TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan saran kepada Presiden Joko Widodo lewat tulisan panjanganya di media massa. Tujuan dari saran itu, menurut SBY, adalah agar Presiden Joko Widodo bisa mendinginkan suasana politik yang tengah memanas di Indonesia.
sekutu yang urusannya agama
Salah satu saran yang diberikan oleh SBY adalah Presiden Joko Widodo harus menemui tokoh-tokoh atau organisasi politik yang berseberangan dengan pemerintahannya. Menurut SBY, para tokoh atau organisasi yang berseberangan jangan ditakuti-takuti, tetapi dirangkul agar tidak bertindak berlebihan.
Baca:
Situasi Memanas, Jokowi Kerap Ditanya Pengusaha Soal Politik
Ahok Akan Disidang, Ini 3 Alasan Dia Akan Lolos
Saran yang lain, mencegah para pembantu Presiden untuk membuat panggung politiknya sendiri. SBY berkata, jangan sampai para pembantu Presiden Joko Widodo mengambil keuntungan dari situasi politik yang memanas demi kepentingan pribadi atau partai. Sebaiknya, menurut SBY, semua pembantu satu sikap dengan Presiden Joko Widodo.
"Dan pemerintah harus mencegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan atau kekerasan yang lebih besar. Cegah, jangan sampai ada kekerasan yang meluas," ujar SBY dalam tulisan panjangnya itu.
Baca:
Diplomasi Meja Makan, Presiden Joko Widodo Jamu Muhaimin
Demokrasi Kerumunan ~ Poltak Partogi Nainggolan
Lantas, apakah Presiden Jokowi membaca tulisan panjang dari SBY itu? "Enggak," ujar Presiden Joko Widodo perlahan sambil menggelengkan kepala kepada wartawan di Istana Kepresidenan seusai menjamu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Selasa, 29 November 2016.
Presiden Joko Widodo pun enggan mengomentari lebih lanjut soal saran yang diberikan oleh SBY tersebut. Namun, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa semua masukan dari tokoh atau partai politik terkait pemerintahannya pasti akan ia catat. "Semua dicatata, dikomunikasikan," ujar Presiden Joko Widodo.
ISTMAN M.P.
Jakarta - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki catatan atas situasi dan dinamika politik, hukum dan keamanan Tanah Air belakangan ini. Berikut catatan SBY seperti yang diterima redaksi, Senin (28/11).
sekutu yang urusannya agama
Salah satu saran yang diberikan oleh SBY adalah Presiden Joko Widodo harus menemui tokoh-tokoh atau organisasi politik yang berseberangan dengan pemerintahannya. Menurut SBY, para tokoh atau organisasi yang berseberangan jangan ditakuti-takuti, tetapi dirangkul agar tidak bertindak berlebihan.
Baca:
Situasi Memanas, Jokowi Kerap Ditanya Pengusaha Soal Politik
Ahok Akan Disidang, Ini 3 Alasan Dia Akan Lolos
Saran yang lain, mencegah para pembantu Presiden untuk membuat panggung politiknya sendiri. SBY berkata, jangan sampai para pembantu Presiden Joko Widodo mengambil keuntungan dari situasi politik yang memanas demi kepentingan pribadi atau partai. Sebaiknya, menurut SBY, semua pembantu satu sikap dengan Presiden Joko Widodo.
"Dan pemerintah harus mencegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan atau kekerasan yang lebih besar. Cegah, jangan sampai ada kekerasan yang meluas," ujar SBY dalam tulisan panjangnya itu.
Baca:
Diplomasi Meja Makan, Presiden Joko Widodo Jamu Muhaimin
Demokrasi Kerumunan ~ Poltak Partogi Nainggolan
Lantas, apakah Presiden Jokowi membaca tulisan panjang dari SBY itu? "Enggak," ujar Presiden Joko Widodo perlahan sambil menggelengkan kepala kepada wartawan di Istana Kepresidenan seusai menjamu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Selasa, 29 November 2016.
Presiden Joko Widodo pun enggan mengomentari lebih lanjut soal saran yang diberikan oleh SBY tersebut. Namun, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa semua masukan dari tokoh atau partai politik terkait pemerintahannya pasti akan ia catat. "Semua dicatata, dikomunikasikan," ujar Presiden Joko Widodo.
ISTMAN M.P.
💥
Jakarta - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki catatan atas situasi dan dinamika politik, hukum dan keamanan Tanah Air belakangan ini. Berikut catatan SBY seperti yang diterima redaksi, Senin (28/11).
Ada dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya.
Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini. Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga terjadi di seluruh Tanah Air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit.
Gerakan massa yang mengusung tema mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru.
Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis? Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.
Dalam situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami semua kena fitnah.
Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena itu, melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan sederhana saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.
Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci.
Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit.
Karenanya, menurut pandangan saya saat ini prioritasnya adalah mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal.
Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan. Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan.
Dulu ketika saya mengemban tugas sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah isu pelanggaran HAM.
Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara ~ apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.
Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi.
Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka.
Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar. Demikian juga, jika ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Memang sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya. Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan? Semua harus waspada.
Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi uang (money power).
Saya amat sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.
Sementara itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal.
Berbicara tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik.
Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja. Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka. Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY" akhirnya cepat berlalu ....
Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege mongso.
Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power.
Persuasif harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
Dalam keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut".
Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan.
Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas.
Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....
Dalam situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kebersamaan kita.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.👀
Akhirnya, menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ....
Carlos KY Paath/AB
Suara Pembaruan
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden terpilih Joko Widodo menyaksikan gladi resik acara pelepasan di Istana Merdeka. Pelepasan dilakukan setelah SBY dan Jokowi mengadakan pertemuan internal seusai Upacara Militer Penyambutan. (Baca: Di Twitter, SBY Ucapkan Maaf dan Salam Perpisahan)
Acara pelepasan diperkirakan bakal mengharukan. Suasana haru dibangun kelompok paduan suara dan orkestra yang menyanyikan lagu "Gugur Bunga", tepat saat SBY dan Kristiani Herawati berpamitan dengan Jokowi dan Iriana di Halaman Istana Merdeka. (Baca: Di MPR, Jokowi Duduk di Kursi Warisan Soeharto)
Tak hanya itu, seorang anak akan membacakan puisi tentang pengabdian SBY selama menjadi presiden. "Satu dawarsa kamu memimpin," bunyi salah satu bait puisi tersebut. (Baca juga: Pelantikan Jokowi, Begini Rangkaian Jadwalnya)
Berdasarkan gladi resik, Jokowi dan Iriana akan mengantar SBY dan Ani hingga jalur kanan Istana Merdeka. Setelah itu, Jokowi hanya akan mengamati SBY dan Ani berjalan kaki menyusuri jalur gerbang kanan Istana Merdeka yang jarang terbuka tersebut.
SBY rencananya akan berhenti sejenak di depan podium paduan suara dan orkestra hingga lagu berakhir. SBY dan Ani akan bersalaman dengan perwakilan kelompok tersebut sebelum kembali berjalan kaki menuju pintu gerbang.
Sepanjang jalan, sisi kiri dan kanan, sekitar 120 personil TNI dan Kepolisian berdiri tegak. SBY rencananya akan melapor untuk terakhir kali pada Komandan Pasukan Pengaman Presiden pengirin upacara. Paspampres dan seluruh personil TNI-Polri akan memberikan hormat kepada SBY dan Ani.
SBY dan Ani melanjutkan jalan kaki hingga tepat di pintu gerbang sisi Kanan Istana Negara. Di bagian luar, sebuah rangkaian kendaraan pengamanan sudah siap menanti. Paspampres Grup D langsung menyambut dan mengantar SBY dan keluarga menuju Cikeas.
"Tak akan ada acara apa-apa di Cikeas. Seluruh staf khusus dan kepresidenan pergi bersamaan dengan kepulangan SBY," kata juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha.
FRANSISCO ROSARIANS
Merdeka.com - Disahkannya pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang telah diputuskan oleh DPRD dalam rapat Paripurna, kemarin, ternyata memicu berbagai polemik. Bukan saja di dalam negeri tetapi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri juga ikut melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan aksi demonstrasi.
Dalam orasinya, mereka menyampaikan beberapa bentuk kekecewaan atas disahkannya UU tersebut. Bahkan, mereka menuding bahwa sosok Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah sosok seorang yang demokratis.
Sebab, mereka menilai seharusnya SBY yang merupakan pimpinan partai Demokrat bisa mengintruksikan kader-kadernya untuk memilih Pilkada langsung saat voting Paripurna itu berlangsung bukan melakukan aksi walk out. Oleh karena itu, pihak demonstran yang berada diluar negeri mendesak SBY untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.
Pasalnya, atas disahkannya UU Pilkada demonstran menganggap hal itu merupakan suatu langkah mundur dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
Merdeka.com - Di Amerika Serikat, protes dilakukan warga negara Indonesia di depan Willard InterContinental Hotel, Washington D.C. Hotel itu adalah tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginap. Dalam foto demonstrasi yang diterima merdeka.com, Sabtu (27/9) lalu, massa yang terdiri dari pria dan wanita itu membawa sejumlah foto SBY dan poster yang mengecam SBY atas disahkannya RUU Pilkada.
Tak sampai disitu, mereka menilai demokrasi di Indonesia telah mati atas disahkannya pilkada melalui DPRD. Maka dari itu mereka menganggap sosok SBY bukanlah seorang yang berjiwa demokrasi.
Dini hari kemarin, DPR telah mengesahkan RUU Pilkada menjadi undang-undang. Salah satu pasal yang paling krusial adalah soal pelaksanaan pilkada.
Kubu Koalisi Merah Putih menginginkan agar pilkada dilaksanakan melalui DPRD. Sementara, partai pendukung Jokowi-JK menginginkan agar pilkada dilaksanakan secara langsung.
Yang mengagetkan adalah sikap Partai Demokrat. Jika sebelumnya Demokrat menegaskan mendukung pilkada secara langsung dengan 10 syarat, jelang voting kemarin partai besutan SBY itu justru memilih walk out.
Alasannya, 10 syarat yang diajukan tak diakomodir. Alhasil, kubu pendukung pilkada langsung kalah.
Merdeka.com - Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) di San Fransisco melakukan demonstrasi di depan kantor pusat Twitter dan di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di kota California utara, Amerika Serikat (AS), Kamis (9/10) lalu. Mereka menyampaikan kekecewaannya atas aksi walk out nya Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY yang berbuntut disahkannya Undang-Undang Pilkada oleh DPR.
Dalam pengumuman protes di beberapa media sosial, sejumlah warga Indonesia menilai bahwa disahkannya UU pemilihan secara tidak langsung pertanda matinya demokrasi di Indonesia. Sebab, DPR dinilai secara jahat dan keji sudah merampas hak-hak rakyat untuk secara langsung memilih pemimpinnya.
"Dalam pemahaman tentang partisipasi warga, demonstrasi adalah alat pertunjukan kekuatan masyarakat (sipil) untuk dua tujuan. Sebagai tekanan politik bagi orang-orang yang berkuasa di pemerintahan dan sebagai pendidikan politik bagi masyarakat biasa," kata Izak Y.M. Lattu, mahasiswa S3 UC Berkeley yang ikut dalam demonstrasi damai di depan kantor pusat Twitter, melalui rilis yang diterima merdeka.com, Sabtu (11/10).
Menurut Izak, dia bersama WNI lainnya memilih berdemo di depan kantor pusat Twitter, San Fransisco, lantaran dianggap tempat yang paling cocok. Apalagi isu #TolakUUPilkada kemarin sempat panas di medsos burung berwarna biru itu.
"Jakarta memang kota dengan pengguna Twitter terbanyak sedunia, dan Indonesia merupakan negeri dengan pengguna Twitter terbanyak ke-5 di dunia. #shameonyouSBY juga sempat menjadi trend topik dunia selama 48 jam 'menghilang' secara misterius, dan penjelasan resmi Twitter dianggap tidak memuaskan," paparnya.
Aksi puluhan warga Indonesia berjalan dengan damai. Dalam aksinya mereka memakai baju hitam dengan sebagai tanda berkabung dan menutup mulut dengan plester. Mereka juga membawa kertas besar yang bertuliskan #SaveIndonesianDemocracy #DPRessing #ShameonyouSBY #shamedbyYOU #shamedbyYOUagain.
Merdeka.com - Warga Negara Indonesia yang berada di Paris menggelar Happening Art dari depan Stasiun Metro La Muette di Arrondisement 16 Paris dan berjalan menuju KBRI di Rue Cortambert, Selasa (30/9) waktu setempat. Aksi itu merupakan bentuk protes mereka terkait pengesahan UU Pilkada dimasa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bukan saja mengkritiki SBY, dalam kesempatan itu, para WNI juga menuding skenario UU Pilkada merupakan upaya Koalisi Merah Putih untuk menjegal Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
"Batu sandungan pertama sudah disiapkan oleh Koalisi Merah Putih dengan mendesakkan ide penghapusan pemilihan langsung bagi pimpinan daerah," ujar Mulyandari dalam rilis yang diterima merdeka.com, Rabu (1/10)
Mulyandari menambahkan, strategi itu dimaksudkan agar kelak dalam 5 tahun mendatang Koalisi Merah Putih yang akan menguasai kursi pemerintahan daerah dan menjegal segala rencana pembangunan pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, Koalisi Merah Putih tanpa ragu mencabut hak pilih rakyat dan memberikan hak menentukan pimpinan kepala daerah kepada DPRD.
"Keputusan ini sama sekali tidak tepat karena saat ini kesadaran politik rakyat justru sedang tumbuh. Permainan politik berdasarkan pertimbangan irasional dan bukan untuk kepentingan bangsa harus dijawab dengan tegas oleh rakyat," tuturnya.
"Dengan ini kami warga negara Indonesia di Prancis yang peduli atas situasi politik di Indonesia meminta SBY dan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Pilkada demi kepentingan kemajuan demokrasi di Indonesia. Kedua, kepada DPR RI hasil pemilu 2014 yang akan dilantik 1 Oktober 2014 ini agar memasukkan kembali agenda revisi UU Pilkada dan mengembalikan hak pilih rakyat dalam Program Legislasi Nasionalnya bersama Menteri Dalam Negeri yang baru di pemerintahan Presiden Jokowi." pungkasnya.
Diketahui saat di KBRI, mereka diterima oleh Kabid Fungsi Politik Arifin Saiman serta Kabid Fungsi Kebudayaan dan Penerangan Henry Kaitjily. Pihak KBRI berjanji akan meneruskan pernyataan mereka kepada pemerintah Indonesia di Jakarta dan akan memberikan dukungan lebih aktif untuk pendidikan politik warga negara Indonesia di Prancis.
Merdeka.com - Sekelompok warga Negara Indonesia yang terdiri dari pelajar dan pekerja di London, Inggris, turut menyampaikan aspirasinya menolak pilkada melalui DPRD. Meski diguyur hujan, mereka tetap menggelar aksi damai dan teatrikal di depan gedung Parlemen Inggris Sabtu (4/10) lalu.
Dalam aksi itu, WNI mendesak demokrasi di Indonesia kembali ditegakkan. Mereka meminta sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dapat kembali dilaksanakan. Pasalnya, pilkada melalui DPRD dianggap mencabut hak rakyat dalam pemilihan kepala daerah.
Tak sampai disitu, mereka menyatakan bahwa disahkannya UU pilkada itu merupakan langkah mundur dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Maka dari itu, demonstran meminta kepada anggota DPR periode 2014-2019 agar mendengarkan suara rakyat dengan mengesahkan Perppu UU Pilkada yang telah ditandatangani Presiden.
Selain pernyataan sikap, pengunjuk rasa ini pun menggelar aksi teatrikal yang mengilustrasikan kemunduran demokrasi dengan mulut tersumpal kertas hal itu disimbolkan sebagai suara rakyat yang dibungkam.
Diketahui unjuk rasa yang dilakukan warga Negara Indonesia di London bukan lah yang pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya Pada 27 September lalu, mahasiswa dan pekerja warga Negara Indonesia juga melakukan aksi penolakan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Merdeka.com - Sekitar 350 warga negara Indonesia di Hong Kong menggelar aksi protes menolak Undang-Undang pilkada melalui DPRD. Aksi ini berlangsung di depan kantor Konsulat RI di Hong Kong (28/9) lalu. Dalam aksi nya mereka menyampaikan bahwa UU pilkada telah merampas hak demokrasi rakyat Indonesia.
"Kami (warga negara Indonesia diluar negeri) dengan tegas menolak undang-undang UU Pilkada ini yang merampas hak demokratis rakyat. Peraturan yang merugikan rakyat pasti juga merugikan buruh migran dan harus dilawan" kata koordinator aksi saat menyampaikan orasinya, Sringatin.
Pada kesempatannya, WNI juga meneriakkan 'Shame on you SBY' serta 'UU Pilkada cabut sekarang juga'. Tak sampai disitu, pengesahan UU pilkada ini dinilai hanyalah pesanan pemodal dunia yang sedang membutuhkan sumber daya lebih untuk menyelamatkan diri dari krisis melalui pemerintahan SBY. Sehingga proses demokrasi yang melibatkan rakyat hanyalah memperlambat target, maka UU ini pun harus disahkan.
"UU Pilkada melalui DPR wujud kongkret penjajahan gaya baru yang melalui peraturan. Sistem kenegaraan Indonesia akan dikembalikan ke jaman penjajahan Belanda bahkan kerajaan dimana keputusan dan pimpinan daerah diputuskan oleh pusat. Tentu orang-orang yang ditunjuk harus setia kepada kepentingan elit diatasnya dan pemodal asing" ungkap Sringatin.
Dia pun menuturkan bahwa elit politik yang berkuasa saat ini memperjelas jati dirinya sebagai kaki tangan asing yang harus memenuhi target para pemodal. Maka selain telah merebut hak-hak rakyat dalam berdemokrasi UU Pilkada ini pun dianggap akan memperburuk kemiskinan yang mengakibatkan terpuruknya Indonesia.
"Saat ini saja ketika kita masih bisa memilih, demokrasi masih diselewengkan dan suara rakyat masih tidak didengar. Akibatnya persoalan-persoalan rakyat terus dikesampingkan. Kemiskinan yang akut dan pengangguran yang memunculkan berbagai konflik politik dan sosial di masyarakat. Salah satunya realitas migrasi terpaksa, perdagangan manusia dan perbudakan di kalangan buruh migran" tandas Sringatin.
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak wariskan nilai demokrasi selama sepuluh tahun kepemimpinannya. Anggapan itu, dia menambahkan, makin kentara setelah Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
"Substansi Perpu itu wajib diapresiasi, tapi proses penerbitannya bisa disebut tak bermoral," ujarnya di Menteng Huis, Jakarta, Ahad, 12 Oktober 2014. (Baca: SBY: Kemarahan Rakyat Mestinya Dibagi Dua)
Presiden SBY mengeluarkan Perpu Pilkada dua pekan lalu. Keputusan tersebut diteken untuk menggantikan UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan itu memuat sistem pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan seperti yang ditawarkan Partai Demokrat saat Rapat Paripurna DPR.
Menurut Ray, Presiden SBY harusnya bisa menghentikan kegaduhan politik akibat penerbitan Perpu tersebut. Sebab, dalam sistem presidensial, presiden bisa menyatakan ketidaksetujuannya pada rancangan undang-undang yang sedang dibahas di parlemen. "Andaikan Presiden Yudhoyono keluarkan veto sebelum Paripurna DPR, RUU Pilkada akan berhenti dibahas," ujarnya. (Baca: SBY Bikin Kuis #KopdarPamitan)
Sikap yang tidak prodemokrasi, kata Ray, juga ditunjukkan oleh Presiden SBY yang tak berpihak pada masalah hak asasi manusia. Problem kebebasan beragama dan penyelesaian kasus HAM masa lalu tak mendapat perhatian serius pada era Presiden Indonesia ketujuh itu. "Komitmen pada kasus HAM itu juga jadi indikator keberpihakan pada proses demokrasi."
Dengan melihat manuver politik Presiden SBY, kata Ray, rakyat makin yakin bahwa Ketua Umum Partai Demokrat itu konsisten dengan politik pencitraan. "Politik pencitraan sah. Namun, bila dipakai untuk membentuk kesan dia sebagai seorang demokrat sejati, itu sangat bermasalah," ujarnya.
RAYMUNDUS RIKANG
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat, Nurhayati Ali Assegaf, sudah diberi sanksi tak langsung oleh Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Hukuman itu dijatuhkan lantaran Nurhayati memerintahkan anggota fraksinya untuk walk-out dari sidang paripurna saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah. (Baca: Demokrat Dinilai Sukses Jalankan Skenario di DPR)
"Ini arifnya SBY. Apa perlu diberi sanksi lagi ketika SBY memutuskan bahwa Nurhayati tidak lagi menjadi kandidat Ketua DPR?" kata Ruhut saat dihubungi Tempo, Ahad, 11 Oktober 2014. Menurut Ruhut, sebelumnya Nurhayati memang ngebet mengincar posisi Ketua DPR. Koalisi Prabowo Subianto yang menampung Demokrat pun kerap menyebut Nurhayati sebagai salah kandidat Ketua DPR. "Tapi tidak bisa. SBY sudah tidak memberikan jalan," kata Ruhut. (Baca: Perpu Pilkada, Demokrat Minta PDIP Tidak Kaku)
Ruhut mengatakan SBY masih sebagai penentu dalam kebijakan ihwal siapa yang layak menjadi Ketua DPR. Lantas, saat ditanya mengenai perkembangan sanksi resmi untuk Nurhayati, Ruhut tak menjawab dengan jelas. "Kalau sanksi silakan tanya kepada Amir Syamsuddin. Dia, kan, yang sebelumnya bilang ada sanksi," ujarnya merujuk kepada Amir, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang juga Ketua Dewan Kehormatan Demokrat. (Baca: PDIP Janji Kawal Perpu Pilkada SBY dan (Baca: SBY Siapkan Perpu Batalkan UU Pilkada)
Sebelumnya, Amir menyatakan partainya tengah mempertimbangkan sanksi untuk Nurhayati. "Masih akan kami bicarakan, belum ada tindakan yang pasti," ujarnya kepada Tempo di gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin malam, 30 September 2014. Aksi walk-out yang berimbas pada disahkannya pemilihan tidak langsung melalui DPRD, berlawanan dengan arahan SBY, yang meminta kadernya memperjuangkan opsi pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan. Atas aksi walk-out itulah partai mempertimbangkan sanksi atau teguran pada Nurhayati. (Baca: Siapkan Perpu, SBY: Saya Ambil Risiko Politik)
Ihwal hukuman SBY versi Ruhut ini, Nurhayati belum dapat dikonfirmasi. Sebelumnya, dalam konferensi pers di markas DPP Demokrat pada akhir September 2014, Nurhayati mengaku bahwa aksi walk-out dalam Rapat Paripurna RUU Pilkada adalah inisiatifnya sendiri. Aksi itu dia perintahkan sebagai ketua fraksi lantaran kecewa usulan partainya tak diakomodasi pimpinan sidang. Instruksi walk-out, kata Nurhayati, tidak diketahui oleh SBY. "Saya siap diberi sanksi,' kata Nurhayati. (Baca: SBY Punya Plan B Jegal UU Pilkada dan SBY Punya Plan B Jegal UU Pilkada)
Keputusan walk-out Demokrat mengubah peta suara di DPR dalam pengambilan keputusan ihwal RUU Pilkada. Dengan keluarnya Demokrat yang memiliki 148 kursi, koalisi Prabowo Subianto yang mendukung pilkada lewat DPRD unggul atas koalisi Joko Widodo yang mendukung pilkada langsung, yang hanya mengumpulkan 237 kursi. Di lain pihak, koalisi Joko Widodo hanya memiliki 139 kursi sehingga UU Pilkada yang memuat pasal mekanisme pilkada lewat DPRD akhirnya disahkan. (Baca: Merunut Sikap Plinplan Pemerintah di UU Pilkada)
MUHAMAD RIZKI
DETIK Jakarta - 11 Aktivis demokrasi yang diundang menghadiri Bali Democracy Forum 2014 yang akan dilaksanakan pekan depan menolak hadir. Mereka menilai tak ada gunanya hadir berbicara demokrasi sementara pemerintah saat ini sudah balik kanan alias mundur jauh.
"Kami memilih tidak hadir karena demokrasi di Indonesia memang mengalami kamajuan tapi belakangan berbalik arah. Jadi tidak ada yang secara positif. Karena mundur jadi tidak bisa sharing positif Indonesia," kata Ketua Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyakat Indonesia (Yappika) Fransisca fitri dalam jumpa persnya di kantor LBH, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2014).
Ia hadir bersama 8 orang berwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti KontraS, FITRA, ICW, LBH Jakarta, Perludem dan Transparansi International Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Mereka diundang untuk menghadiri acara Bali Civil Society Forum 2014 yang mengundang beberapa organisasi masyarakat sipil dari negara-negara Asia. Acara rencananya akan dimulai pada 8-9 Oktober esok dan dilanjutkan dengan Bali Democracy Forum 2014 pada 10-11 Oktober yang akan dihadiri para kepala negara dan pejabat setingkat menteri.
Sedang menurut Koordinator KontraS Haris Azhar, disahkannya UU Pilkada pada 26 September lalu oleh DPR dan berlanjut dengan drama politik hingga menghadirkan Perpu Pilkada yang ditandatangani oleh Presiden menunjukkan demokrasi di Indonesia berada diujung tandung.
"Soal Perpu itu hanya lip service karena konstalasi DPR sangat tidak mungkin memenangkan karena KMP mayoritas," kata Haris.
Mereka mengkritisi acara Bali Civil Society 2014 baru dilakukan tahun ini padahal para organisasi masyarakat sipil ini sudah bertahun-tahun lalu meminta acara ini diselenggarakan. Menurut Haris Azhar, forum ini tak lebih dari sekedar pesta perpisahan SBY yang masa jabatannya akan berakhir pada 20 Oktober mendatang. Terlebih karena SBY lah yang dulu menggagas acara ini diadakan pada 2008.
"Ini kayak farewell partynya SBY terbukti dari harusnya dilaksanakan November tapi justru diajukan ke Oktober. Padahal kalau dia beritikad baik harusnya forum ini dihadiri oleh Pak Jokowi (presiden terpilih) untuk menyampaikan konsep demokrasinya ke depan," ucap Haris.
Sebagian besar dari 11 organisasi yang menolak didaulat sebagai pembicara dalam seminar. Namun, rentetan peristiwa politik yang terjadi di Indonesia membuat mereka memilih mengkritisi demokrasi Indonesia dari luar daripada berbicara demokrasi yang mereka nilai palsu dalam forum itu.
Dalam skala jangka panjang, menurutnya, tak ada dampak yang akan terjadi dengan ketidakhadiran mereka. Pasalnya, tidak ada hal yang bersifat rekomendasi dari acara forum civil society yang akan dibahas dalam Bali Democracy Forum 2014 kelak.
"Tidak ada dampak ke depan karena forum ini hanya dibuat oleh SBY yang menghadirkan prestasi demokrasi SBY. Apa yang kami kerjakan berlanjut. Masih ada forum lain dan nggak akan berdampak apapun. Ada forum lain di international selain Bali demokrasi itu," pungkas Haris.
Jakarta detik - Koalisi Merah Putih (KMP) telah mengadakan rapat di kediaman di rumah Aburizal Bakrie dan disepakati empat partai akan mendapat jatah kursi pimpinan MPR. Partai Demokrat dan PPP dipastikan mendapat jatah kursi itu.
"Yang pasti keinginan teman-teman PPP itu diakomodir," kata petinggi PKS Hidayat Nur Wahid di kediaman Ical, Jl Ki Mangun Sarkoro, Menteng, Jakpus, Minggu (5/10/2014) dinihari.
PPP memang sebelumnya telah mengungkapkan keinginannya untuk mendapat jatah kursi pimpinan MPR yang akan dipilih Senin (6/10) besok. Meski keinginannya sudah diakomodir, namun pihak PPP belum menentukan siapa nama yang akan diajukan.
"Nanti kita akan tentukan orangnya, akan kita bahas di internal PPP," jelas politisi PPP, Ahmad Yani yang juga hadir dalam rapat mendampingi Ketum Suryadharma Ali.
Selain PPP, partai yang dipastikan mendapat jatah kursi pimpinan MPR dari KMP adalah Partai Demokrat. Namun, menurut Waketum Partai Demokrat Max Sopacua, pihaknya akan meminta arahan Ketum Susilo Bambang Yudhoyono untuk menentukan nama yang akan diajukan sebagai pimpinan MPR.
"Belum ada nama, kita nanti tunggu arahan dari atasan. Nanti akan disampaikan Ketum," kata Max.
Sebelumnya beredar kabar bahwa Partai Demokrat mendapat jatah kursi Ketua MPR. Eks Ketua fraksi PD di DPR, Nurhayati Ali Assegaf disebut sebagai calon kuat yang akan diajukan Demokrat dan didukung semua partai di KMP.
VIVAnews - Ketua
Harian Partai Demokrat Syarief Hasan membantah bahwa partainya
dijanjikan akan mendapat kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat usai
aksi walk outnya sehingga UU Pilkada dengan opsi pemilihan kepala
daerah diwakilkan oleh DPRD disahkan.
"Siapa dengan siapa itu? (dijanjikan kursi MPR)," kata Syarief di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa 30 September 2014.
Syarief juga mengaku belum tahu dan tak pernah membaca perjanjian
itu dengan Koalisi Merah Putih. Meskipun surat perjanjian itu
ditandatangani oleh semua pimpinan fraksi Koalisi Merah Putih.
"Saya belum tahu. Belum pernah baca itu," kata dia.
Bahkan, kata Syarief pihaknya belum pernah membicarakan soal bagi-bagi kursi itu dengan Koalisi Merah Putih. "Nggak ada janji-janji. Nggak ada itu," katanya.
Demokrat pun saat ini belum menentukan siapa yang akan diajukan
untuk menjadi calon ketua DPR maupun MPR. "Ya. Kita lihat saja nanti.
Targetnya lihat saja nanti," ujar dia.
Sebelumnya, soal jatah kursi Demokrat jika UU Pilkada disahkan
menggunakan opsi pilkada tidak langsung, tak dibantah oleh rekan
koalisinya sesama Koalisi Merah Putih.
"Ya (Demokrat) salah satunya (calon Ketua MPR)," kata Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto.
Hingga saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
masih menggelar rapat terbatas di gedung Sasana Manggala, Halim
Perdanakusuma. Rapat yang digelar sejak pukul 01.00 dini hari itu
terkait UU Pilkada yang disahkan alam rapat Paripurna DPR RI pekan lalu.
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sepuluh organisasi non-pemerintah dan mahasiswa di Yogyakarta menuntut pembatalan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Mereka membuka posko di Titik Nol Kilometer, ujung selatan Jalan Malioboro, untuk menggalang kartu tanda penduduk dari warga sebagai bentuk dukungan pembatalan itu.
“Sore ini kami buka posko terus berlanjut sampai malam,” kata koordinator lapangan aksi itu, Asman Abdullah, Kamis sore, 2 Oktober 2014. “Besok (Jumat) kami akan buka lagi.”
Massa yang menamakan diri Komite Dukung Pilkada Langsung itu di antaranya terdiri dari Social Movement Institute, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Selain itu, ada organisasi mahasiswa kampus dan kedaerahan, misalnya UIN Sunan Kalijaga, Universitas Muhammadiyah Magelang, dan Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo.
Menurut Asman, selain membuka posko di kawasan Malioboro, Komite juga membuka posko pengumpulan KTP di dua kampus di Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Sudah dapat sekitar seratus KTP sekarang,” katanya.
Melalui jaringan mereka di Jakarta, dia melanjutkan, KTP itu akan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari petisi pembatalan UU Pilkada. Menurut dia, salah satu poin UU Pilkada itu yakni pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah ancaman bagi kedaulatan rakyat.
Kamis, 25 September 2014, DPR mengesahkan UU Pilkada melalui mekanisme perolehan suara. Lima partai; PAN, PPP, Gerindra, PKS, dan Golkar; mendukung pilkada melalui DPRD. Partai Koalisi Merah Putih penyokong Prabowo-Hatta itu unggul dengan 256 suara.
Direktur SMI Eko Prasetyo mengatakan aksi ini sebenarnya tak hanya untuk mendukung pembatalan UU Pilkada semata. Namun juga melawan koalisi partai itu. “Koalisi Kapak Merah itu ingin kembali membangun watak politik seperti Orde Baru,” ujarnya.
Kecaman terhadap Koalisi Merah Putih juga tergambar dalam spanduk aksi mereka. Di atas spanduk warna biru yang mereka bentangkan menghadap jalan tertulis kalimat: “Koalisi Maling Permanen, Lawan Perampokan Suara Rakyat!”
Menurut dia, koalisi itu telah membawa demokrasi di Indonesia pada ambang kehancuran. Pertarungan politik pun tak bisa lagi ditempatkan sebatas di dalam gedung parlemen. “Kalau organisasi masyarakat sipil tak turun ke jalan (demokrasi) akan gawat sekali,” katanya.
Aksi-aksi yang dilakukan Komite, kata dia, adalah bagian dari menggalang dukungan masyarakat yang lebih luas. Pada bulan mendatang, jaringan organisasi masyarakat berhimpun dalam Konferensi Darurat Demokrasi. “Akan launching 2-3 bulan lagi,” ujarnya.
ANANG ZAKARIA
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Politisi Golkar, Bambang Soesatyo meminta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhenti bermain kata-kata terkait UU Pilkada yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI beberapa hari lalu.
Menurut anggota Komisi III DPR RI ini, SBY harus memperjelas dan mempertegas sikapnya atas RUU Pilkada yang telah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR beberapa hari lalu.
"Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY sebaiknya berhenti bermain kata-kata, karena perilaku yang demikian hanya melahirkan ketidakpastian," ungkap Bambang kepada Tribunnews.com, Minggu (28/9/2014).
Lebih lanjut Politisi Golkar ini mempertanyakan sikap SBY terkait Pilkada lewat DPRD. "Kalau SBY menolak RUU Pilkada itu, kenapa baru sekarang?
Bukankah dia (SBY) sendiri yang menandatangani amanat presiden (ampres) atas RUU Pilkada tersebut tiga tahun lalu?" Demikian dia mempertanyakan.
Kata Bambang, kenapa saat partai besutannya, yaitu Partai Demokrat (PD) membela pemerintah yang mengusulkan Pilkada melalui DPRD itu dengan mati-matian, malah meradang dan mengumbar perasaan.
Selama berada di Amerika Serikat, SBY berujar, ”Saya serius; berat untuk menandatangani UU ini, karena dari awal opsi saya pilkada langsung dengan perbaikan. "
"Dengan nada pernyataan seperti itu, saya melihat bahwa SBY masih saja bermain dengan kata-kata. Semua juga paham bahwa tidak ada pengaruhnya dia tanda tangan atau tidak. Dalam UU jelas, jika presiden tidak tanda tangan, otomatis dalam waktu satu bulan UU tersebut berlaku," kritiknya.
Lebih dari itu, menurutnya, dalam Paripurna yang sampai pagi dinihari lalu, Mendagri Gamawan Fauzi jelas hadir mewakili pemerintah dan presiden.
Bahkan selesai voting dan ketuk palu, Mendagri atas nama Presiden menyampaikan terima kasih karena usulan pemerintah tentang perubahan RUU Pilkada dari sistem langsung ke DPRD yang diajukan tiga tahun lalu akhirnya disepakati dan disetujui oleh DPR.
"Jadi, bagaimana bisa dia (SBY) tiba-tiba kaget dan mau menggugat?" Dia pertanyakan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari menilai aneh rencana Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajukan gugatan/judicial review (JR) UU Pilkada.
Karena, menurut anggota Komisi III DPR RI ini, dengan mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya akan mengalami hambatan soal legal status Partai Demokrat (PD).
Mengingat PD juga ikut mengambil keputusan. Bahkan menyebabkan kekalahan pikada Langsung saat Rapat Paripurna di DPR RI beberapa waktu lalu.
"Jika Pak SBY mau memperbaiki kerusakan akibat walkout (WO) tersebut dengan mengajukan JR ke MK tampaknya akan mengalami hambatan soal legal status PD mengajukan JR mengingat PD ikut mengambil keputusan bahkan menyebabkan kekalahan pilkada Langsung. Jadi aneh kalau pak SBY mau menempuh jalan yang hampir tidak mungkin tersebut," tegasnya.
Lebih lanjut Eva juga mengkritisi Problem internal PD--yakni mengusut inisiator WO. Jauh lebih penting dari itu, dia mengingatkan SBY, bahwa kerugian nasional berupa demokrasi yg mundur akibat WO PD lebih penting untuk segera diselesaikan.
"Urusan implementasi serahkan ke Presiden berikut. Pak SBY bisa menyarankan presiden berikut untuk mengajukan revisi UU sambil menunggu hasil JR yang akan diajukan kelompok sipil," pesannya.