TEMPO.CO, Jakarta
- Peneliti Lingkaran Survei Indonesia, Ade Mulyana, mengatakan pemilih
pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
berkarakter ragu-ragu. Dari hasil survei yang dilakukan lembaganya, Ade
mengatakan, para pemilih ini kebanyakan berada di perkotaan dan
berpendidikan tinggi. (Baca: Beredar Video Desak Allah Menangkan Prabowo-Hatta)
“Ketika ditanyakan kembali pandangan dan persepsinya (setelah pemilihan presiden), mereka beralih mendukung Jokowi-JK dengan dalih ingin bersikap rasional," kata Ade seusai konferensi pers tentang hasil survei terbaru LSI di kantornya, Kamis, 7 Agustus 2014.
Ade mengatakan pendukung Prabowo percaya pada penetapan hasil Komisi Pemilihan Umum 22 Juli lalu. Menurut Ade, para pendukung Prabowo juga ingin menghormati pilihan sebagian besar rakyat Indonesia yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ade juga mengatakan kesimpulan ini dapat dihasilkan oleh lembaganya setelah membandingkan hasil exit poll LSI dalam pemilihan presiden lalu dengan hasil survei lembaganya kali ini. Berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, para peneliti menemukan pendukung Prabowo memang tak seratus persen yakin atas pilihan mereka sebelumnya. (Baca: Kubu Prabowo-Hatta Tak Gubris Cibiran Pengamat)
"Mereka mengaku legowo menerima hasilnya dan mendukung kinerja Jokowi-JK untuk pemerintahan mendatang," kata Ade. (Baca: Akbar Tandjung: Ada Kecurangan, Ada Bukti)
Berdasarkan hasil survei LSI, lebih dari 65 persen responden mempercayai hasil KPU, sedangkan sekitar 18 persen mengaku tak percaya pada hasil tersebut. Sisanya tak mau menjawab dan tak tahu percaya atau tidak.
Adapun tujuan LSI mengadakan survei ini adalah melihat pandangan dan persepsi publik seusai penetapan pemenang pemilihan presiden 22 Juli lalu. LSI melakukan pengumpulan data dalam rentang 4-6 Agustus 2014. Ade mengatakan jumlah responden yang digunakan sebanyak 1.200 orang. Mereka tersebar di 33 provinsi. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan riset kualitatif berupa focus group discussion, in-depth interview, dan analisis media nasional.
Hasil survei menyatakan dukungan publik kepada Jokowi-JK lebih besar saat ini. Jokowi-JK didukung 65,25 persen responden, sedangkan Prabowo-Hatta hanya mendapat 34.75 persen suara. Margin of error riset ini kurang-lebih 2,9 persen.
YOLANDA RYAN ARMINDYA
JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan permohonan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi tidak didukung oleh pemilihnya sendiri. Pasalnya, sebagian besar masyarakat, termasuk pemilih Prabowo-Hatta dalam pemilu presiden 9 Juli lalu, menganggap pelaksanaan pilpres telah berlangsung dengan bebas dan jujur.
Hal tersebut terlihat dalam survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Minggu (10/8/2014) siang.
Hasil survei menunjukkan, 48,2 persen responden menilai pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 29,7 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara sebanyak 10,9 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 2,3 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Sisanya, 8,9 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
"Hasil tidak jauh berbeda terjadi pada pendukung Prabowo-Hatta dan partai-partai pendukungnya. Kebanyakan mereka juga menganggap pilpres berjalan baik," kata Peniliti SMRC Djayadi Hanan.
Dari pendukung Prabowo-Hatta yang disurvei, 47 persennya juga menganggap pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 27 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara sebanyak 14 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 4 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Adapun 7 persen lainya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
"Sikap Prabowo menggugat ke MK karena menganggap pilpres totaliter dan penuh kecurangan, tidak didukung oleh mayoritas masyarakat, bahkan pendukungnya sendiri. Prabowo terasing oleh pemilihnya sendiri," ujar Djayadi.
Survei ini dilakukan pada 21-26 juli 2014 dengan 1220 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Margin of error kurang lebih 2,9 persen. Survei dibiayai oleh SMRC bekerjasama dengan lingkaran survei Indonesia.
detik Jakarta - Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network besutan Denny JA menunjukkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta menurun pasca keputusan resmi KPU. Menurut peneliti LSI Ade Mulyana, ada 2 hal yang menyebabkan hal itu terjadi.
"Karakter pemilih Prabowo-Hatta adalah pemilih ragu-ragu dan lebih mudah mengubah pilihannya," katanya di kantor LSI, Jl Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (7/8/2014).
Ade mengatakan, mayoritas pemilih Prabowo-Hatta adalah masyarakat kota yang berpendidikan tinggi. Mereka juga percaya dengan hasil penghitungan KPU.
"Survei LSI menunjukkan bahwa 67,49% publik percaya dengan hasil resmi KPU," katanya.
Faktor kedua yang menyebabkan pamor Prabowo turun adalah sikapnya yang tidak legowo dan tidak mau menerima keputusan KPU. Menurutnya banyak publik yang kecewa terhadap sikap prabowo yang dinilai kurang simpatik tersebut.
"Di sisi lain, Jokowi-JK terlihat lebih santun dan elegan. Di mana Jokowi mengatakan bahwa Prabowo adalah seorang yang negarawan," tutupnya.
Merdeka.com - Pengunduran diri Halida Hatta sebagai wakil ketua umum bidang kesra Partai Gerindra mengingatkan publik jika ada trah Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia terjun ke dunia politik. Dari tiga putri Bung Hatta, hanya Gemala Rabi'ah atau Gemala Hatta yang tidak terlibat.
Bung Hatta, memiliki tiga putri dari pernikahan dengan Rachmi Rahim atau yang lebih dikenal dengan Rachmi Hatta. Mereka adalah Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah Hatta. Semasa Orde Baru, ketiganya tidak pernah terdengar beraktivitas dalam partai politik. Berbeda dengan putra-putri Bung Karno yang semuanya memiliki jejak dalam perpolitikan.
Hingga awal tahun 2000-an, Meutia Hatta yang menikah dengan ekonom Sri Edi Swasono, masih aktif di kampusnya FISIP UI sebagai salah satu dosen pengajar di jurusan Antropologi. Dia juga sempat menjadi deputi Menbudpar bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan.
Dia terlibat aktif dalam Partai Keadilan dan Persatuan yang diketuai oleh mantan Panglima ABRI Jenderal (purn) Edi Sudrajat karena suaminya merupakan salah satu pendiri partai tersebut. Partai ini berlaga dalam pemilu 1999 namun kurang mendapat dukungan publik. Ketika Pemilu 2004, PKP yang masih dipimpin Edi Sudrajat, berubah nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk menyiasati syarat UU Pemilu. Hasil Pemilu 2004 juga kurang menggembirakan bagi partai berlambang burung garuda merah putih tersebut.
Pada 2004-2009, Meutia menjadi dipilih Presiden SBY untuk menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Saat menjadi menteri inilah, pada tahun 2008, Meutia ditunjuk menjadi ketua dewan pimpinan nasional (DPN) menggantikan Edi Sudrajat yang meninggal dunia pada 2006. Sebelumnya, ketua umum PKPI dijabat sementara oleh Mayjen TNI (Purn) Haris Sudarno.
Di bawah kepemimpinan Meutia, ada harapan besar dari para pendukung PKPI. Meutia juga aktif berkampanye dengan lebih menekankan pada isu-isu perempuan. Namun sayang, PKPI tetap sulit menembus jajaran partai menengah. Dalam penghitungan akhir hasil pemilu legislatif 2009, dari 24 partai yang bertarung, PKPI hanya memperoleh 934.892 suara dengan persentase 0,9 persen. Dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 2,5 persen, PKPI tidak punya wakil di Senayan. Meutia memimpin PKPI hingga April 2010, dan kemudian digantikan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melalui kongres ketiga PKPI.
Sejak Januari 2010, Presiden SBY mengangkat Meutia Hatta sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dalam kepengurusan PKPI 2010-2015, nama Meutia tidak tercantum.
Halida Nuriah merupakan putri bungsu Bung Hatta. Keterlibatannya dalam dunia politik terbilang baru. Sekitar awal tahun 2008, saat Partai Gerindra dideklarasikan pada bulan Februari, Halida menjadi salah satu pendiri.
Halida mengakui, dia bergabung dengan Partai Gerindra karena sahabatnya Prabowo Subianto mengajaknya bergabung. Saat itu, para pengajak menyebutkan Partai Gerindra sebagai partainya anak muda dan mengimplementasikan ajaran Bung Hatta.
Tawaran itu akhirnya diterima Halida. Apalagi, mendiang Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, adalah tokoh yang pemikirannya sealiran dengan Bung Hatta. Meski berbeda partai dengan kakaknya Meutia, bagi Halida semakin banyak ajaran Bung Hatta disebarkan terutama ekonomi kerakyatan dia semakin berbahagia. Lulusan S-2 dari International University of Japan di jurusan Hubungan Internasional itu malah ditempatkan dalam posisi petinggi partai.
Pemilu 2009 menjadi ujian bagi Halida yang terbilang hijau di kancah politik. Membawa besar trah Mohammad Hatta, Halida menjadi caleg nomor 1 dari Partai Gerindra untuk daerah pemilihan DKI Jakarta II yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri.
Dari lima jatah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut, Halida gagal menjadi anggota DPR. Dia kalah bersaing dengan caleg dari partai-partai besar.
Sementara perolehan suara Gerindra dapat dikatakan lumayan, meski tidak sebanding dengan modal triliunan rupiah yang konon digelontorkan Prabowo. Gerindra berada di urutan ke-8 dari 9 parpol yang lolos parliamentary threshold. Partai Gerindra menempatkan 26 wakilnya di DPR setelah meraih 4.646.406 suara (4,5%). Prabowo yang menjadi cawapres Megawati juga kalah dalam pemilihan presiden.
Kamis (5/7) kabar pengunduran diri Halida terungkap. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, Halida telah mengajukan pengunduran diri sejak bulan April lalu dan telah disampaikan langsung kepada Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto. Pengurus DPP, lanjut Muzani merasa terpukul dan kehilangan karena Halida merupakan salah satu aset partai dan tokoh pendiri.
Sementara Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Edhie Prabowo mengatakan pengunduran diri Halida karena tempat kerjanya yang baru, sebuah perusahaan asing tidak memperbolehkan dia terlibat aktif dalam politik.
Meski begitu, ada kabar miring yang muncul di balik pengunduran diri Halida. Kabarnya Halida merasa sudah tidak didengarkan lagi dalam rapat-rapat pengurus DPP yang dipimpin Prabowo. Halida juga merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak bisa berkontribusi dalam kepengurusan partai. Benarkah kabar miring ini?
“Ketika ditanyakan kembali pandangan dan persepsinya (setelah pemilihan presiden), mereka beralih mendukung Jokowi-JK dengan dalih ingin bersikap rasional," kata Ade seusai konferensi pers tentang hasil survei terbaru LSI di kantornya, Kamis, 7 Agustus 2014.
Ade mengatakan pendukung Prabowo percaya pada penetapan hasil Komisi Pemilihan Umum 22 Juli lalu. Menurut Ade, para pendukung Prabowo juga ingin menghormati pilihan sebagian besar rakyat Indonesia yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ade juga mengatakan kesimpulan ini dapat dihasilkan oleh lembaganya setelah membandingkan hasil exit poll LSI dalam pemilihan presiden lalu dengan hasil survei lembaganya kali ini. Berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, para peneliti menemukan pendukung Prabowo memang tak seratus persen yakin atas pilihan mereka sebelumnya. (Baca: Kubu Prabowo-Hatta Tak Gubris Cibiran Pengamat)
"Mereka mengaku legowo menerima hasilnya dan mendukung kinerja Jokowi-JK untuk pemerintahan mendatang," kata Ade. (Baca: Akbar Tandjung: Ada Kecurangan, Ada Bukti)
Berdasarkan hasil survei LSI, lebih dari 65 persen responden mempercayai hasil KPU, sedangkan sekitar 18 persen mengaku tak percaya pada hasil tersebut. Sisanya tak mau menjawab dan tak tahu percaya atau tidak.
Adapun tujuan LSI mengadakan survei ini adalah melihat pandangan dan persepsi publik seusai penetapan pemenang pemilihan presiden 22 Juli lalu. LSI melakukan pengumpulan data dalam rentang 4-6 Agustus 2014. Ade mengatakan jumlah responden yang digunakan sebanyak 1.200 orang. Mereka tersebar di 33 provinsi. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan riset kualitatif berupa focus group discussion, in-depth interview, dan analisis media nasional.
Hasil survei menyatakan dukungan publik kepada Jokowi-JK lebih besar saat ini. Jokowi-JK didukung 65,25 persen responden, sedangkan Prabowo-Hatta hanya mendapat 34.75 persen suara. Margin of error riset ini kurang-lebih 2,9 persen.
YOLANDA RYAN ARMINDYA
JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan permohonan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi tidak didukung oleh pemilihnya sendiri. Pasalnya, sebagian besar masyarakat, termasuk pemilih Prabowo-Hatta dalam pemilu presiden 9 Juli lalu, menganggap pelaksanaan pilpres telah berlangsung dengan bebas dan jujur.
Hal tersebut terlihat dalam survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Minggu (10/8/2014) siang.
Hasil survei menunjukkan, 48,2 persen responden menilai pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 29,7 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara sebanyak 10,9 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 2,3 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Sisanya, 8,9 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
"Hasil tidak jauh berbeda terjadi pada pendukung Prabowo-Hatta dan partai-partai pendukungnya. Kebanyakan mereka juga menganggap pilpres berjalan baik," kata Peniliti SMRC Djayadi Hanan.
Dari pendukung Prabowo-Hatta yang disurvei, 47 persennya juga menganggap pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 27 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara sebanyak 14 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 4 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Adapun 7 persen lainya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
"Sikap Prabowo menggugat ke MK karena menganggap pilpres totaliter dan penuh kecurangan, tidak didukung oleh mayoritas masyarakat, bahkan pendukungnya sendiri. Prabowo terasing oleh pemilihnya sendiri," ujar Djayadi.
Survei ini dilakukan pada 21-26 juli 2014 dengan 1220 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Margin of error kurang lebih 2,9 persen. Survei dibiayai oleh SMRC bekerjasama dengan lingkaran survei Indonesia.
detik Jakarta - Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network besutan Denny JA menunjukkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta menurun pasca keputusan resmi KPU. Menurut peneliti LSI Ade Mulyana, ada 2 hal yang menyebabkan hal itu terjadi.
"Karakter pemilih Prabowo-Hatta adalah pemilih ragu-ragu dan lebih mudah mengubah pilihannya," katanya di kantor LSI, Jl Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (7/8/2014).
Ade mengatakan, mayoritas pemilih Prabowo-Hatta adalah masyarakat kota yang berpendidikan tinggi. Mereka juga percaya dengan hasil penghitungan KPU.
"Survei LSI menunjukkan bahwa 67,49% publik percaya dengan hasil resmi KPU," katanya.
Faktor kedua yang menyebabkan pamor Prabowo turun adalah sikapnya yang tidak legowo dan tidak mau menerima keputusan KPU. Menurutnya banyak publik yang kecewa terhadap sikap prabowo yang dinilai kurang simpatik tersebut.
"Di sisi lain, Jokowi-JK terlihat lebih santun dan elegan. Di mana Jokowi mengatakan bahwa Prabowo adalah seorang yang negarawan," tutupnya.
Meluruskan Pernyataan Prabowo tentang Pilpres
OPINI | 07 August 2014 | 08:02
Saya sangat menghormati Prabowo. Semua tulisan dan pernyataan
saya di media tidak pernah menyerang apalagi merendahkan beliau, tetapi
saya terpaksa harus mengemukakan pandangan dan kritikan saya kepada
beliau.
Ada dua sikap dan pernyataan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI 2014 yang patut disesalkan. Pertama, menarik diri dalam proses pilpres dan tidak mengakui pilpres. Hal itu diucapkan pada 22 Juli 2014 menjelang pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan presiden (pilpres) oleh KPU.
Kedua, menganggap pilpres di Indonesia seperti di Negara totaliter, fasis, komunis, yang diucapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Agustus 2014.
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan saya sesalkan dan prihatin atas pernyataan Prabowo tersebut.
Pertama, karena melanggar UU. Seorang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden tidak boleh mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, kurang memberi contoh dan teladan. Kalau merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil dan tidak jujur dalam pilpres, maka mekanismenya bisa diajukan ke MK seperti yang sedang dilakukan sekarang. Bukan dengan menarik diri dan menganggap pilpres tidak sah.
Ketiga, kurang mempertimbangkan dampak sosiologis dari suatu pernyataan, apakah merusak persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya.
Keempat, kurang menghayati demokrasi. Dalam demokrasi pasti ada yang menang dan kalah. Kalau merasa dicurangi dalam pelaksanaan demokrasi seperti yang diungkapkan diatas, tempuhlah cara-cara yang diatur dalam mekanisme demokrasi.
Kelima, mudah menuduh dan menganggap benar sendiri. Dalam demokrasi, kebenaran tidak hanya dari kelompok sendiri, tetapi juga bisa dari pandangan pihak lain bahkan dari lawan politik. Dengan demikian, bisa bertindak lebih bijaksana, lebih arif dan kesatria.
Pilpres Seperti di Negara Totaliter
Saya meneliti dan menulis disertasi tentang demokrasi dan Islam di Kalangan Komunitas Miskin di Solo, sehingga saya merasa mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk meluruskan pernyataan Prabowo yang menganggap Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis.
Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) alasan untuk menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Pertama, penyelenggara pilpres adalah independen. Mereka dipilih secara ketat, selektif dan transparan oleh suatu tim pakar yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka, kredibel dan terpercaya. Hasil seleksi calon anggota KPU setelah melalui proses, Presiden kemudian meneruskan ke DPR RI untuk dipilih. Jadi penyelenggara pilpres tidak seperti di negara totaliter, fasis dan komunis yang ditunjuk dari rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, penyelenggara pilipres (KPU) diawasi oleh Bawaslu dan DKKP yang diketuai Jumly Asshidiqie. Selain itu, publik melalui para pakar dan media mengawasi pelaksanaan pilpres. Sistem seperti ini pasti tidak terdapat dalam negara totaliter, fasis dan komunis.
Ketiga, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Kalau Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka pasti Prabowo-Hatta, Jokowi-JK tidak bakal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Keempat, banyak partai politik. Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka Prabowo pasti tidak bisa mendirikan partai politik dan menjadi calon presiden republik Indonesia.
Kelima, rakyat bebas mewujudkan hak politiknya secara langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka tidak mungkin rakyat bebas memilih Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.
Oleh karena itu, pernyataan Prabowo Subianto dihadapan sidang MK bahwa pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis sama sekali tidak benar. Saya ikut melaksanakan hak pilih secara luber dan jurdil, dan menyaksikan penghitungan suara di TPS 021, 022 Kelurahan Cipete Selatan Cilandak Jakarta Selatan yang berdekatan, dan juga di TPS 023, semua berjalan normal, adil dan jujur, tidak seperti yang dituduhkan bahwa terjadi kecurangan TSM (terstruktur, Sistimatis dan Masif) dalam pilpres di 33 provinsi.
Pasti ada kelemahan, kekurangan dan mungkin kecurangan dalam pelaksanaan pilpres, tetapi saya tidak percaya kalau dikatakan telah terjadi kecurangan terstruktur, sistimatis dan masif dalam pilpres 9 Juli 2014. Pengawasan dalam pilpres berlapis-lapis, ada Bawaslu, DKKP, saksi kedua belah pihak, rakyat yang ikut menyaksikan, media, para pakar, pemantau dalam dan luar negeri, polisi dan TNI.
Wallahu a’lam bisshawab
Ada dua sikap dan pernyataan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI 2014 yang patut disesalkan. Pertama, menarik diri dalam proses pilpres dan tidak mengakui pilpres. Hal itu diucapkan pada 22 Juli 2014 menjelang pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan presiden (pilpres) oleh KPU.
Kedua, menganggap pilpres di Indonesia seperti di Negara totaliter, fasis, komunis, yang diucapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Agustus 2014.
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan saya sesalkan dan prihatin atas pernyataan Prabowo tersebut.
Pertama, karena melanggar UU. Seorang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden tidak boleh mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, kurang memberi contoh dan teladan. Kalau merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil dan tidak jujur dalam pilpres, maka mekanismenya bisa diajukan ke MK seperti yang sedang dilakukan sekarang. Bukan dengan menarik diri dan menganggap pilpres tidak sah.
Ketiga, kurang mempertimbangkan dampak sosiologis dari suatu pernyataan, apakah merusak persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya.
Keempat, kurang menghayati demokrasi. Dalam demokrasi pasti ada yang menang dan kalah. Kalau merasa dicurangi dalam pelaksanaan demokrasi seperti yang diungkapkan diatas, tempuhlah cara-cara yang diatur dalam mekanisme demokrasi.
Kelima, mudah menuduh dan menganggap benar sendiri. Dalam demokrasi, kebenaran tidak hanya dari kelompok sendiri, tetapi juga bisa dari pandangan pihak lain bahkan dari lawan politik. Dengan demikian, bisa bertindak lebih bijaksana, lebih arif dan kesatria.
Pilpres Seperti di Negara Totaliter
Saya meneliti dan menulis disertasi tentang demokrasi dan Islam di Kalangan Komunitas Miskin di Solo, sehingga saya merasa mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk meluruskan pernyataan Prabowo yang menganggap Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis.
Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) alasan untuk menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Pertama, penyelenggara pilpres adalah independen. Mereka dipilih secara ketat, selektif dan transparan oleh suatu tim pakar yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka, kredibel dan terpercaya. Hasil seleksi calon anggota KPU setelah melalui proses, Presiden kemudian meneruskan ke DPR RI untuk dipilih. Jadi penyelenggara pilpres tidak seperti di negara totaliter, fasis dan komunis yang ditunjuk dari rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, penyelenggara pilipres (KPU) diawasi oleh Bawaslu dan DKKP yang diketuai Jumly Asshidiqie. Selain itu, publik melalui para pakar dan media mengawasi pelaksanaan pilpres. Sistem seperti ini pasti tidak terdapat dalam negara totaliter, fasis dan komunis.
Ketiga, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Kalau Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka pasti Prabowo-Hatta, Jokowi-JK tidak bakal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Keempat, banyak partai politik. Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka Prabowo pasti tidak bisa mendirikan partai politik dan menjadi calon presiden republik Indonesia.
Kelima, rakyat bebas mewujudkan hak politiknya secara langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka tidak mungkin rakyat bebas memilih Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.
Oleh karena itu, pernyataan Prabowo Subianto dihadapan sidang MK bahwa pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis sama sekali tidak benar. Saya ikut melaksanakan hak pilih secara luber dan jurdil, dan menyaksikan penghitungan suara di TPS 021, 022 Kelurahan Cipete Selatan Cilandak Jakarta Selatan yang berdekatan, dan juga di TPS 023, semua berjalan normal, adil dan jujur, tidak seperti yang dituduhkan bahwa terjadi kecurangan TSM (terstruktur, Sistimatis dan Masif) dalam pilpres di 33 provinsi.
Pasti ada kelemahan, kekurangan dan mungkin kecurangan dalam pelaksanaan pilpres, tetapi saya tidak percaya kalau dikatakan telah terjadi kecurangan terstruktur, sistimatis dan masif dalam pilpres 9 Juli 2014. Pengawasan dalam pilpres berlapis-lapis, ada Bawaslu, DKKP, saksi kedua belah pihak, rakyat yang ikut menyaksikan, media, para pakar, pemantau dalam dan luar negeri, polisi dan TNI.
Wallahu a’lam bisshawab
Merdeka.com - Pengunduran diri Halida Hatta sebagai wakil ketua umum bidang kesra Partai Gerindra mengingatkan publik jika ada trah Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia terjun ke dunia politik. Dari tiga putri Bung Hatta, hanya Gemala Rabi'ah atau Gemala Hatta yang tidak terlibat.
Bung Hatta, memiliki tiga putri dari pernikahan dengan Rachmi Rahim atau yang lebih dikenal dengan Rachmi Hatta. Mereka adalah Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah Hatta. Semasa Orde Baru, ketiganya tidak pernah terdengar beraktivitas dalam partai politik. Berbeda dengan putra-putri Bung Karno yang semuanya memiliki jejak dalam perpolitikan.
Hingga awal tahun 2000-an, Meutia Hatta yang menikah dengan ekonom Sri Edi Swasono, masih aktif di kampusnya FISIP UI sebagai salah satu dosen pengajar di jurusan Antropologi. Dia juga sempat menjadi deputi Menbudpar bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan.
Dia terlibat aktif dalam Partai Keadilan dan Persatuan yang diketuai oleh mantan Panglima ABRI Jenderal (purn) Edi Sudrajat karena suaminya merupakan salah satu pendiri partai tersebut. Partai ini berlaga dalam pemilu 1999 namun kurang mendapat dukungan publik. Ketika Pemilu 2004, PKP yang masih dipimpin Edi Sudrajat, berubah nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk menyiasati syarat UU Pemilu. Hasil Pemilu 2004 juga kurang menggembirakan bagi partai berlambang burung garuda merah putih tersebut.
Pada 2004-2009, Meutia menjadi dipilih Presiden SBY untuk menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Saat menjadi menteri inilah, pada tahun 2008, Meutia ditunjuk menjadi ketua dewan pimpinan nasional (DPN) menggantikan Edi Sudrajat yang meninggal dunia pada 2006. Sebelumnya, ketua umum PKPI dijabat sementara oleh Mayjen TNI (Purn) Haris Sudarno.
Di bawah kepemimpinan Meutia, ada harapan besar dari para pendukung PKPI. Meutia juga aktif berkampanye dengan lebih menekankan pada isu-isu perempuan. Namun sayang, PKPI tetap sulit menembus jajaran partai menengah. Dalam penghitungan akhir hasil pemilu legislatif 2009, dari 24 partai yang bertarung, PKPI hanya memperoleh 934.892 suara dengan persentase 0,9 persen. Dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 2,5 persen, PKPI tidak punya wakil di Senayan. Meutia memimpin PKPI hingga April 2010, dan kemudian digantikan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melalui kongres ketiga PKPI.
Sejak Januari 2010, Presiden SBY mengangkat Meutia Hatta sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dalam kepengurusan PKPI 2010-2015, nama Meutia tidak tercantum.
Halida Nuriah merupakan putri bungsu Bung Hatta. Keterlibatannya dalam dunia politik terbilang baru. Sekitar awal tahun 2008, saat Partai Gerindra dideklarasikan pada bulan Februari, Halida menjadi salah satu pendiri.
Halida mengakui, dia bergabung dengan Partai Gerindra karena sahabatnya Prabowo Subianto mengajaknya bergabung. Saat itu, para pengajak menyebutkan Partai Gerindra sebagai partainya anak muda dan mengimplementasikan ajaran Bung Hatta.
Tawaran itu akhirnya diterima Halida. Apalagi, mendiang Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, adalah tokoh yang pemikirannya sealiran dengan Bung Hatta. Meski berbeda partai dengan kakaknya Meutia, bagi Halida semakin banyak ajaran Bung Hatta disebarkan terutama ekonomi kerakyatan dia semakin berbahagia. Lulusan S-2 dari International University of Japan di jurusan Hubungan Internasional itu malah ditempatkan dalam posisi petinggi partai.
Pemilu 2009 menjadi ujian bagi Halida yang terbilang hijau di kancah politik. Membawa besar trah Mohammad Hatta, Halida menjadi caleg nomor 1 dari Partai Gerindra untuk daerah pemilihan DKI Jakarta II yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri.
Dari lima jatah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut, Halida gagal menjadi anggota DPR. Dia kalah bersaing dengan caleg dari partai-partai besar.
Sementara perolehan suara Gerindra dapat dikatakan lumayan, meski tidak sebanding dengan modal triliunan rupiah yang konon digelontorkan Prabowo. Gerindra berada di urutan ke-8 dari 9 parpol yang lolos parliamentary threshold. Partai Gerindra menempatkan 26 wakilnya di DPR setelah meraih 4.646.406 suara (4,5%). Prabowo yang menjadi cawapres Megawati juga kalah dalam pemilihan presiden.
Kamis (5/7) kabar pengunduran diri Halida terungkap. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, Halida telah mengajukan pengunduran diri sejak bulan April lalu dan telah disampaikan langsung kepada Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto. Pengurus DPP, lanjut Muzani merasa terpukul dan kehilangan karena Halida merupakan salah satu aset partai dan tokoh pendiri.
Sementara Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Edhie Prabowo mengatakan pengunduran diri Halida karena tempat kerjanya yang baru, sebuah perusahaan asing tidak memperbolehkan dia terlibat aktif dalam politik.
Meski begitu, ada kabar miring yang muncul di balik pengunduran diri Halida. Kabarnya Halida merasa sudah tidak didengarkan lagi dalam rapat-rapat pengurus DPP yang dipimpin Prabowo. Halida juga merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak bisa berkontribusi dalam kepengurusan partai. Benarkah kabar miring ini?
[hhw]
jpnn JAKARTA
- Calon presiden (Capres) nomor urut 1, Prabowo Subianto bakal menemui
masalah baru. Hal itu berkaitan dengan protes yang dilayangkan buruh
perusahaan PT. Kiani Kertas di Berau, Kalimantan Timur, yang menuntut
pelunasan pembayaran gaji.
Awalnya, lebih dari 1.000 karyawan
perusahaan kertas yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu akan
menggelar aksi unjuk rasa ke kantor Pemkab Berau.
Mereka meminta aparat pemerintahan
menindak perusahaan yang dimiliki calon presiden Prabowo Subianto itu
untuk membayar utang gaji selama lima.
Hanya saja, menurut Ketua DPC SBSI
Kabupaten Berau, Suyadi, aksi unjuk rasa dibatalkan karena pihak
perusahaan kembali melontarkan janji untuk membayar tunggakan gaji.
"Kita batalkan dulu aksi karena perusahaan
janji gaji akan dibayar sebagian. Memang berulang kali seperti itu,
ketika kita aksi, maka akan dibayar sebulan," kata Suyadi saat dihubungi
dari Jakarta, Selasa (24/6).
Suyadi mengungkapkan, aksi unjuk rasa itu
kencang terdengar karena buruh tidak mendapat kepastian manajemen. Buruh
juga tidak mendapat link untuk bertemu dengan pejabat perusahaan.
Buruh menjadi sangat resah karena
tunggakan gaji tersebut sudah berlangsung sejak Agustus. Buruh tidak
menerima gaji selama lima bulan dengan rasio gaji terendah sebesar Rp 5
juta per bulan.
"Dan kepada kami disampaikan selama ini
bahwa ini karena kondisi keuangan perusahaan yang dipicu perusahaan tak
ada kegiatan. Memang per bulan Agustus tahun lalu sudah tak ada kegiatan
pabrik," jelas Suyadi.
Suyadi menambahkan, krisis di PT Kiani
Kertas disebabkan pengkondisian agar perusahaan tersebut tak beroperasi.
Sementara karyawan mengetahui bahwa mesin masih berfungsi dan bahan
baku berupa ribuan hektar kayu gamalina dan akasia untuk bahan kertas
sudah siap dipanen.
Ia juga mengungkapkan, bukan hanya
karyawan yang dirugikan oleh kebijakan tersebut. Warga Berai yang sudah
terlanjut menanami lahan dengan kedua pohon tersebut juga terkena
dampaknya.
Awalnya, warga diminta untuk menanami
lahannya dengan [ohon akasia dan gamalina. Kata dia, perusahaan ini
sangat bermanfaat saat belum dikelola oleh Prabowo.
"Setelah dipegang pemilik sekarang, justru jadi krisis. Sering macet dan sering perusahaan tak jalan," imbuhnya.
Suyadi menyatakan pihaknya sempat
mengajukan proses pailit ke kantor kejaksaan setempat agar perusahaan
bisa dioperasikan pemilih baru.
"Tapi dia (pihak Prabowo) tak mau
mempailitkan karena perusahaannya memang sebenarnya tak merugi.
Informasi yang kami terima, perusahaan banyak utang sebesar Rp 7
triliun. Setelah diaudit, nilai usaha itu Rp 3,5 triliun," bebernya.
"Ada beberapa investor mau beli, tapi
perusahaan tak berkenan. Ada yang mau beli Rp 5 triliun, tapi kan masih
kurang untuk membayari utang. Mungkin itu alasan masih dipertahankan,"
ungkapnya.
Tudingan tak membayar upah buruh di
perusahaan yang dulu bernama Kiani Kertas itu bukan kali ini saja.
Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar
juga mengungkapkan bahwa Kertas Nusantara tak membayar upah buruh.
Namun hal ini sudah dibantah Direktur Utama PT Kertas Nusantara Winson Pola.
Kata dia, masalah pembayaran upah kepada buruh sudah diselesaikan
dengan baik antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja PTKN.
"Isu keterlambatan pembayaran gaji
karyawan akibat masalah operasional perusahaan adalah lagu lama," kata
Winson dalam keterangan yang diterima media, Jumat (30/5).
Wilson pun balik menuding. Kata dia, di
balik mencuatnya masalah yang pernah dihadapi oleh perusahaannya sengaja
diungkit kembali karena Prabowo maju sebagai calon presiden (capres). (abu/jpnn)