Liputan6.com, Jakarta -
Calon Presiden Prabowo Subianto menyatakan penolakan hasil rekapitulasi
suara yang saat ini tengah dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pengamat
Ekonomi asal Universitas Gadjah Mada, Toni Prasetyantono mengaku
menyesali terkait apa yang dilakukan salah satu pasangan calon presiden
tersebut.
"Sangat menyedihkan. Mestinya dia tidak melakukannya untuk kepentingan bangsanya yang lebih besar," kata Toni kepada
Liputan6.com di Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Menurut
dia, apa yang terjadi saat ini akan mengganggu laju penguatan pasar
saham dan rupiah yang beberapa hari sebelumnya menunjukkan rally.
Namun
begitu, Toni mengaku optimis dua pasar keuangan Indonesia itu akan
tetap tertahan di batas penguatan masing-masing meski berada di batas
bawah.
"Pasar akan terganggu, rally yang terjadi pada rupiah dan
IHSG akan tertahan, namun saya duga rupiah masih di sekitar
11.500-11.600 dan IHSG tetap di atas 5100, hanya saja tidak bisa optimal
mengalami rally," paparnya.
Seperti diketahui, Pada pukul 14.24
WIB, IHSG melemah 69,09 poin atau 1,35 persen ke level 5.056. Indeks
saham LQ45 tergelincir 1,69 persen ke level 866,40. IHSG ini terus
tertekan mencapai 1,5 persen atau 77,87 poin ke level 5.049,24 pada
pukul 14.27 WIB. Seluruh indeks saham acuan utama melemah pada hari ini.
Pada
hari ini, IHSG sempat berada di level tertinggi 5.140,87 pada pukul
10.48 WIB. Menjelang penutupan sesi pertama perdagangan saham hari ini,
indeks saham terus melemah hingga ke kisaran 5.103. Setelah calon
presiden nomor urut satu Prabowo Subianto menyatakan sikapnya terhadap
pemilihan presiden 2014, IHSG makin tertekan mulai pukul 14.24 WIB.
Ada
sebanyak 243 saham melemah sehingga menekan indeks saham. Sementara
itu, 59 saham menguat dan 68 saham diam di tempat.Seluruh sektor saham
juga melemah pada hari ini. Sektor saham konstruksi memimpin penurunan
paling tajam sebesar 2,64 persen. Lalu diikuti sektor saham
infrastruktur melemah 2,51 persen dan sektor saham industri dasar
merosot 1,87 persen.
Sementara itu, berdasarkan data RTI, nilai
tukar rupiah juga melemah ke level Rp 11.602 per dolar Amerika Serikat.
Kurs tengah Bank Indonesia (BI) sempat berada di kisaran Rp 11.531 per
dolar Amerika Serikat (AS). (Yas/Nrm)
(Nurmayanti)
- See more at:
http://bisnis.liputan6.com/read/2081740/pengamat-sebut-menyedihkan-prabowo-tolak-hasil-pilpres#sthash.gDpGVsiC.dpuf
Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto
mengaku, dirinya mendapat laporan bahwa media asing langsung menyerang
Koalisi Merah Putih (KMP), usai Rancangan Undang-undang Pilkada (RUU
Pilkada) melalui DPRD disahkan dini hari tadi.
"Tujuan kita
mulia. Saya diberi laporan tadi malam begitu kita menang voting,
langsung pers asing menyerang kita," kata Prabowo dalam acara pembekalan
anggota DPR terpilih untuk Koalisi Merah Putih, di Hotel Sultan,
Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2014).
Mantan Komandan Jenderal Kopassus (Danjensus) itu pun menyebut media asing
tidak seharusnya mencampuri urusan Indonesia. "Pers asing, ada urusan
apa dia urus kita? Emangnya dia kasihan sama kita? Kalau rakyat kita
miskin, dia kasihan? Ratusan juta rakyat miskin apa dia kasihan?" tanya
Prabowo berapi-api.
"Dia memang ingin Indonesia jadi sapi perahan
nggak boleh mati. Karena harus diperah, harus dipelihara. Kalau perlu
gemuk kasih rumput, tapi hidungnya dicucut, itu yang mereka kehendaki
dari dulu sampai sekarang," sambung dia.
DPR resmi mengesahkan RUU Pilkada
tak langsung atau melalui DPRD pada Jumat dini hari. Sebanyak 226
anggota DPR yang notabene tergabung dalam Koalisi Merah Putih setuju
Pilkada tak langsung.
Sementara135 anggota DPR dari parpol
pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) setuju Pilkada langsung.
Fraksi Partai Demokrat yang masuk dalam Koalisi Merah Putih memilih walk
out atau meninggalkan rapat paripurna, namun ada 6 anggota Fraksi
Demokrat yang tetap tinggal di ruang rapat paripurna. (Mut)
[JAKARTA suara pembaruan] Pengamat psikologi
politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk mengatakan, rencana Tim
Advokasi Prabowo-Hatta untuk memperkarakan hasil pilpres 2014 setelah penetapan
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk ketidakpahaman atas hukum.
Menurut dia, MK adalah lembaga konstitusi tertinggi yang keputusannya final dan
mengikat.
"Sudahlah, kita
move on. Secara konstitusi sudah selesai. Hasil ini
final dan mengikat. Secara rasional pengacara yang masih mengupayakan yang lain
berarti tak mengerti hukum. Berarti tak ada peluang lagi untuk membatalkan
hasil pemilihan," katanya usai Halalbihalal dan Diskusi Persepi di Oria
Hotel, Jakarta Pusat, Jumat (22/8).
Rasionalitas Prabowo
Anggota Dewan Etik
Persepi ini juga mempertanyakan rasionalitas dari calon presiden nomor urut
satu Prabowo Subianto.
Sebagai pengamat
psikologi politik, perilaku Prabowo yang tidak mau menerima kebenaran setelah
penetapan MK merupakan indikasi dari persepsi yang delusional.
"Kalau Prabowo tidak menerima kebenaran, ini ada penyakit psikologis. Itu
yang disebut delusi. Orang tidak bisa menerima realitas yang sebenarnya. Dia
tidak percaya MK berlaku benar. Dia hanya percaya realitas palsu yang
disodorkan orang di sekelilingnya yang tidak mengerti hukum," bebernya.
Hamdi melanjutkan, semua orang yang mengerti hukum di negeri ini paham, tidak
ada lagi upaya hukum setelah penetapan MK. Hamdi menilai, Prabowo tidak pernah
mau melihat ke luar dari realitas yang dibangun orang di sekelilingnya.
"Ada persoalan serius di Prabowo. Dia lebih senang mendengar komentar yang
menyenanginya. Prabowo hidup di realitas dalam kepalanya sendiri,"
pungkasnya. [HIZ/L-8]
TEMPO.CO, Jakarta
- Calon presiden Prabowo Subianto memilih tak hadir saat Koalisi Merah
Putih menggelar konferensi pers menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi
atas sengketa pemilihan presiden, Kamis, 21 Agustus 2014. (Baca juga: Ahok Akui Terjepit Antara Jokowi dan Prabowo)
Seperti dilaporkan majalah Tempo
edisi pekan ini, Prabowo memilih pergi meninggalkan para elite politik
pengusungnya lantaran tak terima mereka membuat pidato yang isinya
antara lain menerima bila MK menolak gugatan sekaligus mengukuhkan
kemenangan Jokowi-JK. (Baca Laporan Utama Majalah Tempo, Rencana Baru Koalisi Sang Jenderal)
Ketika draf pidato itu dibaca Prabowo, ia langsung tak sreg. "Kalian
berkhianat? Dapat apa dari Jokowi?" katanya dengan suara tinggi di Hotel
Grand Hyatt, Jakarta, seperti ditirukan peserta pertemuan. (Baca
selengkapnya: Prabowo: Kalian Berkhianat? Dapat Apa dari Jokowi?)
Hatta kemudian mencoba menyanggah Prabowo. "Mau sampai kapan begini
terus?" ujar Hatta. Dia mengatakan putusan Mahkamah bersifat "final dan
mengikat". Bila gugatan mereka ditolak, Jokowi tetap akan dilantik
sebagai presiden. Namun, Prabowo tetap tak menerima. (Baca selengkapnya:
Hatta ke Prabowo: Mau Sampai Kapan Begini Terus)
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menilai
dengan berakhirnya keputusan Mahkamah Konsitusi, Jumat (21/8/2014),
maka proses hukum pemilu telah berakhir dengan sukses.
"Saya berpendapat Pilpres 2014 ini sukses. Sukses bagi kita semua, baik partai pengusung calon maupun rakyat sebagai pemilih.
Be possitive!" katanya dalam siaran pers, (22/8/2014).
Jimly berharap Prabowo-Hatta segera memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla.
Dia
mengatakan keputusan MK yang menolak seluruh gugatan capres-cawapres
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atas dugaan pelanggaran terstuktur dan
massif yang dilakukan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla tersebut memang
disikapi secara beragam, namun yang pasti keputusan itu sudah final dan
mengikat.
"Dengan keluarnya putusan MK, kemarin, ini berarti semua
proses hukum terkait Pilpres sudah berakhir. Tidak dapat diganggu
gugat," tuturnya.
Menurut Jimly, Pilpres 2014 menjadi pengalaman paling berharga bagi Indonesia.
Untuk pertama kalinya, ada dua pasangan calon yang bertarung dan kemungkinan besar tidak akan terulang pada Pemilu 2019.
Pasalnya, Pemilu 2019 digelar secara serentak, sehingga masing-masing partai politik akan mengajukan calonnya sendiri.
"Jadi,
munculnya dua pasangan calon ini bisa jadi yang pertama dan terakhir di
negeri ini. Dan saya sangat bersyukur, semua diakhiri dengan baik,"
tuturnya.
Karena proses sudah selesai, Jimly berharap pasangan
Prabowo-Hatta segera memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih
Jokowi-Jusuf Kalla.
Baginya, ucapan selamat itu sesuatu yang serius dan menunjukkan kenegarawanan seseorang.
"Kita
sudah punya presiden baru yang bakal dilantik 20 Oktober nanti. Kita
harus ucapkan selamat. Dua bulan yang ada ini kita manfaatkan untuk
healing process, untuk rekonsiliasi," ujar Jimly.
Editor : Saeno
KOMPAS.com — "Becik ketitik, ala ketara...,"
tertulis dalam akun Twitter calon presiden Prabowo Subianto pada hari
putusan Mahkamah Konstitusi akan dibacakan, Kamis (21/8/2014).
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah "kebaikan akan terlihat dan
keburukan bakal ketahuan".
Namun, pepatah ini tampaknya tak
menahan laju kubu pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa untuk mempersoalkan
hasil Pemilu Presiden 2014. Gelagatnya, langkah kubu Prabowo-Hatta tak
akan segera berkesudahan sekalipun Mahkamah Konstitusi telah menolak
seluruh gugatan mereka terkait sengketa hasil Pemilu Presiden 2014.
"Langkah
hukum lain yang masih berjalan sekarang akan tetap kami kawal, demikian
pula langkah politik," ujar Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta,
Tantowi Yahya, Kamis malam, dalam konferensi pers setelah pembacaan
putusan MK.
Pertanyaan yang muncul, masihkah ada gunanya langkah
hukum dan politik yang ditempuh kubu Prabowo-Hatta ini? Masihkah ada
proses hukum yang bisa mengubah hasil pemilu setelah putusan MK? Apakah
rakyat masih butuh semua hiruk pikuk hukum dan politik tersebut?
Terlebih
lagi, bila tujuan Prabowo-Hatta mengikuti perhelatan demokrasi ini
bukan semata kekuasaan dan bentuk bakti bagi negeri, apakah pepatah becik ketitik ala ketara harus berupa kemenangan dalam salah satu cara untuk berbakti kepada negeri? (Baca juga: Prabowo: Saya dan Pak Hatta Maju Tidak untuk Tujuan Aneh-aneh)
Upaya hukum dan politik
Setidaknya,
saat ini proses hukum dan politik yang tengah berjalan, sudah diajukan,
maupun baru disuarakan oleh kubu Prabowo Hatta adalah gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan lewat Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, dan pembentukan panitia khusus kecurangan Pemilu Presiden
2014 di DPR.
Daily Mail Ilustrasi
"Kalau menurut saya, PTUN tidak bisa memutus untuk menerima
gugatan itu karena seluruh tahapan pilpres sudah berjalan dan selesai,"
kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso saat
dihubungi, Kamis malam. Terlebih lagi, imbuh dia, gugatan tersebut
diajukan ketika tahapan yang dipersoalkan sudah selesai.
Gugatan di PTUN dari kubu Prabowo-Hatta menyoal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden. Menurut Topo, hukum pemilu merupakan fast track dalam ilmu hukum, yang memiliki batasan waktu dan tahapan.
Meskipun
hukum pemilu juga menyediakan beragam jalur untuk mempersoalkan
kandidat, tahapan, administrasi, hingga etika penyelenggara, papar Topo,
tidak setiap jalur tersebut otomatis berdampak pada jalur lainnya,
apalagi dicampuradukkan.
Sebagai contoh, Topo mengatakan putusan
sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memecat anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari beberapa kabupaten kota dan
menjatuhkan sanksi peringatan bagi jajaran KPU, Kamis pagi, tidak
otomatis berkorelasi dengan sengketa terkait hasil pemilu.
Misalnya,
papar Topo, dalil yang dipakai dalam sengketa pilpres adalah
perhitungan tidak tepat karena KPU melakukan ini dan itu yang melanggar
etik. Menurut dia, dalil ini harus didukung dengan cara pembuktian yang
memperlihatkan pelanggaran tersebut memang memengaruhi hasil atau tidak.
"Tidak otomatis sanksi pelanggaran etik berkorelasi dengan sengketa
hasil pemilu," ujar Topo.
Jalur PTUN
Setali
tiga uang, kata Topo, jalur PTUN pun tak bisa dipakai dalam hukum
pemilu ketika tahapan yang dipersoalkan sudah jauh terlewati. "Bila
tidak begitu, hukum pemilu rusak, selalu terganggu gugatan yang melewati
waktu (tahapan)," ujar dia.
Topo mengatakan, dalam hukum pemilu,
setiap persoalan punya tahapan. "Bisa protes atau gugat keputusan KPU
(soal tahapan). Tapi, kalau saat tahapan berjalan tak ada protes atau
gugatan, tahapan itu dianggap sudah benar," ujar dia menyinggung
pengajuan gugatan tentang pencalonan yang baru diajukan saat semua
tahapan sudah selesai.
Dalam ranah pemilu, lanjut Topo, sengketa
hasil pemilu adalah kewenangan penuh MK sebagaimana kewenangannya
menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Ketika MK sudah mengeluarkan
putusan yang bersifat final dan mengikat terkait hasil pemilu, jalur
hukum lain dalam rezim hukum pemilu seharusnya tak bisa menerima lagi
gugatan terkait pemilu.
Satu-satunya proses hukum yang bisa
menghentikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo
dan Jusuf Kalla, menurut Topo adalah pidana biasa. "Bukan lagi di rezim
hukum pemilu," ujar dia. Pidana biasa yang sudah berkekuatan hukum
tetap, ujar dia, bisa memengaruhi hasil pemilu, tetapi dalam konteks di
luar rezim pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo
mengatakan, kubu Prabowo-Hatta memang punya hak untuk mengajukan gugatan
lewat PTUN bila merasa dirugikan oleh keputusan KPU. "Masalahnya,
penggunaan hak ini sangat terlambat karena pemilu sudah selesai dan
perselisihan hasil pilpres sudah diputus MK," kata dia, lewat
pembicaraan telepon, Kamis malam.
Arif mengatakan, setiap tahapan
pemilu bisa dipersoalkan, tetapi tidak boleh dilakukan ketika tahapan
yang dipermasalahkan itu sudah selesai. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu
Legislatif ini menyinggung pula bahwa ada kedaluwarsa untuk penanganan
perkara di PTUN sekalipun.
"Secara normatif, mempersoalkan
pencalonan Jokowi akan kedaluwarsa pada 29 Agustus 2014. Namun, secara
substantif, tahap pencalonan sudah kedaluwarsa setelah melewati tahapan
pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, apalagi sudah
putusan sengketa hasil di MK yang bersifat final dan mengikat," papar
Arif.
Publik sudah lelah
Sosiolog dari
Universitas Gadjah Mada, Arie Djito, mengatakan, upaya hukum dan politik
yang masih akan digeber kubu Prabowo-Hatta tak lagi bermanfaat. "Upaya
perlawanan hukum dan politik Prabowo sudah kehilangan makna, bahkan tak
punya arti," ujar dia.
Menurut Arie, rakyat sudah akan melupakan
pemilu presiden setelah putusan sengketa hasil di MK. "Rakyat jelas
sudah makin dewasa bersikap. (Bila proses hukum dan politik dipaksakan),
rakyat justru makin tak simpatik kepada Prabowo-Hatta," ujar dia.
Secara
umum, imbuh Arie, pemilu presiden sudah usai. "Jika perlawanan
dilanjutkan, rakyat akan mencibir," kata dia. "Apalagi ketika Jokowi-JK
(calon presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla) sudah mulai bekerja,
maka lambat laun (upaya) Prabowo-Hatta akan kehilangan makna."
Terkait
upaya politik, Arif Wibowo mengajak kubu Prabowo-Hatta untuk ibaratnya
mengukur baju sendiri. "Masa jabatan (periode 2009-2014) kita sudah mau
habis. Hiruk pikuk politik akan jadi bumerang, tidak mendidik, serta tak
memberi manfaat lebih banyak bagi bangsa dan negara," ujar dia.
Ya sudahlah...
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Ilustrasi bendera merah putih
Dalam pernyataan yang ditandatangani semua pejabat teras partai
pengusung Prabowo-Hatta, kecuali Partai Demokrat, disebutkan soal niat
koalisi ini memburu keadilan substantif. Dibacakan Tantowi, koalisi
berpendapat putusan MK tidak mencerminkan keadilan substantif.
Keadilan
substantif, kata Tantowi, adalah sebuah esensi yang selama ini menjadi
dasar pertimbangan putusan MK. Dinyatakan pula bahwa keadilan substantif
merupakan hakikat penting dalam demokrasi.
"Kejadian ini
menunjukkan masih banyak perjuangan kita untuk memperbaiki sistem pemilu
mendatang," ujar Tantowi. "Kami akan terus berjuang bersama rakyat dan
barisan Koalisi Merah Putih untuk memajukan kepentingan bangsa dan
negara."
Tak dipungkiri,
ada 62,576.444 suara yang menitipkan kepercayaan kepada pasangan
Prabowo-Hatta, selain 70.997.833 suara bagi Jokowi-JK. Namun, apakah
Indonesia tak bisa diibaratkan satu kelas yang baru saja seusai
menggelar pemilihan ketua kelas, yang siapa pun ketua kelasnya harus
berbagi jadwal piket untuk kebaikan kelas milik bersama ini?
Terlebih
lagi, pada bagian akhir pernyataan bersama Koalisi Merah Putih pun
tertera, "Kecintaan kami pada negeri ini membuat kami terus mengawal dan
berkontribusi pada bangsa walau ada di luar pemerintahan. Kami tidak
ingin bangsa ini dikendalikan segelintir orang."
Posisi yang akan
diambil menurut pernyataan itu pun sudah jelas. "(Lewat) perwakilan
rakyat di parlemen (kami) akan terus mengawasi pemerintah sebagai
kekuatan penyeimbang, (yang) dengan cara itu check and balances berjalan dengan baik."
Sayup-sayup terngiang lirik lagu lawas Elpamas yang juga pernah dinyanyikan Iwan Fals. "Pak Tua, sudahlah... Engkau sudah terlihat lelah... Kami mampu untuk bekerja...." Suara Bondan Prakoso pun sayup-sayup meningkahinya, "Ketika
mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah... Saat kau
berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah...."
(ANN)
detik Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengimbau pihak Prabowo-Hatta bersikap
legowo atas putusan MK yang menolak seluruh gugatan mereka atas hasil
pilpres 2014.
"Ya legowolah, legowolah. Nggak boleh anarkis,"
imbau Said kepada kubu Prabowo-Hatta. Hal ini disampaikan Said usai
peluncuran buku dari Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar di Hotel
Sultan, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (19/8).
Said
secara pribadi meruapakan pendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam
kontestasi Pilpres 2014. Namun dia mengaku menerima apapun putusan MK.
"Kita menerima pilihan rakyat walaupun ada catatan kecurangan di sana-sini," kata Said.
Dahlan Iskan berharap Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa legowo menerima hasil rekapitulasi suara pilpres 2014.
"Kalau
selisihnya di atas 2 persen, tidak perlu diragukan. Jadi secara hisab
dan rukiyat sudah jelas Jokowi yang menang sehingga menurut saya demi
Indonesia dan rakyat semua, sebaiknya diterima," kata Dahlan Iskan usai
menyaksikan konser 7 Hari Menuju Kemenangan di Salihara, pada 20 Juli
lalu.
"Rakyat sangat merindukan pemimpin, negarawan yang sangat
legowo, yang mengatakan selamat pada pemenang. Saya mengakui Pak Jokowi
lebih unggul kali ini," sambungnya.
Dahlan berharap pihak yang
kalah akan memberikan ucapan selamat kepada pasangan yang menang. "Yang
kalah harus segera mengakui," ujarnya. "Demi rakyat Indonesia," sambung
dia.
Setelah proses pilpres 2014 berjalan, Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta diminta tidak bertindak di luar batas.
"Saya
mewakili umat Islam, dalam Ramadan ini saya berharap agar seluruh
rakyat Indonesia bisa melakukan imsak, yakni mengendalikan diri. Yang
tidak melakukan hal-hal di luar batas," kata Din Syamsuddin.
Din
mengatakan hal ini dalam acara pernyataan sikap bersama Pimpinan dan
Tokoh Organisasi Agama di PP Muhammadiyah terkait Pengumuman Hasil
Pilpres 9 Juli 2014, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, 23 Juli lalu.
Ia
meminta seluruh elemen masyarakat saling membantu mengembalikan
kerukunan antar masyarakat yang diakuinya sempat terpecah saat proses
Pilkada kemarin. Ia berharap Prabowo-Hatta yang dinyatakan kalah dari
Jokowi-JK memperlihatkan sikap negarawanan dan legowo.
"Kami menyampaikan semua pihak untuk menerima hasil dengan legowo dan kesatria," imbuhnya.
Mantan ketua umum Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi berharap hasil
penetapan pemenang Pilpres bisa diterima kedua pasangan yakni Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemenang Pilpres tak
boleh jumawa, yang kalah harus berlapang dada.
"Kita boleh
membela partai dengan segala kepentingannya , tapi tidak boleh
mengorbankan Indonesia. Partai untuk Indonesia bukan Indonesia untuk
partai," kata Hasyim dalam keterangan tertulisnya, pada 22 Juli lalu.
Hasyim
menceritakan perjalanan politiknya ketika mengikuti Pilpres 2014. Saat
itu Hasyim yang menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri kalah dari
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
"Ketika saya kalah
Pilpres 2004, saya hadir pada pelantikan SBY-JK sebagai presiden dan
wapres secara gentle. Karena saya berpendapat bahwa demokrasi untuk
Indonesia bukan mengorbankan Indonesia untuk demokrasi," tutur Hasyim.
(sip/nvc)TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Gerindra
Nurcahaya Tandang
belakangan bikin heboh. Orasinya saat menyebut Prabowo adalah titisan
Allah SWT dalam acara halal bi halal di Rumah Polonia diunggah ke
YouTube, dan mendapat reaksi beragam.
Pakar Studi Islam Universitas Indonesia
Cholil Nafis
menilai pernyataan Nurcahaya yang gagal duduk di Senayan tersebut salah
kaprah. Karena dalam ajaran Islam sama sekali tidak dibenarkan adanya
pengkultusan kepada seseorang.
"Itu namanya tidak mengerti agama. Visi politiknya salah. Dalam Islam
tidak boleh mengkultuskan seseorang. Dan tidak ada titisan Allah. Yang
ada waliyullah (wali Allah, red)," ujar Cholil kepada Tribunnews.com di
Jakarta, Rabu (6/8/2014).
Video berjudul "Pidato
Nurcahaya Tandang
pada Halal Bihalal Prabowo Hatta di Rumah Polonia," Nurcahaya membuka
orasinya dengan ucapan Assalamu'alaikum, Syalom dan Om Swastiastu.
Kemudian ia mengungkapkan tuntutan MK agar memenangkan Prabowo-Hatta.
Di tengah pidatonya, perempuan ini bercerita alasan harus mendukung
Prabowo. Dia menyebut mendukung Prabowo sebagai jihad. "... Bukan cuma
jihad nasionalisme, kita tidak hanya mendukung bapak Prabowo tetapi
hanya visi besar Pak Prabowo sebagai titisan Allah SWT..." ujarnya
berapi-api.
Dia juga menyebut bukan hanya mengusung Prabowo, tetapi juga
kejujuran, kebenaran, Pancasila dan UUD 1945. Di sela-sela orasi,
pendukung lain bersorak "betul" "betul". Video memutar pidato Nurcahaya
hingga berakhir selama 6 menit 41 detik.
Cholil menambahkan, pernyataan Nurcahaya tersebut terlontar karena
faktor terjebak pada militansi komunal yang berlebihan dan tidak
mengerti esensi dan misi berpolitik. "Ini bukan karena slip of the tongue.
Dia berlebihan menyanjung kelompok atau tokohnya," terang Cholil.
Sampai berita ini diturunkan, Tribunnews.com masih menunggu
klarifikasi Nurcahaya atas maksud ucapannya yang disampaikan dalam orasi
halal bi halal bersama Prabowo-Hatta di Rumah Polonia, Cipinang
Cempedak, beberapa waktu lalu.
Merdeka.com - Meski saat ini dirinya mendukung Prabowo sebagai
Presiden Republik Indonesia, tapi Dewi Perssik menilai masa Presiden
Soeharto berkuasa lebih baik dari siapapun yang berkuasa sesudahnya.
Karena di masa itu harga barang-barang pokok masih murah.
"Lebih enak Zaman Pak Harto. Dulu beli permen murah. Kalau sekarang,
Dewi Perssik manggung harus kepala jadi kaki," ujar Depe saat ditemui di
studio AD, kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat (8/8).
Meski demikian, dukungannya kepada Prabowo tidak berubah. Ia tetap
memberikan support penuh atas tuntutan pasangan Prabowo - Hatta terkait
kontroversi hasil Pilpres 2014 kemarin. Depe juga yakin bahwa Mahkamah
Konstitusi bisa memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
"
Buat saya, MK akan bisa memberikan kebijaksanaan dan tidak ada unsur
tekanan dari mana pun. Karena kalau buat saya, ikut pertandingan harus
ada perjuangan," lanjutnya.
Untuk membuktikan dukungannya, Depe selalu berkampanye lewat sosial
media. Dan tak jarang ia juga terjun langsung ke masyarakat untuk
mengetahui kondisi yang sesungguhnya.
Tempat yang ia datangi pun kebanyakan kelas menengah atau ke bawah.
Karena di sanalah banyak suara yang tidak terekspose oleh sosial media.
Kini, kisruh pilpres 2014 masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Siapa yang akan ditetapkan sebagai Presiden RI? Kita tunggu saja
hasilnya nanti.
(kpl/tov/phi)
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi
Hamdan Zoelva memberi kesempatan bagi calon presiden Prabowo Subianto
untuk menyampaikan sambutan terkait permohonan perselisihan hasil Pemilu
Presiden yang diajukan. Lantaran sambutan Prabowo cukup panjang, Hamdan
sempat menyela sambutan itu agar dipersingkat.
"Pak Prabowo, bisa dipersingkat!" ujar Hamdan dalam sidang perdana
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jl
Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2014).
Dalam sambutannya, Prabowo merasa tersakiti dengan adanya dugaan
kecurangan yang terjadi pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 9
Juli lalu. Ia menjelaskan, hal itu dilakukan Komisi Pemilihan Umum
selaku penyelenggara.
Prabowo mengklaim punya bukti kuat soal kecurangan itu. Selain itu,
kubunya siap membuktikannya di persidangan. "Kalau ada waktu kita bisa
hadirkan puluhan ribu saksi. Saya sampaikan ke mereka untuk sampaikan
testimoni tertulis dan video," ujarnya.
Prabowo melanjutkan 'orasinya' itu dengan menegaskan mengutuk keras
tindakan kecurangan pilpres. Karena pidato Prabowo tak kunjung kelar,
akhirnya Ketua MK menyela pembacaan sambutan itu. Setelah itu Prabowo
mempersingkat sambutannya.
Setelah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu menutup sambutannya,
sidang pun dilanjutkan kembali dengan mendengarkan nasihat dari Hakim
MK. Sampai berita ini ditulis sidang masih berlangsung.
(Lal)
detik Jakarta -
Prabowo Subianto menuding Pilpres 2014 lebih buruk dari pelaksanaan
pemilu di Korea Utara. Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta,
Mahfud Md, punya pandangan berbeda dengan Prabowo.
Mahfud
menyampaikan pandangannya soal pernyataan Prabowo itu melalui akun
twitternya @mohmahfudmd yang dikutip detikcom, Kamis (7/8/2014).
Sejumlah pengguna twitter bertanya kepadanya. Salah satu penanya adalah
@arsyad_amran, yang bertanya soal ada tidaknya kemiripan pemilu di Korut
dan Indonesia.
Menurut Mahfud, tak ada kemiripan antara Pemilu di Indonesia dengan yang diselenggarakan di Korut.
"Tak ada, di Korut pemilu jahat, di Indonesia dasarnya demokrasi," kata Mahfud menjawab pertanyaan.
Mahfud menilai Pemilu di Korea Utara antidemokrasi. Pemilu digelar hanya untuk menangkap rakyat yang anti pemerintah.
"Pemilu
di Korut calon Presidennya tunggal, rakyat harus memilih. Yang tak
milih dianggap anti Presiden. Jadi pemilu di Korut justru
antidemokrasi," tuturnya.
Dalam sidang perdana gugatan Pilpres di
MK, Prabowo Subianto protes terhadap hasil perolehan nol suara di
ratusan TPS. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menilai pelaksanaan
Pilpres di Indonesia lebih buruk dari Korea Utara.
"Bahkan di
Korea Utara pun tidak terjadi, mereka bikin 97,8 persen. Di kita, ada
yang 100 persen, ini luar biasa. Ini hanya terjadi di negara totaliter,
fasis dan komunis," kata Prabowo di ruang sidang MK, di Jl Medan Merdeka
Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2014).
detik Jakarta -
Nurcahaya Tandang meminta maaf atas ucapannya yang menyebut Prabowo
Subianto titisan Allah. Politisi Gerindra itu mengaku keseleo lidah
karena seharusnya dia menyebut kata 'titipan' bukan 'titisan'.
"Saya
minta maaf kepada publik yang salah paham dengan kata-kata saya. Yang
benar itu titipan, bukan titisan," ujar Nurcahaya dalam perbincangan
dengan detikcom, Kamis (7/8/2014).
Nurcahaya berterima kasih
kepada seluruh masyarakat yang mengoreksi ucapannya yang tersiar luas di
Youtube. Perempuan yang mengaku sebagai dosen intelijen strategis di
BIN ini menganggap koreksi itu sebagai bentuk kepedulian.
Perempuan
asal Makassar yang tinggal di Jakarta ini menilai wajar ucapannya
dihujat banyak orang. Dia menduga pihak-pihak tersebut sebagai orang
yang tidak senang dengan Prabowo.
"Yang tidak senang pada Pak
Prabowo menyerang saya. Saya kan pendukung dan jurkam Pak Prabowo," kata
perempuan yang bersuamikan purnawirawan mayor jenderal ini.
Nurcahaya
mengaku kaget dengan orasinya yang mendadak tenar di media sosial.
Saudaranya di luar negeri bahkan memberi tahu dirinya.
"Saya
nggak tahu. Tahu-tahu sudah ramai seperti itu. Anak saya bilang, itu
ramai di seluruh Indonesia. Saudara saya di luar negeri lihat semua.
Tapi nggak apa-apa, itu wajar," ucap calon doktor dari UGM ini.
Nurcahaya
mendadak tenar karena ucapannya yang menyebut Prabowo sebagai titisan
Allah di video yang diunggah di Youtube. Saat itu dia tengah berorasi di
Rumah Polonia - markas pemenangan Prabowo-Hatta -- saat halalbihalal.
Nurcahaya menggebu-gebu berorasi, termasuk dengan menyebut, "Ini jihad
fisabilillah, bukan cuma jihad nasionalisme. Kami mendukung visi besar
Prabowo sebagai titisan Allah SWT."
Nurcahya pada Pileg 2014
tercatat sebagai caleg Daerah Pemilihan Banten III. Dia lahir di
Pare-pare, Sulawesi Selatan, 6 April 1964. Dia menempuh pendidikan
sarjana di dua universitas berbeda, yakni Ilmu HI Fisip Unhas dan Ilmu
Hukum FH UMI Makassar. Pendidikan master dan doktoralnya ditempuh di
Ilmu Politik di UGM.
Jakarta (ANTARA News) - A senior minister has urged Prabowo Subianto to
accept the decision of the General Elections Commission (KPU) to name
the Joko Widodo-Jusuf Kalla pair as the winner of the presidential
election held on July 9.
"It will be good if he will accept it while hoping for the better
in the future," Coordinating Minister for Peoples Welfare Agung Laksono
stated at the Presidential Palace compound here on Wednesday.
He made the statement in response to Prabowo Subiantos remarks on
Tuesday afternoon that he had rejected the implementation of the
presidential election and withdrawn from the election process.
Prabowos statement came just as the KPU was finishing the recapitulation of vote tallies nationally.
Despite the statement, the KPU continued with the recapitulation
process that led to its decision to name the Joko Widodo-Jusuf Kalla
pair as the winner of the election.
Agung Laksono, who is also the vice general chairman of the Golkar
Party, suggested that the Prabowo camp should fight its case in the
Constitutional Court for its settlement in line with the rules.
Golkar Party is one of the political parties that has supported Prabowo Subiantos bid for presidency.
When announcing his statement on Tuesday afternoon, Prabowo was
also flanked by Golkar Partys General Chairman Aburizal "Ical" Bakrie
and Secretary General Idrus Marham.
Agung Laksono congratulated the Joko Widodo-Jusuf Kalla pair for
their victory and hoped that they will lead a better government.
He stated that the result of the presidential election was a
victory of the people with regard to the development of democracy in the
country, and in view of that, he hoped that all sides will accept the
result.
Agung confessed that he had not yet personally congratulated the
winning pair. Jusuf Kalla, who is a former vice president, is also a
Golkar Party figure.
Reporting by Muhammad Arief Iskandar
RMOL. Ketua Umum Pimpinan Besar Nadhlatul Said Aqil Siradj
menyayangkan sikap calon presiden Prabowo Subianto yang menarik diri
dari proses rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menolak
hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
"Saya tidak tahu kenapa
Pak Prabowo menarik diri. Itu memang haknya, tapi saya sayangkan. Sikap
itu kita sayangkan karena nanti akan dicatat dalam sejarah," kata Kiai
Said saat konfrensi pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (23/7)
Kiai
Said pun menegaskan bahwa proses Pilpres sudah usai. Artinya dirinya
juga sudah tak mau lagi larut dalam hal dukung mendukung. Sebagaimana
diketahui, Kiai Said menyatakan secara eksplisit mendukung Prabowo
Subianto sebagai presiden.
"Kalau sudah selesai semua normal
lagi. Beda pilihan memang biasa, tapi sekarang kembali fokus kawal
kemajuan bangsa dan negara. Di Muktamar NU juga biasa itu ada dua sampai
tiga calon. Ada beda sikap dan pilihan, selesai itu normal lagi,"
demikian Kiai Said.
[wid]
TEMPO.CO,
Jakarta
- Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk
mengatakan, calon presiden Prabowo Subianto mengalami delusional. Cara
berpikir Prabowo, kata dia, dalam kondisi tidak berdasar atau tidak
rasional. “Dia mengalami delusi,” kata Hamdi kepada Tempo, Selasa, 22
Juli 2014. (Baca:
Ketua MPR: Pidato Prabowo Memalukan Demokrasi)
Hamdi
mengatakan, kondisi itu terjadi karena sikap Prabowo yang selama ini
selalu merasa dicurangi secara masif dan tersistematis. Prabowo memiliki
kecurigaan berlebih terhadap jalannya proses pemilihan presiden.
Padahal, kecurangan yang dilihat oleh masyarakat tidak seperti itu. “Dia
paranoid,” ujar Hamdi.
Hamdi menilai, kecurangan yang terjadi di
lapangan bisa saja dilakukan kedua kubu. Prabowo tidak bisa melihat
kondisi tersebut. Dengan pribadi yang demikian plus ditambah masukan
dari orang-orang di sekitarnya, akan membuat keputusan Prabowo tidak
tepat. “Seolah-olah bangsa ini berkonspirasi mencurangi dirinya,” kata
Hamdi. (Lihat juga:
Ditolak Prabowo, Pilpres Tetap Dianggap Sah)
Prabowo
mengatakan dirinya beserta partai dan tim pendukung menarik diri dari
proses rekapitulasi perhitungan suara pemilihan presiden yang telah
diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum. Prabowo menilai selama prroses
pemilihan, sejak dari pencoblosan hingga pemungutan suara, terdapat
indikasi kecurangan yang telah dilakukan.
Ia mempertanyakan
sikap KPU yang tidak melaksanakan rekomendasi yang diberikan oleh Badan
Pengawas Pemilihan Umum. “Bagaimana bisa yang memiliki hak pilih ada 300
orang, tapi yang memilih ada 800 orang,” kata dia. Pihaknya siap
menerima segala kemungkinan terjadi dalam pilpres ini, asalkan tidak ada
kecurangan di dalamnya. (Simk pula:
Jokowi-Kalla Sah Jadi Presiden/Wakil Presiden)
SAID HELABY
TEMPO.CO, Jakarta
- Pada penetapan hasil rekapitulasi pemilu presiden oleh Komisi
Pemilihan Umum hari ini, Selasa, 22 Juli 2014, calon presiden dari poros
koalisi PDI Perjuangan, Joko Widodo, berada di Waduk Pluit, Jakarta
Utara. Jokowi tiba di Waduk Pluit pada pukul 14.55 WIB.
Jokowi
kemudian langsung menuju tepi waduk dan terlihat merenung. Jokowi
berbincang singkat dengan Anies Baswedan dan kemudian menerima sebuah
telepon. Ia lalu jongkok, menghadap danau dan melamun. Setelah beberapa
menit, Jokowi bangkit. Jokowi langsung ditahan oleh puluhan wartawan
cetak maupun elektronik yang sudah menunggunya. (Baca juga: JK: Kami Sayangkan Sikap Prabowo)
Menanggapi
Prabowo Subianto yang menolak hasil rekapitulasi pemilu, Jokowi
mengatakan bahwa capres nomor urut satu itu merupakan seorang negarawan.
"Saya yakin Prabowo adalah negarawan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas segala-galanya," katanya di Waduk Pluit,
Selasa, 22 Juli 2014. (Baca juga: JK: Kami Sayangkan Sikap Prabowo)
Mengenai
seluruh proses yang terjadi di KPU, Jokowi menegaskan akan tunduk pada
konstitusi dan kehendak rakyat. Setelah memberikan tanggapan, Jokowi,
ditemani Anies Baswedan langsung duduk di sebuah kursi di taman Waduk
Pluit. Keduanya tampak berbincang di hadapan puluhan pewarta. (Baca
juga: Isi Pidato Prabowo Tolak Pelaksanaan Pilpres)
Tidak ada satu politikus partai pun yang hadir di Waduk Pluit, hanya tampak Anies Baswedan dan Anggit Nugroho.
ANANDA TERESIA
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --Calon Wakil Presiden (Cawapres) pasangan nomor urut 2,
Jusuf Kalla
(JK), menyayangkan sikap calon presiden (capres), Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, yang memilih untuk mengundurkan diri dari proses
Pemilihan Presiden (pilpres) 2014.
Kepada wartawan di kediamannya, di Jalan Brawijaya nomor 6, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2014), JK mengatakan pengunduran
diri Prabowo - Hatta tidak akan mempengaruhi proses pemilihan presiden
yang sudah berlangsung. Pasalnya pencoblosan sudah selesai dilakukan
pada 9 Juli lalu,
"Kita tentunya menghargai sikap beliau. Hal ini adalah hak beliau," katanya.
Menurut JK, sikap yang diambil Prabowo - Hatta itu, tidak akan mempengaruhi legitimasi pasangan
Joko Widodo (Jokowi) - JK, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan nomor urut 2 itu sebagai pemenang.
"Ini tidak mempengaruhi apa-apa, dari kami, tetap saja kita akan lurus." Ujarnya.
Namun demikian JK mengaku juga mengapresiasi, pernyataan Prabowo yang
menegaskan pihaknya tidak akan menggunakan kekerasan, dan menghimbau
pendukungnya untuk tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
"Beliau bilang tidak akan menggunakan kekerasan, dan memerintahkan
orang-orangnya untuk tidak menggunaan kekerasan, kita sangat hargai,"
tegasnya.
Solopos.com, JAKARTA — Politisi Partai Amanat
Nasional (PAN) yang juga putra mantan Ketua Umum PAN Amien Rais, Hanafi
Rais, mengucapkan selamat kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)
yang unggul dalam penghitungan data C1 dan real count beberapa pihak.
Calon anggota legislatif terpilih ini pun menyampaikan lima pesan
terkait Pilpres 2014 ini.
Pertama, sebagai generasi muda Indonesia, dia mengingatkan
bahwa tujuan utama berdemokrasi adalah menghargai pilihan rakyat.
Pilpres 2014 sebagai bentuk pesta demokrasi harus tetap menjadi pestanya
rakyat Indonesia.
“Oleh karena itu, proses Pilpres 2014 tidak boleh membawa rakyat
Indonesia menjadi saling membenci dan terpecah belah, yang justru akan
menyengsarakan rakyat Indonesia,” kata Hanafi melalui keterangan
tertulisnya kepada
Detik, Minggu (20/7/2014).
Kedua, Hanafi Rais mengingatkan bahwa setelah Pilpres 2014
ini, masih banyak tugas berat yang harus dikerjakan untuk menyelamatkan
Indonesia dari berbagai persoalan dan ancaman bangsa.
Ketiga, sebagai generasi muda Islam Indonesia, Hanafi Rais
mengajak semua pihak pada Ramadan ini agar meninggalkan segala nafsu
kebencian, dan amarah. Dua nafsu itu menurut dia bisa menimbulkan dampak
negatif dalam proses berdemokrasi. “Ukhuwah Islamiyah demi persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia harus kembali ditegakkan di dalam bulan
suci ini,” kata Hanafi.
Keempat, sebagai generasi muda Partai Amanat Nasional (PAN),
dia mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya
kepada Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Pasangan nomor
urut satu itu dinilai telah menjaga secara aktif proses demokratisasi
Indonesia melalui Pilpres 2014.
“Kami berterima kasih pula kepada Komisi Pemilihan Umum [KPU] yang
telah bekerja keras untuk menjaga dan mengawal proses pemilihan umum
yang jujur, bersih dan transparan,” papar Hanafi.
Terakhir, sebagai generasi muda PAN, dia mengajak kepada semua calon
pemimpin bangsa, baik yang di lembaga eksekutif maupun di lembaga
legislatif, untuk selalu menjaga kebersamaan.
“Kita harus tetap menjaga semangat reformasi untuk menyelamatkan
Indonesia dari kemiskinan, dari kebodohan, dari ketertinggalan, dari
dominasi asing, dari segala bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, serta
dari potensi konflik dan intoleransi,” kata pria kelahiran Chicago, 9
Oktober 1979 itu.
BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher)
menilai pelaksanaan Pilpres 2014 di
Jawa Barat sejauh ini berjalan
kondusif. Belum ada kendala berarti yang menghambat jalannya pesta
demokrasi lima tahunan tersebut.
“Kami sudah koordinasi, Jawa
Barat kondusif. Kita bersyukur Jawa Barat sebagai provinsi terbesar
Alhamdulillah kondusivitasnya berjalan baik, masyarakatnya disiplin,
bisa diatur, dan tidak emosional,” ujar Aher di Gedung Pakuan, Kota
Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/7/2014).
Berdasarkan pengalaman
sebelumnya, pelaksanaan pesta demokrasi di Jawa Barat berlangsung
kondusif, baik pilwalkot, pilbup, pilgub, hingga pileg.
“Sudah banyak bukti, pesta demokrasi yang lalu kan tidak ada persoalan berarti," ungkapnya.
Ia
pun mengimbau agar semua pihak terus menjaga kondusivitas yang sudah
berjalan baik ini. Hal yang terpenting, lanjut dia, jangan sampai ada
kekerasangan yang bisa merugikan sejumlah pihak.
“Ini pesta demokrasi lima tahunan, jangan sampai memporakporandakan persatuan dan kesatuan,” tegasnya.
Hal
yang terpenting, kata Aher, siapa pun yang menang harus didukung.
“Silakan masyarakat berpendapat. Hasilnya sebagai bangsa, kita terima
siapa pun (yang terpilih),” tandasnya.
(ton)
TRIBUNMANADO.CO.ID, YOGYAKARTA - Kicauan Butet
Kartaredjasa melalui akun miliknya @masbutet laris diretwwet oleh
followernya setelah mengeluarkan ocehan soal Prabowo kemarin petang.
Hingga Minggu (20/7/2014) pukul 14.10 Wita tweet Butet diretweet 359
kali.
Kicauan Butet soal gagalnya
Amien Rais dan Hatta Rajasa yang gagal bertemu Prabowo. "Hatta dan Amien
Rais gagal bertemu Prabowo semalam. Amien berniat meyakinkan Prabowo
utk menerima kekalahan," tulis Butet. Belum diketahui apakah tweet
tersebut benar namun ada 15 akun Twitter yang memfavoritkan tweet ini.
seorang jurnalis senior melalui akunnya @gm_gm juga meretweet tweet
Butet tersebut. Penulis sekaligus pengurus Komunitas Salihara ini juga
mengeluarkan tweet terkait Pilpres. "Di billboard di depan kantor PAN di
Mampang, Jakarta, tidak tampak lagi gambar Prabowo. Hanya Hatta," kicau
. (*)
Liputan6.com, Jakarta -
Tiga hari menjelang pengumuman hasil penghitungan resmi pemilu presiden
2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), beredar pesan singkat di
kalangan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN). Isinya, Ketua
Majelis Pertimbangan Pusat PAN Amien Rais disebut mengakui keunggulan
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
"
Teman2
yg ku sayangi. Dari Bukber di Rmh Menhut, Pak Amien Rais meneruskan
laporan dari Timses PH, bahwa kita kalah diatas 4 %. Semoga. Allah
memberikan kekuatan dan keichlasan kdp kita. Aamin YRA.Wass." Demikian bunyi pesan singkat yang beredar melalui SMS, Whatsapp, dan BBM.
Saat
dikonfirmasi, staf khusus Ketua Umum PAN, Yasin Kara, membenarkan
substansi pesan tersebut. Dia mengaku hadir dalam acara buka puasa
bersama di rumah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Sabtu 19 Juli 2014
malam, di Jakarta.
"Pak Amien tidak menyebut angka (selisih
perolehan suara), tapi dia mengatakan Tuhan belum memilih apa yang kita
pilih," kata Yasin, saat dihubungi
Liputan6.com, Minggu (20/7/2014).
Menurut
Yasin, acara buka puasa bersama itu dihadiri sekitar 500 kader PAN,
dari jajaran elite hingga kader biasa. Namun minus cawapres Hatta
Rajasa.
"Sebenarnya itu penerimaan seorang Muslim yang baik.
Itu sikap legowo yang ditunjukkan Pak Amien. Sebagai manusia memang
tetap ada kecewa," ujar Yasin.
Menurut Yasin, sikap Amien tersebut didasarkan pada sebagian besar hasil
real count
yang ada. "Memang bahwa sampai sekian persen suara yang masuk, Jokowi
ungguli Prabowo. Kalaupun ada pemilihan ulang, seperti yang terjadi di
DKI, angkanya tidak signifikan," ucap mantan calon legislatif PAN itu.
Dalam buka puasa kader PAN itu, Amien juga dikabarkan meminta seluruh kader PAN
cooling down. "Saya sependapat dengan Pak Amien, lebih bagus
cooling down demi kepentingan bangsa. Sikap untuk menerima kekalahan ini, sudah diteruskan ke pimpinan PAN di daerah," kata Yasin.
Ketika dikonfirmasi hal ini, putra Amien, Hanafi Rais, mengatakan
belum ada pernyataan menerima kekalahan dari ayahnya. Tapi dia mengakui,
ada permintaan agar kader PAN bersikap
cooling down.
"Kalau
cooling down itu pernyataan normatif," ujar dia ketika dihubungi
Liputan6.com, Minggu (20/7/2014).
Hanafi sendiri mengaku tidak sepenuhnya mengikuti acara buka puasa
kader PAN tersebut. "Saya tidak begitu tahu yang terjadi di pusat, tapi
tentu yang berhak memberi pendapat soal itu adalah kandidatnya sendiri,"
kata Hanafi. (Yus)
(Sunariyah)
- See more at:
http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2080575/h-3-pengumuman-kpu-amien-rais-akui-kekalahan-prabowo-hatta#sthash.XDulCk8q.dpuf
Tribunnews.com, Jakarta - Pengamat Politik Kunto Adi Wibowo mengatakan jika pengumuman hasil
Pilpres
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar-benar ditunda seperti permintaan
salah satu pasangan capres, maka hal itu akan mengekskalasi teror di
tengah masyarakat yang dapat memicu konflik horisontal.
Menurut
dia walau dimungkinkan Undang-undang, penundaan sebaiknya dipikirkan
lebih matang melihat akibatnya di tengah masyarakat.
"Penundaan ini akan lebih mengeskalasi teror dan ancaman, serta akan memicu konflik horisontal," ujarnya, Minggu (20/7/2014).
Kunto
mengatakan rakyat sudah kebanjiran informasi politik dari pilpres, yang
bila hasilnya ditunda maka partisipasi politik rakyat yang telah tumbuh
akan sontak layu.
Penundaan hasil pilpres, katanya, akan
menyebabkan rakyat makin muak dengan perilaku elit politik yang lebih
mengawal kemenangannya sendiri dari pada mengawal proses demokratisasi
yang berlangsung via pilpres.
"Apalagi jika skenario tuntutan ke
MK dari pihak yang kalah benar-benar dilakukan dan memakan proses
panjang. Maka bisa dibayangkan tingkat ketidakpedulian yang dilhasilkan
dari proses politik yang dianggap masyarakat sangat berorientasi
kepentingan elit ini," ujarnya.
Menurut Kunto, permintaan timses
Prabowo-Hatta untuk menunda Pengumuman Rekapitulasi Nasional pada
tanggal 22 Juli 2014 akan dimaknai beragam oleh rakyat Indonesia.
Namun
tetap saja rakyat akan mempertanyakan apakah benar, mereka beserta
pendukung dan relawannya benar-benar menemukan kecurangan yang masif dan
sistematis sehingga perlu untuk mengulang rekapitulasi suara di
beberapa daerah bahkan pemungutan suara ulang (PSU).
Kata
kecurangan yang dalam beberapa hari ini sering disuarakan oleh kubu
salah satu capres, dinilai Kunto, menandakan mereka akan membawa hasil
Pilpres ke MK dan akan makin berlarut-larut.
"Selain
itu istilah kecurangan justru semakin jarang disuarakan oleh timses dan
relawan pasangan lawan politiknya sejak tiga hari terakhir ini"
katanya.(bum)
detik Jakarta -
Kubu Prabowo-Hatta meminta rekapitulasi nasional 22 Juli diundur
karena menduga ada banyak indikasi kecurangan. Semua pihak pun diminta
untuk memberikan kepercayaan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena
permintaan itu disebut tidak realistis.
"Kalau ada usulan atau
ide tentang diundurnya rekapitulasi menurut saya tidak realistis kecuali
ada masalah besar. KPU kan bilang baik-baik saja," ujar pengamat
politik Ari Sujito kepada detikcom, Sabtu (19/7/2014).
Dosen ilmu
Sosiologi di UGM ini pun menilai agar semua pihak mengikuti prosedur
yang sesudah ditentukan. Bagi KPU sendiri berarti memenuhi jadwal secara
optimal.
"Persis yang Pemilu sebelumnya, waktu pileg.
Verifikasi, penghitungan kan sebulan sempat diragukan tapi ternyata
bisa. Ternyata KPU bisa kan, apalagi sekarang Pilpres," tambah Ari.
Menurut
Ari poinnya saat ini adalah masing-masing pihak mendukung KPU. Selain
itu semua pihak diminta jangan mengada-ada dan justru memberi support kepada KPU jika ada kesulitan.
"Bangun trust
Kepada KPU, jangan mengada-ada. Jangan belum apa-apa malah disuruh
mundur, itu justru akan memperlambat. Beri kesempatan KPU untuk bekerja
seoptimal mungkin. Kalau ada hambatan ya disupport," tutur Direktur IRE
(Institute for Research and Empowering) itu.
Ari menyebut akan ada implikasi yang cukup signifikan jika rekapitulasi nasional diundur. Semua tahapan justru akan mundur.
"Justru
mundur semua nanti. Belum nanti kalau ada sengketa Pilpres. Selama KPU
masih bilang Ok saja ya artinya Ok, jangan suruh mundur atau malah bikin
warning. Beri trust kepada KPU," kata Ari.
Selain
itu menurut ketua Ormas Pergerakan Indonesia ini, implikasinya nanti
akan ada image buruk dari masyarakat kepada KPU. Masyarakat akan menilai
KPU tidak bekerja dengan baik. Untuk itu Ari meminta agar semua pihak
menghormati keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
"Siapapun
yang menang di mata hukum dan politik hormati saja seluruh
keputusannya. Kalau ada sengketa bisa melalui MK, kalau tidak ada
sengketa mari rekonsiliasi, yang kemarin bermusuhan ya benahi. Energinya
untuk memperbaiki bangsa bersama-sama," tutup Ari.
Ernest Prakasa
Merdeka.com - Komedian ini juga membuat surat terbuka yang ditujukan kepada
Prabowo Subianto . Berikut ini isi suratnya yang ditulis di laman tumblr.com.
Yth. Bapak Prabowo Subianto .
Setelah pemungutan suara dilakukan, beberapa lembaga survey kredibel merilis quick count yang menyatakan bahwa anda kalah.
Saya
lantas cemas, apakah Bapak bisa menerima kekalahan ini? Apakah Bapak
siap untuk mengakui bahwa setelah segala upaya yang Bapak lakukan, Pak
Jokowi tetap unggul?
Saya takut Bapak melakukan segala daya upaya untuk membalikkan hasil ini. Meski itu harus berujung pertumpahan darah.
Saya waswas pesta demokrasi ini berubah menjadi perang antar saudara sebangsa.
Jadi, harap saya hanya satu, Yth. Pak Prabowo.
Saya berharap, semoga saya salah.
Hormat Saya,
Ernest Prakasa
Merdeka.com - Penulis cerpen ini juga ikut menulis surat terbuka untuk Prabowo di tumblr. Berikut isinya:
Pak Prabowo Yang Terhormat,
Saya yakin anda tahu, kehormatan seseorang tidak dipandang dari sekadar kemenangan, tapi kejujuran.
Saya juga yakin anda punya kejujuran itu.
Sebab meskipun kejujuran bisa diabaikan, Ia tak bisu.
Hormat saya,
Djenar Maesa Ayu
Arswendo Atmowiloto
Merdeka.com - Penulis dan sastrawan ini juga menulis surat terbuka untuk
Prabowo Subianto . Berikut ini isi surat Arswendo yang ditulis di dalam tumblr.
Disertai salam buat Bapak Prabowo-Hatta yang baik,
Saya,
Arswendo, dan sebenarnya kurang percaya bahwa surat seperti ini bisa
mengubah sikap. Apa lagi dalam soal di mana kepresidenan dipertaruhkan.
Jadi saya lebih percaya kalau ada perubahan, itu semata karena Bapak
Prabowo-Hatta menghendaki secara pribadi, bukan semata karena surat yang
bahkan kesempatan dibaca dan direnung sangat kecil. Tak apa kalau tak
terbaca, biarlah surat ini menjadi doa. Dan karena itu saya
berpengharapan.
Perubahan yang saya maksudkan adalah
lebih memihak kepada rakyat dengan tidak membuat bingung, cemas, memihak
dengan menghormati apa yang rakyat inginkan, meneruskan apa yang mereka
pilih. Bahkan kalau Bapak memiliki kemampuan, kekuatan, kuasa untuk
mengecoh tidak perlu dilakukan. Bukan karena apa, melainkan sekarang ini
kesempatan emas membahagiakan dan mendaulatkan rakyat.
Salam dan terima kasih,
Arswendo Atmowiloto
Riri Riza
Merdeka.com - Sutradara terkemuka Indonesia, Riri
Riza juga menulis surat yang sama. Dia menulis panjang lebar di laman
tumblr. Berikut ini isinya:
Untuk Bapak Prabowo,
Saya
belum pernah bicara dengan Bapak, mungkin karena itu bagi saya tidak
terlalu mudah menulis surat ini. Karenanya saya ingin mulai dengan
cerita saja: Saya sudah menyaksikan sendiri sebagian kecil keindahan
Indonesia, dan bertemu dengan mereka yang adalah bagian penting darinya.
Anak-anak Indonesia. Mereka berlarian di pesisir Aceh, berjalan pulang
sekolah di kaki gunung di Flores, Bermain bola perbatasan Timor,
berlarian di pinggiran kebun kelapa sawit di Lebak atau Jambi.
Mereka
adalah orang-orang yang jarang terdengar, Mereka tidak datang dari
keluarga terpandang atau kaya raya. Kebanyakan dari mereka orang biasa,
orang sederhana.
Di tahun pemilihan presiden ini muncul
dua calon yang harus diakui adalah putra terbaik yang lolos dalam sistem
seleksi politik kita. Calon pertama adalah Pak Prabowo sendiri, anak
ekonom terpandang,? mantan petinggi militer, pengusaha, pendiri partai
politik. Calon kedua adalah contoh kebanyakan orang Indonesia yang
banyak saya temui dalam perjalanan saya itu, Bapak Joko Widodo. Jokowi
orang biasa, tidak terlalu punya citra umum pemimpin di Indonesia, ia
kurus dan berpenampilan sederhana serta datang dari keluarga biasa di
Solo. Namun, ia melesat sebagai pengusaha, walikota dan gubernur yang
dicintai rakyatnya.
Pak Prabowo, walau saya adalah
pendukung Jokowi, saya cukup tersentuh oleh sikap bapak? dalam beberapa
bagian debat capres di televisi nasional. Bapak menunjukkan sikap
terbuka, hangat memeluk Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla, bahkan
mengungkapkan akan? bersedia menerima apapun hasil dari pemilihan
presiden. Prabowo dan Jokowi adalah putra terbaik, wajar saja bersikap
tetap saling hormat dalam sebuah kontes pimpinan nasional.? Kita telah
melewati masa kampanye dan pemilihan yang berjalan baik dan relatif
damai.
Nah, pada pengumuman resmi 22 Juli 2014 nanti,
hanya dua kemungkinan yang bisa terjadi bagi kedua calon: kalah atau
menang. Tentu bapak menyadari ini saat memutuskan untuk maju sebagai
calon presiden.
Saya tutup surat ini dengan mengirimkan
kepada bapak sebuah lagu yang tentu Bapak kenal: Rayuan Pulau Kelapa
karya Ismail Marzuki. Lagu yang mengingatkan keindahan Indonesia, yang
akan lebih banyak Bapak nikmati sambil berbakti pada bangsa dengan
berbagai kelebihan yang yang bapak miliki, jika rakyat ternyata memilih
Bapak Joko Widodo sebagai presiden RI.
Demi masa depan, demi anak-anak Indonesia.
Demikian Pak Prabowo.
Salam,
Riri Riza
JAKARTA, KOMPAS.com —
Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta belajar
sportivitas dari ajang Piala Dunia 2014. Meski ajang yang dimenangi oleh
Jerman itu berlangsung keras dan sengit, tetapi semua tim tetap bisa
bermain secara sportif.
"Boleh main keras, tapi tunduk pada keputusan wasit. Begitu pula
dalam pilpres ini, kontestan pilpres boleh bersaing keras, tapi nanti
harus bisa menerima apa pun yang diputuskan oleh wasit, yaitu Komisi
Pemilihan Umum," kata peneliti senior Indonesian Public Institute
Karyono Wibowo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (18/7/2014).
Dia mengharapkan kedua capres pada penetapan presiden terpilih 22
Juli mendatang bisa mengedepankan sikap negarawan, khususnya bagi
pasangan yang kalah. Menurut dia, saat ini ada calon presiden yang sudah
mengatakan untuk siap kalah dan menerima keputusan rakyat.
Dia berharap pernyataan itu tidak sekadar ucapan di mulut saja. "Jangan
lip service
saja, tapi perilakunya tidak seperti itu. Pilpres 2014 sedang menunggu
detik-detik akhir, kenegarawanan para capres salah satunya bisa diukur
dari kesiapan menerima kekalahan," ujarnya.
Selain belajar dari sepak bola, menurut Karyono, kedua pasang capres
juga bisa belajar dari bagaimana tradisi politik yang diterapkan
founding fathers
seperti Soekarno, Hatta, atau Sutan Syahrir saat pasca-kemerdekaan
dulu. Meski ada perbedaan ideologi, menurut dia, mereka tetap saling
menghormati satu sama lain.
WARTA KOTA, PALMERAH— Peneliti sekaligus pengamat
masalah sosial dan politik asal Indonesia yang bermukim di Amerika
Serikat, Made Tony Supriatma, mengaku melihat ada gejala yang tidak
beres pada kubu calon presiden (capres) nomor urut 1 Prabowo Subianto.
Alumnus Fisip UGM dan Cornell University yang tinggal di Clifton, New
Jersey AS ini menjelaskan, gejala itu terlihat setelah Stasisun TVOne
milik Ketua Umum Partai Golkar yang selama kanmpanye Pilpres menjadi
corong bagi kubu Prabowo sudah mulai menyiarkan hasil hitung cepat
peroleh suara selain versi mereka.
"Sebelumnya Jubir Golkar Tantowi Yahya sudah berhitung dengan
kemungkinan Golkar mengalihkan dukungan ke Jokowi. Rasanya, kubu Prabowo
retak," tulis Made yang diunggah di akun facebooknya, Jumat (11/7/2014)
.
Persoalannya, sambung Made Tony, berapa lama lagikah Prabowo bisa
menjaga kesatuan koalisi yang dia bangun. "Apa 'leverage' yang dia
miliki?," ujarnya bertanya. "Perlu diingat ini koalisi dengan spektrum
ideologi yang sangat warna-warni. Kepentingan di dalamnya juga beraneka
warna," tambahnya.
Menurut Made, orang-orang dari berbagai parpol yang berada di koalisi
yang dibangun Prabowo bukanlah politisi yang bodoh. Mereka tahu bahwa
koalisi ini sudah kalah dan sekarang sedang sibuk mencari konsesi ke
pihak Jokowi.
"Ini terutama berlaku untuk partai-partai sekuler nasionalis model
Golkar dan Demokrat. Golkar adalah partai yang tidak bisa hidup tanpa
kekuasaan. Dia adalah cacing pita politik Indonesia. Sehingga, Golkar
paling mudah untuk keluar dari koalisi," ujarnya.
Sementara itu, sambungnya, orang-orang dari Partai Demokrat masuk ke
kubu Prabowo secara setengah hati, setelah Megawati yang menurut Made
berpolitik dengan mengandalkan dendam, menolak semua proposal koalisi
SBY, Presiden RI yang kini menjadi ketua umum partai tersebut.
"Yang paling menderita adalah partai-partai Islam seperti PPP dan
PKS. Mendukung Prabowo habis-habisan nggak akan ada gunanya. Kita tunggu
apa langkah mereka berikutnya," katanya.
Sebelumnya akademisi yang banyak melakukan penlitian tentang militer
ini mengemukakan hasil pengamatannya atas pemberitaan media milik
Aburizal Bakrie (VIVAnews) menyusul pengumuman hasil Pilpres versi 'real
count' yang dikumpulkan oleh internal tim kampanye kubu Prabowo-Hatta.
"Kebetulan, hari ini, dua ilmuwan politik yang mempelajari Indonesia
mengeluarkan sebuah tulisan yang isinya mengingatkan 'game plan' dari
kubu Prabowo itu. Tulisan ini sangat penting. Karena tidak saja
dikerjakan oleh dua orang akademisi yang profesional tetapi juga karena
ketepatan bidikan dan analisisnya," ujar Made Tony.
Made menjelaskan, artikel yang berjudul 'Prabowo's game plan' itu
antara lain menyebutkan usaha yang mungkin akan dilakukan oleh kubu
Prabowo untuk memenangi pemilihan ini. "Sangat jelas disebutkan dalam
artikel ini bahwa Rob Allyn, konsultan politik AS yang disewa Prabowo,
sangat ahli dalam membentuk dan mengeksekusi 'game plan' ini," tutur
Made lagi.
Usaha pertama ialah "muddy the statistical waters' atau kacaukan
statistik dengan mekakai pollsters yang tidak kredibel. Ini menurutnya
jelas sudah dilakukan sejak hari pertama setelah pemilihan.
"Quick counts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel
dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan kemudian dikampanyekan lewat TV
yang dikuasai Bakrie dan Hari Tanoe -- para sekutu Prabowo," tulisnya
Usaha kedua, 'steal the results." Curi hasil pilpres ini. Pengacauan
hasil quick counts ini tujuannya adalah untuk memunculkan kebingungan di
kalangan para pemilih. Ini juga akan memberikan mereka waktu untuk
menggoreng hasil pemilihan versi mereka.
"Persis itulah yang hendak mereka lakukan pada saat ini. Mereka akan
mengumumkan real count versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan
hasil resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di masyarakat.
Dengan kata lain, tujuan mereka mengumumkan hasil real count versi
mereka adalah mendelegitimasi hasil yang akan diumumkan oleh KPU!" tegas
Made.
–
10 July 2014Posted in: Indonesia Votes
Prabowo Subianto claims ‘victory’ at his campaign headquarters in Jakarta on Wednesday evening. (Photo: Reuters)
Let’s be clear about one thing: Joko Widodo (Jokowi) has won
Indonesia’s 9 July presidential election. If the formal vote counting
and tabulation process concludes without massive fraud, he will be sworn
in as the country’s new president on 20 October of this year.
The reason we can be sure of this despite the absence of an official
announcement by the Election Commission (KPU) is the availability of
quick counts carried out by Indonesia’s credible survey institutions.
Quick counts occur when a survey institute places field workers in a
sample of polling booths and, when the formal counting of the ballots at
the polling booth is complete, those workers convey the results
(usually by telephone) to a central collation centre. If the sample
polling booths are properly selected and sufficiently great in number
and the count is administered correctly, well-organised quick counts can
predict the final outcome of the formal count within a very narrow
margin of error.
On voting day, within hours of the polls closing, eight of these
institutions released their results showing that Jokowi had won the
election by a solid margin:
Critically, most of these organisations are widely respected for
their integrity, professionalism, and technical skills in survey
methodology—a reputation they earned by producing highly accurate quick
counts since 2004, when direct local and presidential elections were
introduced. Even RRI (Radio of the Indonesian Republic), the country’s
state broadcaster—a relative newcomer to the business of quick
counts—had drawn praise for its performance in the 2014 legislative
elections; indeed, its quick count came closest to the actual result.
The fact that all of Indonesia’s credible survey institutions coincided
in finding a Jokowi victory, and by a broadly similar margin, means it
is all but a statistical impossibility that Jokowi will not emerge
victorious in a properly conducted formal KPU count.
On the basis of these quick counts, Jokowi yesterday claimed victory
in the election (though he used typically casual language in doing so)
and he called on his followers to closely monitor the formal counting of
ballots in the next two weeks. However, at the same time, four
organisations produced quick counts of their own that showed a Prabowo
Subianto victory, albeit by narrower margins.
On the basis of this smaller number of quick counts, Prabowo Subianto
has also claimed victory. Consequently, Indonesia is now set for a
period of significant political confusion, uncertainty, and even
instability, in the weeks leading to the formal announcement of the
results by the KPU on 22 July.
How can this confusion have arisen? We wish to be very clear that
this is not a matter of a range of equally credible quick counts showing
a wide range of potentially legitimate results. Rather, the confusion
is part of Prabowo Subianto’s strategy to steal the election, a strategy
that evidently has been long in the making. Reportedly, one of
Prabowo’s chief campaign strategists, Rob Allyn, has been known not only
for his
expertise in negative campaigning but also for producing surveys which create the impression
that an electorally weak candidate is competitive,
and using the subsequent confusion among the electorate to manoeuvre
this candidate into a more favourable position. Allyn has been known for
this strategy in Mexican elections. It seems Indonesia is fertile
ground for the same method.
Step 1. Muddy the statistical waters.
Over the last decade or so, as well as an array of highly
professional survey institutes, it is widely recognized that many
organisations have arisen that are willing to tailor their survey
results to favour their clients, and even to falsify surveys altogether.
They typically do so when producing voter surveys, in the belief that
some Indonesian voters are more likely to back a winner and that falsely
high survey result will thus boost a sponsor’s chance of being elected.
Though we have no direct evidence that the organisations producing
the quick counts favouring Prabowo were paid to falsify their results,
their track records give us every reason to be highly suspicious—indeed
to be certain—that manipulation of some sort has taken place. For
example, one of the organisations mentioned above, LSN (Lembaga Survei
Nasional; National Survey Institute) has a consistent record of
producing survey findings that show results for Prabowo and his Gerindra
party that are much higher than the findings of established pollsters.
As early as 2009, LSN predicted in the parliamentary elections then that
Gerindra would get 15.6 percent of the votes—it eventually ended up
with 4.5 percent. In the 2014 parliamentary elections, LSN issued a very
early quick count even before polls had closed—stating that Gerindra
would come first with 26.1 percent, obviously hoping that last-minute
voters would bandwagon. At the end, Gerindra finished third with 11.8
percent. Two days before the presidential elections, LSN issued a poll
that showed Prabowo leading by 9 percentage points—although other,
credible pollsters had Jokowi leading by between 2 to 4 percent.
Puskaptis, another pollster whose quick count saw Prabowo ahead on
the evening of 9 July, has a similarly questionable history. In 2013,
the head of Puskatis, Husin Yazid, had to be rescued from an angry crowd
protesting against his manipulation of a quick count in the
gubernatorial elections in South Sumatra. JSI (Jaringan Suara Indonesia;
Indonesia Vote Network), for its part, has almost no track record,
except for falsely predicting Governor Fauzi Bowo’s victory against
Jokowi in Jakarta in 2012, and for claiming in the same year that 64
percent of Indonesians thought that Prabowo was the most suitable
candidate for the Indonesian presidency. Finally, IRC (Indonesian
Research Center) is reportedly owned by Hary Tanoesoedibjo, a media
tycoon aligned with Prabowo. In June 2014, IRC predicted that Prabowo
would win the presidency against Jokowi with 48 to 43 percent—using a
thus far unheard-of methodology: it combined the polling numbers of all
presidential candidates into an index and redistributed them based on
whether they now supported Prabowo or Jokowi. It is hard to think of a
less professional approach to opinion polling.
It is unsurprising, then, that these organisations came to the quick
count results that they published on 9 July. And it is equally telling
that all these organisations released their findings on tvOne—the
television channel owned by Prabowo ally Aburizal Bakrie which has
produced blatantly pro-Prabowo coverage throughout the election. In the
lead-up to the presidential elections, tvOne had signed an exclusive
contract with Poltracking, a new but relatively reputable institution.
On the morning of voting day, however, Poltracking was told by tvOne
that other institutions would join the quick count coverage of the
pro-Prabowo station. Knowing about the questionable reputation of these
institutions, Poltracking resigned from the contract with tvOne at 10am
on 9 July. It later announced a quick count result that, like other
credible survey institutions, saw Jokowi as the winner. The others, as
explained above, followed tvOne’s very obvious preference and published
the quick counts that falsely declared Prabowo to have won.
Step 2. Steal the results.
Why produce fake quick results? Votes have already been cast, so the
intention cannot be to influence voter behavior. The purpose is clear:
to buy time and sow public confusion about the election result, while
preparing other methods to produce a victory in the formal count.
There are two ways through which Prabowo could potentially win at
this stage. The first would be to wait for the formal announcement of
the result and then challenge it in the Constitutional Court. The margin
of Jokowi’s victory, however, means that even if the Prabowo camp can
find examples of maladministration in the count here and there—it will
almost certainly be able to do this because Indonesian elections are far
from flawless in their execution—it will not be able to overturn the
result through a formal challenge. Jokowi’s current advantage is an
estimated 6.5 million votes; thus, Prabowo would have to swing around
3.3 million votes to draw even with Jokowi or gain a slight lead. No
Constitutional Court decision, whether on cases at the local or national
level, has ever shifted this amount of votes from one candidate to
another. In rare cases, the Court agreed to move a few hundred or few
thousand votes—but nothing of this magnitude. Similarly, the Court has
ordered re-votes in some cases, but mostly in individual voting stations
or districts.
This leaves one other option: manipulation of the formal counting and
vote tabulation process. We know from other Indonesian elections—most
recently the April legislative election—that vote ‘trading’ in the
counting process is widespread. Candidates can and do bribe election
officials at every level—from the individual polling booths up through
the various levels of village, subdistrict, district and then provincial
level commissions that collate the results—to shift votes from one
party or candidate to another, to enter votes ‘on behalf’ of voters that
did not turn up at the booth, or engage in other forms of manipulation.
In the April legislative elections, fraud was massive but likely had
little effect on the overall share of the votes attained by different
parties because candidates from all parties engaged in such practices in
highly fragmented and uncoordinated patterns.
It will be unprecedented in Indonesia’s democratic experience for a
candidate to try to steal the presidential result. But it is highly
likely that Prabowo’s camp will make the attempt. Particularly
vulnerable are areas (such as the island of Madura) where Prabowo
supporters dominate local power structures and where Jokowi or his PDI-P
had few scrutineers at the polling booths to record the results as they
were counted (exit polls on voting day showed that Prabowo had
observers at 88 percent of all voting stations, against Jokowi’s 83
percent). It’s also especially likely that such manipulation will occur
in areas where governors are district heads are Prabowo supporters, and
where they will be able to exert pressure on local officials to
intervene in the count.
Where to now?
During the election campaign, Prabowo Subianto posed as a democrat.
In fact, he protested regularly against being portrayed as a
“dictator”—even in his last Facebook message to supporters before the
election, he complained about the non-democratic image given to him by
unspecified forces. Now, however, he delivers the final piece of
evidence that he truly is a would-be autocrat who has no respect for the
will of the people and would stop at nothing to win power, even if he
has to lie and cheat his way to the presidency.
We think that it is likely that Prabowo will fail in his efforts. The
scale of Jokowi’s victory is such that too many votes would need to be
shifted to Prabowo’s side of the ledger in order to steal the result.
However, we cannot be fully confident about this prediction: what we
know about Prabowo’s ruthlessness, past experiences of widespread fraud
in vote counting, the weakness of the PDI-P’s monitoring apparatus, the
strength of the Prabowo’s political networks in the regions, and the
vast material resources they have at their disposal all suggest that the
Prabowo camp will be able to make a concerted effort to overturn the
result. Doing so, however, will not be easy. The scale of the
manipulation required means it will be relatively easy to detect, and it
will invite massive resistance from Jokowi’s supporters. A major
escalation of political conflict is possible.
Indonesian democracy is not out of danger. In a series of previous posts (
here,
here and
here)
we have warned that Indonesia’s post-Suharto democratic system would be
endangered should Prabowo be elected president. He now looks prepared
to destroy it in order to gain the post.
……………
Edward Aspinall & Marcus Mietzner conduct research on Indonesian politics at the Department of Political and Social Change
at the Australian National University’s College of Asia & the
Pacific. They have been in Indonesia observing the 2014 legislative and
presidential elections.
JAKARTA, KOMPAS.com — Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha menyarankan agar Ketua Umum Hatta Rajasa yang maju sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto untuk tidak ngotot atas kemenangannya.
Toha berharap, baik Hatta maupun Prabowo, bersikap gentle,
seperti negarawan, sehingga tak menimbulkan potensi perpecahan bangsa
Indonesia. Toha secara terbuka menyampaikan seruan ini dalam surat
terbuka yang ditulisnya di Kompasiana. (Baca: Kirim Surat Terbuka, Pendiri PAN Kecewa Hatta Rajasa Percaya Survei "Abal-abal")
"Saya
sarankan, mereka melihat kenyataan saja. Saya yakin di dalam hati
kecil, mereka sudah tahu mereka kalah. Sudahlah akui saja, jadi gentlement, jadi negarawan, kan delapan lembaga survei ini melakukan quick count tidak pernah salah," ujar Toha saat dihubungi Kompas.com, Minggu (13/7/2014).
Menurut
Toha, hasil hitung cepat dilakukan di hampir pemilu-pemilu dunia. Hasil
hitung cepat itu, lanjut Toha, dilakukan untuk mengontrol jangan sampai
terjadi kecurangan. Oleh karena itu, Toha mengaku menyesalkan sikap
Hatta yang justru lebih percaya pada lembaga survei yang disebutnya
"abal-abal".
"Jadi, maksud saya, ngotot untuk apa?
Jangan kemudian nanti menimbulkan kesan, kalau ada-apa. Bersikaplah
negarawan. Menunggu hasil KPU boleh, tapi terimalah hasil quick count lembaga yang profesional. Tenangkanlah pendukung di bawah," ujarnya.
Toha
menganggap sikap Hatta sangat berpengaruh kepada partai. Apabila Hatta
dengan jiwa besar menerima kekalahan, Toha mengaku PAN akan dianggap
partai yang berakal sehat.
"Tapi, kalau partai ikut-ikutan ngotot suatu hal tidak benar, hanya untuk mencari kemenangan dengan segala cara, PAN bisa saja ditinggal kader-kadernya," kata dia.
Seperti
diketahui, pasca-pemungutan suara 9 Juli ini, sejumlah lembaga survei
mengadakan hitung cepat. Namun, hasil hitung cepat ini ternyata
berbeda-beda. Setidaknya ada 7 lembaga survei yang memprediksi Jokowi-JK
menang, di antaranya Cyrus Network-CSIS, Lingkaran Survei Indonesia,
Litbang Kompas, Populi Center, dan Indikator Politik.
Sementara
itu, empat lembaga survei memprediksi Prabowo-Hatta menang, yakni
Jaringan Survei Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nusantara (LSN), IRC,
dan Puskaptis.
Dengan hasil itu, masing-masing kubu pun
mengklaim kemenangan. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sudah
mendeklarasikan kemenangan bagi kubu Jokowi-JK.
Di sisi lain,
Prabowo sujud syukur dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang
sudah memilihnya sebagai presiden Indonesia selanjutnya.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengumpulkan setiap kandidat capres
dan cawapres di kediamannya pada Kamis malam lalu agar kedua kubu dari
pasangan itu bisa menahan diri.
SBY pun sudah menginstruksikan
jajaran TNI untuk siaga dalam level tertinggi dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya konflik horizontal.
TEMPO.CO,
Jakarta
- Sejumlah tokoh, seniman, dan produser film membuat surat terbuka
kepada calon presiden Prabowo Subianto. Tentu ini bukan balasan dari
surat yang pernah dibuat Prabowo sebelumnya kepada para guru, nelayan,
dan sejumlah tokoh di Tanah Air. (Baca:
Kivlan: Apa Salahnya Prabowo Surati Guru?)
Kumpulan surat terbuka untuk Prabowo Subianto di jejaring sosial Tumblr itu berjudul "Surat untuk Pak Bowo". Sejumlah tokoh yang menulis surat di situ antara lain penulis Djenar Maesa Ayu, Erikar Lebang (pelaku pola makan sehat
food combining), komikus Anto Motulz, produser film Mira Lesmana dan Joko Anwar, dan aktris Happy Salma.
Dalam
suratnya, Joko Anwar, misalnya, mengatakan, lantaran bekerja sebagai
sutradara, dia terbiasa memperhatikan dan menilai orang dalam berakting.
"Saya memiliki insting yang kuat, kapan seseorang berpura-pura, kapan
seseorang berlaku tulus," begitu tulisan Joko yang dikutip pada Ahad, 13
Juli 2014.
Joko mengatakan dirinya mengikuti kampanye tahun ini
dengan sangat saksama. Kesimpulannya, "Bapak (Prabowo) tulus ketika
Bapak mengatakan, Bapak ingin berbuat sesuatu bagi bangsa. Saya yakin
Bapak tulus ketika Bapak mengatakan Bapak ingin mengubah nasib kami."
Namun, Joko menambahkan, bangsa Indonesia lebih membutuhkan seorang
pahlawan ketimbang presiden.
"Presiden belum tentu membawa
kebaikan kepada rakyat. Tapi menjadi seorang pahlawan, pasti berarti
bahwa orang itu telah berjasa atas hidup rakyat," ujar dia. Menurut
Joko, inilah saat yang tepat bagi Prabowo untuk menjadi pahlawan, meski
bukan berarti harus menjadi presiden. "Bapak telah dicintai dan dipilih
48 persen rakyat Indonesia, relakanlah presiden dipegang oleh yang
dipilih 52 persen lainnya," kata Joko. "Jadilah pahlawan kami."
Adapun
Happy Salma hanya menulis sebuah surat singkat buat Prabowo. Mengutip
surat tersebut, Happy menyatakan tak meragukan kecintaan dan sumbangsih
Prabowo bagi Tanah Air. "Dan karena kecintaanmu juga-lah, saya yakin
seorang pemimpin harus lahir dari sebuah proses yang jujur dan adil,"
demikian tulisan dia.
RINI KUSTIANI