Terorisme, Penanganan Setengah Hati
Senin, 28 Juni 2010 | 02:45 WIB
Oleh Abd A'la
Tahun ini, melanjutkan keberhasilan tahun sebelumnya, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri berhasil meringkus hidup-hidup atau menembak mati beberapa gembong teroris kelas kakap.
Detasemen Khusus (Densus) juga berhasil menguak jaringan dan aksi teror mereka di berbagai tempat. Rabu (23/6), Densus berhasil menembak mati tersangka teroris dan melukai beberapa lainnya di Klaten. Sejak minggu pertama Maret hingga pertengahan Mei 2010, Densus menembak dan menangkap sejumlah teroris di berbagai tempat: Aceh Besar, Pamulang (Banten), Cikampek (Jawa Barat), Cawang (Jakarta Timur), dan Sukoharjo (Solo).
Menurut kepolisian, dari 56 tersangka yang ditangkap, beberapa memiliki hubungan dengan jaringan teroris yang telah melakukan aksi sebelumnya. Polisi juga membeberkan rencana mereka yang akan melakukan operasi 17 Agustus 2010 bertepatan 7 Ramadhan dengan target menggulingkan Presiden SBY. Mereka juga akan mengganti NKRI dengan Emirat Islam Indonesia. Untuk memutus jaringan terorisme, kepolisian RI memblokir website dan blog para teroris, bekerja sama dengan FBI AS.
Melihat sepak terjang Densus 88, kesan yang tampak adalah kesungguhan dan sampai derajat tertentu keberhasilan pemerintah dalam upaya mencegah dan menghentikan penyebaran terorisme, khususnya di Tanah Air. Pertanyaannya, seberapa efektif tindakan tersebut untuk menghentikan terorisme secara total.
Tak pernah mati
Fenomena yang ada memperlihatkan, terorisme masih memiliki peluang sangat besar untuk terus menyebar kuku-kuku mautnya di bumi persada ini. Asumsi ini berdasar kuat pada keberadaan terorisme yang muncul bukan sekadar ad hoc dan sesaat. Terorisme berakar pada ideologi-teologis yang sarat simbol dan ajaran agama. Para teroris melakukan aksinya berangkat dari teologi kekalahan.
Teologi kekalahan adalah teologi perang dan kekerasan. Teologi ini dikonstruksi dari amalgamasi antara politik, ekonomi, dan sosial yang dibingkai pemahaman keagamaan parsial dan literal. Dominasi Barat dalam politik, ekonomi, dan sosial membuat mereka—meminjam bahasa El Fadl—merasa teralienasi dan kalah. Mereka merasa kalah bukan hanya dari dunia Barat yang maju, tetapi juga dari tradisi dan sejarah umat Islam sendiri. Mereka terempas ke dalam teologi yang mengantarkan ke dalam kondisi yang meniscayakan mereka harus melawan kapan dan di mana pun orang-orang yang tak sepaham dengan mereka.
Dalam perspektif mereka, hidup adalah perlawanan. Teologi kekalahan mengajarkan, kehidupan yang sejati adalah alam eskatologis. Kesenangan eskatologis hanya dapat diperoleh melalui penghancuran total terhadap segala ancaman yang ada, atau bahkan yang berbeda dengan anutan mereka. Mereka niscaya membunuhi orang-orang kafir, atau dan musyrik. Dalam perspektif mereka, bangsa Barat seutuhnya berada dalam makna tersebut. Pemimpin Indonesia masuk dalam kategori ini karena menganut demokrasi yang dalam keyakinan mereka konsep yang penuh dengan kekufuran.
Sebagai sebuah teologi, keyakinan itu tidak akan serta-merta padam. Bahkan, sebagai ajaran, ia akan diwariskan dari generasi ke generasi. Kematian satu, dua, atau sejumlah teroris tidak akan pernah mematikan ide itu. Saat sejumlah teroris terbunuh, ide itu telah bersemai kokoh kepada calon atau dan kaum teroris lain yang belum terbunuh. Pendekatan keamanan atau perlawanan fisik semata tak akan pernah, minimal sulit, menghentikan terorisme. Bahkan bukan tak mungkin itu akan jadi amunisi baru untuk memulai perlawanan dan melakukan aksi teroristik baru.
Holistik dan integral
Untuk menghentikan gerakan terorisme, penyebaran pemahaman agama yang utuh mutlak diperlukan. Pemahaman agama perlu diletakkan di atas ajaran dan nilai-nilai agama yang harus disapih dari kepentingan politik, ekonomi, dan sejenisnya. Dalam konteks ini, organisasi keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan NU harus jadi garda depan. Para elite-nya mutlak melakukan strategi sistematis berjangkauan jauh ke depan untuk menyebarkan dan melakukan penguatan pemahaman agama substantif kepada warganya. Mereka diharapkan tidak terbuai lagi dengan tarikan-tarikan politik kekuasaan yang akan membuat garapan utama mereka, penguatan paham keagamaan substantif, menjadi terbengkalai.
Sejalan dengan itu, pemerintah tidak bisa melakukan tarik ulur terhadap kelompok agama yang berpotensi besar mengembangkan radikalisme. Realitanya, pemerintah terkesan pasif terhadap beberapa kelompok keagamaan radikal yang secara prinsip bertentangan dengan dasar negara Pancasila. Pemerintah sejatinya harus tegas, tetapi tetap menghindari kekerasan, dalam menyikapi kelompok-kelompok tersebut. Mulai saat ini, dengan menggandeng organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, pemerintah seharusnya melakukan dialog intens dengan mereka. Melalui dialog itu, mereka diminta secara argumentatif meninggalkan ideologi mereka yang berseberangan dengan Pancasila, atau meninggalkan negeri ini.
Penguatan ekonomi masyarakat terutama di kalangan akar rumput harus jadi prioritas utama. Hal ini juga perlu disertai penguatan pemahaman mereka mengenai hakikat politik yang dapat mengantarkan mereka kepada melek politik dalam arti sebenar-benarnya. Semua ini harus diletakkan secara kokoh pada prinsip keadilan dan kesejahteraan. Pemerintah mutlak didukung sepenuhnya oleh unsur negara dan bangsa yang lain menjadikan isu keadilan benar-benar teraplikasi dalam kehidupan konkret. Semua pendekatan ini perlu diintegrasikan dengan pendekatan keamanan. Melalui pola yang integratif diharapkan terorisme tidak akan mendapatkan lahan untuk tumbuh, apalagi, berkembang di bumi pertiwi ini.
Abd A'la Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam, dan Pembantu Rektor Bidang Akademik IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Waspadai Teroris Sewa Jasa Pemalsu Identitas
Modus seperti ini sangat menyulitkan pihak kepolisian mendeteksi jaringan teroris.
JUM'AT, 25 JUNI 2010, 15:26 WIB
Amril Amarullah
SURABAYA POST - Polisi mewaspadai para teroris yang memanfaatkan sindikat jasa pemalsuan identitas dan paspor yang berhasil dibongkar di Surabaya.
Sebab, dengan modus seperti ini, sangat menyulitkan pihak kepolisian mendeteksi jaringan teroris di Indonesia, khususnya Surabaya.
“Ini yang lebih berbahaya,” kata Kanit Idik IV Satreskrim Polwiltabes Surabaya, AKP Andi Sinjaya, SH, SIK usai menungkap kasus komplotan pemalsu paspor di ruang gelar perkara Satreskrim Polwiltabes Surabaya, Jumat.
Andi meyakini, para teroris bisa memanfaatkan jasa pemalsu paspor untuk menggandakan atau memalsu identitas diri. Pasalnya, sindikat tersebut sangat memudahkan orang-orang tertentu yang ingin menyaru dan mendapatkan identitas ilegal tanpa melalui prosedur yang ditentukan.
“Untuk sementara dari hasil penyelidikan selama 3 bulan, diketahui 3 orang tertangkap sebagai tersangka kasus pemalsu paspor di Surabaya,” jelasnya mendampingi Kasatreskrim Polwiltabes Surabaya, AKBP Anom Wibowo.
Dan beruntung, dari hasil pemeriksaan sementara kasus pemalsu paspor dan surat-surat identitas resmi itu, polisi tidak menemukan jaringan teroris yang meminta jasa tersangka membuatkan paspor atau KTP dan KSK hingga akte kelahiran palsu. Dari ketiga tersangka tersebut, polisi mengamankan 7 paspor ilegal dan 350 surat-surat dan dokumen resmi yang akan dipalsukan.
Ketiga tersangka itu bekerja di biro jasa pengurusan paspor PT Baltimor Aman (BA), Jalan Lebak Jaya Timur.
Pelaku yang ditangkap termasuk Wakil Direktur PT BA, Bambang Irawanto (45) dan 2 anak buahnya Subeni Dwi Santoso (37) dan Andi Haryono (30) yang masih bersaudara dan keponakan Bambang.
Laporan: Syarif Abdullah
• VIVAnews