tidak dipenuhinya kesiagaan antikorupsi
tidak dipenuhinya kementerian yang dituntut relawan
tidak usah Jokowi jadi Presiden lage lah
:(
Jakarta - Pasca PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan, PDIP mendorong Presiden Jokowi lekas melantiknya jadi Kapolri. Semakin didesak, posisi Jokowi semakin dilematis.
"Jokowi ini dalam posisi dilematis, kalau dilantik opini publik hancur, tidak dilantik di politik babak belur," kata Waketum PAN Dradjad Wibowo kepada detikcom, Senin (16/2/2015).
Dihadapkan pada posisi rumit seperti itu, menjadi wajar saja Presiden Jokowi menunda-nunda mengambil keputusan penyelesaian polemik KPK-Polri. Apalagi Jokowi pernah berjanji hanya akan tunduk kepada rakyat dan konstitusi.
Situasi Jokowi bak terjebak di lubang jarum. Satu sisi Jokowi harus mendengarkan suara rakyat, di sisi lain sebagai politisi dia harus menjaga 'kartunya' tetap hidup.
"Jokowi bisa menggunakan politik katapel. Tapi Jokowi harus jeli dan teliti, kalau tidak bisa kena kepala orang atau kepala sendiri," katanya.
Lalu apa yang dimaksud dengan politik katapel? Dradjad tak mau merinci tentang istilah yang diyakini Dradjad dipahami dengan baik oleh ring 1 Jokowi tersebut.
"Jadi kalau katapel itu kan harus ditarik mundur dulu, kemudian dilepaskan, setelah mundur baru akan mengalami kemajuan signifikan. Tapi dia harus memilih tokoh yang tepat untuk menjalankan misi ini," kata Dradjad.
Usut punya usut politik katapel itu artinya Jokowi harus legowo dulu citranya turun, kemudian memilih mitra yang baik untuk kembali bangkit. Dalam konteks polemik Komjen Budi Gunawan, Jokowi mungkin bisa memilih kemungkinan citranya runtuh karena melantik komjen Budi jadi Kapolri, namun kemudian melakukan manuver politik mengejutkan untuk mengembalikan citranya.
Tapi, apakah Jokowi mampu bermanuver politik di dalam belenggu parpol pendukungnya?
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka. KPK menduga ada transaksi mencurigakan atau tidak wajar yang dilakukan Budi Gunawan.
"Kita ingin sampaikan progress report kasus transaksi mencurigakan atau tidak wajar dari pejabat negara. Perkara tersebut naik ke tahap penyidikan dengan tersangka Komjen BG dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji," ujar Ketua KPK Abraham Samad di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (13/1/2015).
Budi Gunawan merupakan calon tunggal kepala Kepolisian RI yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.
Abraham mengatakan, penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi telah dilakukan sejak Juli 2014.
"Berdasarkan penyelidikan yang cukup lama, akhirnya KPK menemukan pidana dan menemukan lebih dari dua alat bukti untuk meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan," kata Abraham.
Budi Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Pencalonan Budi Gunawan sebagai kepala Kepolisian RI dikritik berbagai pihak. Ia sempat dikaitkan dengan kepemilikan rekening gendut. Terlebih lagi, Jokowi tidak melibatkan KPK dan PPATK untuk menelusuri rekam jejak para calon kepala Kepolisian RI.
Bisnis.com, JAKARTA - Menteri BUMN Rini Soemarno dikabarkan telah mendesak Presiden Joko Widodo agar menandatangani Keputusan Presiden (Kepres) yang isinya untuk pemilihan dan penetapan direksi BUMN cukup dilaksanakan sepenuhnya oleh Menteri BUMN.
Hal tersebut diutarakan oleh Pengamat Geopolitik sekaligus Direktur Global Future Institute Hendrajit.
"Untungnya Jokowi tidak menandatangani SK tersebut karena dicegah oleh Mensesneg. Karena seharusnya untuk BUMN strategis yang jumlahnya 25 mutlak Presiden yang menetapkan, memilih dan menunjuk direksi dan komisaris tersebut," kata dia dalam diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (15/11/2014).
Dalam kesempatan yang sama, menanggapi hal itu Anggota DPR RI Fraksi PDIP Effendy Simbolon mengatakan bahwa upaya Rini untuk memutus rantai Tim Penilai Akhir (TPA) dalam penunjukan 25 direksi BUMN strategis itu menandakan bagaimana rakusnya sosok Rini Soemarno.
"Yah inilah, orang itu kalau sudah rakus begitu ya. Sudah lupa daratan, lupa siapa dia. Ini kan harus dihentikan," kata Effendy kepada wartawan.
Menurutnya, hal itu tidak bisa dibiarkan karena akan berdampak negatif pada Pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi.
"Ini kan tidak bisa dibiarkan terlalu lama orang-orang seperti ini hidup. Akan merusak pemerintahan jokowi. Dan jokowi jangan segan-segan untuk mereshuffle dia. Karena saya kira Rini dan kroni-kroninya harus dikeluarkan dari kabinet. Dan siapa Sudirman Said, saya dari awal kan, dalam beberapa minggu lalu kan sudah menyampaikan siapa Rini, siapa Sudirman Said siapa Sofyan Djalil," tukasnya.
Editor : Sepudin Zuhri
KUPANG-Penunjukan delapan menteri perempuan di kabinet merupakan sebuah politik progresif keterwakilan yang berhasil dibuat oleh Jokowi-JK. Ini tak pernah dilakukan oleh negara sebesar Amerika Serikat sekalipun. Karena itu sudah sepantasnya kita memberi apresiasi terhadap terobosan Jokowi terlepas dari berbagai catatan yang menyertainya."Ini sebuah langkah besar untuk membuka ruang demokratis bagi perempuan-perempuan yang kompeten untuk menunjukkan aktualisasi dan kemampuan kepemimpinannya. Selama ini rakyat khususnya perempuan Indonesia terpukau oleh janji-janji besar para petinggi politik, birokrasi yang berjanji akan memberikan akomodasi bagi perempuan, entah itu di birokrasi maupun di lingkungan parpol tetapi kenyataannya, kan, nihil," ujar Umbu TW Pariangu, pengamat politik Undana Kupang, Selasa (28/10)
Ditambahkan oleh Umbu, kalaupun ada, itu lebih terkesan dibaca sebagai sebuah bentuk kemurahan hati terhadap perempuan, bukan karena dia memiliki kualitas.
Tidak ada kemauan dan keberanian politik yang besar untuk melawan stigma gender maupun arus besar kepentingan patriarkat yang ada di internalnya sehingga ujung-ujungnya, ya kompromi lagi. Akibatnya kaum perempuan harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunggu sejarah berpihak kepadanya.
Dengan pola akomodasi politik seperti ini setidaknya kita harapkan bisa memberikan contoh bagi seleksi pejabat di luar kabinet baik itu birokrasi, parpol, swasta untuk mulai memberikan penilaian obyektif bagi kapasitas perempuan. Kalau virus ini bisa menular dengan baik ke institusi lainnya, maka kita akan semakin cepat menuju kepada kedewasaan dan pelembagaan nilai demokrasi. Kedewasaan demokrasi yang dimaksud adalah konsistensi dalam memberikan ruang yang setara terhadap warga negara dan mengapresiasi kompetensi, nilai-nilai meritokrasi.
"Kita berikan ruang seluas-luasnya kepada delapan menteri perempuan tersebut untuk bekerja, dan bersama-sama kita menilainya. Jika mereka mampu memberikan prestasi yang cemerlang dalam setahun ini misalnya, maka pasti pola politik seleksi kita akan menjadi inspirasi bagi politik dan demokrasi global, ujar Umbu lebih lanjut.
Terkait ada menteri perempuan yang dibully di jejaring media sosial belakangan ini, Umbu lebih melihatnya dengan kaca mata positif sebagai sebuah pemicu agar menteri tersebut lebih hati-hati menata bicara dan sikapnya di hadapan publik yang menjurus pada blunder yang tak perlu, karena ini akan memengaruhi legitimasi dirinya dan lembaga kementerian.
Kepercayaan yang diberikan oleh presiden perlu dijaga baik-baik dan dikapitalisasi secara maksimal oleh menteri-menteri perempuan tersebut dengan kemampuan memperjuangkan isu-isu yang ada dalam program kementerian.
"Saya bayangkan, delapan menteri ini nantinya bisa bersatu di kabinet untuk memperjuangkan isu-isu perempuan dengan jaringan komunikasi politik yang bisa diintegrasikan dengan parlemen sehingga bisa mempercepat upaya mengkomunikasikan dan memecahkan isu-isu yang menyentuh pembanguna perempuan untuk bisa dicarikan solusi dan kebijakannya." (*/hrb)
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Jokowi Advance Social Media Volunteer, Kartika Djoemadi, menyatakan kecewa dengan postur kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebab, susunan kabinet itu dinilai tidak sesuai dengan janji kampanye Jokowi-JK pada pemilihan umum lalu.
"Jokowi pernah mengatakan bahwa kabinetnya akan ramping. Namun kenyataannya tidak juga," kata Kartika ketika dihubungi Tempo, Senin, 27 Oktober 2014. Jokowi sempat mengatakan kabinetnya hanya 27 pos kementerian. Namun kini menjadi 34 pos kementerian. (Baca: Daftar Lengkap Menteri Kabinet Kerja Jokowi.)
Relawan, kata Kartika, juga kecewa dengan tidak adanya kementerian yang membidangi ekonomi kreatif. Padahal, saat debat kandidat presiden, Jokowi ingin mengembangkan ekonomi kreatif. "Waktu debat Jokowi sangat peduli, tapi sekarang tidak konkret," ujar Kartika.
Pada debat calon presiden tahap kedua di Hotel Melia, Ahad, 15 Juni 2014, Jokowi mengatakan kondisi ekonomi kreatif masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu mengambil contoh bidang musik, seni, video, desain, dan animasi.
Bahkan ide Jokowi diapresiasi saingannya saat itu, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto. Menurut Prabowo, ekonomi kreatif Indonesia harus bersaing dengan negara lain. Prabowo percaya Indonesia memiliki potensi besar pada ekonomi kreatif. (Baca juga: Menteri Jokowi Tak Sepenuhnya Bersih.)
SINGGIH SOARES
Jakarta detik -Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan nama-nama menterinya yang tergabung dalam Kabinet Kerja. Susunan kabinet Jokowi ini belum termasuk kategori 'dream team' atau kabinet impian.
Berapa skala nilai kabinet Jokowi-JK dari skala 1-10?
Ekonom Senior Standar Chartered Fauzi Ichsan memberi nilai tujuh (7) untuk Kabinet Kerja Jokowi-JK. "Nilainya 7," kata Fauzi kepada detikFinance, Minggu (26/10/2014).
Fauzi menjelaskan, pelaku pasar sudah memasang ekspektasi tinggi terhadap nama-nama menteri yang akan muncul di kabinet Jokowi. Harapan pelaku pasar selama ini adalah, yang menduduki posisi menteri banyak dari para profesional, namun nyatanya banyak diisi dari partai politik.
"Ekspektasi pasar sudah tinggi. Berharap banyak menteri impian tapi kenyataannya ini adalah pemerintahan koalisi, banyak dari partai politik jadi belum bisa dibilang kabinet profesional," terang Fauzi.
Namun begitu, untuk posisi Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian memang sudah sesuai harapan para pelaku pasar, yang masing-masing dipimpin Bambang Brodjonegoro dan Sofyan Djalil.
"Kalau Menkeu sama Menko memang sudah sesuai ekspektasi pasar. Bambang Brodjonegoro, Sofyan Djalil memang masuk daftar calon yang diharapkan pasar, walaupun sebenarnya pelaku pasar lebih suka ke Sri Mulyani," jelas dia.
Fauzi menilai, posisi Kabinet Kerja saat ini yang masih banyak diisi partai politik memang wajar adanya karena Kabinet Indonesia Hebat (KIH) hanya menempati 43% di parlemen, sehingga perlu adanya akomodasi untuk partai-partai koalisi.
"KIH hanya 43% kursi di DPR, otomatis harus mengakomodasi yang dari partai lain," kata dia.
Selanjutnya, Fauzi menambahkan, para pelaku pasar akan melihat implementasi dari para menteri yang telah ditunjuk Jokowi. Program yang dibuktikan dengan kerja akan mendorong perekonomian menjadi lebih positif. "Ke depan harus dibuktikan dengan kerja," ujar Fauzi.
(drk/dnl)
President Joko “Jokowi” Widodo announced on Sunday his much-anticipated Cabinet lineup, which promptly received a mixed review from analysts and politicians.
President Jokowi said his Cabinet, which he dubbed the “Kabinet Kerja” or “Working Cabinet”, was the best that he could come up with after a meticulous process.
“I selected the ministers carefully and meticulously because this Cabinet will be working for [the next] five years. We wanted to get clean figures, therefore, we consulted with the KPK [Corruption Eradication Commission] and the PPATK [Financial Transaction Reports and Analysis Centre] to get accurate [background information],” Jokowi said in his speech before making the announcement.
Jokowi also said that he selected the ministers based on their capabilities, as well as their leadership and managerial skills.
While announcing the lineup, Jokowi took turns to introduce the 34 figures in his Cabinet in a modest press conference held at the lawn of the Merdeka Palace.
Jokowi cracked a few jokes as he introduced the ministers, bringing a relaxed atmosphere to what might otherwise have been a politically charged event.
“He wrote many books on the failures of our development programs, so I asked him to join [the Cabinet] so in the future our development program won’t fail,” Jokowi said while introducing the new National Development Planning Board (Bappenas) Head Andrinof Chaniago, a University of Indonesia political science lecturer.
When introducing the new Transportation Minister Ignasius Jonan, who currently serves as PT Kereta Api Indonesia president, Jokowi told him to sprint to the stage. “Run, Pak Jonan [...] run,” said Jokowi.
Jokowi, however, dissuaded the new Maritime Affairs and Fisheries Minister Susi Pudjiastuti from running to the stage when her name was called. “Please, no need to run Bu [ma’am],” he said, with a chuckle.
The appointment of some individuals as ministers in Jokowi’s Cabinet, however, has also raised eyebrows.
Defense Minister Ryamizard Ryacudu is regarded as having a poor human-rights record, while others such as Coordinating Human Development and Culture Minister Puan Maharani and Environment and Forestry Minister Siti Nurbaya have been deemed as being unqualified for their new jobs.
Ryamizard, who served as Army chief of staff between 2002 and 2004, is known for his controversial statements. He is also alleged to have had roles in a number of human-rights violation cases.
Ryamizard, who recently recovered from a mild stroke, has denied the allegations. “Just ask them why now [are critics making such allegations]?” he told reporters.
Puan Maharani, a top executive at the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the daughter of the party’s chairperson Megawati Soekarnoputri, said she deserved her ministerial position.
“Please don’t bring up my background as her [Megawati’s] daughter here. What I have done all this time has proven [my] performance,” she said. “[People] should see the capacity and quality of a person.”
Siti, a NasDem Party politician and a former Home Ministry secretary-general said she was well qualified for her job.
Citing her educational record--a doctorate degree in natural resources planning and a postgraduate degree in rural and land ecology, Siti dismissed criticism raised by the Indonesian Forum for the Environment (W), which questioned her capacity to deal with environmental issues.
“We should look at the Cabinet as a whole package. You should not look at it based on a case-by-case judgement. He [Jokowi] did the math and weighed up carefully the combination of all ministries,” she said.
Jokowi was more than an hour late in announcing the Cabinet lineup, prompting more speculation about last-minute political lobbying, which resulted in a number of strong candidates like Luhut Panjaitan, former TNI commander Gen. (ret) Wiranto and PDI-P politician Hasto Kristiyanto being dropped from the final lineup.
Commenting on Jokowi’s Cabinet Arie Sudjito, political analyst from Gadjah Mada University, said the lineup reflected a compromise between picking ideal figures and political reality.
“Some of the figures do not meet the public’s expectations. However, we should give them a chance to prove that they can work to translate Jokowi’s vision into an effective agenda and programs in their respective ministries,” Arie said.
Arie added that Jokowi should not be hesitant about reshuffling the Cabinet if some members of his Cabinet failed to live up to his expectations.
Indonesian Civil Society Circle political analyst Ray Rangkuti said he was not impressed by the new Cabinet “The score for the ‘Working Cabinet’ is six out of 10,” he said.
Ray said that Jokowi was under tremendous political pressure when forming his Cabinet and that he was aware of the dissatisfaction with it.
“There is a potential for a reshuffle after one year, as we can see that politics have stood in the way of forming a professional Cabinet,” he said.
Gerindra Party secretary-general Ahmad Muzani said the new Cabinet could soon run into trouble because of the presence of unqualified ministers.
“Although Jokowi has carefully chosen his Cabinet members, it still has not lived up to the public’s high expectations, and this will create a burden [for the new government] in the future,” he said.
Another surprise was the appointment of Retno Marsudi as foreign minister who had not been widely tipped as a strong candidate.
Retno said she would discuss a number of programs after the first Cabinet meeting. “After the inauguration of the Cabinet lineup there will be no other words than ‘work and work’,” she said.
Retno, who is a career diplomat, said she was contacted by former deputy of the Jokowi-JK transition team Andi Widjajanto on Oct. 18 and met President Jokowi on Monday night.
“On Saturday at 6 p.m. The Hague time I was phoned by Andi asking me to meet Pak Jokowi immediately. I tried to get a ticket that night. On Monday afternoon, I arrived in Jakarta. At 5:15 p.m. Andi phoned me again to meet the President at midnight on Monday,” said Retno, who spent most of her career dealing with North American and European issues.
Retno is the first woman to hold the post of foreign minister.
Merdeka.com - Sejak pukul sembilan pagi Senin pekan lalu, warga mulai tumplek di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Makin siang, suasana kian sesak oleh warga mau melihat langsung Presiden dan Wakil Presiden baru dilantik, Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla.
Sesuai jadwal, Jokowi-JK, sapaan akrab keduanya, bakal diarak dengan kereta kencana dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Merdeka. Sebagai suguhannya, pesta rakyat itu menyediakan makanan gratis bagi warga. Mulai dari ketoprak hingga bakso bisa disantap tanpa fulus.
Hasan, 45 tahun, pedagang bakwan Malang, merupakan salah satu dari sekian banyak pedagang disewa untuk meramaikan pesta rakyat itu. Dia mengatakan seminggu sebelumnya dirinya sudah dipesan untuk ikut meramaikan dengan memberi makanan gratis kepada warga saat pesta rakyat.
Imbalannya, Hasan diberi uang Rp 350 ribu sebagai jasa sewa gerobak dan tenaga. "Jadi ini gerobak sama tenaganya yang disewa. Seharian dikasih Rp 350 ribu," kata Hasan kepada merdeka.com Senin pekan lalu.
Hasan datang ke Monas sehari sebelumnya. Dia dijemput pihak panitia "Syukuran Rakyat" bersama rekannya sesama pedagang bakwan Malang di Teluk Gong, Pluit, Jakarta Utara. "Bahan-bahan dari mereka (panitia) semua," ujarnya. "Jadi kami ini semua berangkat bareng dari Kapuk lalu didrop di sini kemarin malam."
Rezeki ini rupanya dinikmati oleh sebagian warga. Nur salah satunya. Perempuan bedomisili di Jakarta Barat ini memang berniat hadir mendatangi acara pesta rakyat. Nur mengaku beruntung bisa menikmati makanan gratisan disuguhkan panitia di sepanjang Bundaran Hotel Indonesia. "Alhamdulilah makan gratis," tuturnya.
Namun di balik acara itu, sumber merdeka.com, seorang pengusaha, memberikan keterangan mencengangkan. Dia mengungkapkan dana pesta rakyat ini didapat dari perusahan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Ya perusahaan daerah dipalakin," katanya.
Dia tidak mengetahui berapa jumlah fulus diturunkan perusahaan daerah dalam pesta rakyat itu. Namun ada dua perusahaan daerah di DKI Jakarta menggelontorkan dana buat pesta rakyat. "Totalnya nggak tahu berapa, tapi dari jumlah makanan gratis bisa diperkirakan," ujarnya.
Seorang pendukung yang juga dekat dengan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membenarkan pengusaha itu. Dia mengatakan banyak yang menanti imbalan dari aksi dukungan itu. "Kalau sekarang belum kelihatan, nanti kalau nggak kebagian, baru kelihatan," tuturnya.
Bahkan saat dipancing, pendukung itu mengatakan banyak posisi komisaris perusahaan di BUMN lowong. "Kan banyak posisi kosong, paling nggak jadi komisaris lah," katanya meyakinkan.
Namun juru bicara PDIP Eva Kusuma Sundari membantah tudingan soal dana dari Badan Usaha Milik Daerah DKI. Dia mengakui sebelumnya ada perusahaan daerah mau menyumbang untuk acara pesta rakyat. "Kami tolak," ujarnya saat dihubungi melalui telepon selulernya kemarin..
Eva menjelaskan semua dana buat menggelar pesta rakyat merupakan urunan dari relawan. Dia mencontohkan makanan gratis kemarin memang dibayar oleh para donatur. Bahkan Eva membenarkan ada uang dari pengusaha buat membiayai hajatan itu. "Kalau pengusaha mungkin dari relawan. Karena pengusaha juga ada yang bergabung dengan relawan," tuturnya.
Dia mencontohkan drum band dibayar oleh Partai Hati Nurani Rakyat. "Sedangkan beberapa asosiasi pedagang memang menghubungi saya tapi saya serahkan ke divisi kuliner acara pesta rakyat. Dan itu semua sudah dibayar oleh donatur."
[fas]
Merdeka.com - Lima lelaki itu asyik bersenda gurau di area
bebas asap rokok dalam sebuah kafe di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Dandanan mereka necis dan seragam, yakni berkemeja putih. Wajah mereka
tidak asing, salah satunya adalah politikus dari koalisi partai
pendukung presiden terpilih Joko Widodo.
Sejak pukul empat sore, Senin pekan lalu, mereka berkumpul di pusat perbelanjaan mewah itu. Satu-satu mereka datang menuju sebuah meja bagian pojok. Pemandangannya langsung ke arah air mancur Bundaran Hotel Indonesia. Arak-arakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla baru saja lewat setelah dilantik di gedung MPR/DPR.
Entah apa yang mereka perbincangkan, namun sore itu terlihat juga di dalam Plaza Indonesia berkeliaran pendukung Joko Widodo. Ada yang berkaus berkerah bertulisan nama dan foto Jokowi-JK. Hampir semuanya menggunakan baju berkerah atau kemeja putih. "Kamu harus berpolitik," kata salah satu lelaki saat berpindah dari bangku kafe menuju sofa.
Sumber merdeka.com, seorang pengusaha, mengatakan pesta rakyat menyambut pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kegiatan terselubung. Bentuk dukungan, seperti spanduk untuk Presiden Joko Widodo bertebaran, itu merupakan aksi dari massa bayaran. Mereka berbaur dengan orang-orang benar-benar ingin bertemu pemimpin baru negeri ini.
"Coba lihat aja spanduk-spanduk itu, dari mana duit mereka. Dari situ juga ketahuan siapa di belakangnya," ujarnya. Bagi dia, bukan hal mengagetkan pengerahan orang-orang bayaran itu memang sudah terstruktur. Dalam aksi sebelumnya, dedengkot orang suruhan itu nangkring sambil meminum kopi di kedai Starbucks. "Mereka ada cukongnya,"
Salah satu pendukung Joko Widodo membenarkan pengakuan pengusaha itu. Lelaki berbadan tambun dan mengenakan batik ini mengaku baru saja menemui rekannya di pelataran Monumen Nasional. Temannya itu merupakan salah satu dari sekian banyak relawan menyukseskan acara pesta rakyat.
Malam itu, sesuai susunan acara, bakal ada syukuran potong tumpeng. "Habis dari Monas lihat temen," ujarnya membuka perbincangan awal berkenalan. Dia mengatakan memang ada gerakan terstruktur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan para relawan. "Ada juga dari relawan. Kan relawan banyak," ujarnya.
Namun juru bicara PDIP Eva Kusuma Sundari membantah tudingan itu. Dia mengatakan pesta rakyat menyambut pelantikan Jokowi-JK murni dilakukan tanpa pamrih oleh para relawan. Eva juga menampik ada dari struktur partai turun menggawangi pesta tersebut. "Kamu lihat saja, ada tidak dari relawan di struktur kabinet," kata Eva melalui telepon seluler kemarin.
Eva menjelaskan bahkan untuk dana merupakan urunan dari para relawan. "Semua dana itu bantingan (urunan). Bahkan semua artis-artis kemarin tidak ada yang dibayar," tuturnya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih mantan Presiden Direktur PT Kanzen Motor Indonesia, Rini Soemarno, sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Rini yang pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati Soekarnoputri itu pernah dimintai keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penyelidikan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Lantas, apa pendapat KPK mengenai terpilihnya Rini sebagai menteri?
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa pihaknya tidak mengomentari sosok perorangan. Menurut Johan, pemilihan Rini sebagai menteri merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai Presiden.
Kendati demikian, menurut dia, seseorang yang pernah diminta keterangan KPK belum tentu terlibat kasus dan belum tentu tak layak menjadi menteri.
"Tergantung sejauh mana orang itu terlibat. Kalau sekadar pernah diperiksa sebagai saksi, ya layak-layak saja," ujar Johan di Jakarta, Senin (27/10/2014).
Deputi Pencegahan KPK ini menyampaikan, tidak ada menteri dalam kabinet Jokowi-Jusuf Kalla yang diberi catatan merah dan kuning. Tanda merah menunjukkan risiko tinggi calon menteri itu terlibat kasus dugaan korupsi, sedangkan tanda kuning menunjukkan adanya laporan masyarakat yang masuk ke KPK mengenai calon menteri tersebut.
"Tidak ada, ini berdasarkan konfirmasi saya kepada beberapa pimpinan KPK," ucap dia.
Meskipun demikian, menurut Johan, KPK tidak menjamin bahwa calon menteri yang tidak diberi tanda merah atau kuning oleh KPK akan bebas dari godaan korupsi ketika terpilih sebagai menteri. Johan mengatakan, manusia bisa saja berubah ketika diberi kekuasaan dan kewenangan mengelola uang dalam jumlah besar.
"Sejak awal KPK menyampaikan bahwa kami tidak menjamin siapa pun, termasuk nama calon menteri yang tidak ada catatan dari KPK kelak setelah menjadi menteri, tidak korupsi," ujar dia.
Diperiksa KPK
Pada 2013, KPK meminta keterangan Rini selama lebih kurang tujuh jam terkait penyelidikan atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seusai dimintai keterangan, Rini mengaku diajukan pertanyaan oleh tim penyelidik KPK dalam kapasitasnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
“Sebagai anggota KSSK, saya dimintai keterangan,” kata Rini.
KPK menganggap Rini tahu seputar proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor BLBI. Mekanisme penerbitan SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002.
Hal ini dilakukan Presiden Megawati setelah menerima masukan dari jajaran menteri saat itu, seperti Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS.com - Bisa jadi, banyak orang diam-diam berharap atau bahkan bercita-cita menjadi menteri. Namun, setidaknya satu orang ini justru bersyukur ketika namanya tak muncul dalam daftar Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Padahal, nama orang ini sempat muncul bahkan mencuat menjadi salah satu kandidat yang diduga kuat masuk ke kabinet. Pada saat terakhir, namanya "hilang", entah karena pertimbangan yang mana dari Jokowi untuk mencoretnya.
Dia adalah Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. "Ini Tuhan kabulkan doa istri dan anak-anak saya (agar saya tak jadi menteri)," kata Saldi, sesaat setelah Kabinet Kerja diumumkan oleh Jokowi-JK, Minggu (26/10/2014) malam.
Sosok Saldi Isra segenerasi dengan tokoh-tokoh muda yang telah meniti puncak karier, baik di birokrasi--lewat jalur politik--maupun di partai politik. Sebut saja Denny Indrayana yang pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Ada juga generasi yang sedikit lebih muda seperti Taufik Basari yang menjadi petinggi di Partai Nasional Demokrat. "Banyak jalan untuk mengabdi pada negeri ini kan?" tepis Saldi ketika Kompas.com memastikan tak ada nada kecewa apalagi getir dalam nada bicaranya. "InsyaAllah saya tetap 'jaga' kampus," imbuh dia.
Saldi tertawa lepas saat ditanya apakah pencoretan namanya dari kabinet adalah karena mendapat rapor merah dari Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau sampai karena itu, kita tidak berteman lagi," ujar dia berseloroh.
Isi hati orang tak bisa ditebak. Namun, jawaban-jawaban lugas Saldi ini setidaknya konsisten dengan pernyataannya beberapa tahun silam, ketika para aktivis dan akademisi muda berbondong-bondong masuk ke dunia politik, di internal partai politik maupun ke parlemen.
Saat itu, Saldi kurang-lebih berucap, "Jangan semuanya meninggalkan kampus." Dia yang pada waktu itu "baru" menggenggam gelar master, membuktikan ucapannya dengan menaikkan "derajat" akademisnya, dengan meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada dan lalu menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, dan konsisten di jalurnya itu.
KOMPAS.com - Pada 18 Oktober 2011 malam, Ruang Kredensial atau ruang terdepan di Istana Merdeka terang benderang. Waktu itu hampir pukul 20.00. Tak lama lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono akan memasuki Ruang Kredensial untuk mengumumkan perombakan kabinet.
Berbaju batik coklat, Yudhoyono memasuki ruangan. Ia lalu berdiri di podium. ”Dalam reshuffle kali ini, ada dua pos parpol yang berkurang untuk mewadahi kaum profesional yang tidak berasal dari parpol. Kaum profesional diperlukan untuk meningkatkan efektivitas,” kata Presiden kepada jurnalis.
Efektivitas selalu menjadi kata kunci yang sering disebut-sebut dalam penyusunan kabinet, tidak hanya pada era Yudhoyono, tetapi juga sejak era Presiden Soekarno. Jika kerja kabinet efektif, pemerintah diharapkan akan berkinerja sangat baik sehingga rakyat sejahtera.
Namun, faktanya, memilih menteri tak sesederhana menunjuk direktur perusahaan. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan, tak sekadar menunjuk yang profesional dan pintar.
Menteri adalah jabatan politik. Pemilihan menteri sepenuhnya wewenang presiden yang dijamin konstitusi atau disebut sebagai hak prerogatif. Lalu, apakah Presiden akan bisa seenaknya memilih orang-orang yang dikehendakinya? Tentu tidak. Sebagai pemimpin negara dan pemerintahan, Presiden akan mempertimbangkan banyak hal untuk memilih menteri demi stabilitas pemerintahannya. Tanpa stabilitas, efektivitas pemerintahan taruhannya.
Aspek profesionalisme, integritas, dan kepemimpinan disebut-sebut menjadi pertimbangan utama dalam memilih menteri. Namun, sebagaimana yang dilakukan SBY selama sepuluh tahun terakhir, faktor representasi etnis, agama, kelompok, dan parpol juga menjadi bahan pertimbangan.
Pada reshuffle Oktober 2011, seperti berusaha memenuhi harapan publik, Yudhoyono mengurangi jumlah menteri dari parpol. Jumlah menteri dari Partai Demokrat dikurangi satu orang, menjadi lima orang. Jumlah menteri dari PKS juga dipangkas satu orang, menjadi tinggal tiga orang.
Menteri Riset dan Teknologi, yang dijabat Suharna Surapranata dari PKS, digantikan Gusti Muhammad Hatta, seorang akademisi nonparpol. Gusti, sebelumnya menjabat Menteri Lingkungan Hidup, lahir di Banjarmasin, tumbuh besar di Martapura (Kalimantan Selatan), serta menjadi profesor di Universitas Lambung Mangkurat. Ia tokoh Banjar di kabinet.
Dua kader Partai Demokrat di kabinet, Darwin Zahedy Saleh (Menteri ESDM) serta Freddy Numberi (Menteri Perhubungan) yang orang Papua, dicopot. Namun, sebagai gantinya, hanya dimasukkan satu kader, yakni Amir Syamsuddin, di posisi Menteri Hukum dan HAM.
Darwin diganti Jero Wacik, satu-satunya orang Bali dan Hindu di kabinet, yang sebelumnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Mari Elka Pangestu, sebelumnya Menteri Perdagangan, menggantikan Jero dan kementeriannya diubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mari berlatar belakang keturunan Tiongkok serta beragama Katolik. Jero kini mundur karena menjadi tersangka kasus korupsi.
Sebagai pengganti Gusti, dipilih Balthasar Kambuaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ia satu-satunya orang Papua di dalam kabinet.
Peristiwa penggantian menkeu paling bombastis terjadi pada Mei 2010. Ketika itu, tekanan politik sangat besar dengan memainkan isu bail out Bank Century, tertuju kepada Yudhoyono untuk segera mencopot Sri Mulyani. Sebelum bertugas menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani dikenal berseberangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Salah satu buktinya, sekitar dua tahun sebelumnya, ia tidak setuju perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk, perusahaan milik Bakrie, dihentikan. Bagi Sri Mulyani, tidak ada alasan untuk menghentikan perdagangan saham emiten tersebut. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki perdagangan saham Bumi Resources dihentikan supaya nilainya tidak anjlok terus-menerus.
Didului ingar-bingar
Sama seperti reshuffle Oktober 2011, reshuffle kabinet pemerintahan Yudhoyono pada Mei 2007 juga didahului ingar-bingar. Dalam periode pertama pemerintahan Yudhoyono itu, berpekan-pekan sebelum perombakan kabinet dilakukan, politisi berbagai partai menyuarakan tekanan agar kabinet dikocok ulang sehingga kinerja pemerintahan membaik. Tekanan juga muncul dari pengamat dan akademisi.
Seperti merespons tekanan publik, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra serta Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dicopot. Keduanya dipersoalkan karena ditengarai berkaitan dengan pencairan dana lebih dari Rp 100 miliar milik Tommy Soeharto.
Akomodasi kekuatan politik terbukti selalu menjadi pertimbangan setiap kali reshuffle ataupun penyusunan kabinet.
Tantangan menyusun kabinet mungkin kini sudah dihadapi presiden terpilih Joko Widodo. Pasti ada begitu banyak permintaan, tekanan, kecaman, hingga manuver politik dari berbagai arah. Tak ada salahnya Jokowi belajar dari dinamika penyusunan dan kocok ulang kabinet, satu dekade terakhir. Intinya, meramu kabinet tidak seperti minum jamu: sekali tenggak semua penyakit hilang. (A Tomy Trinugroho)
Sejak pukul empat sore, Senin pekan lalu, mereka berkumpul di pusat perbelanjaan mewah itu. Satu-satu mereka datang menuju sebuah meja bagian pojok. Pemandangannya langsung ke arah air mancur Bundaran Hotel Indonesia. Arak-arakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla baru saja lewat setelah dilantik di gedung MPR/DPR.
Entah apa yang mereka perbincangkan, namun sore itu terlihat juga di dalam Plaza Indonesia berkeliaran pendukung Joko Widodo. Ada yang berkaus berkerah bertulisan nama dan foto Jokowi-JK. Hampir semuanya menggunakan baju berkerah atau kemeja putih. "Kamu harus berpolitik," kata salah satu lelaki saat berpindah dari bangku kafe menuju sofa.
Sumber merdeka.com, seorang pengusaha, mengatakan pesta rakyat menyambut pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kegiatan terselubung. Bentuk dukungan, seperti spanduk untuk Presiden Joko Widodo bertebaran, itu merupakan aksi dari massa bayaran. Mereka berbaur dengan orang-orang benar-benar ingin bertemu pemimpin baru negeri ini.
"Coba lihat aja spanduk-spanduk itu, dari mana duit mereka. Dari situ juga ketahuan siapa di belakangnya," ujarnya. Bagi dia, bukan hal mengagetkan pengerahan orang-orang bayaran itu memang sudah terstruktur. Dalam aksi sebelumnya, dedengkot orang suruhan itu nangkring sambil meminum kopi di kedai Starbucks. "Mereka ada cukongnya,"
Salah satu pendukung Joko Widodo membenarkan pengakuan pengusaha itu. Lelaki berbadan tambun dan mengenakan batik ini mengaku baru saja menemui rekannya di pelataran Monumen Nasional. Temannya itu merupakan salah satu dari sekian banyak relawan menyukseskan acara pesta rakyat.
Malam itu, sesuai susunan acara, bakal ada syukuran potong tumpeng. "Habis dari Monas lihat temen," ujarnya membuka perbincangan awal berkenalan. Dia mengatakan memang ada gerakan terstruktur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan para relawan. "Ada juga dari relawan. Kan relawan banyak," ujarnya.
Namun juru bicara PDIP Eva Kusuma Sundari membantah tudingan itu. Dia mengatakan pesta rakyat menyambut pelantikan Jokowi-JK murni dilakukan tanpa pamrih oleh para relawan. Eva juga menampik ada dari struktur partai turun menggawangi pesta tersebut. "Kamu lihat saja, ada tidak dari relawan di struktur kabinet," kata Eva melalui telepon seluler kemarin.
Eva menjelaskan bahkan untuk dana merupakan urunan dari para relawan. "Semua dana itu bantingan (urunan). Bahkan semua artis-artis kemarin tidak ada yang dibayar," tuturnya.
[fas]
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih mantan Presiden Direktur PT Kanzen Motor Indonesia, Rini Soemarno, sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Rini yang pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati Soekarnoputri itu pernah dimintai keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penyelidikan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Lantas, apa pendapat KPK mengenai terpilihnya Rini sebagai menteri?
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa pihaknya tidak mengomentari sosok perorangan. Menurut Johan, pemilihan Rini sebagai menteri merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai Presiden.
Kendati demikian, menurut dia, seseorang yang pernah diminta keterangan KPK belum tentu terlibat kasus dan belum tentu tak layak menjadi menteri.
"Tergantung sejauh mana orang itu terlibat. Kalau sekadar pernah diperiksa sebagai saksi, ya layak-layak saja," ujar Johan di Jakarta, Senin (27/10/2014).
Deputi Pencegahan KPK ini menyampaikan, tidak ada menteri dalam kabinet Jokowi-Jusuf Kalla yang diberi catatan merah dan kuning. Tanda merah menunjukkan risiko tinggi calon menteri itu terlibat kasus dugaan korupsi, sedangkan tanda kuning menunjukkan adanya laporan masyarakat yang masuk ke KPK mengenai calon menteri tersebut.
"Tidak ada, ini berdasarkan konfirmasi saya kepada beberapa pimpinan KPK," ucap dia.
Meskipun demikian, menurut Johan, KPK tidak menjamin bahwa calon menteri yang tidak diberi tanda merah atau kuning oleh KPK akan bebas dari godaan korupsi ketika terpilih sebagai menteri. Johan mengatakan, manusia bisa saja berubah ketika diberi kekuasaan dan kewenangan mengelola uang dalam jumlah besar.
"Sejak awal KPK menyampaikan bahwa kami tidak menjamin siapa pun, termasuk nama calon menteri yang tidak ada catatan dari KPK kelak setelah menjadi menteri, tidak korupsi," ujar dia.
Diperiksa KPK
Pada 2013, KPK meminta keterangan Rini selama lebih kurang tujuh jam terkait penyelidikan atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seusai dimintai keterangan, Rini mengaku diajukan pertanyaan oleh tim penyelidik KPK dalam kapasitasnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
“Sebagai anggota KSSK, saya dimintai keterangan,” kata Rini.
KPK menganggap Rini tahu seputar proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor BLBI. Mekanisme penerbitan SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002.
Hal ini dilakukan Presiden Megawati setelah menerima masukan dari jajaran menteri saat itu, seperti Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS.com - Bisa jadi, banyak orang diam-diam berharap atau bahkan bercita-cita menjadi menteri. Namun, setidaknya satu orang ini justru bersyukur ketika namanya tak muncul dalam daftar Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Padahal, nama orang ini sempat muncul bahkan mencuat menjadi salah satu kandidat yang diduga kuat masuk ke kabinet. Pada saat terakhir, namanya "hilang", entah karena pertimbangan yang mana dari Jokowi untuk mencoretnya.
Dia adalah Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. "Ini Tuhan kabulkan doa istri dan anak-anak saya (agar saya tak jadi menteri)," kata Saldi, sesaat setelah Kabinet Kerja diumumkan oleh Jokowi-JK, Minggu (26/10/2014) malam.
Sosok Saldi Isra segenerasi dengan tokoh-tokoh muda yang telah meniti puncak karier, baik di birokrasi--lewat jalur politik--maupun di partai politik. Sebut saja Denny Indrayana yang pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Ada juga generasi yang sedikit lebih muda seperti Taufik Basari yang menjadi petinggi di Partai Nasional Demokrat. "Banyak jalan untuk mengabdi pada negeri ini kan?" tepis Saldi ketika Kompas.com memastikan tak ada nada kecewa apalagi getir dalam nada bicaranya. "InsyaAllah saya tetap 'jaga' kampus," imbuh dia.
Saldi tertawa lepas saat ditanya apakah pencoretan namanya dari kabinet adalah karena mendapat rapor merah dari Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau sampai karena itu, kita tidak berteman lagi," ujar dia berseloroh.
Isi hati orang tak bisa ditebak. Namun, jawaban-jawaban lugas Saldi ini setidaknya konsisten dengan pernyataannya beberapa tahun silam, ketika para aktivis dan akademisi muda berbondong-bondong masuk ke dunia politik, di internal partai politik maupun ke parlemen.
Saat itu, Saldi kurang-lebih berucap, "Jangan semuanya meninggalkan kampus." Dia yang pada waktu itu "baru" menggenggam gelar master, membuktikan ucapannya dengan menaikkan "derajat" akademisnya, dengan meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada dan lalu menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, dan konsisten di jalurnya itu.
KOMPAS.com - Pada 18 Oktober 2011 malam, Ruang Kredensial atau ruang terdepan di Istana Merdeka terang benderang. Waktu itu hampir pukul 20.00. Tak lama lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono akan memasuki Ruang Kredensial untuk mengumumkan perombakan kabinet.
Berbaju batik coklat, Yudhoyono memasuki ruangan. Ia lalu berdiri di podium. ”Dalam reshuffle kali ini, ada dua pos parpol yang berkurang untuk mewadahi kaum profesional yang tidak berasal dari parpol. Kaum profesional diperlukan untuk meningkatkan efektivitas,” kata Presiden kepada jurnalis.
Efektivitas selalu menjadi kata kunci yang sering disebut-sebut dalam penyusunan kabinet, tidak hanya pada era Yudhoyono, tetapi juga sejak era Presiden Soekarno. Jika kerja kabinet efektif, pemerintah diharapkan akan berkinerja sangat baik sehingga rakyat sejahtera.
Namun, faktanya, memilih menteri tak sesederhana menunjuk direktur perusahaan. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan, tak sekadar menunjuk yang profesional dan pintar.
Menteri adalah jabatan politik. Pemilihan menteri sepenuhnya wewenang presiden yang dijamin konstitusi atau disebut sebagai hak prerogatif. Lalu, apakah Presiden akan bisa seenaknya memilih orang-orang yang dikehendakinya? Tentu tidak. Sebagai pemimpin negara dan pemerintahan, Presiden akan mempertimbangkan banyak hal untuk memilih menteri demi stabilitas pemerintahannya. Tanpa stabilitas, efektivitas pemerintahan taruhannya.
Aspek profesionalisme, integritas, dan kepemimpinan disebut-sebut menjadi pertimbangan utama dalam memilih menteri. Namun, sebagaimana yang dilakukan SBY selama sepuluh tahun terakhir, faktor representasi etnis, agama, kelompok, dan parpol juga menjadi bahan pertimbangan.
Pada reshuffle Oktober 2011, seperti berusaha memenuhi harapan publik, Yudhoyono mengurangi jumlah menteri dari parpol. Jumlah menteri dari Partai Demokrat dikurangi satu orang, menjadi lima orang. Jumlah menteri dari PKS juga dipangkas satu orang, menjadi tinggal tiga orang.
Menteri Riset dan Teknologi, yang dijabat Suharna Surapranata dari PKS, digantikan Gusti Muhammad Hatta, seorang akademisi nonparpol. Gusti, sebelumnya menjabat Menteri Lingkungan Hidup, lahir di Banjarmasin, tumbuh besar di Martapura (Kalimantan Selatan), serta menjadi profesor di Universitas Lambung Mangkurat. Ia tokoh Banjar di kabinet.
Dua kader Partai Demokrat di kabinet, Darwin Zahedy Saleh (Menteri ESDM) serta Freddy Numberi (Menteri Perhubungan) yang orang Papua, dicopot. Namun, sebagai gantinya, hanya dimasukkan satu kader, yakni Amir Syamsuddin, di posisi Menteri Hukum dan HAM.
Darwin diganti Jero Wacik, satu-satunya orang Bali dan Hindu di kabinet, yang sebelumnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Mari Elka Pangestu, sebelumnya Menteri Perdagangan, menggantikan Jero dan kementeriannya diubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mari berlatar belakang keturunan Tiongkok serta beragama Katolik. Jero kini mundur karena menjadi tersangka kasus korupsi.
Sebagai pengganti Gusti, dipilih Balthasar Kambuaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ia satu-satunya orang Papua di dalam kabinet.
Peristiwa penggantian menkeu paling bombastis terjadi pada Mei 2010. Ketika itu, tekanan politik sangat besar dengan memainkan isu bail out Bank Century, tertuju kepada Yudhoyono untuk segera mencopot Sri Mulyani. Sebelum bertugas menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani dikenal berseberangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Salah satu buktinya, sekitar dua tahun sebelumnya, ia tidak setuju perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk, perusahaan milik Bakrie, dihentikan. Bagi Sri Mulyani, tidak ada alasan untuk menghentikan perdagangan saham emiten tersebut. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki perdagangan saham Bumi Resources dihentikan supaya nilainya tidak anjlok terus-menerus.
Didului ingar-bingar
Sama seperti reshuffle Oktober 2011, reshuffle kabinet pemerintahan Yudhoyono pada Mei 2007 juga didahului ingar-bingar. Dalam periode pertama pemerintahan Yudhoyono itu, berpekan-pekan sebelum perombakan kabinet dilakukan, politisi berbagai partai menyuarakan tekanan agar kabinet dikocok ulang sehingga kinerja pemerintahan membaik. Tekanan juga muncul dari pengamat dan akademisi.
Seperti merespons tekanan publik, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra serta Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dicopot. Keduanya dipersoalkan karena ditengarai berkaitan dengan pencairan dana lebih dari Rp 100 miliar milik Tommy Soeharto.
Akomodasi kekuatan politik terbukti selalu menjadi pertimbangan setiap kali reshuffle ataupun penyusunan kabinet.
Tantangan menyusun kabinet mungkin kini sudah dihadapi presiden terpilih Joko Widodo. Pasti ada begitu banyak permintaan, tekanan, kecaman, hingga manuver politik dari berbagai arah. Tak ada salahnya Jokowi belajar dari dinamika penyusunan dan kocok ulang kabinet, satu dekade terakhir. Intinya, meramu kabinet tidak seperti minum jamu: sekali tenggak semua penyakit hilang. (A Tomy Trinugroho)
KOMPAS.com —Untunglah Presiden Joko Widodo tidak jadi
mengumumkan kabinetnya di Terminal III, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Utara, pada 23 Oktober yang lalu. Waktu itu wartawan sudah pergi ke
lokasi dengan bus yang disediakan panitia.
Rencana mengumumkan kabinet di Tanjung Priok, bukan di gedung
pemerintahan, seperti biasa dilakukan presiden-presiden sebelumnya,
tentu dimaksudkan untuk memantapkan konsepsi program Presiden Jokowi
yang memberi perhatian besar pada kemaritiman. Simbolisme seperti ini
pernah dilakukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
ketika mereka menyampaikan pidato kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa,
22 Juli.
Setelah menunggu enam hari, Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya di Istana Kepresidenan, Minggu (26/10/2014). Cara mengumumkan masih dalam balutan simbolisme. Pengumuman digelar dengan informal, berfoto di halaman rumput Istana. Tidak memakai jas rapi dan mahal, semua menteri diminta Jokowi mengenakan baju putih, celana hitam. Pakaian lengan panjang para menteri digulung setengah. Ketika Jokowi memperkenalkan satu per satu pembantunya tersebut, bekas Wali Kota Solo itu berteriak, ”Lari, Pak, lari….” Semua menyiratkan makna.
Batalnya pengumuman di Tanjung Priok juga memberi berkah tersendiri. Jokowi mengintroduksi model baru seleksi menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Melalui dua lembaga antikorupsi ini, Jokowi berkeyakinan mendapatkan orang-orang terpilih dan bersih.
Dalam pidato kenegaraan seusai dilantik menjadi Presiden, Jokowi berjanji akan mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. ”Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ’Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya.” Diksi puitis yang juga sarat simbol.
Sebagai bukti pertama dari isi pidato tersebut, Jokowi meningkatkan perhatian kelautan dengan tetap mempertahankan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dipegang Susi Pudjiastuti ditambah dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo. Dari segi postur secara keseluruhan, Kabinet Kerja, demikian sebutannya, terdiri atas 34 menteri. Ini sama dengan jumlah kabinet era Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua periode kepresidenan (2004-2009, 2009-2014).
Gagasan perampingan kabinet untuk menekan biaya operasional dan efektivitas pemerintahan tak bisa dijalankan. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) lebih berhasil ketimbang Jokowi dalam menampilkan postur kabinet yang ramping dengan hanya mengangkat 30 menteri. Yang menonjol untuk sekarang ini, dari jumlah itu, ada 8 menteri perempuan dan 26 laki-laki. Ini merupakan proporsi yang sangat berpihak kepada emansipasi perempuan dibandingkan dengan periode kepresidenan sebelum Jokowi.
Simbolisme untuk Jokowi bukan aksesori tanpa makna. Bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, pesan simbolis yang gencar dinyatakan merupakan refleksi etos kerja keras dan kesederhanaan hidup yang tidak dibuat-buat serta dilakukan dengan konsisten. Bukan pencitraan. Jokowi sudah membuktikan. Permasalahannya sekarang, apakah para pembantunya tersebut akan mampu berbuat secara nyata dalam tindakan, bukan dalam simbolisme? Waktu yang akan membuktikan. ( )
bambang.sigap@kompas.com
Setelah menunggu enam hari, Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya di Istana Kepresidenan, Minggu (26/10/2014). Cara mengumumkan masih dalam balutan simbolisme. Pengumuman digelar dengan informal, berfoto di halaman rumput Istana. Tidak memakai jas rapi dan mahal, semua menteri diminta Jokowi mengenakan baju putih, celana hitam. Pakaian lengan panjang para menteri digulung setengah. Ketika Jokowi memperkenalkan satu per satu pembantunya tersebut, bekas Wali Kota Solo itu berteriak, ”Lari, Pak, lari….” Semua menyiratkan makna.
Batalnya pengumuman di Tanjung Priok juga memberi berkah tersendiri. Jokowi mengintroduksi model baru seleksi menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Melalui dua lembaga antikorupsi ini, Jokowi berkeyakinan mendapatkan orang-orang terpilih dan bersih.
Dalam pidato kenegaraan seusai dilantik menjadi Presiden, Jokowi berjanji akan mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. ”Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ’Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya.” Diksi puitis yang juga sarat simbol.
Sebagai bukti pertama dari isi pidato tersebut, Jokowi meningkatkan perhatian kelautan dengan tetap mempertahankan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dipegang Susi Pudjiastuti ditambah dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo. Dari segi postur secara keseluruhan, Kabinet Kerja, demikian sebutannya, terdiri atas 34 menteri. Ini sama dengan jumlah kabinet era Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua periode kepresidenan (2004-2009, 2009-2014).
Gagasan perampingan kabinet untuk menekan biaya operasional dan efektivitas pemerintahan tak bisa dijalankan. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) lebih berhasil ketimbang Jokowi dalam menampilkan postur kabinet yang ramping dengan hanya mengangkat 30 menteri. Yang menonjol untuk sekarang ini, dari jumlah itu, ada 8 menteri perempuan dan 26 laki-laki. Ini merupakan proporsi yang sangat berpihak kepada emansipasi perempuan dibandingkan dengan periode kepresidenan sebelum Jokowi.
Simbolisme untuk Jokowi bukan aksesori tanpa makna. Bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, pesan simbolis yang gencar dinyatakan merupakan refleksi etos kerja keras dan kesederhanaan hidup yang tidak dibuat-buat serta dilakukan dengan konsisten. Bukan pencitraan. Jokowi sudah membuktikan. Permasalahannya sekarang, apakah para pembantunya tersebut akan mampu berbuat secara nyata dalam tindakan, bukan dalam simbolisme? Waktu yang akan membuktikan. ( )
bambang.sigap@kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar