinggung independesi hakim yang masih memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Namun dirinya memastikan KY fokus pada etika majelis hakim baik di dalam sidang maupun di luar persidangan.
"Kami membatasi diri untuk tidak berkomentar mengenai substansi perkara, sebab selain Independensi hakim yang wajib dijaga juga proses hukumnya masih berlangsung," jelasnya.
Dia menegaskan, KY memantau persidangan Ahok sesuai dengan iktikad baik yang diamanatkan undang undang. Namun dirinya tidak mau membeberkan temuan-temuan KY selama persidangan.
"Penggunaan metodenya sangat bergantung pada penilaian internal tentang urgensi kasus yang dihadapi. Soal kontinuitasnya, tidak bisa kami jelaskan satu persatu, namun secara umum untuk kasus yang menarik perhatian publik selalu kontinu (baik terbuka atau tertutup). Kami memastikan tugas KY mengawal proses sidang ini dilakukan dengan iktikad yang baik sesuai dengan peran yang diberikan oleh negara," katanya. [E-11]👮Jakarta - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai tidak ada contempt of court dalam persidangan ke delepan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki T. Purnama alias Ahok. Sidang ke-8 ini menghadirkan ahli Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin.
"Semua pihak yang terlibat di dalam proses persidangan kasus Ahok baik majelis hakim, jaksa penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum, saksi-saksi maupun Pengunjung Sidang masih berada dalam posisi on the track atau taat asas dan taat prosedur secara proporsional," ujar Petrus di Jakarta, Minggu (5/2).
Publik kata Petrus patut mengapresiasi sikap semua pihak dimaksud dan yang lebih penting adalah semua pihak harus menjunjung tinggi sikap netral, independen dan profesional Majelis Hakim. Menurutnya, sampai saat ini, tidak terjadi perilaku yang merendahkan martabat, merongrong kewibawaan dan kehormatan badan peradilan atau pihak lain atau yang disebut contempt of court.
"Itulah yang patut kita apresiasi, tidak ada upaya contempt of court atau merendahkan kewibawaan badan peradilan atau pihak lain dalam sidang kasus Ahok," tanda dia.
Petrus justru menilai perkara penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok sarat dengan interest politik tingkat tinggi. Pasalnya, kasus ini terkait kepentingan pilgub DKI 2017 yang melibatkan dukungan massa besar, baik yang pro terdakwa Ahok maupun yang kontra.
"Dalam situasi demikian, maka dinamika politik yang berkembang di luar sidang termasuk perilaku kelompok massa yang pro maupun kontra di luar sidang akan ikut memberi warna dan berpengaruh kepada situasi persidangan. Begitu pun sebaliknya. Situasi di ruang persidangan menimbulkan dinamika politik di luar ruang persidangan," jelas dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan apa yang terjadi dengan kesaksian KH Ma'ruf Amin dengan Terdakwa Ahok dan Tim Penasihat Hukumnya telah menimbulkan dampak pasca sidang. Ada reaksi protes seakan-akan telah terjadi perilaku tidak sopan atau tidak selayaknya yang dilakukan oleh Ahok dan timnya terhadap KH Ma'ruf Amin selaku saksi.
"Penilaian yang berlebihan ini, merupakan indikator kuat adanya korelasi antara perkara Ahok dengan kepentingan politik pihak ketiga yang hendak menunggangi kasus Ahok terutama ketika Tim Hukum Ahok mengungkap adanya hubungan telepon antara Ma'ruf Amin dengan SBY terkait permintaan dukungan dari SBY kepada saksi dan MUI untuk pasangan calon Gubernur DKI Jakarta Agus-Sylvi," pungkas dia.
Sebagaimana diketahui dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 menyebutkan “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan definisinya.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan, sikap-sikap tersebut dapat dikategorikan dan dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court.
Perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain: berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court); tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders); menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court); menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice); dan perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (Sub-Judice Rule).
Yustinus Paat/YUD
BeritaSatu.com
💘
Merdeka.com - Calon gubernur DKI Jakarta nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama melakukan kampanye ke Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Senin (30/1). Saat tengah blusukan menyapa warga, seorang pria paruh baya langsung datang dan tiba-tiba langsung memeluk mantan Bupati Belitung Timur itu.
Pria tersebut ternyata seorang penjaga masjid (Marbot) Syahide. Dia datang untuk mengucapkan terima kasih lantaran Pemprov DKI Jakarta telah memberangkatkannya umroh sehingga dia bisa melihat Kabah secara langsung.
"Pak, saya marbot yang kemarin ikut umroh. Saya menyapu, membersihkan lingkungan masjid," katanya sambil menangis, Senin (30/1).
Walaupun telah melaksanakan umroh, ternyata dia masih memiliki mimpi untuk dapat melakukan haji. Tentunya mimpinya ini untuk menggenapi Rukun Islam ke lima, naik haji jika mampu.
"Tinggal naik haji, belum tahu kapan," tuturnya.
Basuki atau akrab disapa Ahok ini mengatakan, tujuan adanya program pemberangkatan marbot umroh itu agar mereka dapat melihat Kabah. Ahok berharap Syahide dapat membimbing anak-anak dalam pendidikan agama.
"Kita pengen yang rawat masjid liat Ka'bah. Biar bapak bisa ngajarin banyak orang di sini," tutupnya.
[noe]
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Warga Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta diminta calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk berfoto bersama dengan latar belakang spanduk Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Senin (30/1/2017).
Dengan sabar, Ahok melayani permintaan warga tersebut.
Spanduk kampanye resmi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017, yang dipasang yang dipasang Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI, hanya menyisakan spanduk vertikal pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur DKI bernomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni.
Sementara pasangan nomor urut dua dan tiga, sudah tidak terpasang dengan benar. Akibat tali yang diikatkan di bagian bawahnya longgar, dua spanduk itu tertiup angin hingga badannya menyangkut di pepohonan sehingga tidak bisa dilihat mukanya.
"Foto di sini dong. Jadi ini namanya 'numpang spanduk'," kata Ahok di lokasi, Senin (30/1/2017).
Dengan sabar Ahok meladeni permintaan foto warga, sambil berpose dengan mengacungkan dua jari.
Diketahui, kampanye perdana Ahok di Kepulauan Seribu disambut antusias warga.
Tak cuma ingin menyampaikan permasalahan, warga juga ramai berfoto dengan calon gubernur nomor urut dua tersebut.
Liputan6.com, Jakarta - Calon Gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok blusukan ke Kepulauan Seribu. Pulau pertama yang dia singgahi adalah Pulau Kelapa.
Mengenakan baju andalannya yakni baju kotak-kotak, Ahok langsung disambut hangat warga setempat yang telah menunggu di dermaga.
BACA JUGA
"Pak Ahok, Pak Ahok, semangat Pak," teriak salah satu warga, Senin (30/1/2017) pagi.
Ahok langsung berbaur dan menyalami warga. Seperti blusukan lainnya, dia juga diserbu warga untuk berfoto.
Rencananya, mantan Bupati Belitung Timur ini akan blusukan ke Pulau Pramuka, pulau tempat dirinya sempat menyinggung Surat Al-Maidah Ayat 51 saat berpidato pada 27 September 2016 lalu.
Sebagian warga juga bernyanyi untuk Ahok. "Pak Ahok siapa yang punya, Pak Djarot siapa yang punya, yang punya kita semua," nyanyi mereka dengan semangat.
Pada kampanye kali ini, Ahok didampingi sejumlah tim pemenangannya, seperti Ruhut Sitompul, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Nasdem Bestari Barus, anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Golkar Ashraf Ali, dan anggota DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan Yuke Yurike.
✌
Pagenews.co - Di sidang ke-7 Ahok kemarin, saya banyak menemukan keajaiban-keajaiban di dalamnya. Saya tidak tahu apakah karena ini angka 7, yang merupakan angka spesial dalam agama saya. Atau, angka 7 ini memiliki kaitan dengan 7 cuitan Anas Urbaningrum yang menghantam dengan keras Sang Mantan. Atau, keajaiban-keajaiban ini merupakan cara Tuhan mengungkap kebenaran melalui ke-khas-an bilangan 7.
Saya akan jelaskan satu persatu keajaiban-keajaiban yang terjadi pada sidang ke-7 Ahok. Keajaiban-keajaiban tersebut berjumlah 7 buah. Bisa jadi lebih. Tapi, sebagai pakar ra(i)sa, saya mempunyai feeling yang kuat bahwa jumlah keajaiban tersebut 7 buah.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menulis lagi nama-nama saksi yang hadir, pekerjaannya, kedudukannya sebagai saksi apa, juga berasal dari mana saksi-saksi tersebut:
Yuli Hardi, Lurah Pulau Panggang, Saksi Fakta, asal dari Kepulauan Seribu
Nurkholis Majid, Pegawai Pemprov DKI, Saksi Fakta, asal dari Jakarta
Muhammad Asroi Saputra, Pengurus FPI, Saksi Pelapor, asal Padang Sidempuan (Sumatera Utara)
Iman Sudirman, Ketua HMI, Saksi Pelapor, asal Palu (Sulawesi Tengah)
Ibnu Baskoro tidak hadir dalam sidang ke-7 ini
Pertama. Keajaiban pertama dalam sidang Ahok ke-7 ini ada pada sepatu dua orang saksi pelapor, yakni Muhammad Asroi dan Iman Sudirman. Mereka memakai sepatu dengan merk yang sama, Kickers. Padahal, antara Palu dan Padang Sidempuan terpaut jarak yang amat jauh, terpisah oleh berapa pulau dan laut. Tapi, merupakan sebuah keajaiban yang sulit untuk dijelaskan akal sehat, mereka bisa memakai sepatu dengan merk yang sama.
Kedua. Mari kita lihat saksi pelapor atas nama Iman Sudirman. Kita tahu bersama bahwa waktu kejadian perkara (tempus delicti) dugaan penistaan agama ini terjadi pada 27 September 2016. Tapi dalam Berita Acara Pemeriksaannya (BAP), Iman Sudirman menyebutkan bahwa kejadian tersebut terjadi pada tanggal 8 Oktober 2016. Tidak hanya itu, dalam Laporan Polisinya (LP), Iman malah menulis kejadiannya terjadi pada tanggal 6 Oktober 2016.
Sebuah keajaiban yang luar biasa. Mungkin, hanya Iman dan Tuhan yang tahu mengapa bisa terjadi perbedaan tempus delicti ini. Melaporkan seseorang sebagai seorang kriminal, sepertinya dianggapnya sebuah permainan tebak-tebakan. Membela agama harus serius. Agama tidak boleh dipermainkan seperti ini.
Ketiga. Masih berkaitan dengan BAPnya Iman Sudirman. Ia membuat BAPnya di Palu, tepatnya di Polda Sulawesi tengah. Anehnya, ia menandatangani BAPnya ini di Jakarta. Dan ajaibnya lagi adalah BAP Iman menggunakan Kop Surat Bareskrim. Pada tanggal yang sama, jam yang sama, Iman mampu membuat BAPnya di Palu, lalu seketika itu juga ia menghilang sampai di Jakarta. Karomah macam apa ini?
Keempat. Kita ketahui bersama bahwa Iman Sudirman dan Muhammad Asroi tidak saling kenal-mengenal. Mereka punya aktivitas yang berbeda di tempat yang berbeda juga. Tentunya, semua perbedaan itu akan membuat BAP mereka berbeda juga. Seharusnya begitu kan?
Tapi. Setelah diperiksa. Tim kuasa hukum Ahok menemukan sebuah fakta ajaib yang entah karomah siapa lagi ini, bahwa BAP antara Muhammad Asroi dan Iman Sudirman sama persis. Bahkan, ajaibnya lagi, titik salahnya pun sama di titik itu. Mereka berdua sama-sama salah dalam menyebutkan tempus delicti. Kok bisa janjian yah salahnya? Asroi menulis tempus delictinya tanggal 28 Oktober 2016 sedang Iman tanggal 8 Oktober 2016.
Kelima. Ada sebuah keajaiban luar biasa. Ini tentang beberapa orang saksi pelapor. Ini tentang Novel Bamukmin, Gus Joy, Muhammad Burhanuddin dan Habib Muchsin. Telah ditemukan fakta ajaib bahwa LP mereka semua memiliki kata-kata yang sama persis. Saya curiga, ini karomah Rizieq Shihab yang mampu menyamakan otak dan pikiran para saksi pelapor ini.
Dan ajaibnya lagi. Tidak hanya kata-katanya yang persis sama tapi letak kesalahannya pun berada di titik yang sama. Gus Joy, Muhammad Burhanuddin dan Habib Muchsin sama-sama salah untuk menuliskan kata “mengandung” menjadi “mendandung”.
Di sidang Ahok kali ini, seperti ada suatu “tangan ajaib” yang mengatur semuanya. Sulit kita mengukur seberapa organik kesaksian para saksi ini, terutama para saksi pelapor. Ini memunculkan dugaan kuat bahwa semua sudah disetting. Sebelum bersaksi, para saksi ini telah mendapat briefing terlebih dahulu. Bahkan, semua ini terjadi sebelum Ahok dilaporkan. Ajaib sekali.
Keenam. Kita menuju seorang saksi yang tidak hadir, Ibnu Baskoro. Sudah tiga kali saksi pelapor ini mangkir dari sidang. Padahal, saksi ini berdomisili di Jakarta. Tidak ada keterangan resmi mengapa saksi ini tidak hadir. Tentu, ini akan memunculkan tanda tanya yang besar, apakah yang bersangkutan tidak punya ongkos untuk datang ke pengadilan? Atau yang bersangkutan takut bersaksi, setelah melihat kawan-kawannya babak belur diserang hujan pertanyaan? Atau, dengan sebuah keajaiban, yang bersangkutan telah menghilang ke suatu dunia yang entah berantah. Muncul kembali saat Ahok sudah menjadi Gubernur.
Menurut KUHP, saksi tersebut dapat dikenakan pidana. Sebab, dia seenaknya melaporkan orang. Yang membuat pihak yang dilaporkannya terkuras waktu dan tenagannya. Apalagi, Ahok kan lagi sibuk-sibuknya kampanye. Laporan yang bersangkutan sungguh sangat merugikan pihak terlapor jika ia tidak mau menjadi saksi dalam sidang.
Akhirnya. Tibalah kita pada keajaiban terakhir. Ini adalah titik kulminasi yang setidaknya telah membuat terang duduk perkara kasus Ahok ini. keajaiban ini telah membuka tabir kasus Ahok ini seperti apa. Apa keajaiban tersebut?
Ketujuh. Mari kita mengalihkan pandangan kita kepada salah seorang saksi fakta, Lurah Pulau Panggang, Yuli Hardi. Setelah berlalu saksi-saksi pelapor yang tidak jelas kesaksiannya, tibalah kesaksian orang yang terlibat langsung dalam perkara Ahok ini.
Tentu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), berdasarkan saksi-saksi sebelumnya, akan menghadirkan saksi yang akan memberatkan terdakwa. Setelah gagal memberatkan terdakwa dari saksi-saksi pelapor sebelumnya, pada saksi fakta kali ini pun, upaya JPU gagal total untuk memberatkan Ahok. Justru, fakta persidangannya malah menguntungkan terdakwa.
Lurah Pulau Panggang menyampaikan bahwa mereka menerima Ahok dengan baik disana. Sampai-sampai Ahok diberikan sukun goreng, yang merupakan simbol sebuah penerimaan akan kehadiran seseorang. Itu artinya, tidak ada keributan pasca pidato Ahok di Pulau Pramuka. Tidak ada juga yang melapor setelahnya.
Malah. Baru terjadi pro kontra setelah ramainya pemberitaan di media. Ada yang mempermasalahkan pidato Ahok karena terprovokasi oleh pemberitaan, ada yang cuek saja, karena memang tidak terjadi apa-apa, dan ada juga yang tidak sama sekali mempermasalahkan pidato Ahok.
Kesaksian Lurah Panggang ini semakin membuka tabir kasus Ahok yang sebenarnya. Kebenaran bahwa kasus Ahok ini dipaksakan akibat desakan banyak orang semakin terbukti. Kesaksian para pelapor yang kelihatan tidak organik, semakin membuktikan bahwa memang ada semacam makar untuk menjegal langkah Ahok menuju DKI 1.
Ringkasnya. Jika fakta-fakta baru kedepannya stabil seperti ini. Kemungkinan Ahok bebas dari tuduhan menista agama Islam sudah bisa dipastikan.
Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah.
Oleh : Muhammad Nurdin (Seword)
👮
JAKARTA, KOMPAS.com
- Tim kuasa hukum terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menganggap Willyuddin Dhani sebagai saksi palsu. Hal ini karena Willyuddin dinilai menyampaikan kesaksian tidak sesuai dengan fakta.
Willyuddin merupakan salah satu saksi yang dihadirkan dalam lanjutan persidangan kasus penodaan agama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2017).
"Melihat keterangannya, saksi sudah memberi keterangan palsu. Padahal ia bersaksi di bawah sumpah," ucap anggota tim kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat usai persidangan.
Selain Willyuddin, ada dua saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan hari ini. Keduanya adalah anggota Polres Kota Bogor, yakni Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad Hamdani. Keduanya diketahui merupakan polisi yang menerima laporan Willyuddin.
Willyuddin merupakan Sekretaris Forum Umat Islam (FUI) Kota Bogor. Menurut Humphrey, baik Agung dan Ahmad menyatakan Willy datang ditemani tiga orang.
Satu orang disebut mendampingi sambil membuat dokumentasi, satu orang memegang map, dan satunya lagi hanya duduk-duduk. Sehingga jumlah pelapor yang datang, termasuk Willuyddin, adalah empat orang. (Baca: Saksi Pelapor Kasus Ahok Sebut Keterangan Polisi Direkayasa)
Namun, kata Humphrey, dalam kesaksiannya Willyuddin menyebut ia hanya didampingi satu orang rekannya. Karena itu, Humphrey menyatakan pihaknya meminta majelis hakim menyatakan Willy sebagai saksi yang memberi keterangan palsu.
"Apa yang dipermohonkan akan dipertimbangkan (majelis hakim)," ujar Humphrey.